You are on page 1of 42

PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN
STEMI merupakan Sindrom koroner akut merupakan suatu kumpulan gejala klinis
iskemia miokard yang terjadi secara tiba-tiba akibat kurangnya aliran darah ke
miokard berupa angina, perubahan segmen ST pada elektrokardiografi (EKG) 12
lead, dan peningkatan kadar biomarker kardiak.
Menurut Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut (PERKI, 2015),
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG),
dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi :
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction).
ST Elevasi Miokardial Infark (STEMI) merupakan suatu kondisi yang
mengakibatkan kematian sel miosit jantung karena iskhemia yang
berkepanjangan akibat oklusi koroner akut (Black & Hawk, 2005). STEMI
terjadi akibat stenosis total pembuluh darah koroner sehingga menyebabkan
nekrosis sel jantung yang bersifat irreversible. Diagnosis STEMI ditegakkan
jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang
persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi
tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung. (PERKI, 2015).
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction).
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua
sadapan yang bersebelahan. Terjadi peningkatan marka jantung (Troponin T
dan I, CK/CKMB). (PERKI, 2015).

1
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris).
Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara
bermakna. (PERKI, 2015).

B. ETIOLOGI
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan
akumulasi lipid.
1. Penyempitan arteri koroner nonsklerolik
2. Penyempitan aterorosklerotik
3. Trombus
4. Plak aterosklerotik
5. Lambatnya aliran darah didaerah plak atau oleh viserasi plak
6. Peningkatan kebutuhan oksigen miokardium
7. Penurunan darah koroner melalui yang menyempit
8. Penyempitan arteri oleh perlambatan jantung selama tidur
9. Spasme otot segmental pada arteri kejang otot.

C. PATOFISIOLOGI
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.
Stenosis arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya
tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.
STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis
mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi local atau sistemik memicu
trombogenesis, sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histology menunjukkan plak
koroner cendeeung mengalami rupture jika mempunyaivibrous cap yang tipis dan

2
intinya kaya lipid (lipid rich core). Infark Miokard yang disebabkan trombus arteri
koroner dapat mengenai endokardium sampai epikardium,disebut infark
transmural, namun bisa juga hanya mengenai daerah subendokardial,disebut infark
subendokardial. Setelah 20 menit terjadinya sumbatan,infark sudah dapat terjadi
pada subendokardium,dan bila berlanjut terus rata-rata dalam 4 jam telah terjadi
infark transmural. Kerusakan miokard ini dari endokardium ke epikardium
menjadi komplit dan ireversibel dalam 3-4 jam. Meskipun nekrosis miokard sudah
komplit,proses remodeling miokard yang mengalami injury terus berlanjut sampai
beberapa minggu atau bulan karena daerah infark meluas dan daerah non infark
mengalami dilatasi.

D. TANDA DAN GEJALA


Tanda dari Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal menjalar
ke lengan kiri, leher, area interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung
intermiten atau persisten (>20 menit); sering disertai diaphoresis, mual/muntah,
nyeri abdominal, sesak napas, keringat dingin, dan sinkop. Nyeri tidak berkurang
dengan istirahat atau pemberian nitrat.Agar tidak terjadi kerancuan nyeri sindrom
kororoner akut dengan nyeri yang lain. Dibawah ini gambaran nyeri yang bukan
karakteristik iskemia miokard (nyeri dada nonkardiak) :
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah

3
E. Karakteristik Nyeri Pasien STEMI
Infark miokardium juga dikenal sebagai serangan jantung, penyumbatan koroner
yang merupakan kondisi mengancam jiwa yang ditandai dengan pemebntukan area
nekrotik local didalam miokardiuam (Black, 2014). Infark miokardium mengacu
pada rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah yang tidak adekuat sehingga
aliran darah coroner berkurang (Smeltzer, 2010). Penyebab penurunan suplai
darah dapat terjadi akibat penyempitan kritis arteri coroner karena arterosklerosis
atau penyumbatan total arteri oleh emboli atau thrombus. Klien dengan infark
miokardium akan merasakan nyeri dada, mirip dengan angina pectoris tetapi lebih
hebat . Nyeri dada yang tiba – tiba dan berlangusung terus menerus, terletak di
bagian bawah sternum dan perut atas. Nyeri akan semakin berat sampai tidak
tertahankan. Rasa nyeri yang tajam dan berat sampai tidak tertahankan (Smeltzer,
2010). Rasa nyeri yang tajam dan berat, bisa menyebar ke bahu dan lengan
biasanay lengan kiri. Tidak seperti angina nyeri ini muncul secara spontan (bukan
setelah bekerja berat atau gangguan emosi) dan menetap selama beberapa jam
sampai beberapa hari dan tidak akan hilang dengan isistrahat maupun pemberian
nitrogliserin (Smeltzer, 2010). Nyeri juga ditemukan di dekat epigastrium,
menyerupai nyeri pada masalah pencernaan. Hasil EKG sering kali menunjukkan
perubahan iskemik. Sedangkan pada klien dengan STEMI hasil EKG
menunjukkan elevasi segmen ST yang persisten. Nyeri ini muncul sebagai akibat
penumpukan asam laktat sebagai hasil sampingan dari penggunaan metabolisme
anaerob pada sel miokardium ketika jantung tidak mendapatkan darah dan oksigen
(Black, 2014).
Infark miokardium dianggap sebagai akhir dari perjalanan penyakit jantung
coroner, karena iskemia jangka panjang yang tidak berkurang akan menyebabkan
kerusakan ireversibel terhadap miokardium (Black, 2014). Terdapat tiga arteri
koroner yang normalnya menyuplai miokardium dengan darah untuk memenuhi
kebutuhan metaboliknya selama melakukan berbagai jenis pekerjaan. Pembuluh
darah koroner sangat efisisen dan menyuplai miokardium selama periode diastol.

4
Ketika jantung membutuhkan lebih banyak suplai darah, pembuluh darah tersebut
akan berdilatasi. Saat pembuluh darah tersebut tertutup oleh plak aterosklerosis
dan trombus, maka pembuluh darah tersebut tidak akan mampu lagi berdilatasi
dengan baik.
Iskemia miokardium terjadi jika suplai darah melalui pembuluh darah koroner atau
kandungan oksigen dari darah tidak mencukupi kebutuhan metabolik jantung.
Iskemia miokardium terjadi ketika suplai atau permintaan jantung terganggu. Sel
miokardium menjadi iskemik dalam 10 detik setelah oklusi arteri koroner. Setelah
beberapa menit dalam iskemia, fungsi pompa jantung berkurang. Sel – sel jantung
dapat bertahan dari iskemia selama 15 menit sebelum akhirnya mati. Penurunan
fungsi pompa mengganggu kebutuhan pemenuhan sel yang iskemik tersebut
terhadap oksigen dan glukosa. Sel tersebut akan menggunakan metabolisme
anaerob, yang meninggalkan asam laktat sebagai produk sisa. Saat asam laktat
terakumulasi, maka munculah nyeri.
Sel miokardium sangat sensitive terhadap perubahan pH dan fungsinya akan
menurun. Asidosis akan menyebabkan miokardium menjadi lebih rentan terhadap
efek dari enzim lisosom dalam sel. Asidosis menyebabkan gangguan sistem
konduksi dan terjadi disritmia. Kontraktilitas juga akan berkurang, sehingga
menurunkan kemampuan jantung sebagai suatu pompa. Saat sel miokardium
mengalami nekrosis, enzim intraseluler akan dilepaskan ke dalam aliran darah,
yang kemudian dapat dideteksi dengan pengujian laboratorium.
Dalam beberapa jam, area nekrotik akan meregang dalam suatu proses yang
disebut ekspansi infark. Ekspansi ini didorong juga oleh aktivasi neurohormonal
yang terjadi pada infark miokard. Peningkatan denyut jantung, dilatasi ventrikel,
dan aktivasi dari system renin-angiotensin akan meningkatkan preload selama
infark miokard untuk menjaga curah jantung. Infark transmural akan sembuh
dengan menyisakan pembentukan jaringan parut di ventrikel kiri, yamg disebut
remodeling. Ekspansi dapat terus berlanjut hingga enam minggu setelah infark
miokard dan disertai oleh penipisan progresif serta perluasan dari area infark dan

