You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik penyakit hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
gangguan kerja insulin atau keduanya, yang menimbulkan berbagai komplikasi
kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah.

Hiperglikemik kronik pada DM berkontribusi terhadap munculnya


berbagai komplikasi, kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan berbagai
organ seperti mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. Penderita
diabetes dibandingkan dengan non-diabetes memiliki kecenderungan 2 kali lebih
mudah mengalami trombosis serebral, 25 kali menjadi buta, 2 kali terjadi penyakit
jantung koroner, 17 kali terjadi CKD (Chronic Kidney Disease), dan 50 kali
terjadi ulkus diabetika.

Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan sebagai kelainan pada


struktur atau fungsi ginjal, berlangsung selama 3 bulan atau lebih. Kelainan
struktural menyebabkan terjadinya albuminuria lebih dari 30mg/hari, hematuria
atau adanya sel darah merah dalam urin, ketidakseimbangan elektrolit dan
kelainan tubular (Wells, 2015). Pada pasien Chronic Kidney Disease (CKD),
kelebihan glukosa yang masuk sel glomerulus dapat menyebabkan peningkatan
Transforming Growth Factor-β (TGF-β) dan peningkatan Extracellular Matrix
(ECM) yang berperan dalam perkembangan nefropati diabetik (Lubis, 2009).

Nefropati diabetik adalah salah satu komplikasi End Stage Renal Disease
(ESRD) yang paling umum terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 dan
tipe 2. Nefropati diabetik ditandai dengan perubahan morfologi pada ginjal dan
terjadi mikroalbuminuria berkembang menjadi makroalbuminuria dan penurunan
laju filtrasi glomerulus (Elmarakby and Sullivan, 2010). Banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya nefropati diabetik diantaranya genetik, ras, usia, obesitas,
merokok, penurunan laju filtrasi glomerulus, kontrol glikemik, tekanan darah
(Vassallo, 2008). Pada diabetes tipe 2, sekitar 20% pasien berkembang menjadi
stadium 3 dengan normoalbuminuria menetap. Mikroalbuminuria merupakan
indikator perkembangan kerusakan ginjal pada pasien dengan diabetes (Klein,
2012).

World Health Organization (WHO) telah mengidentifikasi diabetes


sebagai masalah kesehatan utama pada kasus Chronic Kidney Disease (CKD).
Asia Tenggara mempunyai risiko gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi
glukosa lebih tinggi dibandingkan dengan Eropa. Perkembangan dari Chronic
Kidney Disease (CKD) yang terjadi salah satunya adalah nefropati diabetik sekitar
27%, dan nefropati diabetik 13% pada pasien diabetes tipe 2 (Ritz and Zeng,
2011). Menurut American Diabetes Association (ADA) nefropati diabetik terjadi
pada 20%-40% pasien diabetes berkembang menjadi gagal ginjal stadium akhir
(ADA, 2011). Tanpa upaya pencegahan dan program pengendalian yang efektif,
penderita diabetes akan terus meningkat di Indonesia. Prediksi World Health
Organization (WHO) memperkirakan pada 2030 ada 21,3 juta penduduk
Indonesia merupakan penderita diabetes (DepKes, 2013).

Di Indonesia, penyebab kematian akibat Chronic Kidney Disease (CKD)


dengan diabetes pada tahun 2011 mencapai 26.50% (Riskerdas, 2011). Menurut
data yang dilaporkan oleh Perkumpulan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) jumlah
pasien Chronic Kidney Disease (CKD) berdasarkan diagnosa dan etiologi dari
4500 pasien sebanyak 3405 pasien mengalami nefropati diabetik (Pernefri, 2011).

