You are on page 1of 24

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN FRAKTUR

1. DEFINISI FRAKTUR
 Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan puntir mendadak dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer C Suzanne,
2002)
 Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas tulang. Patahan ini mungkin tidak
lebih dari suatu retakan , suatu pengisutan atau perimpilan korteks (Aris Budiyanto,
2009).
2. KLASIFIKASI FRAKTUR
Menurut Hardiyani (1998), fraktur dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
A. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, dan cruris dst).
 Fraktur Tibia Proksimal
Fraktur ini disebut juga bumper fracture atau fraktur tibia plateau. Fraktur tibia
proksimal biasanya terjadi akibat trauma langsung dari arah samping lutut dengan
kaki yang masih terfiksasi ke tanah. Contohnya pada orang yang sedang berjalan
lalu ditabrak mobil dari samping, yang disebut bumper fracture.
Manifestasi Klinis :
Luka pada daerah yang cedera membengkak dan disertai rasa sakit, kadang-
kadang ditemukan deformitas varus atau valgus pada lutut.
Penatalaksanaan
a. Nonoperatif
Untuk fraktur yang tidak mengalami dislokasi dapat ditanggulangi dengan
beberapa cara, antara lain:
- Perban elastik (teknik Robert Jones)
- Memasang gips (long leg plaster)
- Traksi skeletal menurut cara Appley. Pasien tidur terlentang, pada tibia 1/3
proksimal dipasang Steinmann pin, langsung ditarik dengan beban yang
cukup (> 6 kg). Sementara dilakukan traksi, lutut pasien yang cedera dapat
digerakkan.
b. Operatif
Apabila terjadi dislokasi yang cukup lebar atau permukaan sendi tibia amblas
lebih dari 2 mm, dilakukan reduksi terbuka dan dipasang fiksasi interna dengan
buttress plate dan cancellous screw.
 Fraktur Antebrakhial Distal
Ada empat macam fraktur yang khas:
1. Fraktur Colles
Deformitas pada fraktur ini berbentuk seperti sendok makan (dinner fork
deformity). Pasien terjatuh dalam keadaan tangan terbuka dan pronasi, tubuh
beserta lengan berputar ke ke dalam (endorotasi). Tangan terbuka yang
terfiksasi di tanah berputar keluar (eksorotasi/supinasi).
Manifestasi Klinis
- Fraktur metafisis distal radius dengan jarak _+ 2,5 cm dari permukaan
sendi distal radius
- Dislokasi fragmen distalnya ke arah posterior/dorsal
- Subluksasi sendi radioulnar distal
- Avulsi prosesus stiloideus ulna.
Penatalaksanaan
Pada fraktur Colles tanpa dislokasi hanya diperlukan imobilisasi dengan
pemasangan gips sirkular di bawah siku selama 4 minggu. Bila disertai
dislokasi diperlukan tindakan reposisi tertutup. Dilakukan dorsofleksi
fragmen distal, traksi kemudian posisi tangan volar fleksi, deviasi ulna
(untuk mengoreksi deviasi radial) dan diputar ke arah pronasio (untuk
mengoreksi supinasi). Imobilisasi dilakukan selama 4- 6 minggu.
2. Fraktur Smith
Fraktur Smith merupakan fraktur dislokasi ke arah anterior (volar), karena itu
sering disebut reverse Colles fracture. Fraktur ini biasa terjadi pada orang
muda. Pasien jatuh dengan tangan menahan badan sedang posisi tangan
dalam keadaan volar fleksi pada pergelangan tangan dan pronasi. Garis
patahan biasanya transversal, kadang-kadang intraartikular.
Manifestasi Klinis
Penonjolan dorsal fragmen proksimal, fragmen distal di sisi volar
pergelangan, dan deviasi ke radial (garden spade deformity).
Penatalaksanaan
Dilakukan reposisi dengan posisi tangan diletakkan dalam posisi dorsofleksi
ringan, deviasi ulnar, dan supinasi maksimal (kebalikan posisi Colles). Lalu
diimobilisasi dengan gips di atas siku selama 4 - 6 minggu.
3. Fraktur Galeazzi
Fraktur Galeazzi merupakan fraktur radius distal disertai dislokasi sendi
radius ulna distal. Saat pasien jatuh dengan tangan terbuka yang menahan
badan, terjadi pula rotasi lengan bawah dalam posisi pronasi waktu menahan
berat badan yang memberi gaya supinasi.
Manifestasi Klinis
Tampak tangan bagian distal dalam posisi angulasi ke dorsal. Pada
pergelangan tangan dapat diraba tonjolan ujung distal ulna.
Penatalaksanaan
Dilakukan reposisi dan imobilisasi dengan gips di atas siku, posisi netral
untuk dislokasi radius ulna distal, deviasi ulnar, dan fleksi.
4. Fraktur Montegia
Fraktur Montegia merupakan fraktur sepertiga proksimal ulna disertai
dislokasi sendi radius ulna proksimal. Terjadi karena trauma langsung.
Manifestasi Klinis
Terdapat 2 tipe yaitu tipe ekstensi (lebih sering) dan tipe fleksi. Pada tipe
ekstensi gaya yang terjadi mendorong ulna ke arah hiperekstensi dan pronasi.
Sedangkan pada tipe fleksi, gaya mendorong dari depan ke arah fleksi yang
menyebabkan fragmen ulna mengadakan angulasi ke posterior.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk menentukan ada/tidaknya dislokasi.
Lihat kesegarisan antara kondilus medialis, kaput radius, dan pertengahan
radius.
Penatalaksanaan
Dilakukan reposisi tertutup. Asisten memegang lengan atas, penolong
melakukan tarikan lengan bawah ke distal, kemudian diputar ke arah supinasi
penuh. Setelah itu, dengan jari kepala radius dicoba ditekan ke tempat
semula. Imobilisasi gips sirkuler dilakukan di atas siku dengan posisi siku
fleksi 90° dan posisi lengan bawah supinasi penuh. Bila gagal, dilakukan
reposisi terbuka dengan pemasangan fiksasi interna (plate-screw).
 Fraktur Sternum
Fraktur sternum terjadi sebagai akibat trauma yang sangat keras. Biasanya fraktur
ini disertai dengan kontusio jantung.
Manifestasi Klinis
Didapatkan keluhan nyeri waktu bernapas, pernapasan dangkal, dan cepat.
Mungkin terdapat deformitas pada tempat hubungan antara manubrium sternum
dengan korpus sternum. Pada auskultasi tentukan ada atau tidaknya aritmia atau
bising jantung untuk mengetahui adanya kontusio jantung.
Penatalaksanaan
Dengan pemberian analgetik dan fisioterapi. Bila diperlukan, dapat dengan
anestesi setempat infiltrasi atau blok.
