You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Bank syariah memiliki sebuah tujuan yang sangat baik dibandingkan
dengan bank konvensional, yaitu mengedepankan kemajuan dan
perkembangan perekonomian masyarakat. Namun yang memperihatinkan
adalah, masyarakat kurang atau tidak faham dengan operasional dan produk-
produk yang ada di bank syariah, dan minimumnya sumberdaya manusia
sebagai tenaga kerja perbankan syariah. Hal ini tentu menjadi PR besar bagi
kita semua agar masyarakat bisa percaya pada bank syariah daripada bank
konvensional demi mensejahterakan masyarakat.
Kehadiran perbankan syariah di dunia telah mendapat antusiasme yang
besar dari seluruh masyarakat dunia, hal ini dibuktikan dengan pesatnya
perkembangan perbankan syariah di tiap – tiap negara yang terjadi tidak
hanya di Negara-negara Islam, tetapi juga negara barat mulai
mengaplikasikan perbankan syariah sebagai salah satu sistem perbankan
mereka, seperti negara Inggris dan Australia. Akademisi bank syariah dari
Universitas Melbourne, Professor Abdullah Saeed mengatakan, bank
syariah memiliki pertumbuhan yang potensial di Australia. ''Ada komunitas
muslim di sini, tetapi komunitas tersebut bukan hanya untuk muslim di
Australia,'' kata Abdullah, seperti dilansir dari situs radioaustralia.net.au.
Menurut dia, banyak bank konvensional yang tertarik dan sejumlah bank
syariah juga mulai masuk ke Australia, sehingga tidak hanya membicarakan
mengenai isu Islam. ''Ini hanyalah salah satu dari sekian cara untuk
berkompromi dengan perbankan dan keuangan yang secara kebetulan
berlandaskan Islam,'' ujar Abdullah.
Kehadiran perbankan syariah didunia dinilai mampu menjawab
kesulitan – kesulitan yang terjadi di perbankan konvensional. Kehadiran
perbankan syariah di Indonesia dimulai pada dekade 1990an, berdirinya
perbankan syariah di tengah-tengah perbankan konvensional membawa

1
kemajuan tersendiri bagi dunia perbankan di Indonesia. Keberadaan bank
syariah di Indonesia dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia pada tahun
1992. Sejak saat itu mulailah dibuat peraturanaturan yang terkait dengan
pelaksanaan operasional bank syariah.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah dasar-dasar perbankan syariah?
2. Bagaimanakah perbankan syariah itu sebenarnya?
3. Apasajakah produk produk perbankan syariah?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DASAR PERBANKAN SYARIAH


Pengharaman Riba
Menurut definisi, bank islam tunduk pada hukum islam (syarat).
Pembahasan sebelumnya menjelaskan beberapa elemen yag terlibat:
1. Riba dilarang dalam semua transaksi
2. Bisnis dan investasi dijalankan berdasarkan aktivitas-aktivitas yang
halal.
3. Transaksi harus bebas dari unsure gharar (spekulasi atau ketidakpastian
yang tidak masuk akal)
4. Zakat harus dibayar oleh bank untuk dimanfaatkan masyarakat
5. Semua aktivitas harus sejalan dengan prinsip-prinsip islam, dengan
dewan syariah khusus bertindak sebagai penyelia dan memberikan
nasihat kepada bank mengenai kepatutan suatu transaksi.
Dari semua poin di atas maka poin pertamalah (riba) yang
merupakan sentralnya. Pembiayaan islam, sebagai hukum perniagaan islam
pada umumnya, didominasi olek doktrin tetang riba. Sebelum mengkaji
dasar perbankan islam, kita harus memahami dulu sifat dasar, dan alasan,
dari pengharaman ini.

Sifat Riba
Prinsip umumnya hukum islam, yang berdasarkan pada sejumlah
surah dalam Al Qur’an, menyatakan bahwa perbuatan memperkaya diri
dengan cara tidak benar. Tidak bisa disangka bahwa semua bentuk riba
dilarang mutlak oleh Al Qur’an, yang merupakan sumber pokok hukum
Islam. Demikian pula, dalam beberapa hadis, sebagai sumber paling
otoritatif berikutnya, Nabi Muhammad SAW, mengutuk orang yang
memungut riba, orang yang membayarnya, orang yang menuliskan
perjanjiannya, dan orang yang menyaksikan persetujuannya. Namun
demikian, meskipun perintahnya jelas, sebagai ulama mempersoalkan

3
kondisi yang melatarbelakangi pelarangan dalam Al Qur’an dan bertanya-
tanya apakah keberatan terhadap riba berlaku (atau harus berlaku) dengan
ketegasan yang sama pada saat ini. Fazlur Rahman (1964), khususnya,
menyatakan pandangan tidak setuju mengenai ketidakpedulian terhadap
kajian tentang apa itu riba dilihat secara historis, mengapa Al Qur’an
mentah-mentah melarangnya, dan fungsi bunga bank dalam perekonomian
modern.