5
non infark. Ekspresi gen dari sel-sel jantung yang mengalami perombakan akan
berubah, yang menyebabkan perubahan structural permanen ke jantung. Jaringan
yang mengalami remodelisasi tidak berfungsi dengan normal dan dapat berakibat
pada gagal jantung akut atau kronis dengan disfungsi ventrikel kiri, serta
peningkatan volume serta tekanan ventrikel. Remodeling dapat berlangsung
bertahun-tahun setelah infark miokard. (Black, 2014).

F. Faktor Resiko STEMI


Penyebab IMA paling sering adalah oklusi lengkap atau hampir lengkap dari
arteri coroner, biasanya dipicu oleh ruptur plak arterosklerosis yang rentan dan diikuti
pleh pembentukan trombus. Ruptur plak dapat dipicu oleh faktor-faktor internal
maupun eksternal. (Black, 2014). Factor internal antara lain karakteristik plak, seperti
ukuran dan konsistensi dari inti lipid dan ketebalan lapisan fibrosa , serta kondisi
bagaimana plak tersebut terpapar, seperti status koagulasi dan derajat vasokontriksi
arteri. Plak yang rentan paling sering terjadi pada area dengan stenosis kurang dari 70
% dan ditandai dengan bentuk yang eksentrik dengan batas tidak teratur; inti lipid
yang besar dan tipis ; dan pelapis fibrosa yang tipis (Black, 2014).
Factor eksternal berasal dari aktivitas klien atau kondisi eksternal yang
memengaruhi klien. Aktivitas fisik berat dan stress emosional berat, seperti
kemarahan, serta peningkatan respon system saraf simpatis dapat menyebabkan
rupture plak. Pada waktu yang sama, respon system saraf simpatis akan
meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Kejadian coroner akut terjadi
lebih sering dengan paparan terhadap dingin dan pada waktu – waktu pagi hari
(Black, 2014).
Apapun penyebabnya, ruptur plak aterosklerosis akan menyebabkan (1)
paparan aliran darah terhadap inti plak yang kaya lipid, (2) masuknya darah ke
dalam plak, 2 menyebabkan plak membesar, (3) memicu pembentukan trombus,
dan (4) oklusi parsial atau komplet dari arteri coroner (Black, 2014).

6
Angina tak stabil berhubungan dengan oklusi parsial jangka pendek dari arteri
coroner, sementara IMA berasal dari oklusi lengkap atau signifikan dari arteri
coroner yang berlangsung lebih dari 1 jam. Ketika aliran darah berhenti
mendadak, jaringan miokardium yang disuplai oleh arteri tersebut akan mati.
Spasme arteri coroner juga dapat menyebabkan oklusi akut (Black, 2014).
Factor – factor resiko yang memicu sama dengan factor – factor pemicu
dalam PJK (Black, 2014). Factor risiko ini dibagi kedalam dua kategori, factor
risiko utama yang tidak dapat dimodifikasi dan factor risisko utama yang dapat
dimodifikasi (Black, 2014). Factor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
diantaranya adalah :
1. Keturunan, anak – anak dari orang tua yang memiliki penyakit jantung
memiliki risiko yang lebih tinggi. Peningkatan risiko ini terkait dengan
predisposisi genetic pada hipertensi, peningkatan lemak darah, diabetes, dan
obesitas.
2. Pertambahan usia, usia memengaruhi risiko dan keparahan. Angina dan infark
miokardium dapat terjadi pada seseorang yang berusia 30-an bahkan 20-an.
3. Jenis kelamin, walaupun pria memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami
serangan jantung pada usia yang lebih muda, risiko pada wanita meningkat
signifikan pada masa menopause.
Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah :
1. Merokok, bahan – bahan pada rokok seperti tar, nikotin, dan karbon
monoksida berkontribusi pada kerusakan. Tar mengandung hidrokarbon dan
zat karsinogenik lain. Nikotin meningkatkan pelepasan epinefrin dan
norepinefrin yang selanjutnya akan meningkatkan vasokontriksi perifer,
meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung, konsumsi oksigen yang lebih
tinggi, dan peningkatan risiko disritmia. Selain itu niotin mengaktifkan
trombosit dan menstimulasi proliferasi otot polos pada dinding arteri. Karbon
monoksida mengurangi jumlah darah yag tersedia pada tunika intima dinding
pembuluh darah dan meningkatkan permeabilitas endotel

7
2. Hipertensi, tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung dengan
meningkatkan afterload, memperbesar dan melemahkan otot ventrikel kiri dari
waktu ke waktu. Semakin tekanan darah naik, risiko peristiwa kardiovaskuler
seiru juga semakin meningkat. Tekanan tinggi yang terus menerus
menyebabkan suplai kebutuhan oksigen jantung meningkat (Smeltzer, 2010).
3. Diabetes, hiperglikemia menyebabkan peningkatan agregasi trombosit, yang
dapat menyebabkan pembentukan thrombus (Smeltzer, 2010)

G. KOMPLIKASI
Komplikasi STEMI menurut perhimpunana dokter spesialis kardiovaskuler
indonesia (2015) dalam pedoman tatalaksana sindrom koroner akut adalah:
1. GANGGUAN HEMODINAMIK
a. Gagal Jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi
miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP atau
trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun apabila
terjadi jejas transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada
dinding anterior, dapat terjadi komplikasi akut berupa kegagalan pompa
dengan remodeling patologis disertai tanda dan gejala klinis kegagalan
jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung kronik. Gagal jantung
juga dapat terjadi sebagai konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan atau
sebagai komplikasi mekanis.
b. Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90
mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga
disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis.
Bila berlanjut, hipotensi dapat menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular
necrosis dan berkurangnya urine output.

