You are on page 1of 3

Arti Kebenaran

Namaku Reza Dewantara. Sejak kecil, aku sudah ditinggal pergi oleh ayahku
untuk selamanya. Sejak menginjak jenjang SD, aku mulai mengalami berbagai masalah.
Banyak sekali bocah bengal yang menyiksa anak lain. Aku pun tidak mau membiarkan
itu terjadi, karena selain untuk tanggung jawab sebagai ketua kelas, aku mempunyai
prinsip bahwa kebenaran itu mutlak, dan para pelaku kejahatan harus diberi sanksi yang
tegas.
Tak jarang aku mendapat cercaan, makian, penganiayaan, dan perlakuan buruk
lainnya. Meski bergitu,aku tetap mempertahankan prinsipku, karena ada yang lebih indah
dan menyenangkan dari itu semua, yaitu ucapan terima kasih oleh orang yang kubela.
Berkali-kali, aku tertolong oleh perasaan itu. Berbekal hal itu, aku bertekad untuk
berusaha dengan lebih sungguh-sungguh.
“Hei Reza, jangan sok membela seperti itu!, awas kau!,” kata seorang anak bengal
di kelas kami. Sering kudengar perkataan seperti itu, namun aku tak menggubrisnya.
Karena aku tak ingin membuat masalah baru.
Sudah tak terhitung masalah seperti itu yang aku hadapi, dan sudah sering pula,
aku mengadukannya pada guru kami. Namun, apalah daya, mereka anak orang yang
memiiki banyak uang, guru kami pun dibutakan oleh uang-uang yang mereka miliki.
Meskipun ada beberapa guru yang bersih dari hal itu. Namun sama saja, apakah dua-tiga
guru dapat mengatasi mereka?, jawabannya tentu tidak mungkin.
Suatu hari, aku melihat seorang temanku yang diperas oleh segerombolan bocah
bengal di kelas kami. Aku pun tak bisa diam melihat hal itu, lalu aku pun segera
menolongnya dan menengahi mereka. Akibatnya, aku dihajar habis-habisan oleh
segerombolan bocah nakal itu. Di kelas kami tidak ada yang mau membantu teman lain
yang sedang dijahati oleh gerombolan bocah bengal itu. Mereka takut akan perilaku
mereka yang tak bisa dikendalikan itu. Saat aku dihajar habis-habisan oleh gerombolan
bocah itu, aku hanya melihat tatapan dingin dari mereka. Namun, aku senang saat Rama,
seorang anak yang kubela mengatakan ,” Terima kasih”. Aku pun membalasnya
.” Sama-sama, mau kuantarkan pulang?.
”Boleh, sekali lagi terima kasih ya”, balasnya.
Begitulah aku, meski mendapatkan luka disana-sini,aku masih mau menawarkan untuk
mengantarnya pulang. Kulakukan semua itu dengan tulus. Tanpa rasa pamrih akan
sesuatu sedikitpun. Kadangkala kuadukan perlakuan teman-temanku pada ibuku. Namun,
ibuku berkata tidak ada gunanya aku melakukan itu, dan ibuku hanya menyarankanku
untuk menerima keadaan. Ibuku bekerja sebagai seorang buruh di suatu pabrik. Oleh
karena itu, kami jarang bertemu. Sebenarnya aku tidak setuju dengan perkataan ibu.
Karena kupikir ibu malah menambah masalahku, aku pun jarang sekali berbincang
dengannya, bisa dibilang aku membencinya.
Menurutku, dunia ini terbagi dua. Orang jahat dan orang baik, kejahatan dan
kebenaran, teman dan musuh. Aku berjanji pada diriku sendiri akan bertanggung jawab
mengatur kelasku agar menjadi kelas terbaik di sekolahku. Tapi sealalu saja ada orang
yang merasa tidak suka dengan sikapku. Pasti selalu ada kejahatan. Selalu ada musuh
yang muncul. Kadang, para bocah bengal itu kalah dengan keinginanku untuk menolong.
Kadang, sebagian besar teman-temanku mendukungku. Membuktikan kalau diriku benar.
Namun, ketika memasuki SMP, aku mengalami kesulitan dalammembela
kebenaran. Jika melawan kejahatan, aku dan anak yang dijahati justru dijadikan target.
Anak-anak yang hanya melihatku selama ini, juga para penyiksa dan para korban, justru
menjadi musuhku. Para penyiksa memaksa anak-anak lain untuk melakukan kekerasan
padaku dan korban mereka. Semua menjadi musuhku. Tak ada lagi yang mau menjadi
temanku. Sampai akhirnya aku berpikir, untuk menolong para korban, sebaiknya para
penyiksa itu disingkirkan saja dari dunia ini. Dan satu-satunya orang yang mau
mendengarkanku pun tak bisa memahami aku, dan aku malah membencinya.
Suatu hari, para penyiksa yang berjumlah empat anak itu, tanpa memiliki SIM,
menyetir mobil dengan kebut, lalu menabrak dinding. Keempatnya langsung tewas
seketika. Namun ada yang lebih membuatku miris mendengar kabar itu. Kecelakaan itu
juga menciderai orang-orang dan menewaskan satu korban lainnya,yaitu ibuku.
Lenyapnya orang-orang yang aku benci terjadi dalam waktu bersamaan.. awalnya, aku
merasa takut. Hatiku bergetar dan air mataku menetes. Tapi, pasti ada yang merasa
senang dengan kejadian ini. Anak-anak yang biasanya menjadi korban pasti merasa
senang. Tidak hanya anak-anak itu saja, hampir sebagian besar murid di kelasku juga
pasti merasa bahagia. Dugaanku tak salah. Beberapa hari kemudian, suasana kelas
menjadi damai. Banyak wajah yang berseri-seri. Menghadapi kenyataan seperti ini, aku
berpikir,”Jika berbuat jahat, pasti akan dapat balasannya.”
Dan juga, ”Kejahatan harus dibasmi!”.
Kemudian aku melanjutkan pendidikan sampai ke SMA, lalu ke universitas dengan nilai
yang memuaskan. Disana aku juga menemukan orang-orang jahat yang tidak pantas
hidup atau yang selalu merugikan orang lain saja.Yang pasti ,”Jika berbuat jahat, pasti
akan mendapatkan balasannya”. Membasmi kejahatan adalah arti sebuah kebenaran.

You might also like