Pandangan Kaum Pembaharu


Esensi pendapat Rahman adalah bahwa sunah tidaklah tetap,
melainkan dinamis. Pelanggaran riba dengan jelas bersumber dari Al Qur’an
dan Nabi saw. Namun definisi yang diberikan kepada riba, sebagaimana
diformalisir oleh generasi-generasi awal dan diabadikan dalam hadis yaitu
bahwa riba mereprentasikan suatu jumlah bunga tidak perlu diterapkan.
Sebaliknya yang diperlukan menurut Rahman adalah mengkaji hadis dalam
konteks situasional untuk memahami makna yang sebenarnya dan menggali
nilai moralnya yag sejati. Daripada menerapkan hadis-hadis secara
langsung, sebaiknya hadis-hadis tersebut dikaji untuk mengetahui spirit dari
perintah itu.
Atas dasar ini, maka bisa dikatakan bahwa pelarangan bunga hanya
berlaku pada suku bunga yang sangat tinggi dan tidak pada semua bentuk
bunga. Adanya penyebutan riba berlipat ganda (Q.S Ali Imran: 130) dalam
Al Qur’an bisa menunjukkan bahwa, di masa kebangkitan islam paraktik
peminjaman uang sedang galak galaknya dilakukan dan mengambil
keuntungan yang berlebih-lebihan dari bunga pinjaman yang dibebankan.
Jika si peminjaman tidak dapat mengembalikan modal yang dipinjam pada
tanggal jatuh tempo, maka si pemberi pinjaman akan mengadakan dan
kemudian menggandakan lagu suku bunganya sehingga menyebabkan si
pengutang jatuh kedalam kemelaratan. Praktik semacam itu dianggap
sebagai intimidasi, tidak adil, dan bertentangan dengan kesejahteraan
ekonomi dan social. Oleh karena itu larangan islam terhadap riba masuk
kedalam jaringan reformasi social yang dibangun oleh Nabi saw. Terhadap

4
praktik-praktik pra-islam. Yang pasti, aturan-aturan islam mendorong orang
untuk memberikan kelonggaran terhadap pengutang, dan Al Qur’an tidak
menetapkan hukuman atas utang yang tidak terbayar.
Dengan demikian, meskipun kamu modernis menyampaikan
pandangannya tentang makna riba dan bagaimana harus mendefinisikannya
secara benar, namun pendapat yang dominan masih tidak bergeming. Salah
satu dokumen terpenting mengenai perbankan islam, laporan CII jelas
menyatakan ada kesepakatan yang bulat di antara semua mazhab pemikiran
islam bahwa istilah riba berarti bunga dalam segala jenis dan bentuknya.
• Terkadang ada kesalahpahaman bahwa hanya tingkat suku bunga
yang dilarang dan biaya normal atas pinjaman atau utang tidak
termasuk cakupan pelarangan. Berdasarkan surat ke 3 ayat 130
bahwa sebuah pinjaman melibatkan riba hanya jika pinjaman
tersebut bersifat menggandakan dan menggandakan ulang, dan kata
riba hanya mengacu pada pinjaman dengan tingkat suku bunga
sangat tinggi yang dikenakan oleh kreditor yang memungkinkan
terjadinya eksploitasi. Ada juga yang berpendapat perbankan modern
tidak dapat dikatakan sebagai riba karena tingkat suku bunganya
tidak berlebihan dan tidak bersifat mengeksploitasi.
• Bagaimanapun, argumen tersebut tidak dapat dipertahankan sebagai
ajaran kitab suci Al-Qur’an. Al-Qur’an dengan sangat jelas
menyatakan bahwa dalam sebuah transaksi perdangan yang berujung
pada kontrak (Akad) utang, tambahan biaya yang dikenakan pada
jumlah pokok adalah Riba. Al-Qur’an mengatakan: “Tapi jika kamu
bertobat, kamu berhak atas pokok hartamu”. “tingkat suku bunga”
adalah istilah yang bersifat relatif dan tingkat suku bunga sekecil
apapun nantinya juga akan menggandakan serta menggandakan lagi
jumlah pokok utang dengan sendirinya dilarang, tanpa memandang
sekecil apapun tingkat suku bunga.
• Prinsip tersebut berasal dari AL-Qur’an surat 2:278-279 = bahwa
dalam pinjaman dan utang, kreditur memiliki hak hanya atas ra’sul-
mal (jumlah pokok); dalam kasus pinjaman, berupa sejumlah

5
pinjaman yang diberikan dan pada kasus utang piutang berupa
kewajiban atau sejumlah utang yang dihasilkan dari transaksi kredit.
Jumlah berapapun, entah besar atau kecil, melebihi dan di atas
pokok pinjaman atau utang, adalah riba. Karena pembiayaan bank
konvensional termasuk dalam kategori pinjaman yang dikenai suatu
pembayaran, ia masuk kecakupan riba seperti yang diharamkan oleh
kitab suci Al-Qur’an.

B. BANK SYARIAH
1. Pengertian
Kata bank dari kata banque dalam bahasa prancis, dan dari banco
dalam bahasa italia, yang berarti peti/lemari atau bangku. Kata peti atau
lemari menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda
berharga, seperti peti emas, peti berlian, peti uang dan sebagainya. Dalam al
Qur’an, istilah bank tidak disebutkan secara eksplisit. Tetapi jika yang
dimaksud adalah sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur,
manajemen, fungsi, hak dan kewajiban maka semua itu disebutkan dengan
jelas, seperti zakat, sadaqah, ghanimah (rampasan perang), bai (jual beli),
dayn (utang dagang), maal (harta) dan sebagainya, yang memiliki fungsi
yang dilaksanakan oleh peran tertentu dalam kegiatan ekonomi.
Pada umumnya yang dimaksud bank syariah adalah lembaga
keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam
lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroprasi disesuaikan
dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, usaha bank akan selalu
berkaitan dengan masalah uang yang merupakan barang dagangannya.
Kegiatan dan usaha bank akan selalu berkaitan dengan komoditas
antara lain:
1. Pemindahan uang.
2. Menerima dan membayaran kembali uang dalam rekening koran.
3. Mendiskontokan surat wesel, surat order maupun surat surat berharga
lainnya.