8
c. Kongesti Paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal,
berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada Roentgen dada
dan perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator.
d. Keadaan Output RENDAH (curah jantung menurun)
Keadaan output rendah meenggabungkan taanda perfusi perifer yang buruk
dengan hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produk urin.
Ekokardiografi dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk,
komplikasi mekanis atau infark ventrikel kanan.
e. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan
penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati
50%. Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark
miokard akut, ia biasanya tidak didiagnosis saat pasien pertama tiba di
rumah sakit. Tanda dan gejala klinis syok kardiogenik yang dapat
ditemukan beragam dan menentukan berat tidaknya syok serta berkaitan
dengan luaran jangka pendek. Pasien biasanya datang dengan hipotensi,
bukti output kardiak yang rendah (takikardia saat istirahat, perubahan
status mental, oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti paru. Kriteria
hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung <2,2, L/menit/ m2
dan peningkatan wedge pressure >18 mmHg. Selain itu, diuresis biasanya
<20 mL/jam. Pasien juga dianggap menderita syok apabila agen inotropik
intravena dan/atau IABP dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan darah
sistolik >90 mmHg. Syok kardiogenik biasanya dikaitkan dengan
kerusakan ventrikel kiri luas, namun juga dapat terjadi pada infark
ventrikel kanan. Baik mortalitas jangka pendek maupun jangka panjang
tampaknya berkaitan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri awal dan
beratnya regurgitasi mitral. Adanya disfungsi ventrikel kanan pada

9
ekokardiografi awal juga merupakan prediktor penting prognosis yang
buruk, terutama dalam kasus disfungsi gabungan ventrikel kiri dan kanan.

2. ARITMIA DAN GANGGUAN KONDUKSI DALAM FASE AKUT


a. Aritmia Supraventrikular
Fibrilasi atrium merupakan komplikasi dari 6-28% infark miokard dan
sering dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan gagal
jantung. Fibrilasi atrium dapat terjadi selama beberapa menit hingga jam
dan seringkali berulang. Seringkali aritmia dapat ditoleransi dengan baik
dan tidak memerlukan pengobatan selain antikoagulasi. Dalam beberapa
kasus laju ventrikel menjadi cepat dan dapat menyebabkan gagal jantung
sehingga perlu ditangani dengan segera.
b. Aritmia Ventrikular
Ventricular premature beats hampir selalu terjadi dalam hari pertama fase
akut dan aritmia kompleks seperti kompleks multiform, short runs atau
fenomena R-on-T umum ditemukan. Mereka dianggap tidak dapat
dijadikan prediktor untuk terjadinya VF dan tidak memerlukan terapi
spesifik.Takikardi ventrikel perlu dibedakan dengan irama idioventrikular
yang terakselerasi. Irama tersebut terjadi akibat reperfusi, di mana laju
ventrikel <120 detak per menit dan biasanya tidak berbahaya.
c. Sinus Bradikardi Dan Blok Jantung
Sinus bradikardi sering terjadi dalam beberapa jam awal STEMI,
terutama pada infark inferior. Dalam beberapa kasus, hal ini disebabkan
oleh karena opioid. Sinus bradikardi seringkali tidak memerlukan
pengobatan. Bila disertai dengan hipotensi berat, sinus bradikardi perlu
diterapi dengan atropin. Bila gagal dengan atropin, dapat dipertimbangkan
penggunaan pacing sementara.
Blok jantung derajat satu tidak memerlukan pengobatan. Untuk derajat
dua tipe I (Mobitz I atau Wenckebach), blokade yang terjadi biasanya

10
dikaitkan dengan infark inferior dan jarang menyebabkan efek
hemodinamik yang buruk. Blok AV terkait infark dinding inferior biasanya
terjadi di atas bundle of HIS, dan menghasilkan bradikardia transien
dengan escape rhythm QRS sempit dengan laju lebih dari 40 detak per
menit, dan memiliki mortalitas yang rendah. Blok ini biasanya berhenti
sendiri tanpa pengobatan. Asistol dapat terjadi setelah blok AV, blok
bifasik atau trifasik atau countershock elektrik. Bila elektroda pacing
terpasang, perlu dicoba dilakukan pacing. Apabila tidak, lakukan kompresi
dada dan napas buatan, serta lakukan pacing transtorakal.

3. KOMPLIKASI KARDIAK
a. Regurgitasi Katup Mitral
Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi
ventrikel kiri, gangguan m. Papilaris, atau pecahnya ujung m. Papilaris atau
chordae tendinae. Keadaan ini biasanya ditandai dengan perburukan
hemodinamis dengan dispnea akut, kongesti paru dan murmur sistolik
baru.
b. Ruptur Jantung
Muncul sebagai nyeri tiba-tiba dan kolaps kardiovaskular dengan disosiasi
elektromekanis. Hemoperikardium dan tamponade jantung kemudian akan
terjadi secara cepat dan bersifat fatal.
c. Ruptur Septum Ventrikel
Ditandai perburukan klinis yang terjadi dengan cepat dengan gagal jantung
akut dan mumur sistolik yang kencang yang terjadi pada fase subakut
d. Infark Ventrikel Kanan
Infark ventrikel kanan dapat terjadi sendiri atau, lebih jarang lagi, terkait
dengan STEMI dinding inferior. Biasanya gejalanya muncul sebagai triad
hipotensi, lapangan paru yang bersih serta peningkatan tekanan vena
jugularis. Elevasi segmen ST ≥1 mV di V1 dan V4R merupakan ciri infark

11
ventrikel kanan dan perlu secara rutin dicari pada pasien dengan STEMI
inferior yang disertai dengan hipotensi.
e. Perikarditis
Perikarditis antara lain nyeri dada berulang, biasanya khas yaitu tajam dan,
bertentangan dengan iskemia rekuren, terkait dengan postur dan
pernapasan. Perikarditis dapat muncul sebagai re-elevasi segmen ST dan
biasanya ringan dan progresif, yang membedakannya dengan re-elevasi
segmen ST yang tiba-tiba seperti pada re-oklusi koroner akibat trombosis
stent, misalnya.
f. Aneurisma Ventrikel Kiri
Pasien dengan infark transmural besar, terutama di dinding anterolateral,
dapat mengalami perluasan infark yang diikuti dengan pembentukan
aneurisma ventrikel kiri. Proses remodeling ini terjadi akibat kombinasi
gangguan sistolik dan diastolik dan, sering kali, regurgitasi mitral.
g. Trombus Ventrikel Kiri
Frekuensi terjadinya trombus ventrikel kiri telah berkurang terutama
karena kemajuan dari terapi reperfusi, penggunaan obat-obatan
antitrombotik dalam STEMI, dan berkurangnya ukuran infark miokardium
akibat reperfusi miokardium yang segera dan efektif. Meskipun beberapa
penelitian menunjukkan bahwa hampir seperempat infark miokard anterior
memiliki trombus ventrikel kiri yang dapat terdeteksi, keadaan ini
dikaitkan dengan prognosis yang buruk karena berhubungan dengan infark
yang luas, terutama bagian anterior dengan keterlibatan apikal, dan risiko
embolisme sistemik.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Penegakan diagnosa serangan jantung berdasarkan gejala, riwayat kesehatan
prbadi dan kelarga, serta hasil test diagnostic.
1. EKG (Electrocardiogram)

12
Pada EKG 12 lead, jaringan iskemik tetapi masih berfungsi akan
menghasilkan perubahan gelombang T, menyebabkan inervasi saat aliran
listrik diarahkan menjauh dari jaringan iskemik, lebih serius lagi, jaringan
iskemik akan mengubah segmen ST menyebabkan depresi ST.
Pada infark, miokard yang mati tidak mengkonduksi listrik dan gagal
untuk repolarisasi secara normal, mengakibatkan elevasi segmen ST. Saat
nekrosis terbentuk, dengan penyembuhan cincin iskemik disekitar area
nekrotik, gelombang Q terbentuk. Area nekrotik adalah jaringan parut yang
tak aktif secara elektrikal, tetapi zona nekrotik akan menggambarkan
perubahan gelombang T saat iskemik terjasi lagi. Pada awal infark miokard,
elevasi ST disertai dengan gelombang T tinggi. Selama berjam-jam atau
berhari-hari berikutnya, gelombang T membalik. Sesuai dengan umur infark
miokard, gelombang Q menetap dan segmen ST kembali normal.