Sebanyak 25-50% penyandang diabetes menderita nefropati, terutama


yang memiliki kontrol glikemik yang buruk, telah mengalami nefromegali dengan
penurunan Glomerural Filtration Rate (GFR) pada saat diagnosis diabetes
diabetes tipe 2 setelah periode hiperfiltrasi glomerulus, secara klinis awal
terdeteksi nefropati diabetik adalah mikroalbuminuria. Mikroalbuminuria adalah
jumlah albumin dalam urin sangat kecil di bawah normal. Secara klinis relevan
jika dalam kisaran 20-200mg albumin, kreatinin kisaran 30mg-300mg dalam
spesimen urin selama 24 jam. Pasien diabetes mellitus mengalami
mikroalbuminuria berkembang menjadi nefropati terbuka karena tingkat
kehilangan albumin dalam urin berkisar >300 mg dalam 24 jam yang terjadi pada
50% pasien (Luzia and Mauer, 2009). Renin Angiotensinogen-Aldosteron System
(RAAS) berperan penting dalam memelihara hemodinamik dan homeostasis
kardiovaskular. Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan darah dan
sebaliknya hipertensi pada waktu jangka lama dapat mengganggu ginjal (Tessy,
2009).

Penatalaksanaan nefropati diabetik meliputi pengendalian tekanan darah


memberi efek perlindungan yang besar baik terhadap ginjal (renoproteksi)
maupun terhadap organ kardiovaskular, pengendalian kadar gula darah secara
intensif akan mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit
kardiovaskular. Pada pasien diabetes mellitus tipe 1 ataupun tipe 2, pengaturan
diet untuk mengurangi progresivitas nefropati dengan pemberian diet rendah
protein, penanganan multifaktorial pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan
mikroalbuminuria (Lubis, 2009).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Penyakit Chronic Kidney Disease et causa Diabetes


Mellitus
2.1.1 Definisi

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi renal yang


progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). CKD merupakan
perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung
beberapa tahun.

Diabetes merupakan penyakit metabolik sebagai akibat dari kurangnya


insulin efektif maupun insulin absolut dalam tubuh, dimana gangguan primer
terletak pada metabolisme karbohidrat, yang dapat juga menyebabkan gejala
klinik akut maupun kronik. Salah satu komplikasi kronik dari diabetes adalah
nefropati. Kerusakan pada nefron akibat glukosa dalam darah yang tidak dipakai
disebut nefropati diabetes. Nefropati ini yang lama kelamaan dapat menyebabkan
CKD. Bila kita dapat menahan tingkat glukosa dalam darah tetap rendah, kita
dapat menunda atau mencegah nefropati diabetes.

2.1.2 Epidemiologi

Nefropati Diabetika adalah komplikasi Diabetes mellitus pada ginjal yang


dapat berakhir sebagai gagal ginjal. Keadaan ini akan dijumpai pada 35-45%
penderita diabetes militus terutama pada DM tipe I. Pada tahun 1981 Nefropati
diabetika ini merupakan penyebab kematian urutan ke-6 di Negara barat dan saat
ini 25% penderita gagal ginjal yang menjalani dialisis disebabkan oleh karena
Diabetes mellitus teritama DM tipe II oleh karena DM tipe ini lebih sering
dijumpai. Dibandingkan DM tipe II maka Nefropati Diabetika pada DM tipe I
jauh lebih progresif dan dramatis. Dengan meremehkan penyakit DM maka bisa
berkomplikasi ke Nefropati diabetika. Berdasar studi Prevalensi mikroalbuminuria
(MAPS), hampir 60% dari penderita hipertensi dan diabetes di Asia menderita
Nefropati diabetik. Presentasi tersebut terdiri atas 18,8 % dengan
Makroalbuminuria dan 39,8 % dengan mikroalbuminuria.

2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik atas dasar derajat penyakit:

2.1.4 Etiologi

1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik, glomerulonefritis


2. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
3. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
4. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal
polikistik,asidosis tubulus ginjal
5. Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
6. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
7. Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli
neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah:
hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher
kandung kemih dan uretra.
8. Batu saluran kencing yang menyebabkan hidrolityasis
2.1.5 Patofisiologi

Terjadinya kerusakan ginjal, hiperfiltrasi sebagai awal dari mekanisme


patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron
yang sehat lambat laun akan menyebabkan skleriosis dari nefron tersebut.
Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati diabetik
kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung
glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin
dan glukagon.

Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis


matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-β yang diperantarai oleh aktivasi protein
kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki
fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan
permeabilitas kapiler. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi
nonenzimatik asam amino dan protein atau reaksi Mallard dan Browning. Pada
awalnya, glukosa akan mengikat residu amino serta non-enzimatik menjadi basa
Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih
stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini
berlanjut terus, akan terbentuk Advenced Glycation End-Product (AGEs) yang
ireversibel.
AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler
seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel
mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler
serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi
ekspansi mesangium dan pementukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis
sesuai dengan tahap 1-5. Dari kadar glukosa yang tinggi menyebabkan terjadinya
glikosilasi protein membran basalis, sehingga terjadi penebalan selaput membran
basalis, dan terjadi pula penumpukkan zat serupa glikoprotein membran basalis
pada mesangium sehingga lambat laun kapiler-kapiler glomerulus terdesak, dan
aliran darah terganggu yang dapat menyebabkan glomerulosklerosis dan hipertrofi
nefron yang akan menimbulkan nefropati diabetik.

Nefropati diabetik menimbulkan berbagai perubahan pada pembuluh-


pembuluh kapiler dan arteri, penebalan selaput endotelial, trombosis, adalah
karakteristik dari mikroangiopati diabetik dan mulai timbul setelah periode satu
atau dua tahun menderita Diabetes Melitus. Hipoksia dan iskemia jaringan-
jaringan tubuh dapat timbul akibat dari mikroangiopati khususnya terjadi pada
retina dan ginjal. Manifestasi mikroangiopati pada ginjal adalah nefropati diabetik,
dimana akan terjadi gangguan faal ginjal yang kemudian menjadi kegagalan faal
ginjal menahun pada penderita yang telah lama mengidap Diabetes Melitus.

Berikut tahapan-tahapan nefropati diabetik:

1. Tahap I

Pada tahap ini LGF meningkat sampai dengan 40% di atas normal
yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan
tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversibel dan
berlangsung 0-5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe 2 ditegakkan. Dengan
pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya kelainan fungsi maupun
struktur ginjal akan normal kembali.

2. Tahap II
Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubahan
struktur ginjal berlanjut, dan LGF masih tetap meningkat. Albuminuria
hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stres atau kendali
metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya
sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas biasanya
terkait dengan memburuknya kendali metabolik. Tahap ini disebut sebagai
tahap sepi (silent stage).

3. Tahap II

Ini adalah tahap awal nefropati atau insipient diabetic nephropathy


saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi 10-15 tahun
diagnosis DM tegak. Secara histopatologis, juga telah jelas penebalan
membran basalis glomerulus. LGF masih tetap ada dan mulai meningkat.
Keadaan ini dapat bertahan bertahun-tahun dan progresivitas masih
mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang kuat.

4. Tahap IV

Ini merupakan tahapan saat dimana Nefropati Diabetik


bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata dengan
pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat tajam dan LGF
menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15-20 tahun DM tegak.
Penyulit diabetes lainnya sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati,
neuropati, gangguan profil lemak dan gangguan vascular umum.
Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan
pengendalian glukosa darah, lemak darah dan tekanan darah.

