You are on page 1of 29

STRATEGI MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR

DI DUSUN NIPIS, DESA SAMBINGREJO DAN DUSUN


PRINGAPUS, DESA SAMBUNGREJO, KECAMATAN GRABAG,
KABUPATEN MAGELANG
Laporan yang Ditulis Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

Metodologi Penelitian Administrasi Negara

Dosen Pengampu : Joko Tri Nugroho, S.Sos., M.Si.

SILVIA RIMA PALUPI

NPM: 1510201098

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PNDIDIKAN TINGGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS TIDAR

2015/2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Bencana merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dihindari begitu saja
oleh manusia. Fenomena tersebut dapat terjadi setiap saat, secara tiba-tiba atau
melalui proses yang berlangsung secara perlahan dimanapun dan kapanpun. Bencana
dibagi menjadi tiga yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.
Bencana alam merupakan suatu peristiwa yang berada di luar kontrol manusia dan
datang tanpa diduga kapan, dimana, dan bagaimana bencana tersebut terjadi.

Kabupaten Magelang merupakan salah satu daerah yang sering mengalami


bencana longsor. Beberapa daerah di wilayah ini sering mengalami bencana longsor
mulai dari dimensi kecil sampai dengan dimensi besar. Wilayah ini mempunyai
daerah berbukit–bukit dengan lapisan tanah yang tebal. Kabupaten Magelang
mempunyai sekitar 375 desa rawan longsor yang tersebar di sembilan kecamatan di
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Hujan deras yang mengguyur Kabupaten Magelang dan sekitarnya pada Sabtu
(29/4/2017) siang mengakibatkan bencana banjir bandang dan tanah longsor di dusun
Nipis, Desa Sambingrejo dan Dusun Pringapus, Desa Sambungrejo, Kecamatan
Grabag, Magelang. Bencana tersebut menimbulkan banyak korban jiwa. Hingga
pukul 20.00 WIB, tercatat ada 12 korban meninggal dunia sudah ditemukan oleh Tim
SAR yang dibantu oleh kepolisian, TNI dan relawan melakukan evakuasi di lokasi
kejadian.

Ada pendapat bahwa dampak perubahan iklim global mengakibatkan terjadi


perubahan perwatakan hujan seperti intensitas hujan, tinggi hujan, pola sebaran, baik
tempat maupun waktu, sehingga memicu terjadinya bencana-bencana alam. Proses
alam, seperti pergeseran lempeng dan gempa bumi untuk membentuk keseimbangan
alam baru, terjadi tidak terduga dan sulit untuk diprakirakan, dan memungkinkan
peningkatan kerawanan terhadap bencana. Perubahan dan proses alam tersebut tidak
perlu dirisaukan tetapi harus disikapi secara adaptif, sehingga mampu melakukan
tindakan bijak.

Aktivitas manusia yang kurang memperhatikan lingkungan telah banyak


memicu dan mempercepat terjadinya bencana alam. Sebagai contoh pemotongan
lereng terjal untuk pemenuhan sarana prasarana jalan dan pemukiman dapat memicu
longsor, dan okupasi badan sungai mengakibatan berkurangnya dimensi/ukuran
palung sungai sehingga terjadi banjir karena sungai tak mampu menampung aliran air.
Saat ini masih dimitoskan bahwa timbulnya bencana banjir dan tanah longsor sebagai
akibat penebangan hutan, terutama yang dilakukan secara liar (illegal). Untuk bisa
melakukan tindakan bijak, maka pemahaman tentang teknik mitigasi bencana banjir
dan tanah longsor sangat diperlukan oleh para pihak terkait.

Tindakan yang perlu dilakukan mencakup teknik identifkasi daerah rawan


terkena bencana, teknik pencegahan dan penanganan, serta metode pengembangan
dan sosialisasi peringatan dini. Semua tindakan tidak mungkin dilakukan sepihak dari
pemerintah saja melainkan dari masyarakat sendirilah yang sangat penting.
Kewaspadaan masyarakat penghuni wilayah rawan bencana sangat diperlukan, dan
pengembangan keberdayaan masyarakat dalam mitigasi bencana alam. Pemberdayaan
tidak hanya dalam bentuk himbauan dan perintah tetapi tindakan nyata dan kesadaran
masyarakat akan bahaya yang selalu mengancam setiap saat. Mengingat bencana
tanah longsor di kabupaten terjadi tiap tahun dan menimbulkan dampak kerugian
yang cukup besar. Kondisi dari wilayah Kabupaten Magelang sendiri terdiri dari
kontur pegunungan dengan kelerengan yang cukup tajam disertai dengan curah hujan
yang cukup tinggi dan kondisi tanah yang cukup gembur. Berdasarkan UU No. 24
Tahun 2007 Bab IV Pasal 18 tentang Penanggulangan Bencana, maka dibentuklah
suatu badan pada tingkat kabupaten/kota yang memiliki beberapa tugas, salah satu
tugasnya adalah memberikan pedoman dan pengarahan penanggulangan bencana.
Upaya yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dimulai
dari tahap pra bencana, tanggap darurat, dan yang terakhir tahap pemulihan atau tahap
pasca bencana. Tahap pra bencana sendiri terdiri atas tiga kegiatan, salah satunya
adalah mitigasi bencana. Mitigasi bencana merupakan upaya yang dilakukan untuk
mencegah terjadinya bencana atau jika memungkinkan dengan meniadakan bahaya.

Di dalam dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun memuat


visi misi, tujuan, arah kebijakan, strategi, dan program pembangunan daerah. Mitigasi
bencana tanah longsor yang ada di Kabupaten Magelang berkaitan dengan pencapaian
visi dan misi Kabupaten Magelang. Salah satu poin visi Kabupaten Magelang yaitu
meningkatkan keamanan dan ketentraman masyarakat. Dalam mencapai poin
keamanan dan ketentraman, salah satunya yaitu dengan melalui penyelenggaraan
pemerintah. Masyarakat yang aman dan tentram menggambarkan kondisi dimana
masyarakat Kabupaten Magelang bebas dari gangguan dan damai. Salah satunya yaitu
perasaan aman dan damai dari ancaman bencana alam.

