You are on page 1of 23

9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembedahan
1. Defenisi
Perioperasi merupakan tahapan dalam pembedahan yang dimulai
dari prabedah (preoperatif), bedah (intraoperatif), dan pasca bedah
(postoperatif). Praoperasi merupakan masa sebelum dilakukannya
tindakan pembedahan dan berakhir sampai pasien berada di meja bedah.
(Hidayat, 2012)
Bedah merupakan salah satu upaya yang mendatangkan stress
karena terdapat ancaman didalam tubuh, integritas dan jiwa seseorang.
Bedah merupakan tahapan dalam proses perioperasi (Long, 2012). hal-
hal yang perlu diperhatikan dalam tahap prabedah adalah pengetahuan
tentang persiapan pembedahan, persiapan pembedahan dan pengalaman
masa lalu, dan kesiapan psikologis (Hidayat, 2012).
Keperawatan medikal bedah merupakan pelayanan profesional
yang didasarkan ilmu dan teknik keperawatan medikal bedah berbentuk
pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif ditujukan pada
orang dengan atau yang cenderung mengalami gangguan fisiologi dengan
atau tanpa gangguan struktur akibat trauma (Diana, 2013)
Operasi bedah mayor merupakan pembedahan dimana secara
relatif lebih sulit untuk dilakukan daripada pembedahan minor,
membutuhkan waktu, melibatkan resiko terhadap nyawa klien, dan
memerlukan bantuan asisten seperti contoh bedah caesar, mammektomi,
bedah thorak, bedah otak (Mansjoer, 2010). Operasi bedah mayor adalah
operasi yang melibatkan organ tubuh secara luas dan mempunyai tingkat
resiko yang tinggi terhadap kelangsungan hidup klien (Brunner dan
Suddarth, 2012)

9
10

2. Tipe-tipe bedah
Menurut Long (2012) Bedah dapat diklasifikasikan dalam
beberapa cara, diantaranya lokasi, ekstensi atau tujuan dari tindakan
bedah
a. Lokasi
Tindakan bedah dapat dilaksanakan internal atau eksternal.
Pada bedah eksternal kulit atau jaringan yang ada dibawahnya dapat
dijangkau oleh ahli bedah. Bedah eksternal mendatangkan kerugian-
kerugian, dapat menimbulkan parut atau disfigurisasi/ perubahan
penampilan yang langsung bisa dilihat, yang menimbulkan banyak
pengkhayalan dan kegelisahan pada pasien. Tindakan bedah juga
bisa diklasifikasikan menurut lokasi atau system tubuh, seperti bedah
kardiovaskuler, bedah thorax, bedah neurologi dan seterusnya.
b. Menurut Luas Jangkauan
Bedah dapat diklasifikasikan sebagai bedah minor/ kecil dan
bedah mayor/ besar. Operasi kecil adalah bedah sederhana yang
resiko terhadap hidup sedikit. Dapat dilaksanakan diruang praktek
ahli bedah, klinik, atau unit bedah rawat jalan atau rawat inap.
Banyak operasi kecil dilaksanakan dengan anasthesi local, walaupun
anastesi umum juga dapat dilakukan. Walaupun operasi dianggap
kecil namun periode tidak dianggap kecil oleh pasien dan dapat
membangkitkan rasa takut dan berbagai khayalan
Bedah mayor biasanya dilaksanakan dengan anstesi umum di
unit bedah rawat inap. Operasi lebih serius dibanding bedah minor
dan bisa beresiko terhadap jiwa. Terdapat kecenderungan
peningkatan bedah dibagian rawat jalan dari rumah sakit, pasien
masuk dirawat pada pagi hari operasi dan dirawat disana segera
setalah operasi dan pasien diperbolehkan pulang menjelang sore,
banyak operasi besar seperti herniorapi dilaksankan seperti itu.
11

c. Tujuan
Banyak tujuan dari tindakan bedah. Ahli bedah menjelaskan
metode dan tujuan bedah kepada pasien dan keluarganya. Karena
periode sebelum operasi merupakan saat peningkatan kecemasan
bagi pasien dan keluarganya, mungkin mereka tidak mengerti alasan
mengapa harus dioperasi memerlukan penjelasan yang lebih lanjut
yang bisa dilaksanakan oleh perawat.
Tabel 2.1 Tujuan Tindakan Bedah

Tipe Bedah Alasan Pelaksanaan Contoh


Diagnostik Menetukan sebab gejala Biopsi, explorasi,
laparotomi
Kuratif Mengangkat bagian yang sakit Apendektomi