5. Tahap V

Ini adalah tahap akhir gagal ginjal, saat LGF sudah sedemikian
rendah sehingga penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan
memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun
cangkok ginjal.
2.1.6 Pathway DIABETES

Defisiensi insulin

Glukagon  Pemakaian glukosa sel 

Glukoneogenesis
Hiperglikemia Nutrisi sel 

Lemak Protein Glycosuria Polyphagi

Ketogenesis BUN  Osmotic diuresis Polyuri

Ketonemia Nitrogen urin  Dehidrasi Polydipsi Jantung IMA

pH  Hemokonsentrasi Cerebral Stroke

asidosis arteriosklerosis Makrovaskuler ekstremitas Gangran

Mual Koma Mikrovaskuler

Muntah Kematian
Retina Ginjal

Retinopati Nefropati

CKD

Ggn. sekresi protein retensi Na sekresi eritropoitin 

sindrom uremia edema produksi Hb dan sel


darah merah 
perpospatemia pruritus Kerusakan kelebihan volume
Integritas Kulit cairan
suplai O2  intoleransi aktivitas
urokrom perubahan
tertimbun di
kulit
warna kulit
Ketidakefektifan
Penurunan perfusi jaringan
Toksisitas Enchepalop
ureum di otak perifer
ati kesadaran
perfusi jaringan
Ggn. asam - Mual Ketidakseimb
basa angan nutrisi
Muntah kurang dari
alkalosis Ketidakefek kebutuhan
respiratorik tifan pola tubuh
nafas
2.1.7 Manifestasi Klinis
1. Kardiovaskuler

a. Hipertensi
b. Pitting edema
c. Edema periorbital
d. Pembesaran vena leher
e. Friction rub perikardial
2. Pulmoner

a. KrekelS
b. Nafas dangkal
c. Kusmaul
d. Sputum kental dan liat
3. Gastrointestinal

a. Anoreksia, mual dan muntah


b. Perdarahan saluran GI
c. Ulserasi dan perdarahan pada mulut
d. Konstipasi / diare
e. Nafas berbau amonia
4. Muskuloskeletal

a.Kram otot
b. Kehilangan kekuatan otot
c.Fraktur tulang
d. Foot drop
5. Integumen

a.Warna kulit abu-abu mengkilat


b. Kulit kering, bersisik
c.Pruritus
d. Ekimosis
e.Kuku tipis dan rapuh
f. Rambut tipis dan kasar
6. Reproduksi
a. Amenore, atrofi testis
2.1.8 Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Urin

1) Volume: biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tak ada


(anuria)
2) Warna: secara abnormal urin keruh kemungkinan
disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen
kotor, kecoklatan menunjukkkan adanya darah, Hb, mioglobin,
porfirin
3) Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal
berat
4) Osmoalitas: kuran gdari 350 mOsm/kg menunjukkan
kerusakn ginjal tubular dan rasio urin/serum sering 1:1
5) Klirens kreatinin: mungkin agak menurun
6) Natrium:lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak
mampu mereabsorbsi natrium
7) Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat
menunjukkkan kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen
juga ada
b. Darah

1) BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga


tahap akhir
2) Ht : menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-
8 gr/dl
3) SDM: menurun, defisiensi eritropoitin
4) GDA:asidosis metabolik, ph kurang dari 7,2
5) Natrium serum : rendah
6) Kalium: meningkat
7) Magnesium;
8) Meningkat
9) Kalsium ; menurun
10) Protein (albumin) : menurun
2. Osmolalitas serum: lebih dari 285
mOsm/kg
3. Pelogram retrograd: abnormalitas
pelvis ginjal dan ureter
4. Ultrasono ginjal : menentukan
ukuran ginjal dan adanya masa , kista, obstruksi pada saluran
perkemihan bagian atas
5. Endoskopi ginjal, nefroskopi:
untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan
pengangkatan tumor selektif
6. Arteriogram ginjal: mengkaji
sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, masa
7. EKG: ketidakseimbangan elektrolit
dan asam basa
2.1.9 Penatalaksanaan
1. Konservatif

a. Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin


b. Observasi balance cairan
c. Observasi adanya odema
d. Batasi cairan yang masuk
2. Dialysis
a. peritoneal dialysis
Biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak
bersifat akut adalah CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial
Dialysis )
b. Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di
vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis
dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah
maka dilakukan :
c. AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
d. Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi ke
jantung )
3. Operasi