Gambaran spesifik pada rekaman EKG

Daerah infark Perubahan EKG


Anterior Elevasi segmen ST pada lead V3 -V4, perubahan resiprokal
(depresi ST) pada lead II, III, aVF.
Inferior Elevasi segmen T pada lead II, III, aVF, perubahan resiprokal
(depresi ST) V1 – V6, I, aVL.
Lateral Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5 – V6.
Posterior Perubahan resiprokal (depresi ST) pada II, III, aVF, terutama
gelombang R pada V1 – V2.
Ventrikel kanan Perubahan gambaran dinding inferior

2. Laboratorium
Selama serangan, sel-sel otot jantung mati dan pecah sehingga protein-protein
tertentu keluar masuk aliran darah.
a. Kreatinin Pospokinase (CPK) termasuk dalam hal ini CPK-MB terdetekai
setelah 6-8 jam, mencapai puncak setelah 24 jam dan kembali menjadi
normal setelah 24 jam berikutnya.

13
b. LDH (Laktat Dehidrogenisasi) terjadi pada tahap lanjut infark miokard
yaitu setelah 24 jam kemudian mencapai puncak dalam 3-6 hari. Masih
dapat dideteksi sampai dengan 2 minggu. Iso enzim LDH lebih spesifik
dibandingkan CPK-MB akan tetapi penggunaan klinisnya masih kalah
akurat dengan nilai Troponin, terutama Troponin T. Seperti yang kita
ketahui bahwa ternyata isoenzim CPK-MB maupun LDH selain ditemukan
pada otot jantung juga bisa ditemukan pada otot skeletal.
c. Troponin T & I merupakan protein merupakan tanda paling spesifik cedera
otot jantung, terutama Troponin T (TnT)Tn T sudah terdeteksi 3-4 jam pasca
kerusakan miokard dan masih tetap tinggi dalam serum selama 1-3
minggu.Pengukuran serial enzim jantung diukur setiap selama tiga hari
pertama; peningkatan bermakna jika nilainya 2 kali batas tertinggi nilai
normal.
3. Radiologi
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada
jantung dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk
menemukan letak sumbatan pada arteri koroner. Dokter memasukan kateter
melalui arteri pada lengan atau paha menujua jantung. Prosedur ini dinamakan
kateterisasi jantung, yang merupakan bagian dari angiografi koroner Zat
kontras yang terlihat melalui sinar x diinjeksikan melalui ujung kateter pada
aliran darah. Zat kontras itu memingkinkan dokter dapat mempelajari aliran
darah yang melewati pembuluh darah dan jantung Jika ditemukan sumbatan,
tindakan lain yang dinamakan angioplasty, dpat dilakukan untuk memulihkan
aliran darah pada arteri tersebut. Kadang-kadang akan ditempatkan stent (pipa
kecil yang berpori) dalam arteri untuk menjaga arteri tetap terbuka.

Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana


pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi reperfusi.
Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah creatinin

14
kinase (CK) 11 MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I, yang
dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien
STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini juga
akan diikuti peningkatan CKMB.11 Terapi reperfusi diberikan segera
mungkin pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA serta tidak
tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim diatas dua
kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung.11 1)
CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung,
miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB. 2) cTn : ada
dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-10 hari. Pemeriksaan
enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase (CK), Lactic
dehydrogenase (LDH) Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah
leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah
onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-
15.000/ul.11 Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua
pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu
10 menit sejak kedatangan di IGD sebagai landasan dalam menentukan
keputusan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk
STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI,
EKG serian dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan
secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan
elevasi segmen ST. EKG sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI
inferior, untuk mendeteksi kemungkinan infark ventrikel kanan

15
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan STEMI (ST Elevasi Miocard Infark) terdiri dari terapi
farmakologi dan non farmakologi. Terapi farmakologi ada tiga kelas obat-obatan
yang biasa digunakan untuk meningkatkan suplai oksigen: vasodilator,
antikoagulan, dan trombolitik. Analgetik dapat diberikan untuk mengurangi atau
menghilangkan nyeri dada, nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang
menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung. Antikoagulan
(heparin) digunakan untuk membantu mempertahankan integritas jantung.
Heparin memperpanjang waktu pembekuan darah, sehingga dapat menurunkan
kemungkinan pembentukan trombus. Trombolitik adalah untuk melarutkan setiap
trombus yang telah terbentuk di arteri koroner, memperkecil penyumbatan dan
juga luasnya infark. Tiga macam obat trombolitik : streptokinase, aktifator
plasminogen jaringan (t-PA = tissue plasminogen activator), dan anistreplase.
Pemberian oksigen dimulai saat awitan nyeri, oksigen yang dihirup akan
langsung meningkatkan saturasi darah. Analgetik (morfin sulfat), pemberian
analgetik dibatasi hanya untuk pasien yang tidak efektif diobati dengan nitrat dan
antikoagulan, respon kardiovaskuler terhadap morfin dipantau dengan cermat
khususnya tekanan darah yang sewaktuwaktu dapat turun (Smeltzer, 2001;
Sudoyo, 2006).

1. Tatalaksana Farmakologi
Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik
untuk diagnosis dan pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis
pertama adalah saat pasien pertama diperiksa oleh paramedis, dokter atau
pekerja kesehatan lain sebelum tiba di rumah sakit, atau saat pasien tiba di
unit gawat darurat, sehingga seringkali terjadi dalam situasi rawat jalan.
Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat
nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak
membaik dengan pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan

16
penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat
dugaan ini. Pengawasan EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan
dugaan STEMI. Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui
perekaman dan interpretasi EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10 menit
dari saat pasien tiba untuk mendukung penatalaksanaan yang berhasil.
Gambaran EKG yang atipikal pada pasien dengan tanda dan gejala iskemia
miokard yang sedang berlangsung menunjukkan perlunya tindakan segera.
(PERKI,2015)
Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
 Untuk fibrinolisis ≤30 menit
 Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang
dengan awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke
rumah sakit yang mampu melakukan IKP)

17
Terapi trombolitik diberikan pada pasien STEMI dengan onset kurang dari
12 jam.

Obat trombolik yang dapat digunakan:


a. Streptokinase (SK), 1,5 juta unit iv dalam 30-60 menit (kontraindikasi
dengan riwayat pemakaian sebelumnya).

