You are on page 1of 18

BAB I

PENDAHULUAN

Kusta atau Morbus Hansen merupakan penyakit menular yang menahun


dan disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae yang menyerang saraf tepi,
kulit dan jaringan tubuh lainnya. Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni
kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut
juga Morbus Hansen karena sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu
Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut
Morbus Hansen. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik yang bersifat
intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit, dan mukosa
traktus respiratorius atas, kemudian ke organ lain kecuaili susunan saraf pusat.1
Pada tahun 1965 ditemukan kuman kusta yang resisten terhadap dapson,
sehingga WHO merekomendasikan penggunaan obat secara kombinasi untuk
semua kasus kusta pada tahun 1977 dan 1982 pengobatan kusta di Indonesia
mengikuti keputusan WHO Expert Committee Meeting in Geneva, menggunakan
Multi Drug Therapy terdiri atas rifampisin, klofazimin dan dapson.2
Penyakit infeksi yang bersifat kronis seperti halnya kusta, dalam
perkembangan penyakitnya dapat menimbulkan anemia yang sering disebut
anemia penyakit kronis. Penyebab anemia yang lain pada penyakit kusta adalah
disebabkan pemberian dapson yang menimbulkan anemia hemolitik.2

1
BAB II

STATUS PASIEN DERMATOLOGI

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Sutinah
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : ± 42 tahun
Agama : Islam
Suku : Madura
Pekerjaan : tukang cuci pakaian

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 19 agustus 2014 pukul 12.00 WIB
Keluhan utama: ada bercak putih dan benjolan di seluruh badan disertai
rasa panas.

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien menyatakan bercak putih pada kulitnya sudah timbul sejak kurang
lebih 4 bulan yang lalu. Benjolan-benjolan yang ada muncul kira-kira 1
bulan yang lalu dan terasa panas. Selain itu pasien juga merasa nafsu makan
menurun, lemah, lesu, kesulitan dalam meluruskan jari kelingking, kesulitan
berjalan dan kaki terasa berat. Pasien pernah minum obat tapi lupa jenis
obatnya. Pasien mengaku pernah diperiksa BTA dan hasilnya positif.

Riwayat penyakit dahulu :


Selain keluhan yang timbul sejak 4 bulan yang lalu, pasien tidak pernah
mengalami penyakit seperti ini sebelumnya.

2
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada anggota keluarga pasien menderita penyakit yang sama dengan
pasien.
Riwayat kebiasaan/lingkungan :
Pasien mandi menggunakan air kolam/sumur. Pasien biasanya membuang
sampah (bungkus makanan dan lain-lain) tidak pada tempatnya.

Riwayat sosial ekonomi :


Pasien tinggal bersama kedua adiknya. Sebelum sakit, pasien bekerja
sebagai tukang cuci pakaian di sekitar rumahnya, begitu juga adik
perempuannya, sementara adik laki-lakinya bekerja sebagai supir angkot.
Menu makanan sehari-hari adalah sayur dan ikan.

Resume anamnesis :
Pasien wanita, 42 tahun dengan keluhan ada bercak putih dan benjolan di
seluruh badan disertai rasa panas. Pasien menyatakan bercak putih pada
kulitnya sudah timbul sejak kurang lebih 4 bulan yang lalu. Benjolan-
benjolan yang ada muncul kira-kira 1 bulan yang lalu dan terasa panas.
Selain itu pasien juga merasa nafsu makan menurun, lemah, lesu, kesulitan
dalam berjalan dan kaki terasa berat. Pasien pernah minum obat tapi lupa
jenis obatnya. Pasien mengaku pernah diperiksa BTA dan hasilnya positif.
Dahulu pasien tidak pernah mengalami penyakit yang sama. Keluarga pasien
juga tidak ada menderita penyakit yang sama.

III. PEMERIKSAAN DERMATOLOGI


Lokasi dan Ujud Kelainan Kulit :
1. Makula hipopigmentasi yang difus pada seluruh tubuh.
2. Nodul eritem ukuran lentikuler pada bagian wajah, punggung, tangan.

