Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
BAB II
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Sutinah
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : ± 42 tahun
Agama : Islam
Suku : Madura
Pekerjaan : tukang cuci pakaian
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 19 agustus 2014 pukul 12.00 WIB
Keluhan utama: ada bercak putih dan benjolan di seluruh badan disertai
rasa panas.
2
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada anggota keluarga pasien menderita penyakit yang sama dengan
pasien.
Riwayat kebiasaan/lingkungan :
Pasien mandi menggunakan air kolam/sumur. Pasien biasanya membuang
sampah (bungkus makanan dan lain-lain) tidak pada tempatnya.
Resume anamnesis :
Pasien wanita, 42 tahun dengan keluhan ada bercak putih dan benjolan di
seluruh badan disertai rasa panas. Pasien menyatakan bercak putih pada
kulitnya sudah timbul sejak kurang lebih 4 bulan yang lalu. Benjolan-
benjolan yang ada muncul kira-kira 1 bulan yang lalu dan terasa panas.
Selain itu pasien juga merasa nafsu makan menurun, lemah, lesu, kesulitan
dalam berjalan dan kaki terasa berat. Pasien pernah minum obat tapi lupa
jenis obatnya. Pasien mengaku pernah diperiksa BTA dan hasilnya positif.
Dahulu pasien tidak pernah mengalami penyakit yang sama. Keluarga pasien
juga tidak ada menderita penyakit yang sama.
3
IV. DIAGNOSIS BANDING
1. Kusta (Morbus Hansen) dan Eritema Nodosum Leprosum (ENL)
2. Tinea versikolor
3. Anemia
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan anestesi dengan kapas/jarum dan air panas
2. Pemeriksaan bakteriologis
VI. DIAGNOSIS
1. Kusta (Morbus Hansen) dan Eritema Nodosum Leprosum (ENL)
2. Anemia
4
VII. TATALAKSANA
A. Non medikamentosa
1. Menjaga kebersihan tubuh dan kebersihan lingkungan.
2. Menjaga asupan makanan agar tetap mengandung gizi dan nutrisi yang
cukup untuk menjaga daya tahan tubuh.
B. Medikamentosa
1. Prednison 40 mg/hari
2. Neurodex 1 kali 1 tablet per hari
3. Analgesik : Asam mefenamat, 500 mg tablet, pemakaian 3x1 per hari
per oral
4. Pemberian infus Ringer Laktat
5. Paket MDT multibasiler sebanyak 12 blister
5
C. Usulan pemeriksaan lanjutan
1. Pemeriksaan laboratorium (hemoglobin, SGOT/SGPT, ureum
kreatinin).
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanactionam : dubia ad malam
6
BAB III
PEMBAHASAN
A. Penyakit Kusta
A.1. Definisi
Kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen merupakan
penyakit menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae,
melalui kulit dan mukosa hidung. Penyakit kusta terutama menyerang saraf tepi,
kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat yang apabila tidak
didiagnosis dan diobati secara dini dapat menimbulkan kecacatan.3
A.2. Epidemiologi
Tahun 2008, prevalensi penderita kusta global yang terdata dari 118 negara
sejumlah 212.802 kasus yang berarti mengalami penurunan sebanyak 19,6% dari
tahun 2007. Penurunan sejumlah 4% pun juga tercatat dari tahun 2006 ke 2007.
Catatan dari beberapa negara yang sebelumnya sangat endemik kebanyakan
sekarang telah mencapai eliminasi atau hampir bebas kusta.4
Menurut WHO Weekly Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2010,
prevalensi tertinggi penyakit kusta terdapat di India, dengan jumlah penderita
sebanyak 87.190 jiwa pada tahun 2009. Peringkat kedua terdapat di Brazil,
dengan jumlah penderita 38.179 jiwa pada tahun 2009. Indonesia sendiri berada di
peringkat ketiga, dengan jumlah penderita sebanyak 21.026 jiwa pada tahun 2009
(WHO, 2010). Menurut laporan WHO tersebut, selama tahun 2009 terdapat
17.260 kasus baru di Indonesia, dengan 14.227 kasus teridentifikasi sebagai kasus
kusta tipe Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular. Berdasarkan
data kasus kusta baru tahun 2009 tersebut, 6.887 kasus diantaranya oleh diderita
oleh kaum perempuan, sedangkan 2.076 kasus diderita oleh anak-anak.4
A.3. Klasifikasi
Ridley dan Jopling (1962) memperkenalkan istilah spektrum Determinate
pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:
7
1. TT (Tuberkuloid Type)
Lesi ini mengenai kulit maupun saraf perifer. Lesi kulit bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula maupun plakat, batas jelas dan pada bagian tengah
dapat ditemukan lesi yang regresi atau Central Healing. Permukaan lesi dapat
bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyeruai gambaran psoriasis.
Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba dan kelemahan otot.
