You are on page 1of 34

LAPORAN PENDAHULUAN

DEPARTEMEN KEPERAWATAN DASAR

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

RUANG HEMODIALISA DI RUMAH SAKIT Dr. SOEPRAOEN

Disusun Oleh :

Bryant Idham Probokusuma, S.Kep

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2016
LEMBAR PEGESAHAN

Laporan pendahuluan, asuhan keperawatan dan resume keperawatan ini dibuat dalam
rangka Praktik Profesi Ners mahasiswa S1 keperawatan Universitas Muhammadiyah
Malang di Unit Hemodialisa RS dr. Soepraoen Malang mulai tanggal 7 November – 11
November 2016

Malang, November 2016

Nama Mahasiswa (Ners Muda)

( )

Mengetahui

Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan

(…………………….......) (………………....……….)
I. Konsep Chronic Kidney Desease
A. PENGERTIAN
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten
dan irreversible. Sedangkan gangguan fungsi ginjal yaitu penurunan laju filtrasi
glomerulus yang dapat digolongkan dalam kategori ringan, sedang dan berat (Mansjoer,
2007).
Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan
ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan glomerulus filtration rate
(GFR) (Nahas & Levin,2010).
CKD atau gagal ginjal kronis (GGK)didefinisikan sebagai kondisi dimana ginjal
mengalami penurunan fungsi secara lambat, progresif, irreversibel, dan samar (insidius)
dimana kemampuan tubuh gagal dalammempertahankan metabolisme, cairan, dan
keseimbangan elektrolit, sehingga terjadiuremia atau azotemia (Smeltzer, 2009).
Gagal ginjal kronis ( chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang
berakibat fatal dan ditandai dengan anemia (urea dan limbah nitrogen yang berada dalam
darah). (Suyono, 2009).

B. KLASIFIKASI
Menurut Sudoyo (2006)CKD dibagi 5 grade, dengan harapan klien datang/ merasa masih
dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat
(stage) menggunakan terminology CCT (clearance creatinin test) dengan rumus stage 1
sampai stage 5. sedangkan CRF (cronic renal failure) hanya 3 stage. Secara umum
ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila
menggunakan istilah CRF.
1. Gagal ginjal kronik / Cronoic Renal Failure (CRF) dibagi 3 stadium :
a.Stadium I : Penurunan cadangan ginjal
- Kreatinin serum dan kadar BUN normal
- Asimptomatik
- Tes beban kerja pada ginjal: pemekatan kemih, tes GFR
b. Stadium II : Insufisiensi ginjal
- Kadar BUN meningkat (tergantung pada kadar protein dalam diet)
- Kadar kreatinin serum meningkat
- Nokturia dan poliuri (karena kegagalan pemekatan)
Ada 3 derajat insufisiensi ginjal:
1. Ringan : 40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
2. Sedang : 15% - 40% fungsi ginjal normal
3. Kondisi berat : 2% - 20% fungsi ginjal normal
c. Stadium III: gagal ginjal stadium akhir atau uremia
- Kadar ureum dan kreatinin sangat meningkat
- Ginjal sudah tidak dapat menjaga homeostasis cairan dan elektrolit
- Air kemih/ urin isoosmotis dengan plasma, dengan BJ 1,010
2. KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) merekomendasikan pembagian
CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus) :
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui
penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk menghitung GFR dokter
akan memeriksakan sampel darah penderita ke laboratorium untuk melihat kadar
kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah produk sisa yang berasal dari aktivitas otot
yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh ginjal yang sehat.
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
 Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
 Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
 Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
 Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
 Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin
Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
72 x creatinin serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

C. ETIOLOGI
Diabetes dan hipertensi baru-baru ini telah menjadi etiologi tersering terhadap
proporsi GGK di US yakni sebesar 34% dan 21% . Sedangkan glomerulonefritis menjadi
yang ketiga dengan 17%. Infeksi nefritis tubulointerstitial (pielonefritis kronik atau
nefropati refluks) dan penyakit ginjal polikistik masing-masing 3,4%. Penyebab yang
tidak sering terjadi yakni uropati obstruktif , lupus eritomatosus dan lainnya sebesar 21
%. (Price & Wilson, 2006).
Penyebab gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun
2000 menunjukkan glomerulonefritis menjadi etiologi dengan prosentase tertinggi dengan
46,39%, disusul dengan diabetes melitus dengan 18,65%, obstruksi dan infeksi dengan
12,85%, hipertensi dengan 8,46%, dan sebab lain dengan 13,65% (Sudoyo, 2006)
Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang
etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi
tertentu pada glomerulus (Markum, 2007). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,
glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila
penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder
apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus,
lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi,
2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara
kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik
yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan
sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi
lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala
tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut
pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 2008).
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001).
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi
esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan
hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 2008).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material
yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-
kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena
kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal
polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang
lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney
disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun.
Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah
dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa
(Suhardjono, 2007).