Dalam hal ini pemerintah kabupaten magelang telah menyiapkan undang-


undang nomor 3 tahun 2004 tentang penyelenggaraan dan penanggulangan bencana di
kabupaten magelang. Di dalam melaksanakan mitigasi bencana tanah longsor, Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang belum maksimal
melaksanakan tugas dan fungsinya dalam melaksanakan penanggulangan pasca
bencana. Hal ini dilihat dari jumlah titik kerusakan akibat bencana, banyak yang
belum dapat ditanggulangi. Sedangkan masyarakat menginginkan agar pemerintah
dapat memberikan rasa aman, nyaman, bebas melakukan aktivitas sehari-hari, dapat
menjalankan ibadah keagamaan sesuai dengan keyakinannya masing-masing,
mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah, termasuk didalamnya apabila
terjadi bencana masyarakat mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari
Pemerintah. Pembangunan kembali infrastruktur yang ada pada masyarakat
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, karena infrastruktur
merupakan kebutuhan yang sangat vital dalam kehidupan ekonomi masyarakat.

Permasalahan diatas menunjukkan bahwa Badan Penanggulangan Bencana


Daerah Kabupaten Magelang masih belum memberikan pelayanan dan berperan
secara optimal, baik secara langsung maupun tidak langsung dan dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana, berbagai kalangan menilai kinerja Badan
Penanggulangan Bencana Daerah masih belum maksimal. Selain dukungan fasilitas
sarana dan prasarana, dukungan sumber daya manusia (SDM) diperlukan untuk
mencapai tujuan dan menunjang pelaksanaaan tugas pokok dan fungsinya dalam
menentukan tugas-tugas kebencanaan yang telah ditetapkan. Hal ini dimaksudkan
agar Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Magelang dapat
menunjukkan dan memaksimalkan kinerja dan perannya sebagai penyelenggara
penanggulangan bencana sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang telah ditetapkan
oleh Peraturan Daerah. Hambatan-hambatan tersebut tentu saja menjadi kendala yang
dihadapi BPBD Kabupaten Magelang. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi yang
baik dalam melakukan mitigasi bencana guna mengatasi bencana tanah longsor di
Kabupaten Magelang.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang dapat disusun antara lain:

1. Bagaimanakah pelaksanaan penanggulangan bencana di Kabupaten Magelang


berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Magelang Nomor 3
Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Kabupaten
Magelang?
2. Hambatan apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan penanggulangan
bencana di Kabupaten Magelang dan bagaimana upaya yang dilakukan untuk
mengatasi hambatan tersebut?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian mengenai strategi mitigasi bencana tanah longsor di


Kabupaten Magelang adalah:

1. Menganalisis mitigasi bencana tanah longsor yang dilakukan oleh BPBD


Kabupaten Magelang. 


2. Menganalisis faktor-faktor yang mendorong dan menghambat strategi mitigasi


bencana tanah longsor yang dilakukan oleh BPBD Kabupaten Magelang.
3. Merumuskan strategi mitigasi bencana tanah longsor yang dilakukan oleh
BPBD Kabupaten Magelang. 


1.4. MANFAAT PENELITIAN

a. Bagi Dinas atau Pihak Terkait

1. Informasi yang tersedia cepat dapat digunakan oleh masyarakat khususnya


Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai alat deteksi dini
untuk mengantisipasi dan menanggulangi dampak dari bencana longsor. 

2. Adanya suatu alat analisa informatif yang dapat digunakan dan selalu
diperbarui. 

b. Bagi Peneliti

1. Sebagai salah satu tugas akhir semester mata kuliah methodology penelitian
administrasi Negara
2. Dapat menjadi referensi dan memberikan landasan pijak untuk penelitian
selanjutnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENGERTIAN

Longsor adalah gejala alami yaitu proses perpindahan massa tanah atau
batuan penyusun atau gabungan keduanya dengan arah miring dari kedudukan
semula, dikarenakan adanya pengaruh gravitasi. Secara singkat proses terjadinya
longsor adalah sebagai berikut: air meresap dan menambah beban tanah, air membus
bidang kedap yang berfungsi sebagi bidang gelincir, tanah menjadi licin, kemudian
tanah bagian atas bergerak mengikuti lereng.

Umumnya, kawasan dengan kerawanan tanah longsor memilki curah hujan


tinggi dengan intensitas di atas 2500mm/tahun, kemiringan lereng curam , lebih dari
40%, dan atau daerah rawan gempa. Umumnya terdapat mata air dan alur air di
lembah-lembah subur di dekat sungai. Kawasan yang dapat dikategorikan sebagai
kawasan rawan longsor, antara lain :

1. Lereng-lereng kelokan sungai akibat erosi.



2. Daerah teluk lereng, peralihan antara lereng curam ke lereng landai dengan
adanya pemukiman.

3. Daerah hunian yang dilalui patahan/sesar.

Kawasan rawan bencana longsor ditetapkan dengan identifikasi dan


inventarisasi karakteristik fisik alami yang merupakan faktor-faktor penyebab
terjadinya longsor. Secara umum faktor-faktor penyebab tanah longsor terdiri atas 2
aspek yaitu faktor alam dan faktor manusia. Faktor-faktor penyebab tersebut antara
lain:

1. Hujan 
Penguapan air tanah dalam jumlah besar pada musim kemarau yang
panjang. Tanah kering akan menyusut volumenya sehingga munculrongga
tanah, menyebabkan rekahan tanah. Melalui retakan tanah air hujan akan
masuk dan terakumulasi dibagian dasar lereng (bidang gelincir) sehingga
menimbulkan gerakan lateral. 

2. Membesarnya gaya pendorong akibat lereng terjal. Lereng terjal terjadi akibat
pengikisan oleh air dan angin. Kelerangan yang sering menyebabkan longsor
adalah kemiringan 180, apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsoran
mendatar. 

3. Tanah yang kurang padat (kompak) dan tebal. 
Tanah yang kurang padat
adalah tanah liat atau lempung dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan
kelerengan lebih dari 220. Tanah jenis ini berpotensi menyebabkan terjadinya
longsor, terlebih bila terjadi hujan. Tanah liat juga 
rawan dengan gerakan
tanah karena lembek saat terkena air dan pecah saat suhu terlalu panas.
4. Batuan yang kurang kuat 
Batuan endapan dari gunung berapi dan batuan
sedimen pasir dan campuran kerikil, lempung, dan pasir biasanya kurang kuat.
Batuan tersebut mudah lapuk dan bila terdapat pada lereng terjal rawan
terhadap tanah longsor. 

