You are on page 1of 27

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Medis

1. Pengertian

Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang

sering terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon

prostat (Yuliana Elin, 2011). Hiperplasia prostat jina (BPH) adalah

pembesaran kelenjar prostat okanker (Corwin, 2009)

2. Anatomi & Fisiologi

a. Anatomi Prostat

Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar preotastat terl k

dibawah kandung kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah

proksimalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian

distalnya kelenjar prostat ini menepmpel ada diafragma urogenital

yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Gambar letak prostat

terlihat di gambar 2.1


2
Gambar 2.1 Letak Anatomi Prostat
( Hidayat, 2009 )

b. Fisiologi prostat

Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat

tubuh yang tergantung kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan

mengenasi fat endokrin ini masih belum pasti. Bagian yang peka

terhadap estrogen adalah bagian tengah, sedangkan bagian tepi peka

terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian tengahlah

yang mengalami hiperplasi karena sekresi androgen berkuran

sehingga kadar estrogen relatif baert mbah. Sel-sel keplenjar rostat

dapat membentuk enzim asam fosfatase yang paling aktif bepkerja ada

pH 5.
Prostat bersifat difus dan bermuara ke dalam pelksus santorini.
Persarafan prostat terutama berasal dari simpatis pleksus hipoglaktikus dan
serabut yang berasal dari nervus sakralis ketiga dan keempat melalui pleksus
sakralis. Drainase limfe prostat ke nodi limfatisi obturatoria, iliaka eksterna
dan pre sakralis, serta sangat penting dalam mengevaluasi luas penyebaran
penyakit dari prostat (Andra Yessie, 2013). Sedangkan menurut Smeltzer
(2005), sewaktu perangsangan seksual, prostat mengeluarkan cairan encer
seperti susu yang mengandung berbagai enzim dan ion ke dalam duktus
ejakulatorius. Cairan ini menambah volume cairan vesikula seminalis dan
sperma. cairan prostat bersifat basa (alkalis). Sewaktu mengendap di cairan
vagina wanita, bersama ejakulat yang lain, cairan ini dibutuhkan karena
motilitas sperma akan berkurang dalam lingkungan dengan pH rendah.

3. Etiologi

Menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim de jong (2010) dengan

bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron dan


3

estrogen karena produksi estrogen menurun dan terjadi konversi testosteron

menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Perubahan mikroskopik

pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan

mikrokopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang

ada pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia

80 tahun 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut menyebabkan gejala dan

tanda klinis.

Menurut Nursalam (2006), hingga sekarang belum diketahui secara

pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan

bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar

dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang

diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :

a. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan

estrogen pada usia lanjut.

b. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu

pertumbuhan stroma kelenjar prostat.

c. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang

mati. Diduga hormon androgen berperan menghambat proses kematian

sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas

kematian sel kelenjar prostate. Estrogen diduga mampu memperpanjang

usia sel-sel prostate.

d. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem

sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar

prostat menjadi berlebihan.


4

4. Pathofisiologi

Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (2005), menyebutkan bahwa pada

umumnya gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan

hormonal. Bagian paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya

adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma yang progresif menekan atau

mendesakn jaringan jaringan prostat yang normal ke kapsula sejati yang

menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan

adenoma cenderung tumbuh ke dalam lumennya, yang membatasi

pengeluaran urin.

Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan

kandung kemih. Serat – serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang

menghasilkan trabekulasi di dalam kanndung kemih. Pada beberapa kasus

jika obstruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih

menjadi struktur yang flasid (lemah), berdilatasi dan sanggup berkontraksi

secara efektif. Karena terdapat sisa urin, maka terdapat peningkatan infeksi

dan batu kandung kemih. Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan

hidronefrosis. Retensi progresif bagi air, natrium, dan urea dapat

menimbulkan edema hebat.

Menurut Mansjoer Arif, (2003) pembesaran prostat terjadi secara

perlahan-lahan pada traktus urinarius, terjadi perlahan-lahan. Pada tahap

awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang

mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian

detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya serat

destrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat destrusor ke dalam
5

mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai

(trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa

vesika dapat menerobos keluar di antara serat destusor sehingga terbentuk

tojolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sekula dan apabila besar

disebut diverkel. Fase penebalan destrusor adalah fase kompensasi yang

apabila berlanjut destrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan

mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga

terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi

saluran kemih atas.