Flail Chest
Trauma hancur pada sternum atau iga dapat berakibat terjadinya pemisahan total
dari suatu bagian dinding dada, sehingga dinding dada tersebut bersifat lebih
mobil. Pada setiap gerakan respirasi, maka fragmen yang mobil tersebut akan
terhisap ke arah dalam. Pengembangan normal rongga pleura tidak dapat lagi
berlangsung, sehingga pertukaran gas respiratorik yang efektif sangat terbatas.
Manifestasi Klinis
Biasanya karena ada pembengkakan jaringan lunak di sekitar dan terbatasnya
gerak pengembangan dinding dada, deformitas, dan gerakan paradoksal, flail chest
yang ada akan tertutupi. Pada mulanya, penderita mampu mengadakan
kompensasi terhadap pengurangan cadangan respirasinya. Namun bila terjadi
penimbunan sekret-sekret dan penurunan daya pengembangan paru-paru akan
terjadi anoksia berat, hiperkapnea, dan akhirnya kolaps.
Penatalaksanaan
Tindakan stabilisasi yang bersifat sementara terhadap dinding dada akan sangat
menulong penderita, yaitu dengan menggunakan towl-clip traction atau dengan
menyatukan fragmen-fragmen yang terpisah dengan pembedahan. Takipnea,
hipoksia, dan hiperkarbia merupakan indikasi untuk intubasi endotrakeal dan
ventilasi dengan tekanan positip.
 Fraktur Humerus
Dibagi menjadi:
1. Fraktur suprakondilar humerus
Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur:
a. Tipe ekstensi. Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi,
lengan bawah dalam posisi supinasi. Hal ini akan menyebabkan fraktur
pada suprakondilar, fragmen distal humerus akan mengalami dislokasi ke
anterior dari fragmen proksimalnya.
b. Tipe fleksi. Trauma terjadi ketika posisi siku dalam fleksi, sedang lengan
bawah dalam posisi pronasi. Hal ini menyebabkan fragmen distal humerus
mengalami dislokasi ke posterior dari fragmen proksimalnya.
Apabila terjadi penekanan pada arteri brakialis, dapat terjadi komplikasi yang
disebut dengan iskemia Volkmanns. Timbulnya sakit, denyut arteri radialis
yang berkurang, pucat, rasa kesemutan, dan kelumpuhan merupakan tanda-
tanda klinis adanya iskemia ini (Ingat 5P: Pain, Pallor, Pulselessness,
Puffyness, Paralyses).
Manifestasi Klinis
Pada tipe ekstensi posisi siku dalam posisi ekstensi. Pada tipe fleksi posisi
siku dalam posisi fleksi (semifleksi).
Penatalaksanaan
Bila pembengkakan tak hebat, dapat dicoba reposisi dalam narkosis umum.
Setelah tereposisi, posisi siku dibuat fleksi secara perlahan-lahan. Gerakan
fleksi diteruskan sampai arteri radialis mulai tak teraba. Kemudian siku
diekstensikan sedikit untuk memastikan arteri radialis teraba lagi. Dalam
posisi fleksi maksimal ini dilakukan imobilisasi dengan gips spalk (foreslab).
Pascareposisi harus juga diperiksa denyut arteri radialis untuk menghindarkan
terjadi komplikasi iskemia Volksmann.
2. Fraktur interkondilar humerus
Pada fraktur ini bentuk garis patah yang terjadi berupa bentuk huruf T atau Y.
Manifestasi Klinis
Di daerah siku tampak jelas pembengkakan, kubiti varus atau kubiti valgus.
Penatalaksanaan
Permukaan sendi harus dikembalikan secara anatomis. Bila hanya
konservatif, biasanya akan timbul kekakuan sendi (ankilosis). Untuk
mengatasi keadaan ini dilakukan tindakan operasi reduksi dengan
pemasangan fiksasi interna dengan lag-screw.
3. Fraktur batang humerus
Biasanya terjadi pada penderita dewasa, terjadi karena trauma langsung yang
menyebabkan garis patah transveral atau kominutif.
Manifestasi Klinis
Terjadi functiolaesa lengan atas yang cedera, untuk menggunakan siku harus
dibantu oleh tangan yang sehat. Bila terjadi gangguan pada nervus radialis,
akan terjadi wrist drop (drop hand).
Penatalaksanaan
Tindakan konservatif memberikan hasil yang baik karena fraktur humerus ini
sangat baik daya penyembuhannya. Imobilisasi dengan gips berupa U-slab
atau hanging cast selama 6 minggu.
4. Fraktur kolum humerus
Sering terjadi pada wanita tua karena osteoporosis. Biasanya berupa fraktur
impaksi.
Manifestasi Klinis
Sakit di daerah bahu tetapi fungsi lengan masih baik karena fraktur impaksi
merupakan fraktur yang stabil.
Penatalaksanaan
Pada fraktur impaksi tidak diperlukan reposisi, lengan yang cedera cukup
diistirahatkan dengan memakai gendongan (sling) selama 3 minggu. Bila
disertai dislokasi abduksi, dilakukan reposisi dan diimobilisasi dengan gips
spica, posisi lengan dalam abduksi posisi overhead.
 Fraktur Iga
Merupakan cedera toraks terbanyak, dan komplikasi yang sering terjadi akibat
luka tembus. Fraktur iga bisa disebabkan pukulan, kontusio, atau penggilasan.
Manifestasi Klinis:
Terlihat gerak pernapasan penderita yang terbatas dan sangat nyeri pada
sisi dada yang terkena trauma, apalagi bila disuruh bernapas dalam. Usahakan
mencari jejas luka. Pada palpasi, tentukan adanya krepitasi akibat adanya udara
dalam jaringan subkutan pada daerah dada yang sakit. Kemudian tiap tulang iga
ditekan secara lembut. Bila terdapat fraktur, akan timbul rasa nyeri yang hebat.
Pada kasus yang meragukan, dada ditekan secara lembut dengan kedua tangan
pemeriksa yang masing-masing diletakkan di bagian anterior dan posterior bagian
yang sakit. Biasanya timbul nyeri bila terdapat fraktur iga di daerah tersebut. Cara
ini tidak boleh dila.kukan bila terdapat tanda-tanda efusi pleura atau tanda-tanda
trauma intratorakal lainnya.
Pada perkusi dan auskultasi, tentukan posisi trakea dan jantung untuk
melihat adanya pergeseran mediastinum. Pada fraktur iga sederhana biasanya tidak
ditemukan tanda-tanda trauma intratorakal. Fraktur iga-iga atas, klavikula, atau
skapula secara tidak langsung menunjukkan trauma yang bermakna. Selain itu
cedera vaskular harus dicurigai.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Rontgen toraks harus dilakukan untuk menyingkirkan cedera toraks
lain, namun tidak perlu untuk identifikasi fraktur iga.
Penatalaksanaan