Memperkuat daerah pemulihan


Restorative Memperbaiki daerah deformitas Herniorapi

Menyambung bagian yang Mengganti katup


terpisah mitral yang lemah
Memaku tulang

Paliatif Mengurangi gejala tanpa Simpathektomi


menyebuhkan penyakit

Kosmetik Memperbaiki bentuk Rhinoplasti

Sumber : Long , Barbara C. (2012) Perawatan Medikal Bedah

3. Asuhan Keperawatan Pasca Operatif


Asuhan post operasi (segera setelah operasi) harus dilakukan di
ruang pemulihan tempat adanya akses yang cepat ke oksigen, pengisap,
peralatan resusitasi, monitor, bel panggil emergensi, dan staf terampil
dalam jumlah dan jenis yang memadai (Kostania, 2014)
Menurut Potter dan Perry (2010) Asuhan pasca operatif secara
umum meliputi :
a. Pengkajian tingkat kesadaran. Pada pasien yang mengalami anastesi
general, perlu dikaji tingkat kesadaran secara intensif sebelum
dipindahkan ke ruang perawatan. Kesadaran pasien akan kembali
pulih tergantung pada jenis anastesi dan kondisi umum pasien.
12

b. Pengkajian suhu tubuh, frekuensi jantung/ nadi, respirasi dan tekanan


darah. Tanda-tanda vital pasien harus selalu dipantau dengan baik.
c. Mempertahankan respirasi yang sempurna. Respirasi yang sempurna
akan meningkatkan supplai oksigen ke jaringan. Respirasi yang
sempurna dapat dibantu dengan posisi yang benar dan
menghilangkan sumbatan pada jalan nafas pasien. Pada pasien yang
kesadarannya belum pulih seutuhnya, dapat tetap dipasang respirator.
d. Mempertahankan sirkulasi darah yang adekuat.
e. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dengan cara
memonitor input serta outputnya.
f. Mempertahankan eliminasi, dengan cara mempertahankan asupan
dan output serta mencegah terjadinya retensi urine
g. Pemberian posisi yang tepat pada pasien, sesuai dengan tingkat
kesadaran, keadaan umum, dan jenis anastesi yang diberikan saat
operasi.
h. Mengurangi kecemasan dengan cara melakukan komunikasi secara
terapeutik.
i. Mengurangi rasa nyeri pada luka operasi, dengan teknik-teknik
mengurangi rasa nyeri.
j. Mempertahankan aktivitas dengan cara latihan memperkuat otot
sebelum ambulatory.
k. Meningkatkan proses penyembuhan luka dengan perawatan luka
yang benar, ditunjang factor lain yang dapat meningkatkan
kesembuhan luka.

B. Perawatan Luka
1. Defenisi Luka
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat
proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan
mengenai organ tertentu (Potter dan Perry, 2010). Luka adalah hilang atau
rusaknya sebagian jaringan atau tubuh.Keadaan ini dapat disebabkan
13

oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia,
ledakan, sengatan listrik, gigitan hewan dan lain-lain (De Jong, 2015).
2. Tipe-tipe penyembuhan luka
Menurut Arisanty (2016) luka berdasarkan tipe atau cara
penyembuhannya diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
a. Penyembuhan luka secara pimer
Luka terjadi tanpa kehilangan banyak jaringan kulit. Luka
ditutup dengan cara dirapatkan kembali dengan menggunakan alat
bantu sehingga bekas luka (scar) tidak ada atau minimal. Proses yang
terjadi adalah epitelisasi dan deposisi jaringan ikat, contohnya adalah
luka sayatan/ robekan dan luka operasi yang dapat sembuh dengan alat
bantu jahita, stapler, tape eksternal, atau lem/ perekat kulit.
b. Penyembuhan luka secara sekunder
Kulit mengalami luka (kerusakan) dengan kehilangan banyak
jaringan sehingga memerlukan proses granulasi (pertumbuhan sel),
kontraksi dan epitelisasi (penutupan epidermis) untuk menutup luka.
Pada kondisi luka seperti ini, jika dijahit, kemungkinan terbuka lagi
atau menjadi nekrosis (mati) sangat besar. Luka yang memerlukan
penutupan secara sekunder kemungkinan memiliki bekas luka (scar)
lebih luas dan waktu penyembuhna lebih lama, namun semuanya
kembali lagi bergantung pada penanganan pada klinis terhadap luka.
Contohnya adalah luka tekanan (dekubitus), luka diabetes mellitus,
dan luka bakar.
c. Penyembuhan luka secara tersier
Penyembuhan luka secara tersier atau delayed primary terjadi jika
penyembuhan luka secara primer mengalami infeksi atau ada benda
asing sehingga penyembuhan terhambat. Luka akan mengalami proses
debris hingga luka menutup. Penyembuhan luka dapat diawali dengan
penyembuhan secara sekunder yang kemudian ditutup dengan bantuan
jahitan/ dirapatkan kembali. Contohnya adalah luka operasi yang
terinfeksi, obesitas dapat menjadi salah satu penyebab luka pasca
14