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra

prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan

peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli–

buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tekanan itu. Kontraksi

yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli–buli berupa

hipertropi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan

divertikel buli–buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut yang oleh

pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau

lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala

prostatismus (Nursalam, 2006).

5. Manifestasi Klinik

Menurut Yuliana Elin (2011), pasien BPH dapat menunjukkan

berbagai macam tanda dan gejala. Gejala BPH berganti-ganti dari waktu-

kewaktu dan mungkin dapat semakin parah, menjadi stabil, atau semaki

buruk secara spontan.


6

Berbagai tanda dan gejala dapat dibagi dalam dua kategori:

obstruktif (terjadi ketika faktor dinamik/atau faktor static mengurangi

pengosongan kandung kemih) dan iritatif (hasil dari obstruksiyang sudah

berjalan lama pada leher kandung kemih).

Menurut Andra Saferi dan Yessie Mariza (2013), timbulnya gejala

LUTS (lower urinary tract symptom) merupakan manifestasi kompensasi

otot buli-buli untuk untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-

buli mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh kepada fase

dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urine akut.

Adapun gejala dan tanda yang nampak pada pasien dengan BPH:

 Retensi urine

 Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing

 Miksi yang tidak puas

 Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia)

 Miksi harus mengejan

 Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria)

 Massa pada abdomen bagian bawah (hematuria)

 Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk

mengeluarkan urin)

 Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi

 Kolik renal

 Berat badan turun


7

Menurut Pierce A. Grace dan Neil R. Borley (2007) mengatakan

bahwa obstruksi dini pada saluran keluar yaitu:

 Pancaran lemah, hesistansi, intermitensi, menetes/dribbling, mengejan

saat berkemih, retensi urin akut.

Ketidakstabilan destrusor menyebabkan:

 Frekuensi, urgensi, nokturia, disuria, inkontinensia.

Akhirnya terjadi kegagalan otot destrusor dan retensi kronis:

 Kandung kemih yang teraba (atau dapat diperkusi) inkontinensia.

 Pembesaran prostat yang licin pada pemeriksaan RT.

6. Klasifikasi BPH

Tabel 2.1 Kategori keparahan BPH berdasarkan gejala dan tanda

Keparahan penyakit Kekhasan gejala dan tanda


Ringan Asimtomatik
Kecepatan urinary puncak<10mL/s
Volume urin residual setelah pengosongan >25-50 mL
Peningkatan BUN dan kreatinin serum
Sedang Semua tanda diatas ditambah obstruktif penghilangan gejala
dan iritatif penghilangan gejala 9tanda dari destrusor yang
tidak stabil)
Parah Semua tanda diatas ditambah satu atau dua lebih komplikasi
BPH
Sumber: ISO farmakoterapi 2 hal: 146

Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat & de Jong (2005)

dibedakan menjadi 4 tingkat seperti terlihat dalam tabel 2.1 yang dinilai

berdasakan pemeriksaan fisik dengan colok dubur dan pemeriksaan sisa

volume urin/atau residu urin yang ada di kandung kemih setelah pasien

berkemih dengan menggunakan kateter.


8

Tabel 2.2 Derajat berat hipertrofi prostat


Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin
I Penonjolan prostat, Batas atas dapat diraba < 50 ml
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat 50 – 100 ml
dicapai
III Batas atas prostat tidak dapat diraba > 100 ml
IV Batas atas prostat tidak dapat diraba Retensi urin total

Menurut R. Sjamsuhidayat dan wim de jong (2010) :

a. Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan tindakan bedah,

diberi pengobatan konservatif.

b. Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya

dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral resection /

tur).

c. Derajat tiga reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan

prostate sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan

pembedahan terbuka, melalui trans retropublik/perianal.

d. Derajat empat tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari

retensi urine total dengan pemasangan kateter.

7. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Andra saferi dan Yessie mariza (2013), pemeriksaan

penunjang yang seharusnya dilakukan pada pasien dengan BPH adalah:

a. Pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher)

Pemeriksaan colok dubur adalah memasukkan jari telunjuk yang sudah

diberi pelicin ke dalam lubang dubur. Pada pemeriksaan colok dubur

dinilai:
9

1) Tonus sfingter ani dan refleks bulbo-kavernosus (BCR).