Dengan blok saraf interkostal, yaitu pemberian narkotik ataupun relaksan otot
merupakan pengobatan yang adekuat. Pada cedera yang lebih hebat, perawatan
rumah sakit diperlukan untuk menghilangkan nyeri, penanganan batuk, dan
pengisapan endotrakeal.
 Fraktur Jari-jari Tangan
Ada tiga macam fraktur yang khas:
1. Baseball finger (Mallet finger)
Baseball finger (Mallet finger) merupakan fraktur dari basis falang distal pada
insersio dari tendon ekstensor. Ujung jari yang dalam keadaan ekstensi tiba-tiba
fleksi pasif pada sendi interfalang distal karena trauma, sehingga terjadi avulsi
fragmen tulang basis falang distal pada insersi tendon ekstensor jari.
Manifestasi Klinis
Pasien tidak dapat melakukan gerakan ekstensi penuh pada ujung distal falang.
Ujung distal falang selalu dalam posisi fleksi pada sendi interfalang distal dan
terdapat hematoma pada dorsum sendi tersebut.
Penatalaksanaan
Dilakukan imobilisasi menggunakan gips atau metal splinting dengan posisi
ujung jari hiperekstensi pada sendi interfalang distal sedangkan sendi
interfalang proksimal dalam posisi sedikit fleksi (Mallet splint).
2. Boxer fracture (street fighter’s fracture)
Boxer fracture (street fighter’s fracture) merupakan fraktur kolum metakarpal
V, dan posisi kaput metakarpal angulasi ke volar/palmar. Terjadi pada keadaan
tidak tahan terhadap trauma langsung ketika tangan mengepal.
Penatalaksanaan
Reposisi tertutup dengan cara membuat sendi metakarpofalangeal dan
interfalang proksimal dalam keadaan fleksi 90°, kaput metakarpal V didorong
ke arah dorsal, lalu imobilisasi dengan gips selama 3 minggu.
3. Fraktur Bennet
Fraktur Bennet merupakan fraktur dislokasi basis metakarpal I.
Manifestasi Klinis
Tampak pembengkakan di daerah karpometakarpal (CMC) I, nyeri tekan, dan
sakit ketika digerakkan.
Penatalaksanaan
Dilakukan reposisi tertutup dengan cara melakukan ekstensi dan abduksi dari
ibu jari tangan, diimobilisasi. Kadang-kadang pada keadaan yang tidak stabil,
perlu reposisi terbuka dengan kawat Kirschner atau dilakukan reposisi tertutup
di bawah C arm dan diikuti dengan asi dengan memakai wire (percutaneus
pinning).
 Fraktur Kompresi Tulang Belakang
Biasanya merupakan fraktur kompresi karena trauma indirek dari atas dan dari
bawah. Dapat menimbulkan fraktur stabil atau tidak stabil.
Manifestasi Klinis
Pada daerah fraktur biasanya didapatkan rasa sakit bila digerakkan dan adanya
spasme otot paravertebra. Bila kepala ditekan ke bawah terasa nyeri. Perlu
diperiksa keadaan neurologis serta kemampuan miksi dan defekasi.
Penatalaksanaan
1. Bila sederhana (stabil atau tak ada gejala neurologik)
 Istirahat di tempat tidur, telentang dengan dasar keras dan posisi miring ke
kiri dan ke kanan untuk mencegah dekubitus (5 pillow nursing) selama 2
minggu.
 Bila sakit, diberikan analgetik.
 Pada fraktur yang stabil, kalau tak merasa sakit lagi setelah 2 minggu latih
otot-otot punggung dalam 1 -2 minggu. Dilanjutkan dengan mobilisasi;
belajar duduk, jalan, memakai brace, dan bila tak ada apa-apa pasien dapat
pulang. Pada fraktur yang tidak stabil ditunggu lebih lama 3 - 4 minggu.
2. Bila dengan kelainan neurologik
Kelainan neurologik dapat timbul karena edema, hematomieli, kompresi dari
fraktur, dan karena luksasi tulang belakang. Kelainan dapat komplit atau
inkomplit. Kalau pada observasi keadaan neurologis memburuk, segera
dilakukan operasi dekompresi, misalnya tindakan laminektomi dan fiksasi
tulang belakang. Pada fraktur tulang belakang dengan defisit neurologis,
indikasi tindakan operatif adalah untuk stabilisasi fraktur, untuk rehabilitasi
dini (duduk, berdiri, dan berjalan). Pada fraktur tulang belakang dengan defisit
neurologis yang dilakukan tindakan konservatif (tanpa operasi), setelah 6
minggu atau fraktur kuat, dilakukan mobilisasi duduk/berdiri dengan
menggunakan external support seperti gips Bohler, gips korset, jaket Minerva,
tergantung dari tempat fraktur. Pemasangan gips korset harus meliputi
manubrium sterni, simfisis, daerah fraktur, dan di bawah ujung skapula.
 Fraktur Kruris
Fraktur kruris merupakan akibat terbanyak dari kecelakaan lalu lintas.
Manifestasi Klinis
Gejala yang tampak adanya deformitas angulasi atau endo/eksorotasi. Daerah yang
patah tampak bengkak, juga ditemukan nyeri gerak dan nyeri tekan.
B. Berdasarkan luas dan garis fraktur terdiri dari :
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang).
b. Fraktur inkomplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang
tulang) seperti:
- Hair Line Fraktur (patah retak rambut)
- Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
- Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang
C. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur kominit (garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan).
b. Fraktur segmental (garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan).
c. Fraktur Multipel (garis patah lebih dari satu tapi pada tulang yang berlainan
tempatnya, misalnya fraktur humerus, fraktur femur dan sebagainya).
D. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa
komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
 Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
 Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
 Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
 Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement (Rasjad, 2008).
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
E. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
1. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
2. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.
F. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
 Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping).
 Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
 Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).