operasi terbuka (dehiscence), jika kemudian dijahit kembali (ditutup),


cara penutupan ini disebut penutupan luka secara tersier.
3. Tipe luka berdasarkan waktu penyembuhan
Menurut Arisanty (2016) berdasarkan waktu penyembuhan, luka
dibedakan menjadi luka akut dan luka kronis.
a. Luka akut
Luka akut adalah luka yang terjadi kurang dari 5 hari dengan diikuti
proses hemostatis dan inflamasi. Luka akut sembuh atau menutup
sesuai dengan waktu penyembuhan luka fisiologis (0-21 hari) contoh
luka akut adalah luka pasca operasi. Luka akut sembuh sesuai dengan
fisiologi proses penyembuhan luka pada setiap fasenya misalnya, jika
luka operasi sejak 14 hari yang lalu, saat datang masih ditemukan
tanda inflamasi, luka operasi tersebut bukan lagi luka akut, melainkan
luka kronis.
b. Luka kronis
Luka kronis adalah luka yang sudah lama terjadi atau menahan dengan
penyembuhan yang lebih lama akibatnya adalah gangguan selama
proses penyembuhan luka. Gangguan dapat berupa infeksi dan dapat
terjadi pada fase inflamasi, proliferasi atau maturasi. Biasanya luka
akan sembuh dengan perawatan yang tepat selama 2-3 bulan. Dengan
memperhatikan faktor penghambat penyembuhan luka.

4. Standar Prosedur Perawatan Luka (Dressing)


Berdasarkan data prosedur operasiomal rumah sakit
muhammadiyah Palembang (2015) mengenai prosedur mengganti balutan
(dressing), meliputi ;
a. Defenisi
Penggantian balutan untuk membantu proses penyembuhan luka
b. Tujuan
1) Menghilangkan sekresi yang menumpuk dan jaringan mati pada
luka insisi
2) Mengurangi pertumbuhan mikroorganisme pada luka/ insisi
15

3) Membantu proses penyembuhan luka


c. Prosedur
1) Persiapan alat
a) Set ganti balutan steril (piugisnset cirrugis, pinset anotomis,
kasa steril, dan cotton bud )
b) Kasa stril tambahan atau bantuan penutup ( kalau perlu ).
c) Handscoen dan hendscuen steril.
d) Bethadine, alcohol swab
e) Bengkok
f) Korenting steril
g) Tempat sampah medis
h) Baki instrument/ meja dorong dan perlak / pengalas
i) Handuk bersih
2) Pelaksanaan
Perawat/ bidan :
Mencuci tangan dengan handrub
Saat datang keruangan pasien mengucapkan “Assalamu’alaikum”
kemudian memperkenalkan diri, menanyakan keluhan atau
perkembangan kondisi pasien saat ini.
a) Melakukan identifikasi pasien yang akan diperiksa, dengan
cara menanyakan nama lengkap dan umur kemudian
mencocokan dengan gelang identitas.
b) Menjelaskan kepada pasien/keluarga mengenai tindakan yang
akan dilakukan
c) Mendekatkan alat-alat dekat pasien
d) Mencucci tangan handrub
e) Memakai handscoon bersih
f) Meletakkan handuk menutup bagian tubuh pripasi klien yang
terbuka
g) Meletakkan perlak dibawa luka
h) Mengatur posisi yang nyaman dan tepat untuk perawatan luka
16

i) Membuka plester searah tumbuhnya rambut dan membuka


balutan secara hati-hati, masukan balutan kotor kedalam
tempat sampah medis
j) Membuka handscooen bersih, buang pada tempat sampah
medis dang anti dengan handscoen steril
k) Membersikan sekitar luka dengan alcohol swab
l) Membersikan dari arah atas kebawa dari setiap sisi luka
dengan arrah keluar menjau dari luka ( 1 alkohol swab untuk
1 kali usapan )
m) Membersikan sisi sebelah luka dari bagian atas kebawa diikuti
sisi sebelahnya dengan arah usapan menjauh dari luka ( 1
alkohol swab untuk 1 kali usapan )
n) Mengolesi luka dengan bethadine mulai dari tengah luka
o) Menutup luka dengan bethadine mulai dari tengah luka
p) Menutup luka dengan kasa steril dan fiksasi dengan plester
pada pinggiran kasa pembalut
q) Menuliskan tanggal dan waktu mengganti balutan pada plaster
dan tempelkan pada balutan
r) Merapikan klien dan membersihkan alat-alat
s) Melepaskan handscoone, membuang pada tempatnya dan
mencuci tangan
t) Berpamitan pada pasien/ keluarga pasien
Mendokumentasikan hasil tindakan pada status pasien meluti : tanggal, jam,
dan tanda tangan perawat/ bidan yang melakukan tindakan.

