Professional Documents
Culture Documents
A. LATAR BELAKANG
1
Priyo Eko, Kepala Dinas Koperasi, Usaha Micro Kecil dan Tenaga Kerja Banjarmasin,
http://www.baritopost.co.id/phk-di-banjarmasin-masih-tinggi/, 3 Januari 2018
perintah dan mengutusnya, karena ia harus tunduk dan patuh pada orang lain yang
memberikan pekerjaan tersebut.2 Hal ini melahirkan hubungan perburuhan.
2
H. Zainal Asikin, Pengertian, Sifat dan Hakikat Hukum Perburuhan dalam Dasar-dasar Hukum
Perburuhan, PT. Raja Grasindo Persada, 1993, hal. 1
3
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan & Diluar
Pengadilan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 41-42.
para hakimnya dipandang sebagai wasit atau pengawas dari aturan-aturan
permainan ini.4
4
Surya Tjandra, Makalah tentang Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia, Quo Vadis?
Beberapa Catatan dari Awal Ruang Sidang, disampaikan pada Current Issues on Indonesian Laws
Conference, School of Law, The University of Washington, Seattle, Amerika Serikat, 28 Februari
2014, hal. 1.
5
Zaeni Asyhadie ,op.cit, hal. 201
6
Majalah Nakertrans Edisi 01-Februari 2013 dalam Agung Hermawan, Masih Adakah Keadilan
Bagi Buruh, LBH Bandung, Fikri Print Production, April 2015, hal. 38.
berlaku lagi. Ini berarti UU No. 2 Tahun 2004 menghapus sistem penyelesaian
perselisihan melalui P4P/D (Panitia Perselisihan Perselisihan Perburuhan
Pusat/Daerah). Dalam hal ini sistem P4P/D dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan mekanisme penyelesaian perselisihan yang cepat,
tepat, adil dan murah.7
7
Della Feby dkk, Praktek Pengadilan Hubungan Industrial: Panduan Bagi Serikat Buruh, TURC,
Jakarta, 2014, hlm.2.
8
MSM Simanihuruk, Tanggungjawab Pemerintah dalam Menegakkan Peraturan dan
Menjalankan Pengawasan atas Putusan Lembaga Penyelesaian dalam Perspektif Pengawasan,
disampaikan pada Focus Group Discussion Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta,
Hotel Cemara, tanggal 23-24 November 2012.
paradigma masyarakat tentang besarnya campur tangan pemerintah
yang seharusnya dikurangi.
PHI pada PN. Kelas I-A Banjarmasin sejak tahun 2012-2017 telah
menerima 105 perkara perselisihan hubungan industrial, 101 perkara PHK, 1
perkara perselisihan hak, 1 perselisihan kepentingan, 2 perkara perlawanan.
9
Pasal 55 UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4356.
10
Website Tempo Interaktif, http://www.tempointeractive.com, terakhir dikunjungi 26 Mei 2013
Pk. 13.15 WIB.
11
Dela Feby dkk, op.cit, hal.3.
Walaupun telah disyaratkan sedemikian rupa untuk mencegah terjadinya
PHK, namun fakta yang terjadi justru sebaliknya. Di PHI pada PN. Kelas I-A
Banjarmasin, dari 4 (empat) jenis sengketa hubungan industrial, sengketa PHK-
lahyang mendominasi perkara yang masuk.
B. Rumusan Masalah
LANDASAN TEORI
a. Hubungan Industrial
12
Lalu Husni, op.cit, hal 23
13
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, hal 23
14
Landasan menimbang huruf b UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.
dengan kebutuhan masyarakat, maka lahirlah Undang-undang No. 2 Tahun 2004
Tentang Penyelesaian Perselesihan Hubungan Industrial.
Apabila pada tahap mediasi atau konsiliasi tidak tercapai kesepakatan, maka
salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan
Industrial.Pengadilan Hubungan Industrial adalah Pengadilan khusus yang berada
pada lingkungan peradilan umum. Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan
berwenang, memeriksa dan memutus:
15
Libertus Jehani, Hak-hak pekerja Bila di PHK, Visi Media, Jakarta, 2013, hal.11
d. di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Pasal 56 UU PPHI).
a. Hakim;
b. Hakim Ad-Hoc;
d. Panitera Pengganti.
a. Hakim Agung;
f. Apabila dengan proses acara biasa, maka dalam waktu paling lama tujuh
hari kerja setelah penetapan majelis hakim, Ketua majelis akan
melakukan sidang pertama.