G. Berdasarkan posisi frakur


Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal

3. ETIOLOGI FRAKTUR
Menurut Buku Saku Patofisiologi Elizabeth J.Corwin penyebab fraktur adalah sebagai
berikut :
a. Trauma
 Trauma langsung : trauma yang menyebabkan fraktur pada titik terjadinya
trauma. Sering bersifat terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
Misalnya saat seseorang tertabrak mobil pada tungkai atas maka di tempat
trauma tersebut terjadi fraktur.
 Trauma tidak langsung : trauma yang menyebabkan fraktur di tempat yang jauh
dari titik terjadinya trauma. Hal ini disebabkan karena tulang yang mengalami
trauma memiliki hantaran vektor yang lemah pada kekerasan. Seperti jatuh
dengan telapak tangan sebagai penyangga, dimana telapak tangan yang
mengalami trauma namun lokasi fraktur bisa pada lengan atas.
 Trauma akibat tarikan otot : trauma yang dapat menyebabkan dislokasi dan
patah tulang. Contohnya fraktur pada patella dan olekranon karena kontraksi
biseps dan trisep secara mendadak.
 Stress
Kelelahan atau stress : terjadi pada orang - orang yang melakukan aktivitas
berulang - ulang pada satu daerah tulang misalnya pebulu tangkis dan pelari.
 Patologis
Kelemahan tulang : tekanan yang normal dapat menyebaban fraktur pada
tulang yang lemah. Biasanya akibat infeksi dan penyakit metabolisme seperti
osteoporosis, osteomyelitis, dan tumor pada tulang.