18
b. Alteplase (t-PA), 15 mg bolus iv dilanjutkan 0,5 mg/kg selama 60 menit
drip intravena. Dosis total tidak lebih dari 100 mg.
c. Reteplase (r-PA) 10 unit bolus intravena, 30 menit kemudian 10 unit
bolus intravena.
d. Tenecteplase (TNK-tPA), bolus iv tunggal sesuai dengan berat badan:
- 30 mg bila BB <60 kg
- 35 mg bila BB 60-70 kg
- 40 mg bila BB 70-80 kg
- 45 mg bila BB 80=90 kg
- 50 mg bila BB >90 kg
Indikasi Keberhasilan Terapi Fibrinolitik
a. Berkurangnya rasa nyeri dada
b. Evolusi atau perubahan EKG berupa kembalinya elevasi segmen ST ke
garis isoelektrik atau menurunya elevasi ST >50% pada sadapan yang
paling jelas terlihat setelah 90 menit dimulainya terapi fibrinolitik.
c. Kadar CK yang lebih cepat mencapai puncak timbulnya aritmia reperfusi
bukan indikator yang baik untuk keberhasilan reperfusi.
Tanda Kegagalan Terapi Fibrinolitik
Bila nyeri dada terus berlanjut dan eleasi segmen ST menetap.
Komplikasi gagal jantung atau aritmia banyak trerjadi sehingga harus
dipertimbangkan recue PCI yaitu strategi reperfusi PCI yang dilakukan pada
pasien yang telah mendapat terapi fibrinolitik tapi dicurigai tidak berhasil
yaitu bila ditemukan kondisi-kondisi sebagai berikut;
 Hemodinamik tidak stabil
 Gejala nyeri dada yang tidak membaik
 Gambaran EKG tidak dijumpai penurunan elevasi segmen ST > 50%

19
2. Tatalaksana Umum
a. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama
b. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman engan dosis 0,4mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain
mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen
miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard engan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90% mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan
 Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Mengurangi/menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri
dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi
dan meningkatkan beban jantung
 Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik
pilihan dalam tatalaksana nyeri dadad pada STEMI
 Aspirin
 Penyeka beta
 Terapi Referpusi
3. Tatalaksana Non Farmakologi
a. PTCA dan CABG
Terapi non farmakologi yang biasanya digunakan adalah dengan prosedur
PTCA (angiplasti koroner transluminal perkutan) dan CABG (coronary
artery bypass graft). PTCA merupakan usaha untuk memperbaiki aliran

20
darah arteri koroner dengan memecah plak atau ateroma yang telah
tertimbun dan mengganggu aliran darah ke jantung. Kateter dengan ujung
berbentuk balon dimasukkan ke areteri koroner yang mengalami
gangguan dan diletakkan diantara daerah aterosklerosis. Balon kemudian
dikembangkan dan dikempiskan dengan cepat untuk memecah plak
(Mutaqin, 2009). Teknik terbaru tandur pintas arteri koroner (CABG =
coronary artery bypass graft) telah dilakukan sekitar 25 tahun. Untuk
dilakukan pintasan, arteri koroner harus sudah mengalami sumbatan
paling tidak 70% untuk pertimbangan dilakukan CABG. Jika sumbatan
pada arteri kurang dari 70%, maka aliran darah melalui arteri tersebut
masih cukup banyak, sehingga mencegah aliran darah yang adekuat pada
pintasan. Akibatnya akan terjadi bekuan pada CABG, sehingga hasil
operasi menjadi sia-sia (Mutaqin, 2009)
b. Rehabilitasi dan Edukasi
Rehabilitasi jantung setelah terjadi infark myokard merupakan komponen
penangan profesional dan personal yang penting. Berikut merupakan
rekomendasi untuk mengatur rehabilitasi klien dengan infark myokard
(Black,2014):
 Semua klien dengan gangguan kardiovaskular harus mengadopsi pola
diet yang melindungi jantung
 Saran diet yang intensif, pengecekan kepatuhan dan perawatan
lanjutanjangka panjang harus diberikan jika bisa oleh ahli gizi
 Tidak ada bukti yang cukup yang mendukung pemberian suplemen
nutrisi vitamin antioksidan,mineral atau zat-zat lain untuk pencegahan
penyakit kardiovaskular
 Suplementasi ikan dan minyak ikan dapat mengurangi risiko kematian
jantung mendadak

21
 Untuk klien dengan berat badan yang berlebih dan obesitas dengan
PJK, direkomendasikan kombinasi diet rendah karbohidrat dan
peningkatan aktivitas fisik.
 Tujuan awal dari terapi penurunan berat badan haruslah untuk
mengurangi berat klien sebesar 10%
 Semua klien dengan penyakit kardiovaskuler harus disarankan untuk
berhenti merokok dan harus didukung untuk berhenti merokok sebagai
prioritas tindakan
 Semua klien dengan PJK harus mempertimbangkan menjalani
farmakoterapi standar dengan aspirin, penyekat beta, ACE inhibitor,
dan dan satin kecuali dikontaraindikasikan
 Rehabilitasi jantung komprehensif harus menggunakan pendekatan
penangan kasus

J. TINDAKAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
- Nama:
- Umur:
- Alamat:
- Perkerjaan:
- Tanggal masuk:
- Status:
b. Riwayat kesehatan
- Riwayat masuk. Berapa jam sesak sebelum masuk RS; Onset 12 jam
- Riwayat kesehatan saat ini keluhan pasien,
- Riwayat kesehatan keluarga
- Penyakit jantung

22
- Riwayat kesehatan masa lalu: tanyakan pada pasien apakah pernah
mengalami penyakit yang sama dengan yang dialami saat ini.
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan penunjang: Laboratorium, EKG, ECHO
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan iskemik jaringan miokardium
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen
c. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional
d. Resiko perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan infark miokardium.

23
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnose Tujuan Intervensi & Rasional
1 Nyeri akut berhubungan dengan Nyeri berkurang atau hilang Mandiri :
iskemik jaringan miokardium setelah tindakan selama 3 x 24 1. Kaji tingkat nyeri dada dan abdomen
jam R: menentukan tingkat keparahan penyebab nyeri dada dan
abdomen, nyeri dada timbul karena inefektif darin suplai darah ke
jantung, nyeri abdomen dikarenakan adanya pembesaran dari hati
hal ini disebabkan adanya pembendungan vena portal sehiingga
membuat arus balik dari sistem sirkulasi.
2. Observasi atau pantau adanya cemas/gelisah
R: Ketidakadekuatan dari oksigen ke otak membuat pasien gelisah
3. Catat/pantau TTV
R: Sebagai pantau kestabilan dari hemodinamik dan respon tubuh
secara dini
4. Berikan posisi nyaman dan ajarkan tehnik relaksasi
R: Posisi memberikan rasa nyaman dan tehnik relaksasi dapat
mengurangi rasa nyeri
5. Bantu perawatan diri
R: Mengurangi stressor penyebab nyeri yang timbul, semakin
banyak oksigen yang dibutuhkan semakin membuat pasien
menjadi nyeri, seperti aktifitas sehari-hari ini dapat dibantu
6. Identifikasi/dorong penggunaan perilaku adaptif
R: Mengurangi tingkat stressor pasien sehingga nyeri berkurang