6
4. Membeli dan menjual surat-surat berharga
5. Membeli dan menjual cek wesel, surat wesel, kertas dagang
6. Memberi kredit
7. Member jaminan kredit

2. Sejarah Bank Syariah


2.1 Berdirinya Bank Syariah di Dunia
Gagasan mengenai bank yang menggunakan system bagi hasil telah
muncul sejak lama, ditandai dengan banyaknya pemikir-pemikir muslim
menulis tentang keberatan bank syariah.
Sejarah perkembangan bank syariah modern tercatat di Pakistan dan
Malaysia sekitar tahun 1940, yaitu upaya pengelolaan dana jamaah haji
secara nonkonvensional. Rintisan bank syariah lainya adalah dengan
berdirinya Mit Ghamr Lokal Saving Bank pada tahun 1963 di Mesir oleh Dr
Ahmad el-Najar permodalannya dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi.
Bank pedesaan beroprasi tanpa bunga dan sejalan dengan prinsip-prinsip
syariah ini sangat popular dan pada mulanya tumbuh dengan baik. Empat
tahun kemudian Mit Ghamr dapat membuka Sembilan cabang dengan
nasabah sekitar satu juta orang. Namun pada tahun 1967, karena persoalan
politik, bank ini ditutup. Pada tahun ertengahan 1967 bank ini diambil alih
oleh National Bank of Egyp dan Central Bank of Egypt, sehingga beroprasi
atas dasar bunga. Pada tahun 1972, system bank tanpa riba diperkenalkan
lagi dengan berdirinya Nasser Social Bank di Mesir, berdirinya bank ini
lebih bersifat social dari pada komersial.
Untuk lebih mempermudah berkembangnya bank syariah di negara-
negara muslim perlu ada usaha bersama di antara negara muslim. Maka
pada bulan desember 1970, disaat sodang menteri luar negeri negara-negara
organisasi konferensi insal (OKI) di Karachi, Pakistan. Mesir mengajukan
sbuah proporsal untuk mendirikan bank syariah. Proposal yang disebut studi
tentang pendirian bank bank islam internasional untuk perdagangan dan
pembangunan dan proposal pendirian federasi bank islam, dikasi para ahli
dari delepan belas negara islam.

7
Pesatnya perkembangan bank syraiah menimbulkan keterkaitan bank
konvensional untuk menawarkan produk-produk bank syariah. Hal tersebut
tercermin dari tindakan beberapa bank konvensional yang membuka system
tertentu di dalam masing-masing bank dalam menawarkan produk bank
syariah. Dari sisi pengguna jasa perbankan syariah, tercatat beberapa
perusahaan mlitinasional seperti KFC, Xerox, General Motor, IBM, General
Electric, dan Chrysler.

2.2 Berdirinya Bank Syariah di Indonesia


Gagasan untuk mendirikan bank syariah di Indonesia sebenarnya
sudah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an. Ini dibicarakan pada
seminar nasional hubungan indonesia timur tengah pada 1974 dan pada
tahun 1976 dalam seminar internasioanl yang diselenggarakan oleh lembaga
studi ilmu-ilmuu kemasyarakatan (LSIK) dan yayasan bhineka tunggal ika.
Namun ada beberapa alas an yang menghambat terealisasinya ide ini:
1. Operasi bank syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil belum diatur,
dank arena itu tidak sejalan dengan UU Pokok Perbankan yang berlaku,
yakni UU No 14/1967.
2. Konsep bank syariah dari segi politis berkonotasi ideologis merupakan
bagian dri atau berkaitan dengan konsep negara islam, dank arena itu
tidak dikehendaki pemerintah.
3. Masih dipertanyakan, siapa yang bersedia menruh modal dalam ventura
semacam itu, sementara pendirian bank baru dari timur tengah masih
dicegah, antara lain pembatasan bank asing yang ingin membuka
kantornya di Indonesia.
Akhirnya gagasan mengenai bank syariah itu muncul lagi sejak
tahun 1988, di saat pemerintah mengeluarkan paket kebijakan oktober
(Pakto) yang berisi liberalisasi industry perbankan.
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja tim perbankan
MUI tersebut atas, akte pendirian PT. Bank Muamalat Indonesia
ditandatangani pada tanggal 1 November 1991. Pada saat akte pendirian ini
terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 84 miliar.

8
Pendirian Bank Muamalat ini diikuti oleh bank-bank perkreditan
rakyat syariah (BPRS), namun demikian ada dua jenis tersebut belum
sanggup menjangkau masyarakat islam lapisan bawah. Oleh karena itu maka
dibangunlah lembaga-lembaga simpan pinjam disebut Baitul Maal
Wattamwil (BMT). Setelah dia tahun beroprasi, bank Muamalat
mensponsori berdirinya asuransi Islam, Syarikat Tafakul Indonesia dan
menjadi salah satu pemegangg sahamnya. Tiga tahun kemudian diikuti
dengan beroprasinya Reksadana Syariah oleh PT. Danareksa.
Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tergolong cepat
dan salah satu alasannya adalah karena adanya keyakinan yang kuat di
kalangan masyarakat mislim bahwa perbankan konvensional itu
mengandung unsure riba yang dilarang agama silam. Rekomendasi hasil
lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan itu ditujukan kepada
Majelis Ulama Indonesia (MUI) kepada pemerintah dan seluruh umat islam.
Kepada MUI di amanatkan untuk mengambil prakarsa dalam membentuk
komisi perbankan bebas bunga, pembentukan Badan Pelaksana Harian
Pengembangan Sumber Daya, perintisan Baitul Maal nasional, dan
kerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian dalam
rangka menentukan arah kebijakan pengembangan sumber daya umat.
Pada tahun 1998 muncul UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan
UU No 7 tahun 1992 tentang perbankan terdepata beberapa erubahan yang
ememberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan
syariah. Dari UU tersebut kita bisa menangkap bahwa system perbankan
syariah dikembangkan dengan tujuan antara lain sebagai berikut:
1. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak
menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya system perbankan
syariah yang berdampingan dengan system perbankan konvensional,
mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas terutama
dari segmen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh system
perbankan konvensional yang menerapkan system bunga.
2. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan
prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah

9
hubungan inverstor yang harmonis (mutual investor relationship).
Sementara dalam bank konvensional konsep yang diterapkan adalah
hubungan debitur dan kreditur (debitor to creditor relationship).
3. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki
beberapa keunggulan komparatuf berupa peniadaan pembenaan bunga
yang berkesinambungan, membatasi kegiataan spekulasi yang tidak
produktif, pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih
meperhatikan unsure modal.
Pemberlakuan UU No. 10 ahun 1998 tentang perubahan UU No 7
tahun 1992 tentang perbankan yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah
ketentuan pelaksanaan dalam bentuk SK direksi BI/Peraturan Bank
Indonesia, telah memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan
kesempatan yang luas lagi bagi pengembangan perbankan syariah di
Indonesia. Perundang-undangan terebut memberikan kesempatan yang luas
untuk mengembangkan jaringan perbankan syariah antara lain melalui izin
pembukaan kantor cabang syariah (KCS) oleh bank konvensional.
Perkembangan Bank Syariah di Indonesia

1990 1992 Pengenalan 1998 Diijinkan 1999 Kebijkan 2000 2001 Pendirian
Lokakarya MUI Dual Banking ber operasi moneter Keluarnya BPS di BI
System secara dual berdasarkan regional
system prinsip syariah operasional dan
kelembagaan

Peserta sepakat  UU No. 10/1998, Bank  BI membuat dan menetapkan


untuk mendirikan Indonesia mengakui keberadaan peraturan kelembagaan
bank syariah bank syariah dan bank perbankan syariah
konvensional  Pengembangan PUAS dan SWBI
 Bank konvensional
diperkenankan membuat kantor
cabang bank syariah

Bank Muamalat berdiri sebagai  UU No 23/ 1999


hasil pertemuan tahunan MUI  BI bertanggung jawab terhadap pengaturan dan
pada bulan Agustus 1990 pengawasan perbankan termasuk bank syariah
 BI dapat menetapkan kebijakan moneter dengan
menggunakan prinsip syariah
 Dibuka kantor cabang bank syariah pertama kali

Dengan UU No. 10 tahun 1998 maka telah ditetapkan landasan


hukum yang kuat serta menjamin adanya kepastian hukum bagi para pelaku

10
ekonomi serta masyarakat luas untuk kelembagaan dan kegiatan usaha bank
syariah. Ketetapan tersebut sebagai berikut:
1. Pengaturan aspek kelembagaan dan kegiatan usaha dan bank syariah
sebagaimana yang termaktub dalam pasal 1 ayat 3 UU No. 10 tahun
1998. Pasal tersebut menjelaskan bahwa bank umum dapat memilih
untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan system konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah atau melakukan kedua kegiatan tersebut.
Dalam hal bank umum melakukan kegiatan berdasarkan syariah maka
kegiatan tersebut dilakukan dengan membuka satuan kerja dan kantor-
kantor cabang syariah. Sedangkan BPR konvensional atau syariah. Bank
umum konvensional yang akan membuka kantor cabang syariah wajib
melaksanakan:
 Pembentukan Unit Usaha Syariah (UUS)
 Memiliki Dewan Pengawas Syariah yang ditempatkan oleh Dewan
Syariah Nasional (DSN), dan;
 Menyediakan modal kerja yang disisihkan oleh bank dalam suatu
rekening tersendiri atas nama UUS yang dapat digunakan untuk
membayar biaya kantor dan lain-lain berkaitan dengan kegiatan
operasional maupun non operasional KCS.
2. Ketentuan Kliring instrument moneter dan pasar uang antar bank. Di
dalam penjelasan UU No. 23 tahun 1999 tentang BI telah diamanatkan
bahwa untuk mengantisipasi perkembangan berdasarkan prinsip syariah,
maka tugas dan fungsi BI perlu mengakomodasi prinsip-prinsip syariah,
maka tugas dan fungsi BI perlu mengakomodasi prinsip-prinsip syariah.
Hal ini dapat dilihat daam pasal 10 (2) yang menentukan bahwa dalam
pelaksanaan tugas BI di bidang pengendalian moneter dapat dilakukan
berdasarkan prinsip syariah. Selain itu dalam pasal 11 ditentukan bahwa
dalam fungsinya sebagai the leader of last resort BI dapat memberikan
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama
90 hari kepada bank syariah untuk mengatasi kesulitan pendanan jangka
pendek bank bersangkutan. Berkaitan dengan hal tersebut BI telah