3
IV. DIAGNOSIS BANDING
1. Kusta (Morbus Hansen) dan Eritema Nodosum Leprosum (ENL)
2. Tinea versikolor
3. Anemia

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan anestesi dengan kapas/jarum dan air panas
2. Pemeriksaan bakteriologis

VI. DIAGNOSIS
1. Kusta (Morbus Hansen) dan Eritema Nodosum Leprosum (ENL)
2. Anemia

4
VII. TATALAKSANA
A. Non medikamentosa
1. Menjaga kebersihan tubuh dan kebersihan lingkungan.
2. Menjaga asupan makanan agar tetap mengandung gizi dan nutrisi yang
cukup untuk menjaga daya tahan tubuh.
B. Medikamentosa
1. Prednison 40 mg/hari
2. Neurodex 1 kali 1 tablet per hari
3. Analgesik : Asam mefenamat, 500 mg tablet, pemakaian 3x1 per hari
per oral
4. Pemberian infus Ringer Laktat
5. Paket MDT multibasiler sebanyak 12 blister

Resep Dokter Resep Dokter


RSUD Dr. Soedarso RSUD Dr. Soedarso
Polilkinik Kulit dan Kelamin Polilkinik Kulit dan Kelamin
Dokter: dr. Eko Dokter: dr. Eko
SIP: 283019809 SIP: 283019809
25 Agustus 2014 25 Agustus 2014
R/ Asam mefenamat 500mg tab No. XX R/ RL No. I
S 3 dd tab 1 R/ Infus set No. I
R/ Neurodex No. X R/ Abocath No. I
S 1 dd tab 1
R/ Prednison 5 mg No. LVI
S 4 dd tab 2

Pro : Ny. Sutinah Pro : Ny. Sutinah


Umur : 42 tahun Umur : 42 tahun

5
C. Usulan pemeriksaan lanjutan
1. Pemeriksaan laboratorium (hemoglobin, SGOT/SGPT, ureum
kreatinin).

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad malam

6
BAB III

PEMBAHASAN

A. Penyakit Kusta
A.1. Definisi
Kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen merupakan
penyakit menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae,
melalui kulit dan mukosa hidung. Penyakit kusta terutama menyerang saraf tepi,
kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat yang apabila tidak
didiagnosis dan diobati secara dini dapat menimbulkan kecacatan.3

A.2. Epidemiologi
Tahun 2008, prevalensi penderita kusta global yang terdata dari 118 negara
sejumlah 212.802 kasus yang berarti mengalami penurunan sebanyak 19,6% dari
tahun 2007. Penurunan sejumlah 4% pun juga tercatat dari tahun 2006 ke 2007.
Catatan dari beberapa negara yang sebelumnya sangat endemik kebanyakan
sekarang telah mencapai eliminasi atau hampir bebas kusta.4
Menurut WHO Weekly Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2010,
prevalensi tertinggi penyakit kusta terdapat di India, dengan jumlah penderita
sebanyak 87.190 jiwa pada tahun 2009. Peringkat kedua terdapat di Brazil,
dengan jumlah penderita 38.179 jiwa pada tahun 2009. Indonesia sendiri berada di
peringkat ketiga, dengan jumlah penderita sebanyak 21.026 jiwa pada tahun 2009
(WHO, 2010). Menurut laporan WHO tersebut, selama tahun 2009 terdapat
17.260 kasus baru di Indonesia, dengan 14.227 kasus teridentifikasi sebagai kasus
kusta tipe Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular. Berdasarkan
data kasus kusta baru tahun 2009 tersebut, 6.887 kasus diantaranya oleh diderita
oleh kaum perempuan, sedangkan 2.076 kasus diderita oleh anak-anak.4

A.3. Klasifikasi
Ridley dan Jopling (1962) memperkenalkan istilah spektrum Determinate
pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:

7
1. TT (Tuberkuloid Type)
Lesi ini mengenai kulit maupun saraf perifer. Lesi kulit bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula maupun plakat, batas jelas dan pada bagian tengah
dapat ditemukan lesi yang regresi atau Central Healing. Permukaan lesi dapat
bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyeruai gambaran psoriasis.
Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba dan kelemahan otot.
2. BT (Borderlines Tuberculoid)
Mirip gambaran pada tipe TT, tetapi terdapat gambaran hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama yang tidak jelas seperti pada tipe tuberkuloid.
Adanya gangguan saraf yang tidak seberat tipe tuberkuloid, biasanya asimetris.
Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3. BB (Mid Borderline)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil diantara semua spektrum penyakit
kusta, disebut juga bentuk dimorfik. Lesi berbentuk plak, permukaannya dapat
berkilat, batas lesi kurang jelas dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik
ukuran, bentuk maupun distribusinya. Bisa ditemukan lesi Punched Out, yaitu
hipopigmentasi berbentuk bulat pada bagian tengah dengan batas jelas.
4. BL (Borderline Lepramatous)
Lesi dimulai dengan infiltrat yang dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh.
Makula lebih kecil dan bervariasi bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas
walaupun lebih kecil dan distribusinya hampir simetris. Tanpa kerusakan saraf
berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya
rambut lebih cepat muncul dibandingkan tipe LL dengan penebalan saraf yang
dapat teraba di tempat predileksi.
5. LL (Lepramatosa type)
Jumlah lesi infiltrat sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematosa, berkilat, berbatas tidak tegas. Distribusi lesi khas yaitu di wajah,
dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan pada bagian badan pada bagian
belakang, lengan, punggung tangan dan permukaan ekstensor tungkai bawah.
Kerusakan saraf yang luas menyebabkan anestesi yang disebut Glove and Socking
Anesthesi. Bila penyakit ini berlanjut, maka makula dan papul baru muncul,

8
sedangkan lesi yang lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-
serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan
anestesi dan atrofi otot tangan dan kaki.
6. LI (Lepromatosa Indefinite)
Tipe ini tidak termasuk dalam kriteria Ridley-Jopling, namun diterima secara
luas oleh para ahli kusta. Lesi kulit biasanya berupa makula hipopigmentasi
dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi berada di bagian
ekstensor ekstremitas, bokong, atau muka. Kadang dapat ditemukan makula
hipoestesi atau sedikit penebalan saraf. Tipe ini merupakan tanda pertama pada
20-80% kasus penderita kusta. Pada sebagian besar, tipe ini akan sembuh spontan.

Menurut WHO, klasifikasi kusta dibagi menjadi :


1. Pausibasilar (PB)
Termasuk kusta tipe TT dan BT menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I
dan T menurut klasifikasi Madrid dengan BTA negatif.
2. Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe BB, BL, dan LL menurut kriteria Ridley dan Jopling atau B
dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.

A.4. Patogenesis
Saat ini dipercaya bahwa penularan M. Lepra terjadi karena kontak yang dekat
dan lama antara individu yang rentan dengan individu yang terinfeksi. Penularan
dapat melalui inhalasi basil yang terkandung dalam sekret hidung atau droplet.
Jalan penularan yang utama adalah mukosa hidung dan juga dapat terjadi melalui
kulit yang erosi.5
Sebenarnya, M. Lepra mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah,
sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara
derejat infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang
berbeda. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik.
Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya dari pada
intensitas infeksinya.1

9
A.5. Gejala Klinis
Bila kuman M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang dapat timbul gejala
klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung
pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran
klinis ke arah tuberkuloid, dan bila keadaan SIS nya rendah akan memberikan
gambaran lepromatosa. 6,7
Menurut Departemen Kesehatan RI (Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda
utama atau Cardinal Sign penyakit kusta, yaitu:
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan
(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa
(anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
tepi (neuritis perifer).
3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA
positif).

A.6. Reaksi Kusta


Reaksi Kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta
yang merupakan suatu reaksi imunitas. Reaksi imun dapat menguntungkan dan
merugikan (reaksi imun patologik), dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya.1

1. Reaksi Tipe 1
Reaksi tipe 1 disebut juga reaksi reversal. Reaksi ini disebabkan
peningkatan aktivitas sistem kekebalan tubuh dalam melawan basil lepra, atau
bahkan sisa basil yang mati. Peningkatan aktivitas ini menyebabkan terjadinya
peradangan dimana pun terdapat basil lepra pada tubuh, terutama kulit dan
saraf. Ciri-ciri klinis reaksi Tipe 1 yang paling sering ditemukan adalah
peradangan pada bercak kulit berupa pembengkakan, kemerahan dan teraba