a. Pengambilan batu
b. transplantasi ginjal
4. Pengendalian gula darah

Dapat dilakukan dengan olahraga, diet dan obat anti diabetes. Pada
pasien ini diberikan diet DM 1700 kal/hari. Pemberian insulin diberikan
untuk mengendalikan kadar gula darah pasien. Pemberian anti diabetik
oral tidak diberikan karena pasien telah mengalami komplikasi berupa
gangguan ginjal. Akibat dari gangguan fungsi ginjal apabila obat oral
diberikan tidak dapat diekskresikan, sehingga mengalami penumpukan
akibatnya terjadi hipoglikemia

5. Diet

Diet protein 0,6 /KgBB/hari dimaksudkan untuk mengurangi


sindrom uremik dan memperlambat penurunan GFR. Diet rendah garam
dimaksudkan untuk mengurangi retensi natrium yang dapat
mengakibatkan hipertensi dan edema. Diet rendah kalium dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya hiperkalemia yang dapat menimbulkan aritmia
jantung yang fatal.

6. Diuretik

Diuretik diberikan untuk mengurangi cairan akibat dari retensi Na


dan air. Pemberian diuretik pada pasien ini dimaksudkan untuk
mengurangi gejala sesak napas akibat edema paru . Diuretik yang
diberikan furosemid 40 mg 1 tab/hari. Selain itu diuretik juga digunakan
untuk menurunkan tekanan darah. Target tekanan darah yang dianjurkan
adalah <130/80

7. Anti hipertensi

Pemberian antihipertensi diperlukan untuk mengurangi tekanan


darah pada pasien, karena hal ini dapat memperberat proses sklerosis
glomerulus dan menambah beban jantung sehingga jantung bekerja lebih
berat lagi dan akhirnya menimbulkan dekompensasi kordis. Anti hipertensi
yang diberikan pada pasien ini awalnya methyldopa 250 mg 3x1,
kemudian digantikan dengan amlodipine 5 mg 1x/hari. Amlodipine
termasuk dalam golongan Ca antagonis non dihydropiridine, yang
berfungsi sebagai venodilator vas eferen

8. Statin

Statin diberikan pada keadaan dislipidemia dengan target LDL


kolestrol <100mg/dl pada pasien DM dan <70 mg/dl bila sudah ada
kelainan kardiovaskular. Pada pasien ini diberikan simvastatin 10 gr,
malam hari. 5. Terapi pengganti ginjal Terapi ini dilakukan pada penyakit
ginjal kronik stadium 5 yaitu pada LFG <15 ml/mnt. Terapi pengganti
tersebut berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

2.1.10 Komplikasi:

1. Toksisitas
2. Koma
3. Kematian
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Chronic Kidney Disease
(CKD) Causa Deabetes Mellitus
2.2.1 Pengkajian

Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu


pada Doenges (2010), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :

1. Demografi.

Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada


juga yang mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh
berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan
sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan
juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena
kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan lingkungan
yang tidak menyediakan cukup air minum / mengandung banyak
senyawa/zat logam dan pola makan yang tidak sehat.

2. Riwayat penyakit

Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM,


glomerulo nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi
saluran kemih, dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu
kemungkinan terjadinya CKD

3. Pengkajian pola fungsional


Gordon
a. Pola persepsi dan
pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat
ini sedang sakit parah. Pasien juga mengungkapkan telah
menghindari larangan dari dokter. Tandanya adalah pasien terlihat
lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya seprti
ini meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari.

b. Pola nutrisi dan


metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan
BB dalam kurun waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual,
muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
c. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output
dan input. Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi
konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak
singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
d. Aktifitas dan latian.
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak
lemah, serta pasien tidak dapat menolong diri sendiri. Tandanya
adalah aktifitas dibantu.
e. Pola istirahat dan
tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan
terdapat kantung mata. Tandanya adalah pasien terliat sering
menguap.
f. Pola persepsi dan
koknitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya
adalah penurunan kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak
dapat berkomunikasi dengan jelas.
g. Pola hubungan
dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan
harga diri sampai terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya
lebih menyendiri, tertutup, komunikasi tidak jelas.
h. Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya
penurunan kepuasan dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan
libido, keletihan saat berhubungan, penurunan kualitas hubungan.

i. Pola persepsi diri.


Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya
kaki menjadi edema, citra diri jauh dari keinginan, terjadinya
perubahan fisik, perubahan peran, dan percaya diri.
j. Pola mekanisme
koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat
mengambil keputusan dengan tepat, mudah terpancing emosi.
k. Pola kepercayaan.
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan
merasa bersalah meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien
tidak dapat melakukan kegiatan agama seperti biasanya.
4. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan
umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri.
Kesadaran pasien dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea,
nadi meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena
kekurangan nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena
kelebian cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan
terdapat kotoran telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung,
mulut bau ureum, bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut
pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid
pada leher.

f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-
debar. Terdapat otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris,
terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat
pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor
jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini,
impotensi, terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema,
pengeroposan tulang, dan Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik
dan mengkilat / uremia, dan terjadi perikarditis.

2.2.2 Diagnosa Kepeawatan


1. Ketidakefektifan pola nafas
b.d hiperventilasi sekunder
2. Kelebihan volume cairan b.d
retensi Na
3. Ketidakefektifan perfusi
jaringan perifer b.d penurunan sekresi eritropoitin
4. Intoleansi aktivitas b.d suplai
O2 menurun
5. Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh b.d sindrom uremia
6. Kerusakan Integritas Kulit
b.d gangguan sekresi potein
2.2.3 Intervensi

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


Keperawatan Hasil
1 Ketidakefektifan NOC NIC
1. Respiratory 1.
pola nafas b.d
status : Monitor TD, nadi, suhu, dan
hiperventilasi
Ventilation RR
sekunder
2. Respiratory 2.
status : Airway Monitor respirasi dan status O2
3.
patency
3. Vital sign Posisikan pasien untuk
Status memaksimalkan ventilasi

4.
Kriteria Hasil :
1. Menunjukkan
jalan nafas yang
paten (klien
tidak merasa
tercekik, irama
nafas, frekuensi
pernafasan
dalam rentang
normal, tidak
ada suara nafas
abnormal)
2. Tanda Tanda
vital dalam
rentang normal
(tekanan darah,
nadi,
pernafasan)

2 Kelebihan volume NOC NIC


1. Monitor vital sign
cairan b.d retensi 1. Electrolit and acid
2. Montor indikasi retensi /
Na base balance
kelebihan cairan
2. Fluid balance
3. Hydration (cracles, CVP, edema,
distensi vena leher,
Kriteria Hasil : asites)
3. Kaji lokasi dan luas
1. Terbebas dari
edema
edema, efusi,
4. Catat secara akurat
anaskara
intake dan output
2. Bunyi nafas
5. Kolaborasi dokter jika
bersih, tidak ada
tanda cairan berlebih
dvspneu/ortopneu
muncul memburuk
3. Terbebas dari
distensi vena
jugularis, reflek
hepatojugular (+)
4. Memelihara
tekanan vena
sentral, tekanan
kapiler paru,
output jantung
dan vital sign
dalam batas
normal

3 Ketidakefektifan NOC NIC


perfusi jaringan 1. Circulation status 1. Monitor adanya daerah
perifer b.d tertentu yang hanya peka
Kriteria Hasil:
penurunan sekresi terhadap
1. Tekanan systole
eritropoitin dan diastole dalam panas/dingin/tajam/tumpul
2. Monitor adanya paretese
rentang yang
3. Monitor adanya
diharapkan
tromboplebitis
2. Tidak ada
4. Diskusikan menganai
ortostatik
penyebab perubahan
hipertensi
sensasi
3. Tidak ada tanda
5. lnstruksikan keluarga
tanda peningkatan
untuk mengobservasi kulit
tekanan
jika ada isi atau laserasi
intrakranial (tidak 6. Kolaborasi pemberian
lebih dari 15 analgetik
mmHg)