11
menyusun ketentuan yang berkaitan dengan operasionalisasi bank
syariah, yaitu ketentuan:
 Ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) bagi bank konvensional
yang membuka KCS
 Ketentuan Kliring
 Ketentuan pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah (PUAS)
 Ketentuan wadia BI
Untuk mendukung kelancaran lalu lintas pembayaran antar bank
serta pelaksanaan PUAS, transaksi pembayaran dilakukan melalui
mekanisme kliring dengan membebankan rekening giro pada BI. Bila dalam
pelaksanaan kliring saldo bank menjadi kurang dari GWM maka bank atau
kantor cabangnya akan dikenakan sanksi kewajiban membayar.
Dalam kegiatan operasional, bank dapat mengalami kelebihan atau
kekurang likuidasi. Bila terjadi kelebihan, maka bank melakukan
penempatan kelebihan likuidasi sehingga bank memperoleh keuntungan.
Sedangkan bila mengalami kekurangan likuidasi maka bank memerlukan
sarana untuk menutupi kekurangan likuidasi dalam rangka kegiatan
pembiayaaan sehingga kegiatan operasional bank dapat berjalan dengan
baik. Bagi bank syariah yang mengalami kekurangan dana dapat
menerbitkan Sertifikat Inverstasi Mudarabah antar bank (IMA) yang
merupakan sarana penanaman dana bagi bank syariah maupun bank
konvensional. Untuk menjaga stabilitas moneter, BI menyerap kelebihan
likuiditas bank-bank syariah melalui penerbitan Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia (SWBI) yang didasarkan atas prinsip titipan (wadiah). Dari sisi
bank syariah piranti tersebut merupakan sarana/penempatan kelebihan
likuiditas sementara sebelum dana yang dikelola dapat disalurkan untuk
pembiayaan.

3. PERANGKAT YANG DIGUNAKAN BANK SYARIAH


Perangkat yang digunakan dalam mengelola likuiditas pada saat
bank syariah sebagai “pemain tunggal” pada mulanya digunakan SBPU
mudarabah dan Bai’ al Day. Karena berkembangnya bank syariah maka

12
otoritas moneter menyediakan perangkat pengganti dalam mengelola
likuiditas, yaitu: Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS), dan Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
3.1. Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) Mudarabah
SBPU Mudarabah digunakan untuk membantu bank syariah untuk
mengatasi kesenjangan likuidasi yang bersifat sementara akibat mismatch
dalam pendanaan, ataupun mengatasi kemungkinan terjadinya kekalahan
kliring dan sebagai sumber pendanaan untuk kegiatan pembiayaan bank
syariah. Melalui penjualan SBPU milik nasabah bank syariah kepada BI
berdasarkan prinsip bagi hasil. Ketentuan-ketentuan SBPU adalah sebagai
berikut:
1. Pembelian SBPU nasabah bank syariah adalah sebesar nilai nominal
tanpa diskonto dengan jangka waktu maksimal 180 hari.
2. Bank syariah dapat membeli kembali SBPU tersebut pada tanggal
jatuh tempo sebesar nilai nominalnya.
3. Atas penggunaan fasilitas SBPU ini bank syariah akan memberikan
imbaan dalam bentu bagi hasil yang berlaku pada bank syariah yang
tercermin dari pendapatan operasional bank syariah, dan dihitung
secara berkala setiap 90 hari.
3.2 Bai’ al dayn
Bai al dayn atau jual beli hutang merujuk pada pembiayaan utang.Di
dalam prinsip ini dibuatkan berdasarkan jual beli dokumen perdagangan dan
pembiayaan digunakan bagi tujuan pengeluaran, perdagangan dan
penghikmatan. Ketentuan ketentuan al dayn sebagai berikut:
1. Nasabah yang telah menerima fasilitas jual beli dari bank syariahakan
mengeluarkan surat hutang (promissory note), sementara bank syariah
sendiritidak dapat menerbitkan surat hutang maka promissory note di-
endosdan menjadi underlyng transaction untuk menerima dari bank
konvensional.
2. Adapun kompensasi atas penempatan dana (placing) dan penempatan da
taking masihmengacu pada hitungan yang ditetapkan oleh pihak
counterpart (bank konvensional) dimana bank syariah pada waaktu itu

13
harus mengoptimalkan kelebihan dananya dan masuk sebagai pendatang
baru dengan system yang belum dikenal dengan bank konvensional.
3.3 Pasar uang antar bank syariah(PUAS)

Pasar uang antar bank syariah menggunakan piranti sertifikat


investasi mudarabah antar bank (IMA) yang berjangka waktu maksimum 90
hari diterbitkan oleh kantor pusat bank syariah. Ketentuan IMA :
1. Pemindatanganan sertifikat IMA hanya dapat dilakukan oleh bank
penanam dana pertama, sedangkan bank penanam dana kedua tidak
diperkenankan memindahtangankan sertifikat tersebut. Pada bank lain
sampai terakhirnya jangka waktu.
2. Besarnya imbalan IMA yang dibayarkan pada awal bulan dihitung atas
dasar tingkat realisasi imbalan deposito investasi mudarabah pada bank
penerbit sebelum didistribusikan sesuai jangka waktu penanaman.
3.4 Sertifikat Wadiah bank Indonesia (SWBI)
Agar pelaksanaan pasar terbuka berdasarkan prinsip syariah dapat
berjalan dengan baik, maka otoritas moneter menciptakan suatu piranti
pengendalian uang beredar yang sesuai dengan prinsip syariah dalam bentuk
sertifikat Wadiah bank Indonesia (SWBI ). SWBI dapat dijadikan sarana
penitipan dana jangka pendek bagi bank yang mengalami kelebihan
liquiditas.