16
Libertus Jehani, Op.Cit, hal. 25-26
g. Apabila dalam sidang pertama secara nyata-nyata pengusaha terbuki
itidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar upah serta hak-hak
lainnya selama menunggu penyelesaian PHK, hakim Ketua sidang
segera menjatuhkan putusan sela yang memerintahkan pengusaha untuk
membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima
pekerjayang bersangkutan.
Tabel 1.
Gambaran Umum Jumlah Perkara Perselisihan Hubungan Industrial
tahun2012-2017 di PHI pada PN. Kelas I-A Banjarmasin
1 2013 19 - 1 - - 20
2 2014 16 - - - 2 18
3 2015 29 1 - - - 30
4 2016 19 - - - - 19
5 2017 18 - - - - 18
Dari tabel-tabel diatas tampak bahwa perkara PHK sangat dominan dengan
jumlah 101 perkara, 98 perkara PHK dilakukan oleh Pengusaha secara sepihak, 2
kasus PHK yang diminta oleh Pekerja/buruh dengan alasan Pengusaha melanggar
ketentuan Pasal 169 Ayat (1) huruf C UU No. 13 tahun 2003 yang yang pada
intinya menyatakan karena pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu
yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih,
pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga PPHI dan 1 perkara PHK
yang diajukan Pengusaha.
4. Efisiensi;
7. Ketidakpuasan pengusaha;
17
Data PHI pada PN. Kelas I-A Banjarmasin pertanggal 13 Juli 2017
10. Pekerja melakukan kejahatan diperusahaan;
Dari 10 (sepuluh) alasan diatas, jika ditarik secara umum, maka hanya 2
alasan PHK dengan penetapan yang sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yaitu dengan alasan efisiensi dan alasan pekerja/buruh
melanggar disiplin kerja/peraturan perusahaan/perjanjian bersama. Sedangkan
alasan PHK tanpa penetapan ada 2 yaitu pekerja/buruh mangkir dan melakukan
tindak pidana. Alasan-alasan lain yang mengemuka sama sekali bukanlah alasan-
alasan sebagaimana maksud UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pekerja/buruh yang menempuh jalur sampai ke PHI pada PN. Kelas I-A
7. Gaji tidak dibayar oleh Pengusaha diiringi dengan tidak boleh masuk
kerja.
Dari perkara yang masuk di PHI pada PN. Kelas I-A Banjarmasin, lamanya
proses sampai dilaksanakannya putusan bervariasi. Jika terjadi perdamian, perkara
perselisihan hubungan industrial di PHI pada PN Kelas I-A Banjarmasinbisa
selesai dalam waktu sangat singkat, yaitu 6 hari.Sedangkan jika tidak,maka bisa
memakan waktu bertahun-tahun. Sebagai contoh perkara
No.27/G/2015/PHI.PDG, mendaftarkan gugatan sejak tanggal 5 September 2015
dan sidang pertama tanggal 16 September 2015 sampai saat ini masih menunggu
hasil putusan peninjauan kembali yang baru diajukan pengusahapada tanggal 3
Maret 2017. Demikian juga dengan Firsta Cs yang 3 kali mengajukan gugatan,
dengan 2 kali membayar panjar biaya perkara karena nilai gugatannya diatas Rp.
150 juta. Gugatan pertama pada tanggal 22 Februari 2015, gugatan kedua pada
tanggal 29 Agustus 2015, kedua gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima.
Pada gugatan ke-3 yang diajukan pada 23 Desember 2016, Firsta Cs
memenangkan gugatannya. Perkara ini pun saat ini masih dalam pemeriksaan
peninjauan kembali yang dilakukan pengusaha pada tanggal 8 Maret 2017.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada tahap ini para pihak akan hadir dipersidangan 2 kali seminggu.
Untuk pihak-pihak berperkara yang berdomisili di Kota Banjarmasin,
biaya yang dikeluarkan untuk transportasi jauh lebih sedikit dari pada
mereka yang berdomisili di luar Kota Banjarmasin. Disamping adanya
biaya transportasi yang lebih, jarak tempuh yang jauh juga menjadi
sebuah hal yang terasa sangat memberatkan buruh/pekerja.
d. Tahap eksekusi
Berikut ini pendapat para pihak berkaitan dengan efektivitas PHI dalam
menyelesaikan perselisihan hubungan industrial:
Dari segi waktu lama, apalagi ada upaya hukum. Ada biaya yang harus
dikeluarkan, biaya leges, biaya sumpah dan biaya bolak-balik sidang,
tapi demi harga diri semuanya tidak ada masalah.