4 Intoleansi aktivitas NOC NIC


b.d suplai O2 1. Energy 1. Monitor respon fisik,
menurun conservation emosi, social dan spiritual
2. Activity tolerance 2. Bantu klien untuk
3. Self Care : ADLs
mengidentifikasi aktivitas
yang mampu dilakukan
Kriteria Hasil :
3. Bantu untuk memilih
1. Berpartisipasi
aktivitas konsisten yang
dalam aktivitas
sesuai dengan kemampuan
fisik tanpa disertai
fisik, psikologi dan social
peningkatan 4. Bantu untuk
tekanan darah, nadi mengidentifikasi dan
dan RR mendapatkan sumber yang
2. Mampu melakukan
diperlukan untuk aktivitas
aktivitas sehari-
yang diinginkan
hari (ADLs) secara 5. Bantu untuk mendapatkan
mandiri alat bantuan aktivitas
3. Tanda-tanda vital
seperti kursi roda, krek
normal 6. Bantu klien untuk membuat
4. Energy psikomotor
jadwal latihan diwaktu
5. Level kelemahan
6. Mampu berpindah: luang
dengan atau tanpa 7. Bantu pasien/keluarga
bantuan alat untuk mengidentifikasi
7. Status
kekurangan dalam
kardiopulmunari
beraktivitas
adekuat 8. Kolaborasikan dengan
8. Sirkulasi status
tenaga rehabilitasi medik
baik
dalam merencanakan
9. Status respirasi :
program terapi yang tepat
pertukaran gas dan
ventilasi adekuat

5 Ketidakseimbangan NOC NIC


nutrisi kurang dari 1. Nutritional 1. Monitor mual dan
kebutuhan tubuh Status : food and muntah
2. Monitor adanya
b.d sindrom uremia Fluid Intake
penurunan berat badan
3. Berikan makanan yang
Kriteria Hasil :
terpilih ( sudah
1. Adanya
dikonsultasikan dengan
peningkatan berat
ahli gizi
badan sesuai 4. Berikan informasi
dengan tujuan tentang kebutuhan
2. Berat badan ideal
nutrisi
sesuai dengan
tinggi badan
3. Mampu
mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
4. Tidak ada tanda
tanda malnutrisi
5. Tidak terjadi
penurunan berat
badan yang berarti
6 Kerusakan NOC NIC
Integritas Kulit b.d 1. Tissue Integrity : 1. Monitor status nutrisi
gangguan sekresi Skin and Mucous pasien
2. Monitor kulit akan
potein Membranes
2. Hemodyalis akses adanya kemerahan
3. Jaga kebersihan kulit
agar tetap bersih dan
Kriteria Hasil :
kering
1. Integritas kulit
yang baik bisa
dipertahankan
(sensasi,
elastisitas,
temperatur,
hidrasi,
pigmentasi)
2. Tidak ada
luka/lesi pada
kulit
3. Perfusi jaringan
baik
4. Menunjukkan
pemahaman dalam
proses perbaikan
kulit dan
mencegah
terjadinya cedera
berulang
5. Mampu
melindungi kulit
dan
mempertahankan
kelembaban kulit
dan perawatan
alami
Daftar Pustaka

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2010. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

NANDA International. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi


2015 - 2017. Jakarta : EGC.

Smeltzer, Suzanne C. 2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &


Suddarth volume 2. Jakarta: EGC.

Sovari, A.A. 2008. Renal Failure, Chronic, & Dialysis Complication, (Online),
(http://emedicine.medscape.com/article/157452-media, diakses pada tgl 10
Mei 2018).

Wilkinson, Judith M. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

You might also like