4. FUNGSI DAN PERAN BANK SYARIAH


1. Manajer investasi, bank syariah dapat mengelolah investasi dana
nasabah.
2. Investor, bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya
maupun dana nasabahyang dipercayakan kepadanya.
3. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat
melakukan kegiatan-kegiatan jasa layanan perbankan sebagaimana
lazimnya.
4. Pelaksanaan kegiatan social, sebagai ciri yang melekat sebagai entitas
keuangan syariah, bank islam juga memiliki kewajiban untuk
mengeluarkan dan mengelolah zakat serta dana-dana social lainnya.

5. TUJUAN BANK SYARIAH


1. Mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalat secara islam,
khususnya yang berhubungan dengan perbankan agar terhindar dari riba
atau jenis usaha yang mengandung unsur gharar (tipuan).

14
2. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan
meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi
kesenjangan anatara pemilik modal dan pihak yang membutuhkan dana.
3. Untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang
berusaha yang lebih besar.
4. Untuk menanggulangi masalah kemiskinan, yang paada umumnya
merupakan program utama Negara yang sedang berkembang. Upaya
bank syariah untuk menuntaskan seperti pembinaan pengusaha produsen,
pembinaan pedagang perantara, dan lain-lain
5. Untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter.
6. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat islam terhadap bank non
syariah.

6. CIRI-CIRI BANK SYARIAH


1. Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian
diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal, yang besarnya tidak kaku dan
dapat dilakukan dengan kebebasan untuk tawar menawar dalam batas
yang wajar.
2. Penggunaan presentase dalam kewajiban untuk melakukan pembayaran
selalu dihindari.
3. Di dalam kontrak pmbiayaan proyek bank syariah tidak menerapkan
perhitungana berdasarkan keuntungan yang pasti.
4. Pengerahan dana masyarakatdalam bentuk deposito tabungan oleh
penyimpan dianggap sebagi titipan al wadiah
5. Dewan pengawas syariah (DPS) bertugas untuk mengawasi
operasionalisasi bank dari sudut syariahnya.
6. Mempunyai fungsi amanah yaitu menjaga dan bertanggung jawab atas
keamanan dana yang disimpan.

7. STRUKTUR BANK SYARIAH


7.1 Struktur Dewan Syariah
Di bank syariah ada dewan pengawas Syariahyang bertugaas untuk
mengawasi operasionalisasi bank dan produk-produk agar sesuai dengan
ketentuan syariah. DPS biasanya diletakkan diposisi setingkat dewan
komisaris pada setiap bank. Adapun fungsi DPS adalah sebagai berikut:
1. Mengawasi jalannya operasionalisasi bank sehari-hari, agar sesuai
dengan ketentuan syariah.
2. Membuatpernyataan secara berkala bahwa bank yang diawasinya telah
berjalan sesuai dengan ketentuan syariah.

15
3. Meneliti dan membuat rekomendasi produk baru dari bank yang
diawasinya.

Mekanisme Kerja Dewan Pengawas Syariah

Rapat DPS dengan direksi DPS


dan bag/dep terkait

Pengajuan rancangan
jawaban
Implementasi dan sosialisasi produk/jasa/pertanyaan

intruksi
Bag/Dept terkait usulan Direksi

DSN (dewan syariah nasional) adalah badan otonom MUI yang


diketahui secara eks-oficio oleh ketua MUI. Fungsi dewan syariah nasional
adalah sebagai berikut:
1. Mengawasi produk-produk lembaga keuangan syariahagar sesuai dengan
syariah.
2. Meneliti dan memberi fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan
oleh lembaga keuangan syariah.
3. Memberikan rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai
dewan syariah nasional pada suatu lembaga keuangan syariah.
4. Memberi teguran kepada lembaga keuangan syariah jika lembaga yang
bersangkutan menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan.

7.2 Struktur Bank Umum Syariah Dan Cabang Bank Umum Syariah
Dalam struktur bank umum syariah dan BPR syariah wajib memiliki
DPS yang ditempatkan di kantor pusat bank tersebut. Posisi DPS dalam
struktur bank umum syariah di bawah rapat umum pemegang saham atau
posisinya sejajar dengan komisaris bank.
Bagi bank umum konvensional yang membuka kantor cabang
syariah, selain wajib memiliki DPS juga diwajibkan membentuk unit usaha
syariah (UUS). UUS merupakan satuan kerja kantor pusatbank umum yang
berfungsi sebagai kantor induk bagi kantor cabang syariah.