Dari segi waktu agak lama, soal biaya misalnya harus ada biaya untuk
HRD yang mewakili pengusaha, terlebih jika pengusaha menggunakan
jasa advokat. Sementara jika menggunakan sistem yang lama P4D, bisa
satu-dua kali sidang putus.
Dari segi waktu cukup efektif karena ada jangka waktu 50 hari harus
diputus, dari segi biaya juga karena nilai gugatan dibawah Rp. 150 juta,
ditanggung negara. Secara umum hakimnya cukup fair karena
memberikan kesempatan yang sama terhadap para pihak.
6. Firsta, Pekerja.
Dari segi waktu tidak efektif apalagi kalau ada upaya hukum, ke
independenan hakim adhoc tidak terjaga, karena lebih condong
memihak dari unsur mana hakim tersebut berasal, yang terlihat dari
pertanyaaan-pertanyaan yang dilontarkan, tapi yang menguntungkan
proses di Pengadilan ini lebih transparan ketimbang waktu P4D.
7. Alvian, Pekerja.
Dari segi waktu agak lama dan agak berbelit-belit, kadang pihak datang,
terus tidak datang.
8. Bambang Irawan, Pekerja.
Dari segi waktu agak lama, tidak perlu ada daluarsa untuk mengajukan
gugatan terhadap perkara PHK, karena merugikan pekerja.
10. Amjelvis, Hakim Adhoc PHI pada PN. Kelas I-A Banjarmasin
Dari segi waktu, cukup efektif karena ada jangka waktu misalnya 50
hari di PHI, 30 hari di MA. Jadi waktunya lebih cepat dari P4D/P4P.
Tapi seharusnya MA memprioritaskan kasus yang masuk, setelah PHI
ada, baru dilanjutkan dengan kasus limpahan P4D/P4P. Ada kasus yang
NO, seharusnya ini tidak terjadi karena menurut saya kadang bukanlah
hal yang substansi sehingga seharusnya ada proses dismisal proses.
11. Masri, Hakim Adhoc PHI pada PN. Kelas I-A Banjarmasin
Dari segi waktu cepat dan efektif walaupun kadang kala ada kendala
misalnya soal barang yang akan dieksekusi, buruh /pekerja tidak tahu
sehingga tidak bisa dieksekusi.
12. Syahrial Yakub, Hakim Adhoc PHI pada PN. Kelas I-A Banjarmasin
PHI tidak efektif karena prosesnya lama, biaya yang harus dikeluarkan
juga tinggi. Seharusnya Penyelesaian hubungan indusrial kembali pada
cara yang lama, melalui mekanisme P4D/P4P, dengan catatan hak
vetomenteri dihilangkan. Pada P4D/P4P terdapat semua komponen, dari
pekerja, pengusaha dan pemerintah. Dari segi biaya lebih murah karena
tidak ada biaya untuk hakim dan biaya lain. Waktu pemeriksaan lebih
cepat, paling lama 2 kali sidang. Selain itu, jika kita berbicara soal
sengketa maka yang paling menonjol yang harus dikedepankan adalah
aspek keadilan bagi buruh dan pengusaha.
Ada beberapa hal berkaitan dengan efektivitas PHI pada PN. Kelas I-A
Banjarmasin jika dikaitkan dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya
ringan yaitu:
PENUTUP
a. Kesimpulan
b. Saran
1. Jika pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak dapat lagi dihindarkan, agar
pengusaha dalam mem-PHK pekerja benar-benar menjalankan ketentuan
Pasal 151 ayat 3 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu
dengan meminta penetapan terlebih dahulu dari Lembaga Penyelesaian
Perselisihan perburuhan. Jika telah ada penetapan, dapat dipastikan tidak akan
terlalu banyak perkara yangakan masuk ke PHI, karena sudah dapat
dipastikan pula penetapan tersebut akan mencantumkan hak dan kewajiban
pengusaha maupun pekerja, termasuk uang pesangon.
Libertus Jehani, Hak-hak pekerja Bila di PHK, Visi Media, Jakarta, 2013.
Masih Adakah Keadilan Bagi Buruh, LBH Bandung, Fikri Print Production,April
2015, hal. 38.
Disusun oleh
EMNA AULIA
NIM. 1720215310011
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2017