D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Brunner & Suddart (2009) setiap sistem tubuh pada gagal ginjal kronis
dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan menunjukkan sejumlah tanda dan
gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal,
usia pasien dan kondisi yang mendasari. Tanda dan gejala pasien gagal ginjal kronis
adalah sebagai berikut :
a. Manifestasi kardiovaskuler : Mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium
dari aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron), pitting edema (kaki,tangan,sakrum),
edema periorbital, Friction rub perikardial, pembesaran vena leher.
b. Manifestasi dermatologi : Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik,
pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c. Manifestasi Pulmoner : Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan
Kussmaul.
d. Manifestasi Gastrointestinal : Napas berbau amonia, ulserasi dan pendarahan pada
mulut, anoreksia, mual,muntah, konstipasi dan diare, pendarahan saluran
gastrointestinal.
e. Manifestasi Neurologi : Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang,
kelemahan tungkai, panas pada telapak kaki, perubahan perilaku.
f. Manifestasi Muskuloskeletal : Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot
drop.
g. Manifestasi Reproduktif : Amenore dan atrofi testikuler.

E. KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa
komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer (2010) &Udjianti (2010) antara lain
adalah :
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan
diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin
aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium
akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Price & Wilson (2006) pemeriksaan penunjang untuk gagal ginjal kronik adalah
sebagai berikut :
a. Radiologi : ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
1. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya
massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagianatas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa.
b. Foto Polos Abdomen : menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau
obstruksi lain.
c. Pielografi Intravena : menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi
penurunan faal ginjal pada usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
d. USG : menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal , anatomi sistem
pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem
pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
e. Renogram : menilai fungsi ginjal kanan dan kiri , lokasi gangguan (vaskuler,
parenkhim) serta sisa fungsi ginjal.
f. Pemeriksaan Radiologi Jantung : mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis.
g. Pemeriksaan Radiologi Tulang : mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari)
kalsifikasi metatastik.
h. Pemeriksaan Radiologi Paru : mencari uremik lung yang disebabkan karena
bendungan.
i. Pemeriksaan Pielografi Retrograde : dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang
reversible.
j. EKG : untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia).
k. Biopsi Ginjal : dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis
atau perlu untuk mengetahui etiologinya.
l. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal :
1. Laju endap darah
2. Urinaria
a. Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine tidak ada
(anuria).
b. Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkanoleh pus /
nanah,bakteri, lemak, partikel koloid,fosfat,sedimen kotor, warna kecoklatan
menunjukkan adanyadarah,miglobin, dan porfirin.
c. Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010menunjukkan kerusakan
ginjal berat).
d. Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkankerusakan tubular,
amrasio urine / ureum sering 1:1.
3. Ureum dan Kreatinin
a. Ureum:
b. Kreatinin: Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga
tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
m. Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar
(anuria)
- Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak,
partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya
darah, HB, mioglobin.
- Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal
berat).
- Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio
urine/serum sering 1:1
- Klirens keratin : Mungkin agak menurun
- Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
- Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
n. Darah
- BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 16
mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
- Hitung darah lengkap : Ht : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang ari
78 g/dL
- SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
- GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil
akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
- Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal
(menunjukan status dilusi hipernatremia).
- Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan
seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan
- EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
- Magnesium/Fosfat : Meningkat
- Kalsium : Menurun
- Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau
penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
- Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan utama penatalaksanaan pasien GGK adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal
yang tersisa dan homeostasis tubuh selama mungkin serta mencegah atau mengobati
komplikasi (Smeltzer, 2009). Terapi konservatif tidak dapat mengobati GGK namun
dapat memperlambat progres dari penyakit ini karena yang dibutuhkan adalah terapi
penggantian ginjal baik dengan dialisis atau transplantasi ginjal.
Lima sasaran dalam manajemen medis GGK meliputi :
1. Untuk memelihara fungsi renal dan menunda dialisis dengan cara mengontrol proses
penyakit melalui kontrol tekanan darah (diet, kontrol berat badan dan obat-obatan)
dan mengurangi intake protein (pembatasan protein, menjaga intake protein sehari-
hari dengan nilai biologik tinggi < 50 gr), dan katabolisme (menyediakan kalori
nonprotein yang adekuat untuk mencegah atau mengurangi katabolisme).
2. Mengurangi manifestasi ekstra renal seperti pruritus , neurologik, perubahan
hematologi, penyakit kardiovaskuler.
3. Meningkatkan kimiawi tubuh melalui dialisis, obat-obatan dan diet.
4. Mempromosikan kualitas hidup pasien dan anggota keluarga.
(Black & Hawks, 2005)
Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila pasien sudah memerlukan dialisi tetap atau
transplantasi. Pada tahap ini biasanya GFR sekitar 5-10 ml/mnt. Dialisis juga diiperlukan
bila :
- Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan.
- Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan.
- Overload cairan (edema paru).
- Ensefalopati uremic, penurunan kesadaran.
- Efusi perikardial.
- Sindrom uremia ( mual,muntah, anoreksia, neuropati) yang memburuk.
Menurut Price & Wilson (2006) penatalaksanaan dari CKD berdasarkan derajat LFG
nya, yaitu:

1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi
toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan
keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi
alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati
karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint)
dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari
mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis
adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang
adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.

g. Kelainan sistem kardiovaskular


Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi
tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN)
> 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal
buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel
(hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur
yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang
mahal (Rahardjo, 2006).

b. Dialisis peritoneal (DP)


Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD,
yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-
morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri,
tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang
jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).

c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
II. Konsep CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis)

A. Definisi CAPD
CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah metode pencucian darah
dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ
perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah.
Zat-zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga
perut. Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke
dalam rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah
metabolic dari aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian
cairan dikeluarkan, dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru (Surya Husada, 2008).

Pada dialysis peritoneal, permukaan peritoneum yang luasnya sekitar 22.000 cm2
berfungsi sebagai permukaan difusi. Cairan dialisat yang tepat dan steril dimasukkan ke
dalam cavum peritoneal menggunakan kateter abdomen dengan interval. Ureum dan
creatinin yang keduanya merupakan produk akhir metabolism yang diekskresikan oleh
ginjal dikeluarkan (dibersihkan) dari darah melalui difusi dan osmosis ketika produk
limbah mengalir dari daerah dengan konsentrasi tinggi (suplai darah peritoneum) ke
daerah dengan konsentrasi rendah (cavum peritoneal) melalui membrane semipermeable
(membrane peritoneum). Ureum dibersihkan dengan kecepatan 15 hingga 20 ml/menit,
sedangkan creatinin dikeluarkan lebih lambat.
B. Tujuan CAPD
Tujuan terapi CAPD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksik serta limbah metabolic,
mengembalikan keseimbangan cairan yang normal dengan mengeluarkan cairan yang
berlebihan dan memulihkan keseimbangan elektrolit.

C. Indikasi CAPD
- Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang cepat
(hemodinamik yang tidak stabil)
- Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat penyakit diabetes
- Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin secara sistemik
- Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)
- Adanya penyakit kardiovaskuler yang berat
- Hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang tidak responsive
terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.

D. Kontraindikasi CAPD
- Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus, nefrostomi)
- Adhesi abdominal
- Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainan pada discus
intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan dialisis dalam
abdomen yang kontinyu
- Pasien dengan imunosupresi

E. Cara Kerja CAPD


a. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal
Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai tempat keluar
masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari dan ke dalam rongga perut
(peritoneum). Akses ini berupa kateter yang “ditanam” di dalam rongga perut dengan
pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah pusar. Lokasi dimana sebagian kateter
muncul dari dalam perut disebut “exit site”.

Sebelum pemasangan kateter peritoneal, dokter mencuci dan mendesinfeksi


abdomen. Anastesi lokal diberikan di daerah tengah abdomen sekitar 5 cm di bawah
umbilicus. Dokter membuat insisi kecil dan kateter multinilon dimasukkan ke dalam
rongga peritoneum. Kemudian, daerah tersebut ditutup dengan balutan.