C. Nyeri
1. Defenisi
Nyeri (Pain) adalah kondisi perasaan yang tidak menyenangkan.
Sifatnya sangat subjektif karna perasaan nyeri berbeda pada setiap orang
baik dalam hal skala ataupun tingkatannya dan hanya orang tersebutlah
yang dapat menjelaskan dan mengefakuasi rasa nyeri yang dialaminya
(Hidayat, 2011). Internasional Association for Study of Pain (IASP),
17

mendefenisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman


emosional yang tidak menyenagkan yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan yang bersifat akut yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana
terjadi kerusakan (Potter dan Perry, 2010).
Nyeri dibedakan menjadi dua yaitu nyeri akut merupakan pengalaman
sensori dan emosional tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan
jaringan aktual atau potensial atau yang digambarkan sebagai kerusakan
IASP, awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat
dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi, dan nyeri kronik
merupakan nyeri yang lebih dari tiga bulan (NANDA, 2015)
Nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan
potensial yang tidak menyenagkan yang terlokalisasi pada suatu bagian
tubuh ataupun sering disebut dengan istilah distruktif dimana jaringan
rasanya seperti di tusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi,
perasaan takut dan mual (Judha, 2012).
berdasarkan beberapa penjelasan nyeri dapat disimpulkan nyeri
merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak nyaman atau
menyenangkan berkaitan dengan terputusnya atau kerusakan kontinuitas
jaringan, terlokalisir pada bagian tubuh tertentu, dirasakan baik secara akut
maupun kronik.

2. Sifat Nyeri
Nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat individual. empat atribut
untuk pengalaman nyeri, yaitu: nyeri bersifat individual, tidak
menyenangkan, merupakan suatu kekuatan yang mendominasi, bersifat
tidak berkesudahan (Andarmoyo, 2013).
nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakn seseorang tentang nyeri
tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia merasa
nyeri. Apabila seseorang merasa nyeri, maka prilakunya akan berubah
(Potter dan Perry, 2010).
18

3. Teori – Teori Nyeri


a. Teori Spesivitas ( Specivicity Theory)
Teori Spesivitas ini diperkenalkan oleh Descartes, teori ini
menjelaskan bahwa nyeri berjalan dari resepror-reseptor nyeri yang
spesifik melalui jalur neuroanatomik tertentu kepusat nyeri diotak
(Andarmoyo, 2013).
Teori spesivitas ini tidak menunjukkan karakteristik
multidimensi dari nyeri, teori ini hanya melihat nyeri secara sederhana
yakni paparan biologis tanpa melihat variasi dari efek psikologis
individu (Prasetyo, 2010).
b. Teori Pola (Pattern theory)
Teori Pola diperkenalkan oleh Goldscheider (1989) dalam
Andromoyo (2013), teori ini menjelaskan bahwa nyeri di sebabkan oleh
berbagai reseptor sensori yang di rangsang oleh pola tertentu,
dimana nyeri ini merupakan akibat dari stimulasi reseprot yang
menghasilkan pola dari implus saraf. Lewis (1983) dalam Andromoyo
(2013) Pada sejumlah causalgia, nyeri pantom dan neuralgia, teori pola
ini bertujuan untuk menimbulkan rangsangan yang kuat yang
mengakibatkan berkembangnya gaung secara terus menerus pada
spinal cord sehingga saraf trasamisi nyeri bersifat hypersensitif yang
mana rangsangan dengan intensitas rendah dapat mengahasilkan
trasmisi nyeri.
c. Teori Pengontrol Nyeri (Theory Gate Control)
Teori gate control dari Melzack dan Wall ( 1965) dalam
Andromoyo (2013) menyatakan bahwa implus nyeri dapat diatur dan
dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf pusat,
dimana implus nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan
implus dihambat saat sebuah pertahanan tertutup.
d. Endogenous Opiat Theory
Teori ini di kembangkan oleh Avron Goldstein, bahwa
terdapat substansi seperti opiet yang terjadi selama alami didalam
tubuh, substansi ini disebut endorphine. Endorphine mempengaruhi
19

trasmisi implus yang diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorphine


kemugkinan bertindak sebagai neurotrasmitter maupun neoromodulator
yang menghambat trasmisi dari pesan nyeri (Andarmoyo, 2013)

4. Klasifikasi Nyeri
a. Kalasifikasi Nyeri Berdasarkan Durasi
1) Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut,
penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki proses yang cepat
dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat), dan
berlangsung untuk waktu yang singkat (Andarmoyo, 2013).
NANDA (2015) durasi nyeri akut kurang lebih 3 bulan. PPNI
(2016) nyeri akut adalah pengalaman sensorik pengalaman sensorik
atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan actual
atau funsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari tiga
bulan.
2) Nyeri kronik
NANDA (2015) pengalaman sensori dan emosional tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau
potensial atau yang digambarkan sebagai kerusakan IASP, awitan
yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat
dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi, durasi nyeri
kronik lebih dari 3 bulan. PPNI (2016) nyeri kronik adalah
pengalaman sensorik pengalaman sensorik atau emosional yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau funsional, dengan
onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat
dan konstan yang berlangsung lebih dari tiga bulan

b. Kalasifikasi Nyeri Berdasarkan Asal


Andromoyo (2013) berdasarkan asal nyeri dapat
diklasifikasikan menjadi :
20

1) Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh
aktivitas atau sensivitas nosiseptor perifer yang merupakan respetor
khusus yang mengantarkan stimulus naxious. Nyeri nosiseptor ini
dapat terjadi karna adanya adanya stimulus yang mengenai kulit,
tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-lain
2) Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik merupakan hasil suatu cedera atau
abnormalitas yang di dapat pada struktur saraf perifermaupun
sentral , nyeri ini lebih sulit diobati.