24
Kolaborasi:
1. Berikan obat anti nyeri sesuai indikasi
R: Obat-obatan yang bersifat menekan ssistem saraf yang dapat
menurunkan nyeri.
2 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan intervensi Mandiri:
berhubungan dengan keperawatan diharapkan 1. Kaji respon pasien terhadap aktivitas. Perhatikan adanya dan
ketidakseimbangan suplay pasien menunjukkan toleransi perubahan dalam keluhan kelemahan, keletihan, dan dispnea
oksigen aktivitas, menunjukkan berkenaan dengan aktivitas.
pemahaman tentang R: Miokarditis menyebabkan inflamasi dan kemungkinan kerusakan
pembatasan terapeutik yang sel-sel miokardial, sebagai akibat GJK.
diperlukan 2. Pantau frekuensi dan irama jantung, tekanan darah, dan frekuensi
pernapasan sebelum dan sesudah aktivitas dan selama diperlukan.
R: Membantu derajat dekompensasi jantung and pulmonal
penurunan TD, takikardia, disritmia, takipnea adalah indikasi
intoleransi jantung terhadap aktivitas.
3. Pertahankan tirah baring
R : Membantu penghematan energy dan penggunaan oksigen
4. Bantu klien dalam latihan progresif bertahap sesegera mungkin
untuk turun dari tempat tidur, mencatat respon tanda vital dan
toleransi pasien pada peningkatan aktivitas.
R: Pada saat terjadi inflamasi klien mungkin dapat melakukan
aktivitas yang diinginkan, kecuali kerusakan miokard permanen.

25
5. Evaluasi respon emosional.
R: Ansietas akan terjadi karena proses inflamasi dan nyeri yang di
timbulkan. Dikungan diperlukan
Ansietas akan terjadi karena proses inflamasi dan nyeri yang di
timbulkan. Dikungan diperlukan

Kolaborasi :
1. Berikan oksigen
R: Peningkatan ketersediaan oksigen mengimbangi peningkatan
konsumsi oksigen yang terjadi dengan aktivitas.
3 Kecemasan berhubungan Setelah diberikan intervensi Mandiri :
dengan kritis situasional diharapkan kecemasan pasien 1. Jelaskan tujuan dan prosedur.
dapat diatasi dengan kriteria R: Menurunkan cemas dan takut terhadap diagnosa dan prognosis.
hasil: pasien kooperatif dalam
pengobatan dan pasien tidak Kolaborasi :
gelisah 1. Berikan sedatif, tranquilizer sesuai indikasi jika diperlukan.
R: Mungkin diperlukan untuk membantu pasien rileks sampai secara
fisik mampu untuk membuat strategi koping adekuat, memperbaiki
pola tidur.
4 Resiko perubahan perfusi Setelah diberikan intervensi 1. Evaluasi status mental, perhatikan terjadi hemiparalisis, afasia,
jaringan berhubungan dengan diharapkan perfusi jaringan kejang, muntah, peningkatan TD
infark miokardium adekuat secara individual, R : Indikator yang menunjukkan embolisasi sistemik pada otak
misalnya TTV stabil, nadi 2. Pantau yang menyebabkan nyeri dada, disonea tiba-tiba yang disertai

26
kuat, akral hangat dan input dengan takipnea, nyeri pleuritik, sinanosis, pucat.
output seimbang. R : Emboli arteri, mempengaruhi jantung dan organ vital lainnya
dapat sebagai akibat penyakit katup dan disritmia toleransi.
3. Dorong latihan aktif/bantu dengan rentang gerak sesuai toleransi
R : Meningkatkan sirkulasi perifer dan aliran darah balik vena,
karenanya menurunkan resiko pembentuka thrombus.

27
FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Nama Mahasiswa : Rolis Setyowati Tanggal Praktek : 04/06/2018

NIM : 003. 17. 028 Tempat Praktek : ICU

Nama Pasien : Tn. Sanusi Umur : Laki-laki

I. Pengkajian Primer
A (Airway) : Tidak ada sumbatan, tidak ada penumpukan secret.
B (Breathing) : Pasien sesak, RR 22x/mnt, akral hangat, irama ireguler
dangkal, tidak ada penumpukan ronkhi, pasien bernafas menggunakan otot
bantu pernafasan perut, pasien terpasang oksigen 5lpm.
C (Circulation) : Nadi kuat, teratur, nadi 80x/mnt, pasien tampak gelisah,
pucat, tidak ada sianosis, pasien BAK sedikit.
D (Disability) : E4 V5 M6, kesadaran composmentis.

II. Data Demografi


Nama lengkap : Tn. Sanusi Ridzal
Tanggal masuk RS : 04/06/2018
Tempat/tgl lahir : Tangerang, 16 Maret 1968
Status perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Wiraswasta
Lama bekerja :-
Alamat : Cikoneng Girang
Sumber Informasi : Dari pasien
Keluarga terdekat yang dapat dihubungi :
Nama : Ny. Sri wahyuni
Pendidikan : SMP

28
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat :Cikoneng Girang

III. Status Kesehatan Saat Ini


a. Alasan kunjungan / Keluhan utama : Pasien mengatakan nyeri dada kiri
sejak 8 jam sebelum masuk Rumah Sakit, sesak nafas dan keringat
dingin.
b. Faktor pencetus :Nyeri dada
c. Lamanya keluhan : 8 jam, Mendadak
d. Faktor yang memperberat : Sesak nafas
e. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi : Sudah minum obat ISDN 5mg
f. Diagnosa medik :
1. STEMI Anterior Extensif Tanggal 04 Juni 2018
2. Hernia Scrotalis Tanggal 04 Juni 2018
3. CAD 3VD post primary PCI Tanggal 05 Juni 2018

IV. Riwayat Kesehatan Yang Lalu


1. Penyakit yang pernah dialami
Tidak ada riwayat penyakit sebelumnya, tidak ada Hipertensi, tidak ada
Diabetes. Pasien mempunyai Hernia scrotalis sejak 2 tahun yang lalu,
tapi belum pernah diperiksakan.
2. Alergi : Tidak ada
3. Kebiasaan : Pasien biasa merokok 1 bungkus sehari
4. Obat-obatan yang sering digunakan : Tidak ada obat yang diminum
5. Pola Nutrisi :
a. BB : 57 kg
b. TB : 170 cm
c. Frekwensi makan : Makan 3x
- Jenis makanan : Makan nasi lauk dan sayur pada saat
dirumah
- Makanan yang disukai : Nasi berkuah sayur santan

29
- Makanan yang tidak disukai : Tidak ada
- Nafsu makan dalam 6 bulan terakhir : Tidak ada masalah
- Perubahan berat badan 6 bulan terakhir : Tidak terkaji
6. Pola Eliminasi
a. Buang air besar : Pasien belum BAB selama di RS, sebelum sakit -
BAB tidak ada keluhan.
b. Buang air kecil : Pasien terpasang condom kateter
- Warna : Kuning
- Kesulitan : Tidak ada keluhan
c. Pola tidur dan istirahat
Sebelum sakit : ± 6jam/hari
Saat sakit : Pasien tidak bisa tidur karena nyeri dada
d. Pola aktivitas dan latihan
Untuk saat ini pasien bedrest, tidak banyak aktivitas.