5. Jenis Tata Guna Lahan 
Tanah longsor banyak terjadi di daerah lahan
persawahan, perladangan dan penggunaan lahan yang menyebabkan adaya
genangan air di lerengterjal. Pada persawahan, akar padi tidak cukup kuat
mengikat butir tanah dan tanah menjadi lembek, sehingga mudah menjadi
longsor. Sedangkan di daerah perladangan, penyebabnya adalah akar tanaman
semusim tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam. 

6. Getaran 
Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa
bumi,getaran lalu lintas kendaraan dan mesin, dan ledakan. Akibatnya adalah
tanah, badan jalan, lantai dan dinding bangunan menjadi retak. 

7. Susut muka air pada danau atau bendungan 
Gaya penahan lereng yang
hilang akibat susutnya air dengan cepat menjadi hilang. 

8. Adanya beban tambahan 
Membesarnya gaya pendorong akibat beban
tambahan, terutama di sekitar pada tikungan jalan pada daerah lembah. 

9. Pengikisan / erosi 
Pengikisanoleh aliran air sungai ke arah sungai. Selain
itu, penggundulan hutan (vegetasi) disekitar tikungan sungai akan
menyebabkan tebing menjadi lebih terjal.
10. Adanya material timbunan pada tebing. 
Pemotongan tebing atau lembah
untuk pengembangan dan perluasan pemukiman. Tanah timbunan pada
lembah itu belum terpadatkan scara sempurna seperti tanah asli yang berada
dibawahnya. Akibatnya, ketika terjadi hujan akan terjadi penurunan tanah
yang diikuti dengan retakan tanah.
11. Bekas longsoran lama yang tidak segera ditangani 
Longsoran lama biasanya
terjadi selama dan setelah terjadipengendapan material gunung berapi pada
lereng yang terjal ataupada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Ciri-
ciri bekas longsoran lama, yaitu:
a. Tebing terjal yang panjang berbentuk tapal kuda. 

b. Adanya mata air dengan pepohonan tebal karena tanahnya gembur dan
subur.
c. Daerah longsor bagian atas umumnya landai. 

d. Adanya longsoran kecil pada tebing lembah. 

e. Bekas longoran kecil pada longsoran lama berbentuk tebing-tebing
terjal. 
Terdapat alur lembah dan pada tebingnya terdapat retakan dan
longosran kecil. 

f. Longsoran lama yang cukup luas. 

12. Adanya bidang diskontinuitas. 
Bidang ini memiliki ciri:

a. Bidang perlapisan batuan .

b. Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar

c. Bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang
kuat.
d. Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air.
13. Penggundulan hutan.
Tanah longsor sering terjadi di lahan gundul karena kurangnya pengikatan air
tanah.

14. Daerah penimbunan sampah


Lapisan tanah yang rendah yang digunakan untuk pembuangan sampah,
ditambah guyuran hujan.

2.2 KLASIFIKASI TINGKAT KERAWANAN

Suatu daerah dengan potensi longsor dapat dikelompokkan dalam 3 kategori


sebagai berikut:

1. Kerawanan Tinggi 
Berpotensi terhadap gerak tanah dengan adanya


pemukiman padat atau bangunan mahal dan penting. 

2. Kerawanan Sedang 
Berpotensi tinggi terhadap gerakan tanah, tetapi tidak
terdapat pemukiman padat atau bangunan mahal dan penting.
3. Kerawanan Rendah Berpotensi tinggi terhadap gerakan tanah, tetapi tidak ada
resiko korban jiwa dan kerusakan bangunan.Kawasan dengan pemukiman
padat dan terdapat bangunan penting atau mahal, namun tidak ada potensi
terjadinya gerkan tanah atau longsoran juga termasuk kawasan dengan tingkat
kerawanan rendah.

2.3 MANAJEMEN STRATEGI

Manajemen strategi merupakan perpaduan antara konsep “manajemen” dan


“strategi”. Manajemen dapat diartikan sebagai proses penggerakkan orang dan bukan
orang untuk mencapai tujuan organisasi. Strategi diartikan sebagai kiat, cara, dan
taktik yang dirancang secara sistematik dalam menjalankan fungsi- fungsi manajemen
dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara efisien dan efektif. Di dalam
perumusan strategi diperlukan pengamatan dan penilaian terhadap kondisi lingkungan
yang ada di sekitar baik lingkungan yang ada di dalam maupun diluar. Analisis
SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan
strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan
(strengths) dan peluang (opportunities) sekaligus meminimalkan kelemahan
(weaknesses) dan ancaman (threats). Setelah tahapan analisis SWOT akan dihasilkan
perumusan.

2.4 MANAJEMEN BENCANA

Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana


menjelaskan bahwa bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Siklus manajemen tersebut terdiri atas
3 tahapan. Tahapan-tahapan tersebut (dalam Kusumasari, 2014: 22) antara lain:

1. Pra Bencana
Pra bencana merupakan tahapan bencana pada kondisi sebelum


kejadian meliputi:
A. Pencegahan dan Mitigasi.
Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana (UU 24/2007)
B. Kesiapsiagaan

Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana
melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan
berdaya guna (UU 24/2007)

2. Saat Bencana
Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana


adalah saat bencana berlangsung atau terjadi. Kegiatan yang dilakukan adalah
tanggap darurat atau respon. 


3. Pasca Bencana
Tahapan yang dilakukan setelah bencana terjadi dan setelah


proses tanggap darurat dilewati (Ramli, 2011: 37), antara lain:

A. Rehabilitasi, yaitu perbaikan dan 
pemulihan semua aspek pelayanan


publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca
bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat. 

B. Rekonstruksi, yaitu pembangunan kembali semua sarana dan prasarana,
kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan
ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek
kehidupan.