c. Kalasifikasi Nyeri Berdasarkan Lokasi


Potter dan Perry (2006) dalam Sulistyo, (2013) berdasarkan
lokasi nyeri dapat diklasifikasikan menjadi :
1) Supervisial atau kutaneus
Nyeri supervisial adalah nyeri yang disebabkan stimulus
kulit. Karakteristik dari nyeri berlangsung sebentar dan
berlokalisasi. Nyeri biasanya terasa sebagai sensasi yang tajam.
Contohnya tertusuk jarum suntik dan luka potong kecil atau
laserasi.
2) Viseral Dalam
Nyeri viseral adalah nyeri yang terjadi akibat stimulasi
organ-organ internal. Nyeri ini bersifat difusi dan dapat menyebar
kebeberapa arah. Nyeri ini menimbulkan rasa tidak menyenangkan
dan berkaitan dengan mual dan gejala-gejala otonom. Contohnya
sensasi pukul (crushing) seperti angina pectoris dan sensasi terbakar
seperti pada ulkus lambung.
3) Nyeri Alih (Referred pain)
Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral
karna banyak organ tidak memiliki reseptor nyeri. Karakteristik
nyeri dapat terasa di bagian tubuh yang terpisah dari sumber
nyeri dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik. Contohnya
21

nyeri yang terjadi pada infark miokard, yang menyebabkan nyeri


alih ke rahang, lengan kiri, batu empedu, yang mengalihkan nyeri
ke selangkangan.
4) Radiasi
Nyeri radiasi merupakan sensi nyeri yang meluas dari
tempat awal cedera ke bagian tubuh yang lain. Karakteristik nyeri
terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang
kebagian tubuh. Contoh nyeri punggung bagian bawah akibat
diskusi interavertebral yang ruptur disertai nyeri yang meradiasi
sepanjang tungkai dari iritasi saraf skiatik.

5. Pengukuran Intensitas Nyeri


Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri bersifat sangat
sabjektif dan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan berbeda oleh dua
orang yang berbeda (Andarmoyo, 2013).
Menurut Tamsuri ( 2010) Pengukuran nyeri dengan pendekatan
objektif yang paling mugkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh
terhadap nyeri itu sendiri, namun pengukuran dengan pendekatan objektif
juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri.
Beberapa skala intensitas nyeri :
a. Skala Intensitas Nyeri Deskriptif Sederhana
Gambar 2.1
Skala Intensitas Nyeri Deskriptif Sederhana (VDS)

Sumber : Andromoyo (2013)


Andromoyo (2013) Skala pendeskripsi verbal (Verbal
Descriptor scale, VDS) merupakan alat pengukuran tingkat keparahan
nyeri yang lebih objekti. Pendeskripsian VDS diranking dari
“tidak nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat
22

menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih


intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Alat ini memungkinkan klien
memilih sebuah ketegori untuk mendeskripsikan nyeri.
b. Skala Intensitas Nyeri Numerik
Gambar 2.2
Skala Intensitas Nyeri Numerik

Sumber : Andromoyo (2013)


Skala penilaian numerik Numerical rating scale (NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini,
klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala
paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan
setelah intervensi (andromoyo, 2013)
c. Skala Intensitas Nyeri Visual Analouge Scale
Gambar 2.3
Skala Intensitas Nyeri Visual Analuoge Scale (VAS)

Sumber : Andromoyo (2013)


Skala analog visual atau Visual Analog Scale (VAS) merupakan
suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus
dan memiliki alat pendeskripsian verbal pada setiap ujungnya
(Andarmoyo, 2013).
d. Skala Intensitas Nyeri Dari FLAAC
Skala FLACC merupakan alat pengkajian nyeri yang dapat
digunakan pada pasien yang secra non verbal yang tidak dapat
melaporkan nyerinya (Judha, 2012).
Judha (2012) Intensitas nyeri dibedakan menjadi lima dengan
menggunakan skala numerik yaitu:
1. 0 : Tidak Nyeri
2. 1-2 : Nyeri Ringan
23

3. 3-5 : Nyeri Sedang


4. 6-7 : Nyeri Berat
5. 8-10 : Nyeri Yang Tidak Tertahankan

Tabel 2.2 Skala Intensitas Nyeri dari FLACC


Skor
Kategori 0 1 2
Muka Tidak ada ekspresi Wajah cemberut, Sering dahi
atau senyuman dahi tidak
tertentu, tidak mengkerut, konstan,
mencari perhatian. menyendiri. rahang
Kaki Tidak ada posisi Gelisah, resah menegang,
Menendang
atau rileks. dan menegang dagu
gemetar.
Aktivitas Menggeliat,
Berbaring, posisi menaikkan Menekuk, kaku
normal, mudah punggung dan atau menghentak.
bergerak. maju, menegang.