7. Riwayat Keluarga

Genogram Keluarga

30
Keterangan :

: Laki – laki meninggal

: Perempuan meninggal

: Laki - laki

: Perempuan

: Tinggal satu rumah

: Pasien

8. Pengkajian Sekunder
a. Kepala
- Inspeksi / Palpasi :
Inspeksi :Bentuk kepala simetris, keadaan kulit kepala berkringat,
warna rambut hitam, pendek, ikal, tidak ada luka/lesi.
Palpasi : Tidak ada benjolan atau massa.
- Keluhan : Tidak ada keluhan
b. Mata
- Fungsi penglihatan : Penglihatan baik Palpebra : terbuka
- Ukuran pupil : 3 – 4 mm
- Akomodasi : Baik, Tidak ada perubahan pupil dan
akomodasi melalui konstriksi saat melihat objek yang dekat.
- Konjungtiva : Normal, tidak anemis, tidak pucat
- Edema palpebra : Tidak ada edema palpebral
- Keluhan : Tidak ada keluhan pada mata
c. Telinga
- Fungsi pendengaran : Baik
- Fungsi keseimbangan : Baik
- Keluhan : Tidak ada

31
d. Hidung dan sinus
- Inspeksi : Tidak ada sumbatan,
- Pembengkakan : Tidak ada
- Pendarahan : Tidak ada
- Keluhan : Tidak ada sinusiitis
e. Mulut dan tenggorokan
- Inspeksi : Gigi tampak masih utuh, tidak ada gigi tunggal,
warna kuning
- Keadaan gigi : Lengkap
- Keadaan membran mukosa : Lembab
- Kesulitan menelan : Tidak ada
f. Leher
- Inspeksi : Tidak ada bengkak, tidak ada lesi
- Palpasi : Tidak teraba benjolan
g. Thoraks
- Inspeksi : Tidak ada jejas, pergerakan dada simetris.
- Palpasi : Tidak ada benjolan
- Perkusi paru : Tidak ada suara tambahan
- Perkusi jantung : Tidak ada suara pekak
- Auskultasi paru : Normal, tidak ada ronkhi
- Pola ventilator : Tidak menggunakan ventilator
- Deskripsi ventilator : Pasien terpasang oksigen 5lpm
- Auskultasi jantung : S1 S2 Reguler, tidak ada mur-mur, tidak ada
gallop
- Gambaran EKG : Sinus Takikardi Elevasi
- JVP (Jugular Venous Pressure) : Tinggi JVP normal 3cm, tidak ada
tekanan vena jugularis.
h. Sirkulasi
- Frekwensi nadi : 80x/mnt, nadi teraba kuat
- Sa 02 : 98 %
- Tekanan darah : 130/80mmHg

32
- MAP (Mean Atrial Pressure) : 96,7 mmHg (normal )
- CVP (Central Venous Pressure) : Tidak terpasang CVP
- Suhu tubuh : 36,50C
- Suhu ekstremitas : 36, 50C
- Sianosis : Tidak ada
- Turgor kulit : Baik
i. Abdomen
- Inspeksi : Tidak ada kebiruan, tidak ada lesi, kontur tubuh
tampak datar, tidak ada distensi.
- Auskultasi : Peristaltik usus 12x/mnt, tidak ada bruit aorta
abdominalis.
- Palpasi : Tidak ada massa pada abdomen, tidak ada
pembesaran hati, tidak ada pembesaran ginjal, tidak ada nyeri tekan.
- Perkusi : Perkusi hepar kanan 10cm, tidak ada keluhan,
suara tympani.
- Jenis diet : Makan lunak dengan diit jantung protein 60gr
1800 kkal lauk pauk cincang 3x sehari, dan selingan 2x makan snack.
- Nafsu makan : Baik
- Pengeluaran NGT : Tidak terpasang NGT
- Frekwensi BAB : Pasien belum ada BAB selama di RS
- BAK : Tidak ada keluhan, warna kuning.
- Penggunaan kateter: Terpasang kondom kateter
- Keluhan sistem reproduksi : Pasien ada hernia skrotalis sejak 2 tahun
yang lalu, untuk saat ini tidak ada keluhan pada hernianya.
j. Ekstremitas
- Inspeksi : Tidak ada lesi, tidak ada luka, tidak ada fratur
- Masa otot : 5 / 5
- Tonus otot : Terdapat tahanan yang wajar / Rigid
- Kekakuan : Tidak ada keluhan

33
9. Data Laboratorium
Hemoglobin : 14,3 g/dL
Hematokrit : 42 %
Leukosit : 16.300
Trombosit : 271.000
Natrium : 137 mmol/L
Kalium : 4,1 mmol/L
Klorida : 101 mmol/L
Kalsium ion : 1,11 mmol/L
Ureum : 37 mg/dL
Kreatinin : 1 mg/dL
GDS : 171 mg/dL
Troponin T : 165 ng/L
CK MB : 110,1 U/L
HBsAg Rapid : Non Reaktif

10. Hasil Pemeriksaan Diagnostik lain


a. EKG
Tanggal 4 Juni 2018 Jam 12.50 : Normal sinus rhytm
b. Radiologi
Tidak ada

11. Pengobatan
a. Aspilet 1 x 80mg (p.o)
b. Clopidogrel 1 x 75mg (p.o)
c. ISDN 3 x 5mg (p.o)
d. Atorvastatin 1 x 40mg (p.o)
e. Alprazolam 2 x 0,25mg (p.o)

12. Kesimpulan
Pasien masih mengeluh nyeri dada skala nyeri 4, pasien bedrest.

34
ANALISA DATA
No Data Etiologi Problem
1 DS : Pasien mengatakan nyeri Iskemik jaringan Nyeri akut
miokardium
dada kiri, seperti ditusuk
DO :
- Pasien tampak meringis
menahan sakit
- Skala nyeri 4
- Nadi : 80x/mnt
2 DS : Pasien mengatakan Ketidakseimbangan Intoleransi
suplay oksigen
badannya terasa lemas dan tidak aktivitas
dapat beraktifitas, setiap bergerak
sakit
DO :
- Pasien tampak lemas
- Pasien hanya berbaring
ditempat tidur
- Aktifitas pasien dibantu
perawat
3 DS : Pasien mengatakan cemas Krisis situasional Kecemasan
karena penyakitnya dan cemas
karena akan dilakukan tindakan
PCI
DO :
- Pasien tampak cemas
- Pasien tampak sering
bertanya kepada perawat dan
dokter

35
DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemik jaringan miokardium


2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplay oksigen
3. Kecemasan berhubungan dengan kritis situasional

INTERVENSI

NO Diagnosa NOC NIC


Keperawatan dan
Batasan karakteristik
1 Nyeri akut Nyeri berkurang atau hilang 1. Kaji tingkat nyeri dada dan abdomen( PQRST)
berhubungan dengan setelah tindakan selama 3 x 2. Ajarkan tehnik relaksasi
iskemik jaringan 24 jam 3. Observasi tanda cemas dan gelisah
miokardium 4. Observasi TTV pasien
5. Berikan posisi nyaman
2 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan intervensi 1. Kaji respon pasien terhadap aktifitas
berhubungan dengan keperawatan 3 x 24 jam, 2. Batasi aktifitas yang dapat memperberat nyeri
ketidakseimbangan diharapkan pasien : Dapat dan sesak pasien
suplay oksigen menunjukkan toleransi 3. Pertahankan tirah baring pasien
aktivitas, menunjukkan 4. Pantau frekuensi irama jantung, tekanan darah
pemahaman tentang pasien
pembatasan terapeutik yang 5. Bantu aktivitas pasien
diperlukan
3 Kecemasan Setelah diberikan intervensi 1. Kolaborasi dengan dokter untuk menjelaskan
berhubungan dengan diharapkan kecemasan pasien diagnose, pengobatan, rencana tindakan
kritis situasional dapat diatasi dengan kriteria 2. Berikan edukasi cara mengatatasi nyeri ketika
hasil: pasien kooperatif dalam kambuh
pengobatan dan pasien tidak
gelisah