2.5 MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR

Mitigasi merupakan sebuah langkah yang diambil secara independen dari


situasi darurat. Coppola (dalam Kusumasari, 2014: 23) menjelaskan bahwa ada dua
jenis mitigasi yaitu:

1) Mitigasi structural, didefinisikan sebagai usaha pengurangan risiko yang


dilakukan melalui pembangunan atau perubahan lingkungan fisik melalui
penerapan solusi yang dirancang. Upaya ini mencakup ketahanan konstruksi,
langkah- langkah pengaturan, dan kode bangunan, relokasi, modifikasi
struktur, konstruksi tempat tinggal masyarakat, konstruksi pembatas atau
sistem pendeteksi, modifikasi fisik, sistem pemulihan, dan penanggulangan
infrastruktur untuk keselamatan hidup. 

2) Mitigasi non struktural, meliputi pengurangan kemungkinan atau konsekuensi
risiko melalui modifikasi proses-proses perilaku manusia atau 
alam, tanpa
membutuhkan penggunaan struktur yang dirancang. Di dalam teknik ini
terdapat langkah-langkah regulasi, program pendidikan, dan kesadaran
masyarakat, modifikasi fisik non struktural, modifikasi perilaku, serta
pengendalian lingkungan.

2.6 KERANGKA BERPIKIR

Di dalam perumusan strategi diperlukan pengamatan dan penilaian terhadap


kondisi lingkungan yang ada di sekitar baik lingkungan internal maupun eksternal.
Dalam hal ini, analisis SWOT diperlukan untuk mengidentifikasi berbagai faktor
secara sistematis guna merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang
dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) sekaligus
meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Dengan demikian,
perencanaan strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis (kekuatan,
kelemahan, peluang, ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hasil analisis faktor-
faktor strategis tersebut kemudian dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan
mengevaluasi strategi dan akan menjadi dasar dalam perumusan program- program
strategi (Salusu, 2006: 148).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 METODE PENELITIAN YANG DIGUNAKAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif.
Untuk mendapatkan narasumber yang tepat dan sesuai tujuan, teknik pengambilan
sampel pada penelitian ini menggunakan sistem purposive sample. Pengumpulan data
dilakukan dengan meggunakan teknik wawancara, dokumentasi, studi pustaka dan
observasi.

Metode penelitian kualitatif menurut Lexy J. Moleong berdasarkan pada pondasi


penelitian, paradigma penelitian, perumusan masalah, tahap-tahap penelitian, teknik
penelitian, kriteria dan teknik pemeriksaan data dan analisis dan penafsiran Berpijak
dari penelitian diatas penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi mitigasi
bencana tanah longsor di Dusun Nipis, Desa Sambingrejo Dan Dusun Pringapus,
Desa Sambungrejo, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang Sedang jenis penelitian
yang dipakai oleh peneliti adalah jenis deskriptif kualitatif yang mempelajari
masalah-masalah yang ada serta tata cara kerja yang berlaku. Penelitian deskriptif
kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Di
dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan
menginterpretasikan kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Dengan penelitian
deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk memperoleh informasi- informasi mengenai
keadaan yang ada. Bahwasanya penelitian deskriptif kualitatif dirancang untuk
mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang yang sementara
berlangsung. Pada hakikatnya penelitian deskriptif kualitatif adalah suatu metode
dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek dengan tujuan membuat
deskriptif, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta atau fenomena yang diselidiki.

Metode observasi menurut Supardi merupakan metode pengumpul


data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara
sistematik gejala-gejala yang diselidiki.

3.2 WAKTU DAN LOKASI

Penelitian dilakukan di lakukan di kantor kecamatan grabag , pada tanggal 2


Januari 2018. Secara administrasi Kecamatan Grabag mencakup 28 desa dengan
batas-batas wilayah sebagai berikut; sebelah utara kabupaten semarang, sebelah timur
kecamatan ngablak, sebelah selatan kecamatan tegalrejo, dan sebelah barat kecamatan
secang.jarak terjauh dengan ibukota kecamatan yaitu desa lebak yang berjarak 13km,
sedangkan jarak ibukota kecamatan dengan kabupaten kota mungkid sekitar 36 km.
luas wilayah kecamatan grabag adalah 7.683,656 ha.

3.3 SUMBER DATA

Dalam penulisan laporan ini, terdapat 2 tipe data yang digunakan. Data-data
tersebut anatara lain:

1) Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara
dengan narasumber,dan observasi. 


2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui lembaga


atau dinas pemerintahan terkait. Dalam penelitian ini, data sekunder adalah
data utama yang digunakan untuk penulisan. Data sekunder yang digunakan
dalam penlitian ini adalah dokumen Perda No.5 Tahun 2011 tentang Rencana
Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Magelang tahun 2010-2030 yang di
dalamnya memuat:

a) File Shapefile Kabupaten Magelang

b) Informasi lain yang diperlukan

3.4 TEKNIK PEMILIHAN INFORMAN

Peneliti memilih narasumber sebagai berikut :

1) Bp. Moh Rodin : warga Dusun Sambungrejo, Desa Sambungrejo,


Grabag, Magelang.
2) Al Fauzi : tokoh pemuda dusun Sambungrejo,Grabag, Kabupaten
Magelang.
3) Bp. Labaika Nugraha : Kepala Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang.
4) Bp. Edy Susanto : Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Magelang.

3.5 FOKUS KAJIAN

Untuk mempermudah penulis dalam menganalisis penelitian, maka penelitian ini


difokuskan dalam menganalisa strategi mitigasi bencana tanah longsor di Dusun
Nipis, Desa Sambingrejo Dan Dusun Pringapus, Desa Sambungrejo, Kecamatan
Grabag, Kabupaten Magelang yang meliputi tujuan, langkah-langkah mitigasi
bencana, serta faktor pendukung, dan faktor penghambat.