Menangis Tidak menangis.Merintih atau Menangis keras,


merengek, sedu sedan,
kadang- kadang sering
mengeluh. mengeluh.
Hiburan Rileks. Kadang-kadang Kesulitan untuk
hati menghibur
tentram dengan atau
sentuhan, kenyamanan
Total Skor : 0-10 memeluk, .
Sumber : Judha (2012) berbicara untuk
mengalihkan
perhatian.
6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
Brunner dan Suddarth (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
meliputi :
a. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau,
dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan mudah untuk
mengatasi nyeri tergantung pengalaman dimasa lalu dalam mengatasi
nyeri.
b. Ansietas
24

Cemas meningkatkan persepsi nyeri dan nyeri bisa


menyebabkan seseorang cemas.
c. Budaya
Orang belajar dari budayanya, bagaimana berespon terhadap
nyeri, misalnya suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah
akibat yang harus diterima karena melakukan kesalahan, jadi seseorang
tidak mengeluh jika ada nyeri.
d. Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga harus
mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan
fungsi. pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena
menganggap nyeri adalah hal yang alamiah yang harus dijalani dan
mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri
diperiksakan.
e. Perhatian
Tingkat seseorang memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri
f. Pola koping
Koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping mal adaptif akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.
g. Dukungan keluarga
Individu yang mengalami nyeri akan bergantung pada keluarganya atau
teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
h. Efek plasebo
Efek plasebo terjadi ketika seorang berespon terhadap pengobatan atau
tindakan lain karena suatu harapan dengan pengobatan atau tindakan
lain karena suatu harapan bahwa pengobatan atau tindakan tersebut
akan memberikan efek positif.
25

7. Karakteristik Nyeri Pasca Operasi


Potter dan Perry (2010) hubungan nyeri terhadap ansietas bersifat
kompleks. Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri
juga bisa menimbulkan perasaan ansietas. Pada saat operasi digunakan
anastesi agar klien tidak merasakan nyeri pada saat pembedahan. Namun
setelah klien mulai sadar dan efek anastesi hilang, klien akan merasakan
nyeri. Selanjutnya nyeri akan mempengaruhi sistem limbik yag
mengendalikan reaksi emosi khususnya ansietas. Sistem limbik dapat
memproses reaksi emosi terhadap nyeri yaitu memperbaiki atau
memperburuk nyeri.
Dobson (2004) dalam Chohedri et all (2015) Durasi efek anastesi
terhadap nyeri pasca operasi tergantung beberapa faktor antara lain : jenis
anastesi, obat anastesi yang digunakan dan faktor individual klien. Secara
umum, analgesik pasca bedah dapat berlangsung selama 4 jam atau lebih,
sedangkan anastesi dengan teknik anastesi kaudal akan memberi efek
analgesik selama 8 jam atau lebih
Brunner dan Suddarth (2012) Mekanisme nyeri meliputi hubungan
struktur spesifik dalam saraf mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri
melalui nosiseptif. Sensitifitas dari komponen sistem nosiseptif dapat
dipengaruhi sejumlah faktor dan berbeda pada setiap individu. Tidak semua
orang yang terpajan dengan stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri
yang sama. Sensasi yang sangan nyeri bagi seseorang mungkin tidak terasa
bagi orang lain.
Brunner dan Suddarth (2012) Bentuk nyeri pasca operasi merupakan
nyeri akut disebabkan kerusakan jaringan akibat insisi selama proses
pembedahan. Karakteristik nyeri pasca operasi bedah mayor meliputi :
a. Awitannya mendadak
b. Intensitas cenderung nyeri berat
c. Durasi cenderung singkat, kurang dari 6 bulan
d. Komponen psikologis yang berperan adalah kecemasan
e. Meningkatkan respon autonom
f. Berhubungan dengan kerusakan jaringan
26

8. Manajemen Penatalaksanaan Nyeri


a. Manajemen Farmakologi
Menurut Tamsuri (2010) tindakan farmakologi penatalaksanaan
nyeri meliputi :
1) Nyeri ringan (skala 1-4)
Obat-obat nyeri non opioid yaitu analgetik atau anti nyeri
(asetaminofen), NSAID (non steroid anti inflamatory drugs)/
aspirin, adjuvant atau tambahan (anti depressant, anti konvulsan/
anti kejang, anti muntah).
2) Nyeri sedang (skala 5-7)
Opioid lemah ditambah obat nyeri lainnya, yaitu golongan
narkotik lemah seperti codein, davon
3) Nyeri berat (skala 8-10)
Opioid kuat ditambah obat anti nyeri lainnya. Opioid kuat
antara lain morphin, metadhone, diloudid, numorphan.
b. Manajemen Non Farmakologi
Penatalaksanaan keperawatan nyeri dalam NIC (2016) terapi
relaksasi diantaranya terapi musik, terapi reminisence, hipnosis,
dukungan kelompok. Tamsuri (2010) tindakan nonfarmakologis
penatalaksanaan nyeri, yaitu :
1) Penanganan fisik, meliputi : stimulasi kulit/ massase, stimulasi
listrik/ TENS, akupuntur dan plasebo
2) Intervensi perilaku kognitif, meliputi : relaksasi, umpan balik
biologis, hipnotis, distraksi, guided imagery (imajinasi terbimbing)
dan aromaterapi.