10
panas. Bercak biasanya tidak terasa sakit, tapi mungkin terdapat rasa tidak
nyaman. Dapat timbul pembengkakan pada anggota gerak atau wajah.8
2. Reaksi Tipe 2
Reaksi ini disebut juga reaksi erythema nodosum leprosum (ENL). Reaksi
ini terjadi bila basil lepra dalam jumlah besar terbunuh dan secara bertahap
dipecah. Protein dari basil yang mati mencetuskan reaksi alergi. Oleh karena
protein ini terdapat di aliran darah, reaksi Tipe 2 akan mengenai seluruh tubuh
dan menyebabkan gejala sistemik. Ciri reaksi Tipe 2 berupa gejala-gejala
erythema nodosum, yaitu benjolan di bawah kulit. Selain itu juga terjadi
peradangan, sehingga benjolan bawah kulit terasa sakit dan tampak merah.
Benjolan dapat sedikit atau banyak, dapat terjadi pada anggota gerak dan
kadang-kadang pada batang tubuh. Benjolan tidak disertai lesi kulit lepra.
Benjolan dengan nyeri tekan merupakan tanda utama ENL.8

A.7. Pengobatan Kusta


Menanggapi peningkatan insiden resistensi dapson, WHO memperkenalkan
rejimen multi drug treatment (MDT) pada tahun 1981 yang mencakup rifampisin,
dapson, dan klofazimin. Rekomendasi WHO untuk penderita dewasa adalah
rifampisin 600 mg/bulan, dapson 100 mg/hari, dan klofazimin (300 mg/bulan dan
50 mg/hari) selama 1 tahun untuk kusta MB. Sedangkan untuk kusta PB WHO
merekomendasikan MDT rifampisin 600 mg/bulan dan dapson 100 mg/hari
selama 6 bulan.9
Beberapa studi klinis juga menunjukkan bahwa kuinolon tertentu,
minocycline, dan azitromisin memiliki aktivitas terhadap M. Leprae. Baru-baru
ini WHO merekomendasikan pengobatan dosis tunggal dengan rifampisin,
minocycline, atau ofloksasin pada pasien dengan kusta pausibasiler yang memiliki
lesi kulit tunggal. Namun, WHO masih merekomendasikan penggunaan rejimen
MDT jangka panjang bila memungkinkan, karena lebih efektif.10

11
Tabel 1. Rekomendasi rencana multi drug treatment dari WHO

Gambar 1. Rejimen MDT


A.8. Prognosis
Prognosis penyakit kusta bergantung pada tipe kusta apa yang diderita oleh
pasien, akses ke pelayanan kesehatan, dan penanganan awal yang diterima oleh
pasien. Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01 – 0,14 % per tahun dalam
10 tahun. Perlu diperhatikan terjadinya resistensi terhadap dapson atau rifampisin.

12
Karena berkurangnya kemampuan imunitas tubuh, kehamilan pada pasien kusta
wanita yang berusia dibawah 40 tahun dapat mempercepat timbulnya relaps atau
reaksi, terutama reaksi tipe 2.11

A.9. Pengobatan ENL


Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain
prednisolon. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya
prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin
tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu
diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap
sampai diberhentikan sama sekali. Perhatikan kontraindikasi pemakaian
kortikesteroid. Dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedative atau bila
berat, penderita dapat menjalani rawat-inap. Ada kemungkinan kortikosteroid
dapat mengakibatkan ketergantungan, ENL akan timbul kalau obat tersebut
dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu, sehingga penderita ini harus
mendapatkan kortikostreoid terus menerus.7
Klofazimin dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi ENL, tetapi dengan dosis
yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin berat
makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya lebih
lambat dari pada kortikosteroid. Dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan
dengan perbaikan ENL. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha
untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid.7
Pada pusat rujukan, reaksi tipe 2 dapat diobati dengan kombinasi prednison
dan klofazimin.8
Tabel 2. Dosis prednison untuk pengobatan reaksi tipe 2
Pengobatan minggu ke- Dosis prednison per hari
1 40 mg
2 30 mg
3 20 mg
4 15 mg
5 10 mg
6 5 mg