2. BT (Borderlines Tuberculoid)
Mirip gambaran pada tipe TT, tetapi terdapat gambaran hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama yang tidak jelas seperti pada tipe tuberkuloid.
Adanya gangguan saraf yang tidak seberat tipe tuberkuloid, biasanya asimetris.
Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3. BB (Mid Borderline)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil diantara semua spektrum penyakit
kusta, disebut juga bentuk dimorfik. Lesi berbentuk plak, permukaannya dapat
berkilat, batas lesi kurang jelas dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik
ukuran, bentuk maupun distribusinya. Bisa ditemukan lesi Punched Out, yaitu
hipopigmentasi berbentuk bulat pada bagian tengah dengan batas jelas.
4. BL (Borderline Lepramatous)
Lesi dimulai dengan infiltrat yang dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh.
Makula lebih kecil dan bervariasi bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas
walaupun lebih kecil dan distribusinya hampir simetris. Tanpa kerusakan saraf
berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya
rambut lebih cepat muncul dibandingkan tipe LL dengan penebalan saraf yang
dapat teraba di tempat predileksi.
5. LL (Lepramatosa type)
Jumlah lesi infiltrat sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih
eritematosa, berkilat, berbatas tidak tegas. Distribusi lesi khas yaitu di wajah,
dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan pada bagian badan pada bagian
belakang, lengan, punggung tangan dan permukaan ekstensor tungkai bawah.
Kerusakan saraf yang luas menyebabkan anestesi yang disebut Glove and Socking
Anesthesi. Bila penyakit ini berlanjut, maka makula dan papul baru muncul,
8
sedangkan lesi yang lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-
serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan
anestesi dan atrofi otot tangan dan kaki.
6. LI (Lepromatosa Indefinite)
Tipe ini tidak termasuk dalam kriteria Ridley-Jopling, namun diterima secara
luas oleh para ahli kusta. Lesi kulit biasanya berupa makula hipopigmentasi
dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi berada di bagian
ekstensor ekstremitas, bokong, atau muka. Kadang dapat ditemukan makula
hipoestesi atau sedikit penebalan saraf. Tipe ini merupakan tanda pertama pada
20-80% kasus penderita kusta. Pada sebagian besar, tipe ini akan sembuh spontan.
A.4. Patogenesis
Saat ini dipercaya bahwa penularan M. Lepra terjadi karena kontak yang dekat
dan lama antara individu yang rentan dengan individu yang terinfeksi. Penularan
dapat melalui inhalasi basil yang terkandung dalam sekret hidung atau droplet.
Jalan penularan yang utama adalah mukosa hidung dan juga dapat terjadi melalui
kulit yang erosi.5
Sebenarnya, M. Lepra mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah,
sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara
derejat infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang
berbeda. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik.
Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya dari pada
intensitas infeksinya.1
9
A.5. Gejala Klinis
Bila kuman M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang dapat timbul gejala
klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung
pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran
klinis ke arah tuberkuloid, dan bila keadaan SIS nya rendah akan memberikan
gambaran lepromatosa. 6,7
Menurut Departemen Kesehatan RI (Dirjen PP & PL, 2007). Tanda-tanda
utama atau Cardinal Sign penyakit kusta, yaitu:
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan
(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa
(anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
tepi (neuritis perifer).
3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA
positif).
1. Reaksi Tipe 1
Reaksi tipe 1 disebut juga reaksi reversal. Reaksi ini disebabkan
peningkatan aktivitas sistem kekebalan tubuh dalam melawan basil lepra, atau
bahkan sisa basil yang mati. Peningkatan aktivitas ini menyebabkan terjadinya
peradangan dimana pun terdapat basil lepra pada tubuh, terutama kulit dan
saraf. Ciri-ciri klinis reaksi Tipe 1 yang paling sering ditemukan adalah
peradangan pada bercak kulit berupa pembengkakan, kemerahan dan teraba
10
panas. Bercak biasanya tidak terasa sakit, tapi mungkin terdapat rasa tidak
nyaman. Dapat timbul pembengkakan pada anggota gerak atau wajah.8
2. Reaksi Tipe 2
Reaksi ini disebut juga reaksi erythema nodosum leprosum (ENL). Reaksi
ini terjadi bila basil lepra dalam jumlah besar terbunuh dan secara bertahap
dipecah. Protein dari basil yang mati mencetuskan reaksi alergi. Oleh karena
protein ini terdapat di aliran darah, reaksi Tipe 2 akan mengenai seluruh tubuh
dan menyebabkan gejala sistemik. Ciri reaksi Tipe 2 berupa gejala-gejala
erythema nodosum, yaitu benjolan di bawah kulit. Selain itu juga terjadi
peradangan, sehingga benjolan bawah kulit terasa sakit dan tampak merah.
Benjolan dapat sedikit atau banyak, dapat terjadi pada anggota gerak dan
kadang-kadang pada batang tubuh. Benjolan tidak disertai lesi kulit lepra.