D. Therapy Humor Audio Visual (THAV)


1. Defenisi
Humor berasal dari bahas inggris yangg berarti kelucuan atau
kejelakaan. Humor didefinisikan oleh The Oxford English Dictionary sebagai
kualitas tindakan, ucapan, atau tulisan yang menggairahkan. Humor
merupakan sebuah aspek afektif, kognitif, atau estetika dari seseorang,
27

stimulus, atau peristiwa yang membangkitkan, seperti hiburan, sukacita,


kegembiraan atau sebagai tertawa, tersenyum (Wasylowich, 2011)
American Association for Humor Terapy (AATH) Meyer (2012)
menyatakan bahwa terapi humor adalah intervensi terapeutik menggunakan
stimulus-stimulus yang merangsang ekspresi senang. Intervensi ini dapat
meningkatkan kesehatan atau digunakan sebagai pengobatan komplementer
penyakit untuk memfasilitasi penyembuhan atau mengatasi, baik fisik,
emosional, kognitif, sosial, atau spiritual.
Dari perspektif psikologis, secara teoritis dan secara operasional, humor
didefinisikan dalam beberapa cara melibatkan kognitif, emosi, perilaku,
psychophysiological, dan sosial. Istilah humor dapat digunakan untuk
merujuk ke stimulus (misalnya, sebuah film komedi), suatu proses 22 mental
(misalnya, persepsi atau penciptaan incongruities lucu). Tertawa adalah
ekspresi perilaku yang paling umum dari pengalaman lucu dan tawa juga
biasanya dikaitkan dengan emosi yang menyenangkan (Martin, 2011)
Humor dapat didefinisikan secara luas sebagai pendekatan untuk diri
sendiri dan orang lain yang ditandai dengan pandangan yang fleksibel yang
memungkinkan seseorang untuk menemukan, mengekspresikan atau
menghargai segala sesuatu yang bersifat lucu (Hood, 2009).
Dari beberapa definsi di atas, dapat disimpulkan bahwa humor adalah
segala sesuatu meliputi tindakan, ucapan, tulisan, peristiwa serta stimulus-
stimulus lainnya, yang membangkitkan rasa senang.

2. Fungsi Humor
Danandjaya (2007) artikel yang berjudul Sejarah, Teori dan Fungsi
Humor mengatakan bahwa fungsi humor yang paling menonjol, yaitu sebagai
sarana penyalur perasaan yang menekan diri seseorang. Fungsi humor yang
lain adalah sebagai rekreasi. Dalam hal ini, humor berfungsi untuk
menghilangkan kejenuhan dalam hidup sehari-hari yang bersifat rutin.
Sifatnya hanya sebagai hiburan semata. Selain itu, humor juga berfungsi
untuk menghilangkan stres akibat tekanan jiwa atau batin (Rahmanadji, 2012)
28

Menurut Salim (2007) dalam artikel 23 yang berjudul Sejarah, Teori


dan Fungsi Humor berpendapat bahwa dalam bidang sosial, humor
merupakan stimulus sosial yang menyenangkan dan dapat mengembangkan
hubungan dengan teman. American Association for Humor Terapy (AATH)
dalam meyer (2012) menyatakan bahwa humor dapat dijadikan intervensi
terapeutik menggunakan stimulus-stimulus yang merangsang ekspresi senang.
Intervensi ini dapat meningkatkan kesehatan atau digunakan sebagai
pengobatan komplementer penyakit untuk memfasilitasi penyembuhan atau
mengatasi, baik fisik, emosional, kognitif, sosial, atau spiritual.

3. Tipe-Tipe Humor
Menuut Setiawan (2010) dalam Rahmanadji (2012) dapat dibedakan
menurut kriterium bentuk ekspresi. Sebagai bentuk ekspresi dalam kehidupan
kita, humor dibagi menjadi tiga jenis yakni:
a. Humor personal, yaitu kecenderungan tertawa pada diri kita, misalnya
bila kita melihat sebatang pohon yang bentuknya mirip orang sedang
buang air besar.
b. Humor dalam pergaulan, mislnya senda gurau di antara teman, kelucuan
yang diselipkan dalam pidato atau ceramah di depan umum.
c. Humor dalam kesenian, atau seni humor. Humor dalam kesenian,
diantaranya humor lakuan, misalnya, lawak, tari humor, dan pantomim
lucu, humor grafis, misalnya, kartun, karikatur, foto jenaka, dan patung
lucu, humor literatur, misalnya, cerpen lucu, esei satiris, dan
semacamnya.