2) Mencari kemungkinan adanya massa didalam lumen rectum.

3) Menilai keadaan prostate.

b. Laboratorium

1) Urinalisa untuk melihat adanya infeksi, hematuria.

2) Ureum, creatinin, elektrolit untuk melihat gambaran fungsi ginjal.

c. Pengukuran derajat berat obstruksi

1) Menentukan jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan

(normal sisa urin kosong dan batas intervensi urin lebih dari 100 cc).

2) Pancaran urin (uroflowmetri) syarat : jumlah urin dalam vesika 125

s/d 150 ml. angka normal rata-rata 10 s/d 12 ml/detik, obstruksi

ringan 6-8 ml/detik.

d. Pemeriksaan lain

1) BNO/IVP untuk menentukan adanya divertikel, penebalan bladder

2) USG dengan transuretral ultrasonografi prostat (TRUS P) untuk

menentukan volume prostate

3) Trans-abdominal USG : untuk mendeteksi bagian prostat yang

menonjol ke buli-buli yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat

berat obstruksi apabila ada batu dalam vesika.

4) Cystoscopy untuk melihat adanya penebalan pada dinding bladder.

Menurut sjamsuhidajat dan wim de jong (2007), dengan

pemeriksaan radiologik, seperti foto polos perut dan pielografi intravena,

dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan, misalnya batu


10

saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikulum kandung kemih. kalau

dibuat foto stelah miksi, dapat dilihat sisa urin. Pembesaran prostat dapat

dilihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara

tidak langsung, pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila dasar buli-

buli pada gambaran sistogram tampak terangkat ujung distal ureter

membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Apabila fungsi ginjal buruk

sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang kateter

menetap, dapat dilakukan sitogram retrograd.

8. Penatalaksanaan Medis

Menurut Sjamsuhidjat dan de Jong (2010) dalam penatalaksanaan

pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis,

yaitu :

a. Stadium I

Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah,

diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor

alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek

positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses

hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak

dianjurkan untuk pemakaian lama.

b. Stadium II

Ada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan

pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra

(trans uretra).
11

c. Stadium III

Pada stadium III reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila

diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan

selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.

Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik

dan perineal.

d. Stadium IV

Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan

penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi.

Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi

diagnosis, kemudian terapi definitive dengan Transurethral Resection

(TUR) atau pembedahan terbuka.

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan

dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan

memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan

konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang

menekan produksi LH.

Menurut Andra saferi dan yessie mariza, (2013) penatalaksanaan

pada BPH dapat dilakukan dengan:

a. Observasi

Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat

dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol

keluhan, sisa kencing dan colok dubur.


12

b. Medikamentosa

Terapi medikamentosa pada penanganan BPH antara lain :

1) Mengharnbat adrenoreseptor alfa

2) Obat anti androgen

3) Penghambat enzim alfa 2 reduktase

4) Fisioterapi

c. Terapi Bedah

Prostatectomy merupakan tindakan pembedahan bagian prostate

(sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk

memeperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.

Prostatektomy diindikasikan untuk hiperplasia dan kanker

prostat. Prostatektomi mencakup bedah pengangkatan sebagian atau

keseluruhan kelenjar prostat. Pendekatan pembedahan dapat transuretra

(melalui uretra), atau melalui suprapubis (abdomen bawah dan leher

kandung kemih), perineal (anterior rektum), atau insisi retropubis

(abdomen bawah, tidak dilakukan reseksi leher kandung kemih).

(Carpenito, 2010)

Menurut Smeltzer dan Bare (2005) jenis Prosratektomy, yaitu :

1) Trans Uretral Resection Prostatectomy (TURP)

Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat

melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan melalui uretra.


13

2) Prostatektomi Suprapubis (Suprapubic/Open Prostatectomy)

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada

kandung kemih.

3) Prostatektomi retropubis (Retropubik Prostatectomy)

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen

bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung

kemih.