36
CATATAN PERKEMBANGAN

Tanggal, Diagnosa Implementasi Evaluasi


Jam Keperawatan
04/06/2018 I 1. Mengobservasi TTV dan skala nyeri pasien S : Pasien mengatakan masih ada nyeri dada
14.00 O:
TD : 130/80mmHg
S : 36,50C
RR : 22 x/mnt
HT : 80x/mnt
P : Nyeri bertambah ketika dipakai bergerak, nyeri berkurang
ketika pasien tidur
Q : Nyeri seperti di tusuk
R : Nyeri menyebar ke punggung
S : Skala nyeri 4
2. Mengajarkan tehnik relaksasi T : Nyeri sudah dari 1jam yang lalu, kadang berkurang
3. Mengobservasi keadaan umum pasien kadang kambuh lagi
Nyeri pasien berkurang jadi skala 3
4. Memberikan posisi nyaman untuk pasien Pasien tampah gelisah karena nyeri dada masih ada

37
Posisi semi fowler dengan terpasang oksigen 5lpm
A : Nyeri akut
P : Intervensi
1. Observasi TTV dan pantau skala nyeri pasien
2. Kolaborasi dalam pemberian obat jantung yang dapat
mengurangi nyeri
3. Kolaborasi dengan dokter untuk tindakan PCI pukul
15.00
04/06/2018 II 1. Membatasi aktifitas pasien yang dapat S : Pasien mengatakan belum bisa melakukan aktifitas sendiri
14.10 memperberat kerja jantung O : Pasien tampak masih tiduran belum banyak bergerak
2. Mempertahankan tirah baring pasien A : Intoleransi aktivitas
3. Memantau frekuensi irama jantung pasien P : Intervensi
1. Pantau EKG pasien
2. Bantu aktifitas pasien
04/06/2018 III Kolaborasi dengan dokter untuk menjelaskan S : Pasien mengatakan sudah mengerti dan mau dilakukan
14.15 ke pasien dan keluarga tentang diagnosa, tindakan
pengobatan, perencanaan tindakan, hal yang O : Pasien tampak lebih rileks dan gelisah berkurang setelah
dapat memperat nyeri dan memperingan nyeri diberikan penjelasan
A : Kecemasan

38
P : Intervensi
Berikan edukasi keperawatan untuk mengurangi nyeri ketika
timbul nyeri
04/06/2018 I Mengantar pasien ke angiografi untuk
15.30 tindakan PCI
05/06/2018 I 1. Mengobservasi TTV dan pantau skala nyeri S : Pasien mengatakan nyeri sudah berkurang
16.00 pasien O:
TD : 130/70mmHg
2. Memberikan obat ISDN 5mg (Sub lingual) S : 360C
RR : 18 x/mnt
HT : 70x/mnt
P : Nyeri bertambah ketika dipakai bergerak, ketika pasien
tidur nyeri berkurang
Q : Nyeri seperti di tusuk ketika kambuh
R : Nyeri di dada kiri
S : Skala nyeri 2
T : Nyeri sudah berkurang.
A : Nyeri
P : Intervensi

39
1. Observasi skala nyeri pasien
2. Berikan posisi nyaman supaya nyeri tidak kambuh
05/06/2018 II 1. Memantau EKG pasien dan suara jantung S : Pasien mengatakan sudah bisa beraktifitas ringan
16.05 2. Membantu aktifitas pasien O : Pasien tampak makan sendiri tanpa dibantu, EKG pasien
hari ini Normal sinus rhytm with frequent dan consecutice
premature ventricular dan fusion complexes
A : Intoleransi aktifitas
P : Intervensi
Bantu aktifitas yang berat untuk pasien
05/06/2018 I,II Pasien sudah boleh pindah ruangan Emerald S : Pasien mengatakan nyeri sudah berkurang
23.30 O : Skala nyeri 2, pasien tampak lebih rileks dan tenang,
pasien tampak lebih segar
A : Nyeri dan Intolerasi aktifitas
P : Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat jantung

40
DAFTAR PUSTAKA

Ades, P. A. (2001). Cardiac rehabilitation and secondary prevention of coronary


heart disease. The New England journal of medicine.

Black, J. M. & Hawks, J. H. (2009). Medical Surgical Nursing: Clinical Management

for Positive Outcomes. 8th ed. Singapore: Elsevier.

Brunner & Suddarth’s. (2010). Textbook of Medical-Surgical Nursing. 12th ed.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Murr, A. C. (2014). Nursing care plans:


guidelines for individualizing client care across the life span. Edisi 9.
Philadelphia: F. A. Davis Company

Jolliffe, J. A., K. Rees, R. S. Taylor, D. Thompson, N. Oldridge and S. Ebrahim


(2001). Exercise- based rehabilitation for coronary heart disease. Sports Medicine
Journal.

Marchionni, N., F. Fattirolli, S. Fumagalli, N. Oldridge, F. Del Lungo, L. Morosi, C.


Burgisser and G. Masotti. (2003). Improved exercise tolerance and quality of life
with cardiac rehabilitation of older patients after myocardial infarction: results
of a randomized, controlled trial.Circulation.

Martini, F. H., Timmons, M. J, dan Tallitsch, R. B. (2012). Human anatomy. 7th Ed.

USA: Pearson.

41
Martini, F. H., Nath, J. L., Bartholomew, E. F. (2012). Fundamentals of Anatomy and

Physiology. 9th ed. San Fransisco: Perason.

National Heart Foundation of Australia (NHFA).(2006). physical activity


recommendations for people with cardiovascular disease. From
http://www.heartfoundation.org.au. Diakses pada tanggal 5 Juni 2018 pukul
20.03 WIB.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. (2015). Pedoman

tatalaksana sindrom coroner akut. 3rd Ed. Jakarta: Centra Communications.

PERKI. (2015). Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. Jakarta: PP PERKI.

Sherwood, L. (2016). Human physiology: from cells to systems. 9th Ed. Boston:

Cencage Learning.

Silverthorn, D. U. (2013). Human physiology: an integrated approach. 6th Ed. USA:

Pearson.

Smeltzer, S., Bare, B (2013). Keperawatan Medika Bedah Brunner & Suddart. EGC:
Jakarta. Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi I., Simadibrata, M., & Setiati, S. et al.
(2006). Buku ajarilmu penyakit dalam (Ed. 4). Jakarta: FKUI.

Van de Werf. (2008). ESC Guidelines : Management Of Acute Myocardial Infarction


In Patients Presenting With Persistent ST- Segment Elevation. European Heart
Journal.

Williams, M. A. (2001). Exercise testing in cardiac rehabilitation. Exercise


prescription and beyond. Cardiology clinics.

42

You might also like