You are on page 1of 3

Folklore sebagai lisan di Kota Tegal

Pertama adalah kepercayaan dan takhayul contohnya kepercayaan dengan adanya seekor
Macan (Harimau) bersembunyi di dalam kandang Wedus (Kambing) di wilayah Desa Bungkus.
Dalam kebudayaan masyarakat Jawa, situasi senjakala atau sore hari merupakan keadaan yang
berkaitan dengan rasa khawatir, takut, ketidakpastian, dan kebimbangan. Artinya pada peralihan
hari dari siang menuju malam, orang seringkali tidak dapat menduga apa yang akan dihadapi,
karena dalam situasi seperti itu banyak tersimpan sebuah misteri. Sehingga semua warga akan
masuk kedalam rumah. Bagi warga yang beragama islam, senjakala di hadapi dengan
menunaikan Sholat Maghrib. Sementara bagi warga yang beragama Hindu-Bali menaruh sesaji
sambil berdo’a didalam rumah. Konon, pada saat itu ada seekor Macan (Harimau) bersembunyi
di dalam kandang Wedus (Kambing).

Di wilayah Desa Kedung Bungkus, kareana si Macan menyadari situasi senjakala yang
telah berlangsung. Tak lama masuklah dua Binyak (Pencuri); Wirondanu dan Wirawangsa ke
kandang wedus. Melihat ada dua Binyak masuk, dalam hati Macan timbul perasaan was-was.
“Inilah wujud misteri yang terkandung dalam senjakala itu?”kira-kira begitu pertanyaan macan
dalam lubuk hatinya. Belum reda perasaan was-was, si Macan merasakan ada seutas tali tambang
yang mengolong (Menjerat) lehernya. Beberapa lama kemudian ia diglandang Wirondanu
dengan didiringi Wirawangsa. Si Macan diam saja diglandang ke arah selatan dan belok ketimur.
Dalam Perjalanan, Wiramangsa yang ada dibelakanng bertanya: “Kang, daning weduse loreng-
loreng?(Kak, kok kambing belang-belang warnanya) “Ya ....larang ya larang. Kowen mlakune
sing cepet oh, ....gagiyan, aja nglengled (Iya … mahal nih mahal. Makanya kamu jalannya yang
cepat... cepetan, jangan lelet)”, balas Wirondanu tanpa melirik kebelakang. Melewati hutan jati
demi hutan jati, Wirondanu menuntun wedus yang katanya “loreng-loreng”. Sementara
Wiramangsa terus mengamati, dengan apa yang mereka bawa ... dan semakin diamati, jelaslah
wujud si Macan. Maka berkatalah ia: Kang, daning macan temenanan?( Kak, ternyata ini macan
beneran)”. “His? Apa iya Wangsa? Macan temenanan?(Haaa? yang benar saja Warsa? Macan
beneran?)”.Ujar Wirondanu seraya melirik kebelakang. Menyadari apa yang sedang iya tuntun,
betapa terkejutnya ia. Keringat dinginpun seketika mengucur. Mrekitik (Gemetaran) takut
Wirondanu. Maka tanpa berfikir lagi, Macan yang dianggap wedus loreng-loreng itu, dilepas
begitu saja. Mereka kemudian lari sipat kuping (Tunggang langgang) menyelamatkan diri.
Itulah sebabnya sekarang diwilayah tersebut dikenal masyarakat sebagai pedukuhan
Macan Ucul. Nama itu diambil dari kejadian antara Macan dan dua Binyak yang ucul (lepas) dari
keganasan misteri sendakala (Senjakala). Pedukuhan Macan Ucul terletak di wilayah desa
Kedungjati, Kecamatan Warurjo, Kabupaten Tegal.

Kedua, permainan tradisional contohnya "BURON"


Permainan tradisional "Buron" merupakan permainan asli dari Tegal. Permainan ini
dahulu sering dimainkan oleh anak-anak . Permainan buron dapat dimainkan pada sore hari atau
malam hari jika terang bulan. Tetapi sekarang jarang sekali anak-anak di tegal yang melakukan
permainan "buron", padahal permainan "buron" sangat baik sekali untuk perkembangan fisik dan
spikis karena dalam permainan "buron" anak-anak secara tidak langsung dilatih kecepatan
berlari, kekuatan menarik dan mendorong lawan. Permainan "buron" juga mengandung unsur
kerjasama antar teman dan menumbuhkan sikap sportif.

Bagaimana cara melakukan permainan 'buron" akan dijelaskan di bawah ini:


Permainan "buron" dilakukan oleh dua berkelompok tiap kelompok terdiri dari 5 sampai 7 anak.
Salah satu anak pada tiap kelompok menjadi "ratu" dan anak lainya menjadi pengawal. anak
yang menjadi ratu berdiri di dalam lowok atau lingkaran dengan diameter 50 centimeter.

Anak-anak yang akan bermain buron dibagi menjadi dua kelompok dengan kekuatan
yang seimbang, hal ini dapat dilihat dari tinggi badan atau berat badannya. Kemudian tiap-tiap
kelompok memilih ratunya untuk menempati lowok masing-masing. Pengawal berdiri
disekeliling lowok untuk menjaga ratu dan jarak lowok satu dengan lainya sekitar 5 meter atau
lebih tergantung dari kesepakatan dan luas halaman yang digunakan untuk permainan.
Permainan dimulai dengan nyanyian singkat oleh kedua ratu bersama-sama, nyanyiannya adalah
sebagai berikut : "buron-buron pada mabur kaya laron, pada metu nggawa ratu... buroooon"
Setelah nyanyian selesai para pengawal serta merta lari menuju ke tempat lawan dengan maksud
menarik pengawal lawan agar dapat disentuh oleh ratu dari kelompoknya, seningga terjadi tarik
menarik, dorong mendorong antara pengawal dari masing-masing kelompok. Jika pengawal
lawan dapat ditarik ke lowok dan disentuh oleh ratu maka pengawal tersebut dinyatakan mati dan
berhenti dari permainan, permainan ini dilakukan berulang-ulang hingga semua pengawal lawan
mati.
Pemain Ratu boleh keluar dari lowok hanya untuk menarik sesama ratu, dengan catatan
jika lowok yang ditinggalkan ditempati oleh pengawal lawan dan pengawal lawan mengatakan
"Sen" maka permainan ini dinyatkan selesai dan dimenangkan oleh pemain yang masuk lowok
tersebut. Atau jika ratu dapat menarik ratu lawan ke dalam lowok sendiri tetapi lowok tidak
dimsuki oleh pengawal lawan.

Folklore bukan lisan di Kota Tegal

You might also like