4) Prostatektomi Peritoneal (Perineal Prostatectomy)

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi

diantara skrotum dan rektum.

d. Terapi Invasif Minimal

Terapi invasif minimal dalam penatalaksanaan Benign Prostatic

Hyperplasia (BPH), antara lain :

1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)

Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke

kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung

kateter.

2) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

3) High Intensity Focused Ultrasound

4) Ablasi Jarum Transuretra (TUNA)

5) Stent Prostat
14

Menurut Mansjoer, dkk (2000) dalam pemilihan prosedur

pembedahan prostatektomy bergantung pada :

a. Ukuran kelenjar

b. Keparahan obstruksi

c. Usia dan kondisi pasien

d. Adanya Penyakit berkaitan

9. Komplikasi

Menurut Andra dan Yessie (2013), komplikasi yang dapat terjadi

pada hipertropi prostat adalah :

a. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,

hidronefrosis, gagal ginjal.

b. Proses perusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu

miksi.

c. Hernia/hemoroid

d. Hematuria.

e. Sistitis dan Pielonefritis

Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik

mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan

peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan

hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan

yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam

vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang

dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan

pyelonefritis (Sjamsuhidajat & de Jong, 2005).


15

B. Konsep Dasar Keperawatan

Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang

membutuhkan perawatan tidak terlepas dari pendekatan dengan proses

keperawatan. Proses keperawatan yaitu suatu proses pemecahan yang dinamis

dalam usaha untuk memperbaiki dan melihat pasien sampai ketaraf optimum

melalui suatu pendekatan yang sistematis untuk mengenal, membantu

memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan langkah-langkah yaitu perencanaan,

pelaksanaan tindakan, dan evaluasi keperawatan yang berkesinambungan.

1. Fokus Pengkajian

Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses

keperawatan. Menurut Doenges, dkk (2000) fokus pengkajian pasien

dengan BPH adalah sebagai berikut :

a) Sirkulasi

Pada kasus BPH sering dijumpai adanya penurunan tekanan

darah. Peningkatan nadi sering dijumpai pada kasus postoperasi BPH

yang terjadi karena kekurangan volume cairan.

b) Integritas Ego

Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu

integritas egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi

pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan,

kacau mental, perubahan perilaku.

c) Eliminasi

Pada kasus post operasi BPH terjadi gangguan eliminasi yang

terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga


16

perlu adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya

perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin,

contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak

ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan.

Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya

konstipasi.

d) Makanan dan cairan

Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena

efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari

anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual,

muntah, penurunan berat badan. Tindakan yang perlu dikaji adalah

awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.

e) Nyeri dan kenyamanan

Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah

kebutuhan dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan

kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien post operasi biasanya

ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri

punggung bawah.

f) Keselamatan/ keamanan

Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor

keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat

penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian


17

paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-

tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada pre

operasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan

juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada

saluran perkemihannya.

g) Seksualitas

Pada pasien BPH baik pre operasi maupun post operasi

terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada

kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan

intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran

atau nyeri tekan pada prostat.

h) Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien pre operasi

maupun post operasi BPH. Pada pre operasi perlu dikaji, antara lain urin

analisa, kultur urin, urologi urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, sel

darah putih. Sedangkan pada post operasinya perlu dikaji kadar

hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar

leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.


18

2. Pathway Keperawatan

a. Pathway Pre Operasi


Perubahan usia (usia lanjut)

Ketidakseimbangan produksi estrogen dan testosteron

Pertumbuhan sel kelenjar jaringan adipose BPH

DHT dan enzim alfa reduktase obstruksi

Memacu m-RNA iritasi

Pertumbuhan kelenjar pengosongan yang destrusor


Prostate tidak sempurna berkontraksi

Resistensi vesika Disuria


rasa tidak puas
saat miksi
Nyeri Inkontinensia urin
Destrusor menebal

Nyeri supra pubik

Retensi urin Perubahan status kesehatan


Hidroureter, kemungkinan prosedur operasi
Hidronefrosis, dan
Gagal ginjal Ansietas

Kerusakan pola eliminasi urin

Distensi kandung kemih Kurang terpajan informasi


Diuretik proses penyakit dan

Refluks vesiko ureter pengobatan

Resiko Infeksi
Kurang pengetahuan

Resiko ketidakseimbangan

volume cairan

Gambar 2.2 Pathway


Sumber: Doenges, (2000)
19

b. Pathway Post Operasi

Perubahan usia (usia lanjut)