3.6 TEKNIK ANALISIS DATA

Setelah semua data terkumpul, maka langka berikutnya adalah pengelolahan dan
analisa data. Yang di maksud dengan analisis data adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,
menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola,
memilih mana yang penting dan akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga
mudah dipahami oleh dirinya sendiri atau orang lain.
Analisis data dalam kasus ini menggunakan analisis data kualitatif, maka dalam
analisis data selama di lapangan peneliti menggunakan model spradley, yaitu tehnik
analisa data yang di sesuaikan dengan tahapan dalam penelitian, yaitu:
Pada tahap penjelajahan dengan tehnik pengumpulan data grand tour question,
yakni pertama dengan memilih situasi sosial (place, actor, activity),
Kemudian setelah memasuki lapangan, dimulai dengan menetapkan seseorang
informan “key informant” yang merupakan informan yang berwibawa dan dipercaya
mampu “membukakan pintu” kepada peneliti untuk memasuki obyek penelitian.
Setelah itu peneliti melakukan wawancara kepada informan tersebut, dan mencatat
hasil wawancara. Setelah itu perhatian peneliti pada obyek penelitian dan memulai
mengajukan pertanyaan deskriptif, dilanjutkan dengan analisis terhadap hasil
wawancara. Berdasarkan hasil dari analisis wawancara selanjutnya peneliti
melakukan analisis domain.
Pada tahap menentukan fokus (dilakukan dengan observasi terfokus) analisa data
dilakukan dengan analisis taksonomi.
Pada tahap selection (dilakukan dengan observasi terseleksi) selanjutnya peneliti
mengajukan pertanyaan kontras, yang dilakukan dengan analisis komponensial.
Hasil dari analisis komponensial, melalui analisis tema peneliti menemukan tema-
tema budaya. Berdasarkan temuan tersebut, selanjutnya peneliti menuliskan laporan
penelitian kualitatif.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Magelang memiliki kondisi geografis dengan berada di


pertengahan pulau Jawa di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Secara administratif
Kabupaten Magelang termasuk bagian dari wilayah Provinsi Jawa Tengah dan
terletak di koordinat 110° 01’ 51” - 110° 26’ 28” Bujur Timur dan 7° 19 ’13” - 7°42’
16” Lintang Selatan.
Batas-batas Kabupaten Magelang adalah sebagai berikut:

1. Utara : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang. 



2. Selatan : Kabupaten Purworejo, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon

Progoyang masuk dalam Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 

3. Timur : Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali. 

4. Barat : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo. 

5. Tengah:Kotamadya Magelang. 


Kabupaten Magelang memiliki 21 kecamatan yang terdiri dari 370


desa/kelurahan.Kabupaten Magelang memilki luas 108.573 Ha atau sekitar dari 3,34
% dari luas Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Magelang memiliki kondisi fisik
berupa kontur alam yang sebagian berupa pegunungan dan memiliki curah hujan yang
relatif tinggi pada musim penghujan.
 Kabupaten Magelang beriklim tropis dengan
temperatur bersuhu 20° - 27° C. Kabupaten Magelang secara umum terdiri dari
dataran yang landai di bagian tengah dikellingi lereng-lereng gunung berapi, yaitu
Gunng Merbabu, Gunung Merapi, Gunung Sumbing, sedang di bagian selatang
terdapat Pegunungan Menoreh. Berikut merupakan daftar ketinggian gunung-gunung
di Kabupaten Magelang :

1. Gunung Merapi : 2911 m



2. Gunung Merbabu :
 3.119 m
3. Gunung Telomoyo : 1894 m
4. Gunung Andong : 1.736 m
5. Gunung Sumbing : 3.296 m
6. Gunung Gianti : : 1.170 m
7. Gunung Kekep : 1.245 m

Rincian nama dan luas tiap kecamatan serta jumlah desa pada tiap kecamatan
di dalam wilayah Kabupaten Magelang adalah sebagaimana data yang tertera
dalam table di bawah ini :

No Nama Jumlah Desa Luas(Ha) % Thd Total

1 20 6.887 6,34
Salaman

2 Borobudur 20 5.455 5,02

3 8 2.244 2,07
Ngluwar

2,91
4 Salam 12 3.163

Srumbung
5 17 5.163 4,90

6 Dukun 15 5.430 5

7 Muntilan 14 2861 2,64

8 Mungkid 16 3.740 3,44

Sawangan 7.237 6,67


9 15

Candimulyo 4.695 4,32


10 19

11 Mertoyudan 13 4.535 4,18

12 Tempuran 15 4.904 4,52

13 Kajoran 29 8.341 7,68

14 Kaliangkrik 20 5.734 5,28

Bandongan
15 14 4.579 4,22

16 Windusari 20 6.165 5,68

17 Secang 20 4.734 4,36

18 Tegalrejo 21 3.589 3,31

19 Pakis 20 5.956 5,49

20 Grabag 28 7.716 7,11

21 Ngablak 16 4.380 4,03


Total 372 108.573 100

Tabel 1 : Nama, Luasan dan Jumlah Desa Pada Tiap Kecamatan

Gambar 1 Peta Administrasi Kabupaten Magelang

Kabupaten Magelang dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana telah


melakukan langkah-langkah awal pengurangan risiko bencana dengan terbentuknya
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). BPBD berfungsi untuk koordinasi,
komando dan pelaksanaan kegiatan dalam penanggulangan bencana secara terencana
dan menyeluruh. BPBD dalam melakukan upaya-upaya penanggulangan bencana di
daerah harus didukung oleh seluruh pihak, masyarakat maupun swasta. Oleh karena
itu perlu dibangun mekanisme yang jelas terkait pembagian kewenangan antara
pemerintah, masyarakat dan swasta dalam melaksanakan upaya-upaya
penanggulangan bencana. Mekanisme ini dibangun untuk meningkatkan dan
memperkuat proses desentralisasi dan memperbesar peran komunitas dalam
menggalang upaya-upaya penanggulangan bencana secara mandiri. Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Magelang merupakan unsur pendukung
tugas Bupati dibidang penanggulangan bencana daerah berada dibawah
bertanggungjawab
Bupati. BPBD
Magelang dibentuk berdasarkan Peraturan
Daerah Kabupaten Magelang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Magelang yang diresmikan
berdiri pada tanggal 9 Juni 2011.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang adalah


unsur pendukung dan pelaksana tugas Bupati, yang secara ex- officio dipimpin oleh
seorang Sekretaris Daerah selaku Kepala BPBD. Sedangkan pelaksanaan tugas
operasional oleh Kepala Pelaksana BPBD yang berkedudukan dibawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala BPBD. BPBD Kabupaten Magelang memberikan
administrasi
melaksanakan
bencana secara terintegrasi meliputi pra bencana, saat
tanggap darurat, dan pasca mempunyai tugas pelayanan maupun penanggulangan
bencana secara terintegrasi meliputi prabencana, saat tanggap darurat, dan tanggap
bencana.