13
Klofazimin diberikan dengan dosis bertahap diturunkan sebagai berikut: 300
mg/hari selama 1 bulan, 200 mg/hari selama 3-6 bulan, dan 100 mg/hari selama
gejala masih ada. Klofazimin juga merupakan bagian MDT dengan dosis untuk
dewasa biasanya 50 mg perhari; akan tetapi untuk pengobatan ENL, dibutuhkan
dosis Klofazimin yang lebih tinggi. Klofazimin butuh waktu untuk memberikan
efek, namun pada saat dosis steroid diturunkan pada tingkat rendah, klofazimin
biasanya sudah bekerja dengan baik sehingga steroid dapat dihentikan.8

B. Anemia pada Penyakit Kusta2


B.1. Definisi Anemia
Anemia adalah suatu keadaan dimana konsentrasi hemoglobin lebih rendah
dari nilai normal, yang sesuai dengan jenis kelamin dan usia. Menurut WHO,
dikatakan anemia apabila konsentrasi hemoglobin dibawah 12 g/dl pada wanita
dan dibawah 13,5 g/dl pada pria. Berdasarkan tingkatan, anemia dapat dibagi
menjadi anemia ringan (Hb 10-12 g/dl), anemia sedang (Hb 8-10 g/dl), dan
anemia berat (Hb < 8 g/dl).

B.2. Anemia Penyakit Kronik


Anemia pada kusta lebih sering timbul pada tipe BL dan LL yang disebut
sebagai anemia penyakit kronik. Pada serum kedua tipe kusta tersebut, terdapat
sitokin yang sering berperan pada patogenesis timbulnya anemia penyakit kronik
yaitu interleukin-1 dan tumor necrosis factor-alpha yang bekerja dengan cara; 1)
menghambat secara langsung eritropoiesis; 2) menekan secara tidak langsung
eritropoiesis dengan menghambat eritropoietin.

B.3. Anemia Hemolitik


Suatu keadaan dimana masa hidup eritrosit memendek, disebabkan
peningkatan kecepatan destruksi eritrosit yang mengakibatkan membran sel
pecah. Penyebab anemia hemolotik dapat dibagi atas:
a. Kelainan intrinsik
 Defek membran : sperositosis herediter

14
 Defek enzim : defisiensi enzim glucose-6-phosphate
dehydrogenase
 Defek hemoglobin : Hb S (hemoglobin sel sabit)
b. Kelainan ekstrinsik
 Reaksi non-imunitas : hemolisis akibat bahan kimia atau obat-
obatan seperti obat anti malaria, sulfon (dapson), arsen, logam.
 Reaksi imunitas : transfusi darah.

Diskusi
Diagnosis penyakit kusta pada pasien ini didasarkan pada gambaran klinis.
Lesi pada kulit yang ada berupa makula hipopigmentasi yang hipoestesi, difus
pada seluruh tubuh. Selain lesi kulit tersebut, rambut alis tampak rontok,
ditemukan juga nodul eritem ukuran lentikuler pada bagian wajah, punggung dan
tangan disertai rasa nyeri pada nodul tersebut. Kelainan itu merupakan reaksi tipe
2 atau eritema nodosum leprosum yang biasa terjadi pada kusta tipe lepromatosa
(LL) dan borderline lepromatosa (BL). Reaksi tersebut timbul sebagai respon
imun terhadap basil M. Leprae yang telah mati. Kelainan kulit pada pasien ini
lebih mendekati kusta tipe borderline lepromatosa (BL) karena adanya kelainan
berupa makula hipopigmentasi dengan jumlah sukar dihitung karena masih ada
kulit sehat, distribusinya hampir simetris, permukaan halus berkilat, batas agak
jelas. Untuk memastikan tipe penyakit kusta pada pasien ini diperlukan
pemeriksaan bakteriologis.
Pada pasien ini ditemukan tanda-tanda anemia seperti lemah dan lesu.
Keadaan anemia harus diperhatikan dalam pengobatan kusta karena obat MDT
khususnya dapson dapat menyebabkan hemolisis, karena itu pengobatan dengan
rejimen MDT pada pasien anemia hasrus didampingi dengan pengobatan
anemianya. Pengobatan kusta tergantung pada tipe penyakit sehingga memerlukan
hasil pemeriksaan bakteriologik. Pasien mengaku pernah diperiksa BTA dan
hasilnya positif. Pasien juga telah mendapat pengobatan tapi lupa jenis obatnya.
Penatalaksanaan awal yang dapat dilakukan adalah memberikan obat
kortikosteroid (prednison 40 mg/hari) untuk mengatasi reaksi kusta dan dapat