Ketidak seimbangan produksi estrogen dan testosteron

Kadar Testoteron menurun Kadar Estrogen meningkat

Proliferasi sel prostat Hiperplasi sel stroma pada jaringan prostat

BPH

Gangguan
Pembedahan Mobilitas Fisik
Adanya media masuk kuman

Pendarahan Terputusnya kontinuitas jaringan

Resiko
Resiko Kerusakan
Nyeri Akut
Kekurangan

penurunan Hb
Resiko Infeksi

ketidakefektifan Perfusi
Jaringan perifer

Sumber: NANDA NIC-NOC, 2013)


20

3. Prioritas Diagnosa Masalah

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul dari hasil pengkajian

pada pasien dengan BPH menurut Doengoes, dkk (2006) dan NANDA

(2007), adalah :

a. Pre operasi

Diagnosa keperawatan pre operasi BPH, yaitu :

1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (resistensi

vesika, penebalan destrusor dan disuria).

2) Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi

anatomik (penebalan destrusor dan retensi urin).

3) Cemas berhubungan dengan status kesehatan (kemungkinan

prosedur operasi).

4) Kurang pengetahuan berhubugan dengan keterbatasan paparan.

5) Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan

pemberian obat diuretik serta distensi kandung kemih.

6) Resiko infeksi berhubungan dengan destruksi jaringan serta refluks

vesiko ureter.

b. Pasca operasi

Diagnosa keperawatan pasca operasi BPH, yaitu :

1) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi

dengan diuresis dari drainase kandung kemih yang terlalu cepat.


21

2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi (terputusnya

kontinuitas jaringan akibat pembedahan).

3) Kerusakan mobolitas fisik berhubungan dengan kerusakan

neurovakuler (nyeri).

4) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.

5) Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan lingkungan

terhadap patogen (adanya media masuknya kuman akibat prosedur

invasif).

4. Fokus Intervensi keperawatan

Intervensi keperawatan menurut Diagnosa Keperawatan Nanda

(NIC & NOC) (2007), yaitu pada tabel 2.3 tentang intervensi pre operasi

dan tabel 2.4 tentang intervensi post operasi.

Tabel 2.3 Intervensi Keperawatan Pre Operasi

No. Dx NOC NIC


I Setelah dilakukan tindakan NIC : Manajemen Nyeri
keperawatan diharapkan nyeri a) Kaji secara menyeluruh
berkurang atau hilang. tentang nyeri termasuk
NOC 1 : Level Nyeri lokasi, durasi,
Indikator Awal Akhir frekuensi, intensitas,
Laporkan frekuensi dan faktor penyebab
nyeri b) Observasi isyarat non
Kaji frekuensi nyeri verbal dari
Lamanya nyeri ketidaknyamanan
berlangsung terutama jika tidak
Ekspresi wajah dapat berkomunikasi
terhadap nyeri secara efektif
Perubahan vital c) Berikan analgetik
sign dengan tepat.
d) Berikan informasi
tentang nyeri, seperti
penyebab nyeri, berapa
22

lama akan berakhir, dan


antisipasi
ketidaknyamanan dari
prosedur.
e) Ajarkan teknik non
formakologi (misalnya;
relaksasi, distraksi).

No. Dx NOC NIC


NOC 2 : Kontrol nyeri
Kriteria Hasil :
Indikator Awal Akhir
Mengenal faktor
penyebab
Gunakan tindakan
pencegahan
Gunakan tindaka
non analgetik
Gunakan analgetik
yang tepat
Keterangan :
1. Ekstrim 4. Ringan
2. Berat 5. Tidak ada
3. Sedang

II Setelah dilakukan tindakan NIC : Manajemen


keperawatan diharapkan pola eliminasi Eliminasi
urin kembali normal. a) Jelaskan pada klien
NOC : pola Eliminasi tentang perubahan dari
pola eiminasi.
Indikator Awal Akhir b) Dorong klien untuk
berkemih tiap 2-4 jam
Berkemih dalam dan bila dirasakan.
jumlah normal c) Perkusi/palpasi area
Residu pasca suprapubik
berkemih kurang d) Observasi aliran dan
dari 50 ml kekuatan urine, ukur
Klien dapat residu urine pasca
berkemih volunter berkemih
Keterangan : e) Monitor laboratorium :
1. Ekstrim 4. Ringan urinalisa dan kultur,
23