4. FAKTOR RESIKO FRAKTUR


a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
 Faktor Demografi
- Umur
Patah tulang meningkat pada wanita usia > 45 tahun, sedangkan pada laki-laki
patah tulang baru meningkat pada usia > 75 tahun (Baziad, 2003:79). Risiko
terjatuh dan patah tulang menjadi bertambah seiring bertambahnya usia, hal ini
dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, misalnya permukaan tanah yang tidak
rata, naik tangga atau tersandung tepi karpet. Ada juga faktor kesehatan lanjut
usia, seperti gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, pikun,
keseimbangan tubuh yang berkurang, otot makin lemah atau akibat penyakit
lain seperti stroke dan encok. Semakin bertambahnya usia, semakin tinggi
resiko terkena osteoporosis. Hal ini dikarenakan semakin meningkatnya usia
seseorang, maka tulang akan berkurang kekuatan dan kepadatannya (Purwanti,
2008).
- Jenis kelamin
Wanita paling rawan menderita rapuh tulang, yaitu 1:3. Peluang laki-laki
menderita rapuh tulang amat kecil yaitu 1:20 (Baziad, 2003:79). Wanita lebih
beresiko terkena osteoporosis karena memiliki jaringan tulang yang lebih
sedikit dan lebih cepat kehilangan massa tulang dibandingkan pria (Purwanti,
2008).
- Ras
Orang kulit hitam lebih jarang mengalami tulang keropos daripada kulit putih,
orang Eropa atau orang Asia (Tandra, 2009:38). Penelitian menunjukkan wanita
yang tinggal di negara barat memiliki resiko lebih besar terkena osteoporosis
dibandingkan wanita Asia. Hal ini disebabkan karena di Asia lebih banyak
mendapatkan sinar matahari (Purwanti, 2008).
 Faktor Genetik
- Riwayat patah tulang anggota keluarga
Besarnya puncak massa tulang sangat ditentukan oleh faktor genetik, terutama
diturunkan dari pihak ibu kepada anak wanitanya. Wanita yang dalam sejarah
kesehatan keluarga, nenek atau ibunya, pernah mengalami patah tulang
belakang, lebih beresiko mengalami pengurangan massa tulang (Purwanti,
2008).
- Riwayat patah tulang sebelumnya
Orang yang pernah mengalami patah tulang akan berisiko patah lagi, karena
mungkin tulangnya sudah keropos. Pada wanita yang pernah patah
tulangbelakang, risiko mengalami patah tulang pergelangan tngan sebanyak 1-2
kali, tulang belakng 4-19 kali, tulang panggul 2-3 kali. Pada orang yang pernah
mengalami patah tulang pergelangan tangan akan berisiko mengalami patah
tulang pergelangan tangan 3-4 kali, patah tulang belakang 2-7 kali, patah tulang
panggul 1-2 kali. Pada orang yang pernah patah tulang panggul, akan berisiko
mengalami patah tulang belakang 2-3 kali dan patah tulang panggul 1-2 kali
(Tandra, 2009).
 Faktor hormonal
Usia menopause atau gangguan hormon estrogen. Menopause pada wanita timbul
pada usia sekitar 50 tahun, hormon estrogen wanita akan turun 2-3 tahun sebelum
menopause timbul dan terus berlangsung sampai3-4 tahun setelah menopause
(Tandra, 2009:39). Wanita menopause mengalami kekurangan estrogen, sehingga
sangat berisiko terjadinya patah tulang. Risiko patah tulang sangat bergantung
pada kekuatan tulang. Kekuatan tulang ditentukan oleh massa, kandungan mineral
dan mikroarsitektur tulang. Kekurangan estrogen sangat berperan terhadap
patogenesis hilangnya massa tulang.
b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
 Faktor Metabolik
- Berat badan (Body Mass Indeks/BMI rendah)
Patah tulang lebih banyak ditemukan pada orang berpostur tubuh yang lebih
pendek dan kecil. Pada orang bertubuh kecil atau kurus, puncak massa tulang
tidak akan tinggi dibandingkan pada mereka yang bertubuh besar
- Penyakit
Pada orang yang menderita diabetes mellitus atau kencing manis lebih mudah
mengalami tulang keropos. Insulin merangsang pengambilan asam amino ke
sel tulang sehingga meningkatkan pembentukan kola-gen tulang, sehingga
kekurangan insulin akan mengurangi pembentuk-an kolagen. Kontrol gula
yang buruk juga akan memperberat metabolis-me vitamin D. Pada penyakit
tiroid atau gondok, kadar hormon tiroid tinggi atau berlebihan, sehingga
menyebabkan penurunan massa tulang, begitu pula pada hipotiroid yang diberi
pengobatan hormon tiroksin. Beberapa penyakit seperti penyakit hati yang
kronis, gagal ginjal kronis serta radang kronis pada usus besar juga mudah
mengakibatkan tulang keropos. Beberapa kanker tertentu dikaitkan dengan
timbulnya kerapuhan tulang misalnya kanker sumsum tulang.
 Faktor Gaya Hidup
- Merokok
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa merokok bisa menurunkan estrogen
dan mempercepat menopause. Penyerapan kalsium di usus orang yang biasa
merokok menjadi terganggu padahal kalsium dibutuhkan untuk pertumbuhan
tulang.
- Konsumsi Alkohol
Kebiasaan mengkonsumsi alkohol jangka lama bisa menurunkan massa tulang.
Bila minum alkohol pada masa kanak kanak dan remaja, pertumbuhan tulang
akan terhambat, sehingga mengakibatan tulang keropos di kemudian hari.
Minuman yang mengandung alkohol, kafein dan soda berpotensi mengurangi
penyerapan kalsium ke dalam tubuh (Kemenkes, R.I, 2008).
- Olahraga
Olahraga adalah gerakan tubuh yang berirama dan teratur untuk memperbaiki
dan meningkatkan kebugaran. Orang yang tidak bergerak lama, tidak ada
rangsangan gravitasi bumi atau tekanan mekanik lain, akan membuat banyak
mineral tulang hilang dan menyebabkan tulang menjadi keropos. Kurangnya
olahraga dan latihan secara teratur, menimbulkan efek negative yang
menghambat proses pemadatan massa tulang dan kekuatan tulang. Namun
olahraga yang sangat berlebih (maraton, atlit) pada usia muda,terutama anak
perempuan yang telah haid, akan menyebabkan haidnya terhenti, karena
kekurangan estrogen, sehingga penyerapan kalsium berkurang dengan segala
akibatnya (Kemenkes R.I, 2008).
- Aktivitas fisik
Aktivitas fisik adalah semua gerakan otot bergaris yang membakar energi
tubuh. Kurang gerak badan akan mengurangi kepadatan tulang, kekuatan dan
kebugaran, juga akan membuat kalsium keluar semakin meningkat melalui urin
yang akan menyebabkan tulang menjadi keropos. Pada usia lanjut, kurang
gerak badan menyebabkan lemahnya otot dan meningkatkan risiko jatuh dan
patah tulang.
- Pemakaian hormon steroid dan obat lain
Obat-obatan yang mengandung steroid bisa mempercepat kerapuhan tulang
seperti prednison, prednisolon, atau kortison, termasuk jamu atau obat
tradisional yang biasanya mengandung steroid yang diberikan pada penyakit
rematik, asma, radang usus, atau beberapa penyakit kanker. Obat lambung bila
dikonsumsi dalam jangka lama juga menyebabkan tulang keropos (Tandra,
2009).
 Faktor diet
- Asupan kalsium dan vitamin D rendah
Kalsium dan vitamin D adalah mineral penting dalam pertumbuhan tulang.
Vitamin berperan dalam penyerapan kalsium di usus, jika kalsium dalam darah
berkurang maka kalsium dalam tulang akan dikeluarkan ke dalam darah
sehingga tulang menjadi cepat keropos.
- Asupan kafein dan fosfat berlebihan
Diet yang kaya akan fosfor misalnya diet tinggi protein atau banyak minum
minuman bersoda menurunkan kalsium tulang. Ini disebabkan oleh fosfor yang
mengikat kalsium dan membawa kalsium keluar dari tulang. Pola makan yang
banyak mengandung protein, garam dan kafein akan meningkatkan risiko
tulang keropos (Tandra, 2009).
 Stress
Stress meningkatkan hormon stress yaitu kortisol yang dilepaskan oleh kelenjar
adrenal. Kortisol yang tinggi meningkatkan pelepasan kalsium dari tulang ke
dalam peredaran darah dan menyebabkan tulang menjadi rapuh dan keropos.
Hormon kortisol sendiri akan menekan pembentukan hormon DHEA dan
progesteron, juga menekan kinerja hormon tiroid yang penting dalam metabolisme
tulang (Tandra, 2009).