15
ditambahkan analgetik. Memberikan tablet neurodex 2-3 kali 1 tablet per hari
untuk mengatasi anemia. Menyarankan pasien untuk dirawat inap agar
mendapatkan perawatan, terutama memperbaiki nutrisi pasien dengan diet tinggi
kalori tinggi protein (TKTP). Dapat diberikan Usulan pemeriksaan lanjutan yaitu
pemeriksaan hemoglobin, SGOT/SGPT dan ureum kreatinin untuk mengetahui
derajat anemia, fungsi hati dan ginjal, karena rejimen MDT mempunyai efek
samping anemia hemolitik, hepatotoksik dan nefrotoksik. Pemeriksaan tersebut
juga berguna untuk memantau kondisi pasien selama menjalani pengobatan kusta.
Rejimen MDT yang dapat diberikan yaitu Rifampisin 600 mg/bulan, dapson 100
mg/hari, dan klofazimin (300 mg/bulan dan 50 mg/hari) selama 1 tahun untuk
kusta MB.

16
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Penanganan awal yang dapat diberikan adalah mengatasi rasa nyeri dari
reaksi kusta dengan memberikan kortikosteroid dan analgetik

2. Mengatasi anemia dengan memberikan tablet neurodex dan transfusi jika


derajat anemia berat.

3. Usulan pemeriksaan lanjutan yaitu pemeriksaan hemoglobin, SGOT/SGPT


dan ureum kreatinin untuk mengetahui derajat anemia, fungsi hati dan
ginjal.

4. Rejimen MDT yang dapat diberikan yaitu Rifampisin 600 mg/bulan,


dapson 100 mg/hari, dan klofazimin (300 mg/bulan dan 50 mg/hari)
selama 1 tahun untuk kusta MB.
Saran

1. Menjaga kebersihan tubuh dan kebersihan lingkungan.

2. Menjaga asupan makanan agar tetap mengandung gizi dan nutrisi yang
cukup untuk menjaga daya tahan tubuh.

3. Mengingatkan kepada keluarga tentang pentingya memberikan dukungan


kepada pasien karena penderita kusta atau lepra sangat membutuhkan
dukungan dari keluarga dan juga lingkungannya demi kelancaran
pengobatan.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Kosasih A, Wisnu I.M, Daili E.S.S, Menaldi S.L. 2010.


Kusta. Ilmu Penyakit Kulit danKelamin, Ed. VI, p. 73-88,
Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
2. Lubis, RD. 2009. Anemia Pada Penyakit Kusta. Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatra Utara. USU e-Repository: Medan.
3. Subdirektorat Kusta dan Frambusia. 2007. Modul Pelatihan
Program P2 Kusta Bagi UPK.
4. World Health Organization. 2010. Weekly epidemiological
record. Diakses dari www.who.int tanggal 22 Agustus 2014.
5. Lastória, JC dan Abreu. 2014. Leprosy: review of the
epidemiological, clinical, and etiopathogenic aspects – Part 1. An
Bras Dermatol ;89(2):205-18
6. Mulyati, K. Pudji, Susilo, J. 2008. Leprosi. Dalam: Sutanto, I.,
Ismid, I. S., Sjarifuddin, P.K., Sungkar, S., editor. Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran. Edisi keempat. Jakarta: FK UI
7. Siregar, R.S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi
Kedua. Cetakan Pertama. Jakarta: EGC.
8. The International Federation of Anti-Leprosy Associations (ILEP).
2002. Bagaimana Mengenali dan Menatalaksana Reaksi Lepra.
Penerjemah: Tim Penterjemah RS Kusta Dokter Rivai Abdullah.
ILEP Action Group: London.
9. World Health Organization. 2010. WHO Recommended MDT
Regimens. http://www.who.int/lep/mdt/regimens/en/index.html.
(24 Agustus 2014).
10. [Best Evidence] Van Veen NH, Nicholls PG, Smith WC,
Richardus JH. 2007. Corticosteroids for treating nerve damage in
leprosy. Cochrane Database Syst Rev.;CD005491. [Medline]
11. Lewis, F.S., 2010. Dermatologic Manifestations of Leprosy.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1104977-
followup#a2650. (24 Agustus 2014).

18

You might also like