2. Berat 5. Tidak menunjukan BUN, kreatinin


3. Sedang f) Kolaborasi dengan dokter
untuk pemberian obat
antagonis dan alfa
adrenergik (prazosin).

III Setelah dilakukan tindakan NIC : Anxiety Reduction


keperawatan diharapkan cemas (Penurunan kecemasan)
berkurang/hilang. a) Gunakan
NOC : Anxiety Control, Coping, pendekatan yang
Impulse control menenangkan
Kriteria Hasil: b) Jelaskan semua
Indikator Awal Akhir proedur dan apa
yang dirasakan
Cemas selama prosedur
Mampu mengontrol c) Temani pasien
cemas untuk memberikan
Vital signnormal keamanan dan
Keterangan : mengurangi takut
1. Ekstrim 4. Ringan d) Dorong keluarga
2. Berat 5. Tidak ada untuk menemani
3. Sedang e) Intrsuksikan pasien
menggunakan
teknik relaksasi.
f) Berikan mengenai
informasi
diagnosis, tindakan
dan prognosis.
NO.DX NOC NIC
IV Setelah dilakukan tindakan NIC : Teaching : disease
keperawatan diharapkan klien dan process
keluarga dapat mengetahui tentang a) Beri penilaian
keadaan dan penyakit klien. tentang tingkat
NOC : Knowledge : disease process pengetahuan pasien
and health behavior b) Jelaskan penyakit
Kriteria Hasil : yang diderita pasien
Indikator Awal Akhir c) Gambarkan proses
penyakit dengan
Pasien dan keluarga cara yang tepat
mengatakan d) Diskusikan pilihan
pemahaman tentang terapi atau
penyakit, kondisi, penanganan.
prognosis, dan
program pengobatan
Pasien dan keluarga
mampu
24

melaksanakan
prosedur yang telah
dijelaskan
Keterangan :
1. Ekstrim 4. Ringan
2. Berat 5. Tidak ada
3. Sedang

V Setelah dilakukan tindakan NIC 1 : Fluid


keperawatan diharapkan resiko Management
ketidakseimbangan volume cairan tidak a) Pertahankan intake dan
terjadi. output yang akurat
NOC : Keseimbangan asam basa dan b) Monitor vital sign
elektrolit, keseimbangan cairan dan c) pasang urine kateter
hidrasi jika perlu
Kriteria hasil : d) Monitor masukan
Indikator Awal Akhir makanan/cairan
e) Berikan diuretik sesuai
Terbebas dari edema instruksi
Terbebas dari NIC 2 : Fluid Monitoring
kelelahan, a) Monitor berat badan
kecemasan b) Catat secara akurat
Keterangan : intake dan output
1. Ekstrim 4. Ringan
2. Berat 5. Tidak ada
3. Sedang
VI Setelah dilakukan tindakan NIC 1 : Infection Control
keperawatan diharapkan resiko infeksi a) pertahankan teknik
tidak terjadi. isolasi dan batasi
NOC : Immune status, knowledge : pengunjung
infection control, risk control b) Gunakan baju, sarung
Kriteria hasil : tangan sebagai
Indikator Awal Akhir pelindung.
c) Pertahankan
Klien terbebas dari lingkungan aseptik.
tanda dan gejala d) Lakukan perawatan
infeksi luka dengan
Jumlah leukosit mempertahankan
dalam batas normal teknik aseptik
Keterangan : e) Beri terapi antibiotik.
1. Ekstrim 4. Ringan NIC 2 : Infection Protector
2. Berat 5. Tidak ada a) Monitor tanda dan
3. Sedang gejala infeksi
b) Monitor granulosit,
WBC
25