8. PENGEMBANGAN BANK SYARIAH

16
1. Pengembangan jaringan kantor bank syariah diserahkan sepenuhnya
kepada mekanisme pasar yaitu interaksi antara masyarakat yang
membutuhkan jasa perbankan syariah dengan investor atau lembaga
perbankan yang menyediakan jasa perbankan syariah.
2. Pengaturan dan pengembangan perbankan syariah dilaksanakan dengan
tidak menerapkan infant industry argument yaitu memberikan perlakuan
khusus. Perlakuan yang sama (equal treatment) antara bank syariah.
Perbedaan pengaturan dan ketentuan yang diharapkan pada perbankan
syariah dilaksanakan dalam rangka memenuhi prinsip syariah dan/atau
karena perbedaan nature bisnisnya.
3. Pengembangan bank syariah baik dari sisi kelembagaan maupun
pengaturan dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan. Berkaitan
dengan hal ini kita tidak dapat mengharap satu kesempurnaan baik secara
aspek operasional maupun dari aspek syariah dari suatu system
perbankan syariah yang baru berkembang.
4. Pengaturan dan pengembangan perbankann syariah menerapkan prinsip
universalitas sesuai dengan nilai dasar islam yaitu rahmat bagi sekalian
alam. Sejalan dengan hal itu pengembangan perbankan syariah diarahkan
bahwa jasa bank syariah dapat digunkan dan dikembangkan oleh semua
lapisan masyarakat tidak hanya masyarakat muslim. Namun penyediaan
dan pengguna jasa perbankan syariah tersebut harus taat terhadap prinsip-
prinsip syariahdalam pelaksanaan kegiatan dan akad perbankan.
5. Mengingat bahwa perbankan syariah adalah system perbankan yang
mengedepankan moralitas dan etika, maka niali-nilai yang menjadi dasar
dalam pengaturan dan pengembangan adalah siddiq, istiqomah, tabliq,
amanah, fathonah. Selain itu adalah penerapan nilai-nilai kerjasama
(ta’awun), pengelolaan yang professional (ri’ayah) dan tanggung jawab
(masuliyah) dan upaya bersama-sama dan terus menerus untuk
melakukan perbaikan (fastabiqhul khairat).

9. KENDALA PENGEMBANGAN BANK SYARIAH


1. Sumber daya manusia, maraknya bank syariah di Indonesia tidak di
imbangi dengan sumber daya manusia yang memadai. Terutama sumber
daya manusia yang memiliki latar belakang disiplin keilmuan bidang
perbankan syariah.
2. Belum terpenuhinya peraturan pemerintah di bidang perbankan syariah
yang memadai. Walaupun pasca krisis berlangsung pembahasan undang-
undang bank dan lembaga keuangan syariah trendnya meningkatdari BI
dan pemerintah. Namun upaya untuk merealisasi UU yang lebih
komperehensif belum begitu memadai.

17
3. Kurangnya akademisi perbankan syariah. Haal ini diakibatkan
lingkungan akademisi lebih memperkenalkan kajian-kajian perbankan
yang berbasis pada instrumen konvensional.
4. Kurangnya sosialisasi ke masyarakat tentang keberadaan bank syariah.

10. STRATEGI PENGEMBANGAN BANK SYARIAH


1. Peningkatan kualitas SDA di bidang perbankan syariah. Hal ini
diperlukan untuk memicu pengembangan bank syariah.
2. Perlu upaya-upaya yang progresif bukan saja praktisi, tetapi juga dari
pemerintah dan ulama untuk mendorong pemenuhan legalitas instrument
syariah guna memberi ruang yang lebih besar bagi tumbuhnya bank
syariah.
3. Peningkatan kualitaas bank syariah perlu dukungan akademisi,
keterlibatan akademisi akan membangun konstruksi lembaga keuangan
syariah lebih masuk akal dan bisa diterima oleh banyak pihak. Oleh
karena itu hubungan antara akademisi dengan praktisi bank syariah tidak
bisa dipisahkan dalam meningkatkan keterlibatan bank syariah dalam
membentuk system ekonomim masyarakat.
4. Dibutuhkan sosialisasi yang lebih agresif mengenai bank syariah.
Sosialisasi ini bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan seluas-
luasnya bagi bank konvensional untuk membuka kantor cabang syariah,
atau pihak yang mampu secara legalitas atau materi mampu mendirikan
bank uum syariah diseluruh pelosok negeri.

C. PRODUK-PRODUK BANK SYARIAH


Secara garis besar produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi 3
yaitu Produk penyaluran dana, produk penghimpunan dana, dan produk
jasa yang diberikan bank kepada nasabahnya.

Produk Penyaluran Dana

1. Prinsip Jual Beli (Ba’i)

Jual beli dilaksanakan karena adanya pemindahan kepemilikan barang.


Keuntungan bank disebuntukan di depan dan termasuk harga dari harga
yang dijual. Terdapat 3 jenis jual beli dalam pembiayaan modal kerja dan
investasi dalam bank syariah, yaitu:

a. Ba’i Al Murabahah, Jual beli dengan harga asal ditambah keuntugan


yang disepakati antara pihak bank dengan nasabah, dalam hal ini bank
menyebuntukan harga barang kpada nasabah yang kemudian bank
memberikan laba dalam jumlah tertentu sesuai dengan kesepakatan.

18
b. Ba’i Assalam Dalam jual beli ini nasabah sebagai pembeli dan pemesan
memberikan uangnya di tempat akad sesuai dengan harga barang yang
dipesan dan sifat barang telah disebuntukan sebelumnya. Uang yang tadi
diserahkan menjadi tanggungan bank sebagai penerima pesanan dan
pembayaran dilakukan dengan segera.
c. Ba’i Al Istishna Merupakan bagian dari Ba’i Asslam namun ba’i al
ishtishna biasa digunakan dalam bidang manufaktur. Seluruh ketentuan
Ba’i Al Ishtishna mengikuti Ba’i Assalam namun pembayaran dapat
dilakukan beberapa kali pembayaran.

2. Prinsip Sewa (Ijarah)

Ijarah adalah kesepakatan pemindahan hak guna atas barang atau jasa
melalui sewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang yang
disewa. Dalam hal ini bank meyewakan peralatan kpada nasabah dengan
biaya yang telah ditetapkan secara pasti sebelumnya.

3. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)

Dalam prinsip bagi hasil terdapat 2 macam produk, yaitu:

a. Musyarakah adalah salah satu produk bank syariah yang mana terdapat
2 pihak atau lbh yang bekerjasama untuk meningkatkan aset yang
dimiliki bersama dimana seluruh pihak memadukan sumber daya yang
mereka miliki baik yang berwujud maupun yang tdk berwujud. Dalam
hal ini seluruh pihak yang bekerjasama memberikan kontribusi yang
dimiliki baik itu dana, barang, skill, ataupun aset-aset lainnya. Yang
menjadi ketentuan dalam musyarakah adalah pemilik modal berhak
dalam menetukan kebijakan usaha yang dijalankan pelaksana proyek.
b. Mudharabah adalah kerjasama 2 orang atau lbh dimana pemilik modal
memberikan memepercayakan sejumlah modal kpada pengelola dengan
perjanjian pembagian keuntungan. Perbedaan yang mendasar antara
musyarakah dengan mudharabah adalah kontribusi atas manajemen dan
keuangan pada musyarakah diberikan dan dimiliki 2 orang atau lebih,
sedangkan pada mudharabah modal hanya dimiliki satu pihak saja.

Produk Penghimpun Dana

Produk penghimpunan dana pada bank syariah meliputi giro, tabungan, dan
deposito. Prinsip yang diterapkan dalam bank syariah adalah:

1. Prinsip Wadiah

Penerapan prinsip wadiah yang dilakukan adalah wadiah yad dhamanah


yang diterapkan pada rekaning produk giro. Berbeda dengan wadiah
amanah, dimana pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas
keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan

19
tersebut. Sedangkan pada wadiah amanah harta titipan tdk boleh
dimanfaatkan oleh yang dititipi.

2. Prisip Mudharabah

Prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai pemilik


modal sedangkan bank bertindak sebagai pengelola. Dana yang
tersimpan kemudian oleh bank digunakan untuk melakukan pembiayaan,
dalam hal ini apabila bank menggunakannya untuk pembiayaan
mudharabah, maka bank bertanggung jawab atas kerugian yang mungkin
terjadi. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pihak penyimpan,
maka prinsip mudharabah dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:

a. Mudharabah mutlaqah: prinsipnya dapat berupa tabungan dan


deposito, sehingga ada 2 jenis yaitu tabungan mudharabah dan deposito
mudharabah. Tidak ada pemabatasan bagi bank untuk menggunakan dana
yang telah terhimpun.
b. Mudharabah muqayyadah on balance sheet: jenis ini adalah simpanan
khusus dan pemilik dapat menetapkan syarat-syarat khusus yang harus
dipatuhi oleh bank, sebagai contoh disyaratkan untuk bisnis tertentu, atau
untuk akad tertentu.
c. Mudharabah muqayyadah off balance sheet: yaitu penyaluran dana
langsung kpada pelaksana usaha dan bank sebagai perantara pemilik dana
dengan pelaksana usaha. Pelaksana usaha juga dapat mengajukan syarat-
syarat tertentu yang harus dipatuhi bank untuk menentukan jenis usaha
dan pelaksana usahanya.

Produk Jasa Perbankan

Selain dapat melakukan kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana, bank


juga dapat memberikan jasa kpada nasabah dengan mendapatan imbalan
berupa sewa atau keuntungan, jasa tersebut antara lain

1. Sharf (Jual Beli Valuta Asing), adalah jual beli mata uang yang tdk
sejenis namun harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank
mengambil keuntungan untuk jasa jual beli tersebut.
2. Ijarah (Sewa), adalah kegiatan ijarah ini adalah menyewakan simpanan
(safe deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen
(custodian), dalam hal ini bank mendapatkan imbalan sewa dari jasa
tersebut.

20
BAB III
KESIMPULAN

 Dasar perbankan syariah yaitu bermula pada adanya penyebutan riba


berlipat ganda (Q.S Ali Imran: 130) dalam Al Qur’an bisa menunjukkan
bahwa, di masa kebangkitan islam paraktik peminjaman uang sedang
galak galaknya dilakukan dan mengambil keuntungan yang berlebih-
lebihan dari bunga pinjaman yang dibebankan. Jika si peminjaman tidak
dapat mengembalikan modal yang dipinjam pada tanggal jatuh tempo,
maka si pemberi pinjaman akan mengadakan dan kemudian
menggandakan lagu suku bunganya sehingga menyebabkan si pengutang
jatuh kedalam kemelaratan. Praktik semacam itu dianggap sebagai
intimidasi, tidak adil, dan bertentangan dengan kesejahteraan ekonomi
dan social. Oleh karena itu larangan islam terhadap riba masuk kedalam
jaringan reformasi social yang dibangun oleh Nabi saw. Terhadap
praktik-praktik pra-islam. Yang pasti, aturan-aturan islam mendorong
orang untuk memberikan kelonggaran terhadap pengutang, dan Al
Qur’an tidak menetapkan hukuman atas utang yang tidak terbayar.
 Oleh karena itu muncullah gagasan mengenai bank yang menggunakan
system bagi hasil yaitu perbankan syariah yang terbebas dari riba.
 Secara garis besar produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi 3 yaitu
Produk penyaluran dana, produk penghimpunan dana, dan produk jasa
yang diberikan bank kepada nasabahnya.

21
DAFTAR RUJUKAN

Sudarsono, H. 2003. Bank & Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan


Ilustrasi. Yogyakarta: Ekonisia.
Lewis, M.K. & Algaoud, L.M. Perbankan Syariah: Prinsip, Praktik, dan
Prospek. Subrata,W. 2001. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

22

You might also like