Berikut adalah Tugas Pokok dan Fungsi BPBD Kabupaten Magelang :

1. Menetapkan pedoman dan pengarahan


2. Menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan
bencana berdasarkan peraturan perundang- undangan.
3. Menyusun, menetapkan dan menginformasikan peta rawan bencana.
4. Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana; 

5. Melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya 

6. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada bupati setiap
sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat
bencana.
7. Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran bantuan uang dan barang.
8. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBD.
9. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam tugas pokok, BPDB


mempunyai fungsi:

1. Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan


penanganan pengungsi dengan bertindak cepat, tepat, efektif, dan efisien.

2. Pengkoordinasian 
pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara


terencana, terpadu, dan menyeluruh; dan 


3. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan
fungsinya. 


Kebijakan penanggulangan bencana Kabupaten Magelang disusun atas dasar


regulasi, kelembagaan, dan perencanaan umum untuk setiap fase bencana. Fase
bencana ini terdiri dari fase pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, penanganan
darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Kebijakan tersebut diantaranya sebagai
berikut :

1. Menjalin partisipasi dan desentralisasi komunitas melalui pembagian


kewenangan dan sumberdaya pada tingkat local.
2. Membentuk dan memberdayakan forum/jaringan daerah khusus untuk
pengurangan resiko bencana.
3. Menyusun dokumen kajian resiko bencana daerah berdasarkan data ancaman
dan kerentanan yang meliputi resiko utama daerah.
4. Memperkuat dokumen kajian resiko utama daerah mempertimbangkan risiko-
risiko lintas batas guna menggalang kerjasama antar daerah untuk
pengurangan risiko.
5. Menyediakan informasi yang relevan mengenai bencana dan dapat diakses di
semua tingkat oleh seluruh pemangku kepentingan (melalui jejaring,
pengembangan sistem untuk berbagi informasi, dst).
6. Menerapkan metode riset untuk kajian risiko multi bencana serta analisa
manfaat biaya (cost benefit analysis) yang selalu dikembangkan berdasarkan
hasil riset.
7. Mewujudkan rencana dan kebijakan bidang ekonomi dan produksi untuk
mengurangi kerentanan perekonomian masyarakat.
8. Mengintegrasikan langkah-langkah pengurangan risiko bencana dipadukan ke
dalam proses-proses rehabilitasi dan pemulihan pasca bencana.
9. Menyediakan cadangan finansial dan logistik serta mekanisme antisipasi yang
siap untuk mendukung upaya penanganan darurat yang efektif dan pemulihan
pasca bencana.
10. Menyediakan prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan pasca bencana
terhadap pertukaran informasi yang relevan selama masa tanggap darurat.

Strategi dan sasaran dalam penanggulangan bencana terdapat 6 strategi yang dibagi
dalam 2 kelompok, yaitu:

1. Strategi generik

Berlaku untuk seluruh bencana. Stategi ini terdiri dari:

A. Penguatan Regulasi dan Kapasitas Kelembagaan


a. Memperkuat aturan dan mekanisme pendukung penyelenggaraan
penanggulangan bencana daerah
b. Membangun kapasitas kelembagaan dalam pelaksanaan kegiatan
penanggulangan bencana
B. Perencanaan Penanggulangan Bencana Terpadu
a. Memperkuat sistem informasi kebencanaan dan kesiapsiagaan bencana
daerah
b. Membangun kerjasama lintas batas untuk penanggulangan bencana
berdasarkan Kajian Risiko Bencana
C. Penelitian, Pendidikan, dan Pelatihan
D. Peningkatan Kapasitas dan Partisipasi Masyarakat

2. Strategi untuk setiap bencana ini terdiri dari:

A. Perlindungan Masyarakat dari Bencana


a. Pencegahan dan Mitigasi Bencana
b. Kesiapsiagaan Bencana
B. Penanganan Bencana Darurat

Kaidah Penanggulangan Bencana dalam pelaksanaan penyelenggaraan


penanggulangan bencana harus sesuai dengan payung hukumnya. Peraturan Daerah
Kabupaten Magelang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana di Kabupaten Magelang merupakan dasar hukum yang
menjadi pedoman dalam menjalankan program, kebijakan dan penyelenggaraan
penanggulangan bencana di Kabupaten Magelang. Dalam pelaksanaannya, secara
kelembagaan masih ada satu hal yang belum sesuai didalam praktek penyelenggaraan
penanggulangan bencana di Kabupaten Magelang. Berdasarkan Pasal 9 Ayat (2)
Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Magelang, Badan
Penanggulangan Bencana Daerah terdapat Unsur Pengarah dan Usur Pelaksana. Akan
tetapi dalam praktek penyelenggaraan penanggulangan bencana, BPBD Kabupaten
Magelang hanya terdapat Unsur Pelaksana saja. BPBD Kabupaten Magelang dalam
melaksanakan Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana berkoordinasi atau
melibatkan kerjasama dengan instansi/pihak terkait. Dengan adanya koordinasi
dengan pihak terkait, diharapkan penanggulangan bencana secara sistematis,
terencana, terkoordinasi, terpadu, cepat dan tepat. Untuk menanggulangi bencana
yang mungkin terjadi perlu melakukan berbagai upaya secara cepat dan tepat, terpadu
dan terkoordinasikan dengan baik melalui berbagai kegiatan yang meliputi
pencegahan, penyelamatan, tanggap darurat, rehabilitasi, rekonstruksi dan
rekonsiliasi.

Koordinasi instansi antar pelaksanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana


merupakan tanggung jawab bersama dari seluruh elemen yang ada di daerah dengan
pemerintah sebagai penanggung jawab utama. Dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana, BPBD mempunyai fungsi koordinasi, komando dan
pelaksana, oleh karenanya hubungan kerjasama antara BPBD dengan instansi atau
lembaga terkait dapat dilakukan secara koordinasi, komando dan pengendalian.