5. MANIFESTASI KLINIS FRAKTUR


a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi,
hematoma, dan edema
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat
diatas dan dibawah tempat fraktur
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik fraktur adalah sebagai berikut:
a) Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme
otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b) Edema
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah
fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c) Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan
sekitarnya.
d) Spame otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadu disekitar fraktur.
e) Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f) Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme otot. Paralysis
dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
g) Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya
tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
h) Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
i) Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
j) Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a) PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hitung Darah Lengkap
a. Hb dan Ht bisa meningkat (hemokonsentrasi) maupun menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple)
b. Untuk pemeriksaan diagnostik bisa dengan pemeriksaan LED ( Laju Endap
Darah) yang merupakan marker untuk peradangan dimana menunjukkan
peningkatan saat terjadi kerusakan jaringan yang sangat luas.
c. Pemeriksaan jumlah leukosit yang menampakkan peningkatan, hal ini normal
setelah terjadinya trauma
d. Pada masa penyembuhan Ca dan P mengikat di dalam darah
e. Alkali fosfat meningkat pada saat kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang
f.Enzim-enzim otot seperti laktat dehidrogenase (LDH-5), aspartat amini
transfererasi (AST), aldolase meningkat pada tahap penyembuhan tulang
b) PEMERIKSAAN RADIOLOGI
- Foto polos dan CT scan
Untuk mengetahui lokasi dan tipe fraktur secara langsung, biasanya dilakukan
sesudah dan sebelum operasi dan selama proses penyembuhan secara periodik.
Namun CT scan lebih jelas dari foto polos.
- MRI
- Ultrasonografi (USG)
- Bone scanning
- Venogram/ anterogram untuk melihat arus vaskularisasi
- Iodium Imaging
Pada pemeriksaan ini didapatkan infeksi pada tulang
- Artroskopi
Didapatkan jaringan ikat yang rusak dan sobek karena trauma yang berlebihan
- Elektromiografi
Terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur
- Skor tulang tomografi, skor C1, Mr1
Dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak

7. PENATALAKSANAAN
A. PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGI
 Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman
belum terlalu jauh meresap dilakukan:
1) Pembersihan luka
2) Exici
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
 Seluruh Fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang)
adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasfanatomis. Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan
untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur,
namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan
reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan
elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan
kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai
mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk
menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan
analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia.
Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut
Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan
dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling
berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan
dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh
dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas
untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah
fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen
tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x.
Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan
imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka.
Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang
yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke
rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat
bagi fragmen tulang.
3) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen
tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,
traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.
4) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan
pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus
dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian
peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi
diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas
dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis.
meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika).
Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup
sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri.
Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan
terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal.
Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya
gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan
tingkat aktivitas dan beban berat badan (Reksoprodjo, 2005).
B. PENATALAKSANAAN NONFARMAKOLOGI
Menurut buku Klien gangguan Sistem Musculosceletal oleh Suratun dkk
penatalaksanaan non farmakologi adalah sebagai berikut :
1. Meninggikan bagian yang sakit untuk mengontrol pembengkakan.
2. Istirahat, mencegah cedera tambahan ,dan mempercepat penyembuhan.
3. Pemberian kompres dingin selama 20-30 menit .Selama 24-48 jam pertama
setelah cedera dapat menimbulkan vasokonstriksi yang akan mengurangi
perdarahan ,edema dan ketidaknyamanan.
4. Pemasangan balut tekan elastis dapat mengontrol perdarahan ,mengurangi
edema, dan menyokong jaringan yang cedera.
5. Status Neurovaskuler ekstremitas yang cedera dipantau sesering mungin
6. Pembedahan jika ada robekab serabut otot dan terputusnya ligament
7. Imbilisasi dengan gips
8. Latihan aktif dan pasif prgresif boleh dimulai dalam 3-5 hari .Sprain berat
mungkin perlu diimobilisasi 1-3 minggu sebelum latihan perlindungan dimulai.
Latihan awal yang berlebihan dalam perjalanan terapi dapat memperlama
penyembuhan.Strain dan Sprain memerlukan beberapa minggu sampai beberapa
bulan untuk sembuh.Pembidain diperlukan untuk mencegah cedera ulang.
9. Fisiotherapy
Alat untuk mobilisasi mencakup exercise, ROM pasif dan aktif
- ROM pasif untuk mencegah kontraktur pada sendi dan mempertahankan
ROM normal pada sendi
- ROM aktif untuk meningkatkan kekuatan otot

8. PROSES PENYEMBUHAN BESERTA FAKTOR YANG MENGHAMBAT DAN


MEMPERCEPAT PENYEMBUHAN FRATUR
a) Proses Penyembuhan Fraktur
 Proses Hematom
Merupakan proses terjadinya pengeluaran darah hingga terbentuk hematom
(bekuan darah) pada daerah terjadinya fraktur tsb, dan yang mengelilingi bagian
dasar fragmen. Hematom merupakan bekuna darah kemudian berubah menjadi
bekuan semi padat.
 Proses Proliferasi
Pada proses ini, terjadi perubahan pertumbuhan pembuluh darah menjadi padat
dan terjadi perbaikan aliran pembuluh darah.
 Proses Pembentukan Callus
Pada orang dewasa proses pembentukan callus terjadi antara 6-8 minggu,
sedangkan pada anak-anak 2 minggu. Callus merupakan proses pemben-tukan
tulang baru,dimana callus dapat terbentuk di luar tulang (subperios-teal callus) dan
di dalam tulang (endosteal callus). Proses perbaikan tulang terjadi sedemikian
rupa,sehingga trabekula yang terbentuk dengan tidak teratur oleh tulang imatur
untuk sementara bersatu dengan ujung-ujung tulang yang patah sehingga terbentu
suatu callus tulang.
 Proses konsolidasi (penggabungan)
Perkembangan callus secara terus menerus dan terjadi pemadatan tulang sebelum
terjadi fraktur, konsolidasi terbentu antara 6-12 minggu (ossificasi) dan antara 12-
26 minggu (matur). Tahap ini disebut dengan penggabungan atau penggabungan
secara terus-menerus.
 Proses Remodeling
Proses remodeling merupakan tahapan terakhir dalam penyembuhan tulang ,dan
proses pengembalian bentuk seperti semula.Proses terjadinya remodeling antara 1-
2 tahun setelah terjadinya callus dan konsolidasi.
b) Faktor-faktor Pemicu proses penyembuhan fraktur
 Usia, cepatnya proses penyembuhan ini sangat berhubungna erat dengan aktivitas
osteogenesis dari periosteum dan endosteum.Sebagai contoh fraktur dialysis femur
yang akan bersatu(knsolidasi sempurna) sesudah 12 minggu pada usia 12 tahun,
20 minggu pada usia 20 tahun sampai dengan usia lansia.
 Tempat ( Lokasi) Fraktur
Fraktur pada tulang yang dikelilingi otot akan sembuh lebih cepat daripada tulang
yang berada di subkutan atau daerah persendian.Fratur pada tulang berongga
sembuh lebih cepat daripada tulang kompakta.
 Dislokasi fraktur
Fraktur tanpa dislokasi, periosteumnya intake, maka lama penyembuhan-nya dua
kali lebih cepat daripada yang mengalami dislokasi. Semakin besar dislokasi maka
semakin lama penyembuhannya.
 Aliran darah ke fragmen tulang
 Bila aliran tulang mendapatkan aliran darah yang baik, maka penyembuhan lebih
cepat dan tanpa komplikasi.Bila terjadi gangguan berkurangnya aliran darah atau
kerusakan jaringan lunak yang berat, maka proses penyembuhan menjadi lama
atau terhenti.
 Nutrisi yang baik
 Imobilisasi
 Latihan otot
Latihan otot dilakukan untuk mencegah atrofi otot,mencegah kekakuan,
memperlancar peredaran darah sehingga mempercepat penyembuhan.
c) Faktor yang menghambat proses penyembuhan
 Trauma berulang
 Kehilangan massa atau kondensitas tulang
 Immobilisasi yang tidak memadai
 Rongga atau adanya jaringan diantara fragmen tulang
 Infeksi
 Radiasi atau nekrosis tulang
 Usia
 Kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan)

9. KOMPLIKASI FRAKTUR
a) Komplikasi Awal
 Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
 Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu
kuat.
 Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan
bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen
dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi,
hypertensi, tachypnea, demam.
 Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
 Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.
 Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada
fraktur.
b) Komplikasi Dalam Waktu Lama
 Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan
supai darah ke tulang.
 Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
 Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik (Rasjad, 2008; Ethel, 2003).

10. ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan
sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
b) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
c) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
 Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
 Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan
klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
 Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
 Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien,
bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa
sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
 Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bias
berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain
itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bias diketahui luka
kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun
kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetic (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu
metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi
klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain
itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua klien
fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
(4) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien
terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko
untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
(5) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image)
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
(7) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(8) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(9) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
(10) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan
karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai
status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler  5 P yaitu Pain, Palor,
Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal
adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
 Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
 Cape au lait spot (birth mark).
 Fistulae.
 Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
 Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
 Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
 Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai
dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time  Normal 3 – 5 “
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema
terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar
atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran
derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemerik-saan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif. (Reksoprodjo, Soelarto, 1995)

Rencana Intervensi Keperawatan


a. Nyeri akut
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1 x 24 jam tingkat kenyamanan
klien terkontrol, tingkat nyeri terkontrol dan nyeri dapat berkurang
Kriteria Hasil :
 Klien menyatakan nyeri berkurang
 Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat
 Klien mampu mengon troll nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri
Intervensi :
1. Lakukan pengkajian pada nyeri terhadap lokasi, karakteristik,durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas, dan factor pemicu nyeri
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidak nyamanan.
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri klien
sebelumnya
4. Ajarkan manajemen nyeri pada klien
5. Ajarkan pada klien penggunaan teknik non farmakolohi dalam mengurangi nyeri
seperti relaksasi hypnosis dan terapi music.
6. Ciptakan suasana yang tenang
7. Control lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
8. Kontrol penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
9. Kolaborasi : pemberian analgetik

b. Hambatan Mobilitas Fisik


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 10 x 24 jam pmobilitas fisik pasien
meningkatt dengan
Kriteria Hasil :
- Pasien dapat Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
- Pasien dapat Mempertahankan posisi fungsinal
- Pasien dapat Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit
- Pasien dapat Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi :
1. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
2. Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada ekstrimitas yang sakit
dan tak sakit
3. Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
4. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS (Aktivitas Kehidupan
Sehari – hari) dalam lngkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan
5. Ubah psisi secara periodic tiap 2 jam sekali
6. Rujuk pada fisioterapi untuk menentukan latihan fisik
c. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer
Tujuan : setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam klien akan terhindar dari risiko
disfungsi neurovaskuler perifer
Kriteria hasil :
- CRT < 2
- Tidak terjadi tromboflebitis dan DVT
- Tidak ada hematoma, cyanosis, dan kepucatan
- Memperlihatkan penyembuhan yang optimal dan adaptasi terhadap gips, traksi,
atau balutan luka
Intervensi :
1. Pantau CRT (Capillary Refill Time)
2. Pantau adanya hematoma, cyanosis, dan kepucatan
3. Pantau adanya tromboflebitis dan DVT
4. Ajarkan klien menggunakan interval waktu, bukan ketidaknyamanan sebagai
acuan perubahan posisi
5. Tinggikan estremitas yang terganggu 20 derajat atau lebih untuk melancarkan
alur balik vena
6. Atur posisi estremitas dalam keadaan menggantung untuk meningkatkan
sirkulasi arteri
7. Pertahankan hidrasi yang adekuat untuk mencegah peningkatan viskositas darah
8. Pantau osisi traksi
9. Pantau dengan cermat terapi panas atau dingin
10. Kolaborasi dengan fisioterapis untuk program latihan
DAFTAR PUSTAKA

Lestari,Puji.2012.Studi Literatur: Berbagai faktor yang berpengaruh terjadap kejadian patah


tulang pada usia lanjut [Electronic
Version].from:http://faktorresikofraktur.pdf.diakses tanggal 13 Desember 2012
Pukul 16.00 WIB
Ethel, Sloane. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: Penerbit EGC.
Mansjoer, arief, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta: Media
Esculapius.
Rasjad, Chairuddin. 2008. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Waatampone.
Reksoprodjo, Soelarto. 2005. Ilmu Bedah. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Smetzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Brunner & Suddart. Alih Bahasa
Agung Waluyo [et. al..], editor Bahasa Indonesia Monica Ester. Ed 8. Jakarta : EGC.
Budiyanto, Aris. 2009. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pasca Operasi Pemasangan OREF
pada Fraktur Cruris Sepertiga Distal Dekstra.
http://etd.eprints.ums.ac.id/1806/2/J100050057.pdf. Diakses pada 12 Desember
2012.
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
Jakarta : EGC.
Pearce, Evelyn. 2006. Anatomi dan Fisiologi Untuk Para Medis. Jakarta : PT. Gramedia.
Suratun dkk.2006.Klien Gangguan Sistem Musculoskeletal.Jakarta.Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Corwin J.E.2008. Buku Saku Patofisiologi . Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

You might also like