Tabel 2.4 Intervesi Keperawatan Post Operasi


No. Dx NOC NIC
I Setelah dilkukan tindakan perawatan NIC : Fluid Management
proses keperawatan diharapkan a) Pertahankan catatan
kebutuhan cairan dan elektrolit intake dan output yang
terpenuhi. akurat
NOC : Fluid balance b) Monitor vital sign
Kriteria hasil : c) Monitor status hidrasi
Indikator Awal Akhir (kelembaban membran
mukosa, nadi adekuat0
Vital sign dalam d) Kolaborasikan
batas normal pemberian cairan
Tidak ada dehidrasi intravena (IV)
Elastis turgor kulit e) Masukan oral
baik f) Hitung balance cairan
Tidak ada rasa haus
yang berlebihan
Perubahan vital
sign
Keterangan :
1. Ekstrim 4. Ringan
2. Berat 5. Tidak ada
3. Sedang

II Setelah dilakukan tindakan NIC : Manajemen Nyeri


keperawatan diharapkan nyeri a) Kaji secara mnyeluruh
berkurang atau hilang. tentang nyeri termasuk
NOC 1 : Level Nyeri lokasi, dursi, frekuensi,
Kriteria hasil : intensitas, dan faktor
Indikator Awal Akhir penyebab
b) Observasi isyarat non
Laporkan frekuensi verbal dari
nyeri ketidaknyamanan
Kaji frekuensi nyeri terutama jika tidak
Elastis turgor kulit dapat berkomunikasi
baik secara efektif
Ekspresi wajah c) Ajarkan teknik non
terhadap nyeri formakologi (misalnya;
Perubahan vital relaksasi, distraksi)
sign d) kolaborasi medis
Keterangan : pemberian analgetik
1. Ekstrim 4. Ringan dengan tepat
2. Berat 5. Tidak ada
3. Sedang

III Setelah dilakukan tindakan NIC : Exercise Therapy


keperawatan diharapkan pasien dapat Ambulation
meningkatkan mobilisasi pada tingkat a) Bantu pasien untuk
26

yang paling tinggi. menggunakan fasilitas


NOC : Mobility Level alat bantu jalan dan
Kriteria hasil : cegah kecelakaan atau
Indikator Awal Akhir jatuh
Gerakan otot b) Tempatkan meja klien
Gerakan Sendi pada posisi yang mudah
Ambulansi jalan dijangkau/diraih
dan kursi roda c) Monitor pasien dalam
Memposisikan menggunakan alat
tubuh bantu jalan yang lain
Keterangan : d) Intruksikan
1. Dibantu total pasien/pemberi
2. Bantuan orang lain dan alat pelayanan ambulansi
3. Memerlukan orang lain tentang teknik
4. Melakukan sendiri dengan alat ambulansi
5. Mandiri

No. Dx NOC NIC


IV Setelah dilakukan tindakan perawatan NIC : Skin Surveilance
diharapkan kerusakan integritas kulit a) Observation
tidak terjadi. ekstremitas edema,
NOC : Integritas jaringan: kulit dan ulserasi, kelembaban
membran mukosa. b) Monitor temperatur
Kriteria hasil : kulit dan warna kulit
Indikator Awal Akhir c) Inspeksi kulit dan
membran mukosa
Elastisitas normal d) Inspeksi kondisi insisi
Warna, tekstur bedah
Jaringan bebas lesi e) Monitor infeksi dan
Sensasi normal edema
Keterangan :
1. = Tidak menunjukan
2. = Ringan
3. = Sedang
4. = Berat
5. = Ekstrim
27

V Setelah dilakukan tindakan NIC : Teaching disease


keperawatan diharapkan infeksi tidak proses
terjadi. a) Deskripsikan proses
NOC : Deteksi infeksi penyakit dengan tepat
Kriteria hasil : b) Sediakan informasi
Indikator Awal Akhir tentang kondisi pasien
c) Diskusikan perawatan
Mengukur tanda yang akan dilakukan
dan gejala yang d) Gambaran tanda dan
mengindikasikan gejala penyakit
infeksi e) Instruksikan pasien
Berpartisipasi untuk melaporkan
dalam perawatan kepada perawat untuk
kesehatan melaporkan tentang
Mampu tanda dan gejala yang
mengindentifikasi dirasakan
potensial resiko
Keterangan :
1. = Selalu menunjukan
2. = Sering menunjukan
3. = Kadang menunjukan
4. = Jarang menunjukan
5. = Tidak pernah menunjukan

You might also like