1. Koordinasi

Koordinasi BPBD dengan instansi atau lembaga dinas/badan secara horisontal


pada tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana, dilakukan dalam
bentuk:

A. Penyusunan kebijakan dan strategi penanggulangan bencana


B. Penyusunan perencanaan penanggulangan bencana
C. Penentuan standar 
kebutuhan minimum
D. Pembuatan prosedur tanggap darurat 
bencana
E. Pengurangan resiko 
bencana
F. Pembuatan peta rawan 
bencana
G. Penyusunan anggaran 
penanggulangan 
bencana
H. Penyediaan sumber 
daya/logistik penanggulangan bencana
I. Pendidikan dan pelatihan, 
penyelenggaraan gladi/simulasi
penanggulangan bencana.

Koordinasi penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat dilakukan melalui


kerjasama dengan lembaga/organisasi dan pihak- pihak lain yang terkait sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Kerjasama yang melibatkan peran serta negara lain,
lembaga internasional dan lembaga asing non-pemerintah dilakukan melalui
koordinasi BNPB sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Komando

Dalam hal status keadaan darurat bencana, Bupati menunjuk seorang komandan
penanganan darurat bencana atas usulan Kepala BPBD. Komandan Penanganan
Darurat Bencana mengendalikan kegiatan operasional penanggulangan bencana dan
bertanggungjawab kepada Bupati. Komandan Penanganan Darurat Bencana memiliki
kewenangan komando memerintahkan instansi/lembaga terkait meliputi: pengerahan
sumber daya manusia, pengerahan peralatan, pengerahan logistik, dan penyelamatan.
Komandan Penanganan Darurat Bencana berwenang mengaktifkan dan meningkatkan
Pusat Pengendalian Operasi menjadi Pos Komando.

3. Pengendalian
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Magelang bertugas untuk
melakukan pengendalian dalam:

A. Penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur menjadi


sumber ancaman bahaya bencana.
B. Penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang berpotensi yang
secara tiba-tiba berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana.
C. Pengurasan SDA yang melebihi daya dukungnya yang menyebabkan
ancaman timbulnya bencana.
D. Perencanaan dan penegakan rencana tata ruang wilayah dalam kaitan
penanggulangan bencana.
E. Kegiatan penanggulangan bencana yang dilakukan oleh
lembaga/organisasi pemerintah dan non pemerintah
F. Penetapan kebijakan pembangunan yang berpotensi menimbulkan
bencana.
G. Pengumpulan dan penyaluran bantuan berupa uang dan barang serta jasa
lain (misalnya relawan) yang diperuntukan untuk penanggulangan bencana
di wilayahnya, trmasuk pemberian ijin pengumpulan.

Kegiatan-kegiatan yang menjadi rencana pengurangan risiko bencana yang akan


dilakukan oleh masing-masing SKPD terkait di Kabupaten Magelang. Kegiatan –
kegiatan ini disusun berdasarkan atas strategi– strategi pengurangan risiko bencana
Kabupaten Magelang.

4. Hambatan-Hambatan dan Upaya-Upaya

Supaya ada keseimbangan dalam melaksanakan penanggulangan bencana,


dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan dan program yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, dilakukan upaya- upaya untuk mengatasi hambatan yang
dijumpai berdasarkan evaluasi tersebut. Upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan
tersebut, antara lain:

A. Internal

a. Mengenai
keterbatasan personil di setiap bidang, demi kelancaran


pelaksanaan tugas harian, pegawai Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Kabupaten Magelang saling melengkapi tugas satu sama lain. Bidang yang
satu membantu bidang yang lain, apabila diperlukan bantuan atau tenaga
tambahan.
b. Dalam pelaksanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana, BPBD
Kabupaten Magelang tidak terdapat Unsur Pengarah, untuk kemudian setelah
dengan adanya Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Magelang
agar dapat dibentuk Unsur Pengarah. Kemudian dilakukan pendaftaran dan
seleksi oleh Lembaga Independen yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Kepala
BPBD Kabupaten Magelang untuk selanjutnya dipilih melalui uji kepatutan
yang dilakukan oleh DPRD Kabupaten Magelang.

B. Eksternal

a. Melakukan sosialisasi mengenai peraturan daerah kabupaten magelang nomor


3 tahun 2014 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana di Kabupaten
Magelang kepada instansi lain dan masyarakat. Sosialisasi pentingnya
kesadaran masyarakat terhadap pencegahan dan penanggulangan bencana
serta kerjasama masyarakat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana,
dengan cara mendirikan posko penanggulangan bencana pada daerah rawan
bencana di kabupaten magelang. Selain itu, upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat adalah dengan cara
memberikan pelatihan-pelatihan mengenai penanggulangan bencana kepada
masyarakat.
b. Membentuk lembaga penanggulangan bencana desa (LPBD), untuk
meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat serta meningkatkan
respon masyarakat terhadap badan penanggulangan bencana daerah kabupaten
magelang. Upaya tersebut diterapkan agar lebih efektif dalam rangka
penyelenggaraan penanggulangan bencana di Kabupaten Magelang, terutama
untuk lokasi daerah rawan bencana yang jauh dari Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Kabupaten Magelang. Dengan adanya LPBD ini, proses
penanggulangan bencana dapat lebih cepat dan tepat tertangani.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Pelaksanaan Penanggulangan bencana di Kabupaten Magelang berdasarkan


Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Magelang, sejauh ini
pemerintah kabupaten magelang telah berupaya semaksimal mungkin dalam rangka
penyelenggaraan penanggulangan bencana secara menyeluruh terhadap masyarakat di
kabupaten magelang. Hal ini terwujud dalam :

1) Pelaksanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana yang sesuai dengan