4. Teori Humor
Menurut Setiawan (2010) dalam artikel yang berjudul Sejarah, Teori
dan Fungsi Humor, dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Teori keunggulan; seseorang akan tertawa jika ia secara tiba-tiba
memperoleh perasaan unggul atau lebih sempurna dihadapkan pada
pihak lain yang melakukan kesalahan, kekurangan atau mengalami
keadaan yang tidak menguntungkan. Contoh, seseorang dapat tertawa
29

terbahak-bahak pada waktu melihat pelawak terjatuh, terinjak kaki


temannya serta melakukan berbagai kekeliruan dan ketololan.
b. Teori ketidaksesuaian; perasaan lucu timbul karena kita dihadapkan
pada situasi yang sama sekali tak terduga atau tidak pada tempatnya
secara mendadak, sebagai perubahan atas situasi yang sangat
diharapkan. Harapan dikacaukan, kita dibawa pada suatu sikap mental
yang sama sekali berbeda. Sebagai contoh adalah rasa humor yang
timbul karena kita melihat kartun yang menggambarkan seseorang
yang sedang mancing.
c. Teori kelegaan atau kebebasan; inti humor adalah pelepasan atas
kekangan-kekangan yang terdapat pada diri seseorang. Bila dorongan-
dorongan batin alamiah mendapat kekangan, dapat dilepaskan atau
dikendorkan, misalnya lewat lelucon seks, sindiran jenaka atau
umpatan, meledaklah perasaan menjadi tertawa.
Bains (2012) dalam Reifsneyder (2012) Humor dan tertawa riang
dapat mengurangi stres dan mengurangi hormon stres termasuk kortisol
dan katekolamin. Kortisol, misalnya, dapat merusak sel-sel saraf dari
hippocampus, yang merupakan bagian dari otak yang bertanggung jawab
untuk mengubah informasi sementara menjadi informasi yang permanen.
Humor merupakan sesuatu yang lucu dan dapat membuat individu
tertawa dan merasa senang. Humor memberikan perspektif yang berbeda
dari suatu masalah sehingga dapat membuat situasi menjadi ringan (Lubis,
2009). Pemberian stimulasi humor dalam pelaksanaan terapi diperlukan
karena beberapa orang mengalami kesulitan untuk memulai tertawa tanpa
adanya alasan yang jelas. Apabila humor di berikan sebagai satu-satunya
stimulus untuk menghasilkan tawa dalam bentuk terapi akan disebut
sebagai terapi humor, namun jika di kombinasikan dengan hal-hal lain
dalam rangka untuk menciptakan tawa alami (misalnya dengan yoga atau
meditasi), akan disebut sebagai terapi tawa (Dian, 2011).
Pemberian terapi sebaiknya dilakukan sesering mungkin, karena
idealnya terapi humor diberikan setiap hari. Pemberian terapi humor
30

dengan frekuensi lebih banyak akan dapat meningkatkan sense of humor


pada lansia (Fahruliana, 2008).
Terapi humor dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk humor audio
visual dan termasuk dalam kategori cerita ringkas. Humor yang disajikan
secara audiovisual merupakan input sensori yang akan masuk ke dalam
thalamus yang berfungsi mengirimkan input sensori ke serebral korteks.
Serebral korteks berhubungan dengan hipothalamus, amygdala dan
hippocampus. Impuls sensori akan masuk ke dalam amygdala yang berfungsi
untuk membentuk pengalaman emosional. Amygdala bekerja dengan cepat
mengevaluasi informasi dan kemudian dengan cepat menentukan kepentingan
emosionalnya. Terapi humor akan memberikan pengalaman emosional
positif. Terapi humor juga dapat merangsang peneluaran endorphin dan
serotonin, yaitu sejenis morfin alami tubuh dan juga metenonin. Zat-zat
tersebut merupakan zat yang baik untuk otak, karena dapat membuat
seseorang menjadi lebih tenang (Wade dan Tavris, 2012)
31

E. Kerangka Teori
Skema 2.1 kerangka teori

Fase keperawatan Posedur invasive


medical bedah : menyebabkan adanya luka
- Pra bedah
- Intra bedah
- Pasca bedah
Perawatan luka ; ganti
balutan (dressing)

Nyeri
Terapi farmakologi:
NSAID (ketorolac, asam
traneksamat, asam
mefenamat)
Terapi non farmakologi:
- Terapi humor
- Terapi musik
- Terapi dzikir

Distraksi dan tertawa

Fokus nyeri teralihkan, tertawa


membuat perasaan relaksasi,
menigkatnya hormone endorphin dan
enkafalin, menekan hormone
serotonin, bradikinin, prostaglandin
dan histamine realizing factor

Inhibitor neurotransmiter

Penurunan respon nyeri

Sumber : Smeltzer and Bare (2010), Kozzier, et al (2011), Setiawan (2010,


Potter and Perry (2010)

You might also like