Benjolan dengan nyeri tekan merupakan tanda utama ENL.8
11
Tabel 1. Rekomendasi rencana multi drug treatment dari WHO
12
Karena berkurangnya kemampuan imunitas tubuh, kehamilan pada pasien kusta
wanita yang berusia dibawah 40 tahun dapat mempercepat timbulnya relaps atau
reaksi, terutama reaksi tipe 2.11
13
Klofazimin diberikan dengan dosis bertahap diturunkan sebagai berikut: 300
mg/hari selama 1 bulan, 200 mg/hari selama 3-6 bulan, dan 100 mg/hari selama
gejala masih ada. Klofazimin juga merupakan bagian MDT dengan dosis untuk
dewasa biasanya 50 mg perhari; akan tetapi untuk pengobatan ENL, dibutuhkan
dosis Klofazimin yang lebih tinggi. Klofazimin butuh waktu untuk memberikan
efek, namun pada saat dosis steroid diturunkan pada tingkat rendah, klofazimin
biasanya sudah bekerja dengan baik sehingga steroid dapat dihentikan.8
14
Defek enzim : defisiensi enzim glucose-6-phosphate
dehydrogenase
Defek hemoglobin : Hb S (hemoglobin sel sabit)
b. Kelainan ekstrinsik
Reaksi non-imunitas : hemolisis akibat bahan kimia atau obat-
obatan seperti obat anti malaria, sulfon (dapson), arsen, logam.
Reaksi imunitas : transfusi darah.
Diskusi
Diagnosis penyakit kusta pada pasien ini didasarkan pada gambaran klinis.
Lesi pada kulit yang ada berupa makula hipopigmentasi yang hipoestesi, difus
pada seluruh tubuh. Selain lesi kulit tersebut, rambut alis tampak rontok,
ditemukan juga nodul eritem ukuran lentikuler pada bagian wajah, punggung dan
tangan disertai rasa nyeri pada nodul tersebut. Kelainan itu merupakan reaksi tipe
2 atau eritema nodosum leprosum yang biasa terjadi pada kusta tipe lepromatosa
(LL) dan borderline lepromatosa (BL). Reaksi tersebut timbul sebagai respon
imun terhadap basil M. Leprae yang telah mati. Kelainan kulit pada pasien ini
lebih mendekati kusta tipe borderline lepromatosa (BL) karena adanya kelainan
berupa makula hipopigmentasi dengan jumlah sukar dihitung karena masih ada
kulit sehat, distribusinya hampir simetris, permukaan halus berkilat, batas agak
jelas. Untuk memastikan tipe penyakit kusta pada pasien ini diperlukan
pemeriksaan bakteriologis.
Pada pasien ini ditemukan tanda-tanda anemia seperti lemah dan lesu.
Keadaan anemia harus diperhatikan dalam pengobatan kusta karena obat MDT
khususnya dapson dapat menyebabkan hemolisis, karena itu pengobatan dengan
rejimen MDT pada pasien anemia hasrus didampingi dengan pengobatan
anemianya. Pengobatan kusta tergantung pada tipe penyakit sehingga memerlukan
hasil pemeriksaan bakteriologik. Pasien mengaku pernah diperiksa BTA dan
hasilnya positif. Pasien juga telah mendapat pengobatan tapi lupa jenis obatnya.
Penatalaksanaan awal yang dapat dilakukan adalah memberikan obat
kortikosteroid (prednison 40 mg/hari) untuk mengatasi reaksi kusta dan dapat
15
ditambahkan analgetik. Memberikan tablet neurodex 2-3 kali 1 tablet per hari
untuk mengatasi anemia. Menyarankan pasien untuk dirawat inap agar
mendapatkan perawatan, terutama memperbaiki nutrisi pasien dengan diet tinggi
kalori tinggi protein (TKTP). Dapat diberikan Usulan pemeriksaan lanjutan yaitu
pemeriksaan hemoglobin, SGOT/SGPT dan ureum kreatinin untuk mengetahui
derajat anemia, fungsi hati dan ginjal, karena rejimen MDT mempunyai efek
samping anemia hemolitik, hepatotoksik dan nefrotoksik. Pemeriksaan tersebut
juga berguna untuk memantau kondisi pasien selama menjalani pengobatan kusta.
Rejimen MDT yang dapat diberikan yaitu Rifampisin 600 mg/bulan, dapson 100
mg/hari, dan klofazimin (300 mg/bulan dan 50 mg/hari) selama 1 tahun untuk
kusta MB.
16
BAB III
Kesimpulan
1. Penanganan awal yang dapat diberikan adalah mengatasi rasa nyeri dari
reaksi kusta dengan memberikan kortikosteroid dan analgetik
2. Menjaga asupan makanan agar tetap mengandung gizi dan nutrisi yang
cukup untuk menjaga daya tahan tubuh.
17
DAFTAR PUSTAKA
18