paying hukumnya. Peraturan daerah kabupaten magelang nomor 3 tahun 2014
tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana di kabupaten magelang
merupakan dasar hukum yang menjadi pedoman dalam menjalankan program,
kebijakan dan penyelenggaraan penanggulangan bencana di Kabupaten
Magelang.
2) Kabupaten Magelang dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana telah
melakukan langkah- langkah awal pengurangan risiko bencana dengan
terbentuknya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). BPBD
berfungsi untuk koordinasi, komando dan pelaksanaan kegiatan dalam
penanggulangan bencana secara terencana dan menyeluruh. BPBD dalam
melakukan upaya- upaya penanggulangan bencana di daerah harus didukung
oleh seluruh pihak, masyarakat maupun swasta. Oleh karena itu perlu
dibangun mekanisme yang jelas terkait pembagian kewenangan antara
pemerintah, masyarakat dan swasta dalam melaksanakan upaya-upaya
penanggulangan bencana. Mekanisme ini dibangun untuk meningkatkan dan
memperkuat proses desentralisasi dan memperbesar peran komunitas dalam
menggalang upaya-upaya penanggulangan bencana secara mandiri.
3) Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten Daerah Magelang dalam
melaksanakan Penanggulangan Bencana berkoordinasi atau melibatkan
kerjasama dengan instansi/pihak terkait. Dengan adanya koordinasi dengan
pihak terkait, diharapkan penanggulangan bencana secara sistematis,
terencana, terkoordinasi, terpadu, cepat dan tepat. Untuk menanggulangi
bencana yang mungkin terjadi perlu melakukan berbagai upaya secara cepat,
tepat, terpadu dan terkoordinasikan dengan baik melalui berbagai kegiatan
yang meliputi pencegahan, penyelamatan,tanggap darurat,rehabilitasi,
rekonstruksi dan rekonsiliasi.

Hambatan yang dihadapi dalam penanggulangan bencana berdasarkan


Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Magelang dan upaya
yang dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut, antara lain meliputi :

1) Keterbatasan personil disetiap bidang. Pengisian personil PNS masih kurang


ideal sebagaimana mestinya.
2) Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Magelang,
Badan Penanggulangan Bencana Daerah terdapat Unsur Pengarah dan Unsur
Pelaksana, akan tetapi dalam pelaksanaan penyelenggaraan penanggulangan
bencana BPBD Kabupaten Magelang hanya terdapat Unsur Pelaksana saja.
3) Kurangnya sosialisasi keluar mengenai Peraturan Daerah Kabupaten
Magelang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana di Kabupaten Magelang kepada masyarakat.
4) Kurangnya kesadaran
masyarakat
terhadap pentingnya
dan
penanggulangan bencana serta kurangnya kerjasama dari masyarakat saat
pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi.

5.2 SARAN

Saran 
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti merekomendasikan saran


sebagai berikut yaitu :

1. Unit pelaksana pemerintah daerah melakukan koordinasi lebih intensif agar


penanganan bencana menjadi efektif, juga melakukan koordinasi- koordinasi
agar dunia usaha mau berperan serta dalam penanggulangan bencana. 

2. Penambahan SDM yang berkompeten dalam penanggulangan bencana untuk
ditempatkan di BPBD.
3. Mengurangi resiko dengan menjadikan pembangunan adalah investasi, segala
kegiatan pembangunan dikaitkan dengan ancaman bencana. 

4. Sosialisasi kebencanaan kepada masyarakat tetap dilakukan sebagai upaya
mitigasi bencana, disamping itu pemberian pengetahuan tentang kebencanaan
kepada anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah juga diperlukan,
bukan hanya sosialisasi kepada masyarakat yang sudah terbilang dewasa. 

5. Menyeimbangkan partisipasi masyarakat agar tidak hanya partisipasi tenaga
dan sosial saja yang menonjol, tetapi partisipasi buah pikiran, harta benda,
keterampilan dan kemahiran terus dilatih karena tingginya ketiga partisipasi
tersebut juga dibutuhkan dalam penanggulangan bencana. 

6. Untuk menangani keterbatasan personil di setiap bidang, demi kelancaran
pelaksanaan tugas harian, pegawai Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Kabupaten Magelang saling melengkapi tugas satu sama lain. Bidang yang
satu membantu bidang yang lain, apabila diperlukan bantuan atau tenaga
tambahan. BPBD Kabupaten Magelang juga membentuk Satuan Tugas
(Satgas) yang berasal dari Relawan masyarakat untuk membantu
melaksanakan tugas pegawai dalam rangka penyelenggaraan penanggulangan
bencana.
7. Dengan adanya Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 3 Tahun 2014
tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Magelang
agar dapat dibentuk Unsur Pengarah. Kemudian dilakukan pendaftaran dan
seleksi oleh Lembaga Independen yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Kepala
BPBD Kabupaten Magelang untuk selanjutnya dipilih melalui uji kepatutan
yang dilakukan oleh DPRD Kabupaten Magelang
8. Untuk mengatasi masalah kurangnya sosialisasi, upaya yang dapat dilakukan
adalah dengan sosialisasi Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 3
Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Kabupaten
Magelang
9. Membentuk Lembaga Penanggulangan Bencana Desa (LPBD), untuk
meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat serta meningkatkan
Respon Masyarakat terhadap Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Kabupaten Magelang. Upaya tersebut diterapkan agar lebih efektif dalam
rangka penyelenggaraan penanggulangan bencana di Kabupaten Magelang,
terutama untuk lokasi daerah rawan bencana yang jauh dari Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Magelang. Dengan adanya
LPBD ini, proses penanggulangan bencana dapat lebih cepat dan tepat
tertangani.

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

Kusumasari, Bevaola. (2014). Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintah


Lokal. Yogyakarta: Gava Media

Moleong, Lexy J. (2009). Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung:


PT Remaja Rosdakarya.
Susanto, A.B. (2006). Disaster Management di Negeri Rawan Bencana. Jakarta:
Aksara Grafika Pratama.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 3 Tahun 2014 tentang


Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Magelang

Perda No.5 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten
Magelang tahun 2010-2030

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2008


tentang Pedoman dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah

Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Organisasi


dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Magelang

Ramli, Soehatman. (2011). Manajemen Bencana (Disaster Management). Jakarta:


PT Dian Rakyat.
Salusu, J. (2006). Pengambilan Keputusan Stratejik Untuk
Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit. Jakarta: Grasindo. Syafiie, Inu Kencana.
(2006). Ilmu Adminstrasi Publik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Supardi, M.d, (2006). Metodologi Penelitian. Mataram : Yayasan


Cerdas Press.

http://www.mongabay.co.id/2017/05/08/longsor-dan-banjir-bandang-magelang-
layakkah-wilayah-rawan-bencana-bagi-pemukiman/

https://www.esdm.go.id/assets/media/content/Pengenalan_Gerakan_Tanah.pdf

https://bnpb.go.id//publikasi/jurnal

http://sipd.bangda.kemendagri.go.id/dokumen/uploads/rpjmd_225_2016.pdf

http://bppgrabag.blogspot.co.id/p/profil-kecamatan-grabag.html

You might also like