Proses pemasangan:

Mula-mula, alat perangkat harus disiapkan. Ini terdiri dari alat baxter “dineal”R61L”
yang besar dengan tetes rangkap dimana diikatkan dua kantong cairan dialysis 1 L. Dari
pipa umum, alat tetes rangkap ada suatu pipa tambahan yang menuju ke belakang, ini
untuk meng“syphon off” cairan dari peritoneum. Seluruh pipa harus terisi dengan cairan
yang dipakai. Sebuah kantong pengumpulan steril yang besar (paling sedikit volume 2 L)
diikatkan pada pipa keluar.

Kemudian, anastesi local (lignocain 1-2%) disuntikkan ke linea alba antara pusar
atau umbilicus dan symphisis pubis, biasanya kira-kira 2/3 bagian dari pubis. Bekas luka
pada dinding abdominal harus dihindari dan kateter dapat dimasukkan sebelah lateral dari
selaput otot rectus abdominus. Anastesi local yang diberikan cukup banyak (10-15 ml) dan
yang paling penting untuk meraba peritoneum dan mengetahui bahwa telah diinfiltrasi,
bila penderita gemuk, sebuah jarum panjang (seperti jarum cardiac atau pungsi lumbal)
diperlukan untuk menganastesi peritoneum.

Suatu insisi kecil (sedikit lebih pendek dari garis tengah kanula) dibuat di kulit
dengan pisau nomor 11. Kateter peritoneal kemudian didorong masuk ke ruang peritoneal
dengan gerakan memutar (seperti sekrup). Sewaktu sudah masuk, pisau ditarik 1 inci dan
kateter diarahkan ke pelvis. Kdang-kadang dinding atau selaput peritoneum terasa sebagai
dua lapis yang dapat dibedakan, keduanya harus ditembus sebelum menarik pisau dan
mengarahkan kateter. Pada waktu ini, harus segera dijalankan atau dialirkan 2 L cairan dan
diperhatikan reaksi penderita, minimalkan rasa tidak nyaman. Segera setelah cairan ini
masuk, harus di “syphon off” untuk melihat bahwa system tersebut mengalir lancar,
sesuaikan posisi kateter untuk menjamin bahwa aliran cukup baik. Beberapa inci dari
kateter akan menonjol dari abdomen dan ini dapat dirapikan bila perlu. Namun paling
sedikit 1 atau 2 inci harus menonjol dari dinding perut. Hal ini kemudian dikuatkan
ditempat dengan elastoplas. Dengan tiap trokat ada suatu pipa penyambung yang pendek
yang menghubungkan kateter ke alat perangkat.
b. Pemasukan Ciran Dialisat
Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk
dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam.
Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan
dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat.

Sekitar 2 L dialisat dihangatkan sesuai dengan suhu tubuh kemudian disambungkan


dengan kateter peritoneal melalui selang.dialisat steril dibiarkan mengalir secepat mungkin
kedalam rongga peritoneum. Dialisat steril 2 L dihabiskan dalam waktu 10 menit.
Kemudian klem selang ditutup. Osmosis cairan yang maksimal dan difusi –solut/butiran
ke dalam dialisat mungkin terjadi dalam 20-30 menit. Pada akhir dwell-time (waktu yang
diperlukan dialisat menetap di dalam peritoneum), klem selang dibuka dan cairan
dibiarkan mengalir karena gravitasi dari rongga peritoneum ke luar (ada kantong khusus).
Cairan ini harus mengalir dengan lancar. Waktu drainase (waktu yang diperlukan untuk
mengeluarkan semua dialisat dari rongga peritoneum) adalah 10-15 menit. Drainase yang
pertama mungkin berwarna merah muda karena trauma yang terjadi waktu memasang
kateter peritoneal. Pada siklus ke-2 atau ke-3, drainase sudah jernih dan tidak boleh ada
lagi drainase yang bercampur dengan darah. Setelah cairan dikeluarkan dari rongga
peritoneum, siklus yang selanjutnya harus segera dimulai. Pada pasien yang sudah
dipasang kateter peritoneal, sebelum memasukkan dialisat kulit diberi obat bakterisida.
Setelah dialisis selesai, kateter dicuci lagi dan ujungnya ditutup dengan penutup yang
steril.
Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan dialisat
melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai “alat
penyaring”, proses perpindahan ini disebut Difusi.

Cairan dialisat mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan untuk


menarik kelebihan air, proses penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut
Ultrafiltrasi.

c. Proses Penggantian Cairan Dialisis


Proses ini tidak menimbulkan rasa sakit dan hanya membutuhkan waktu singkat (±
30 menit). Terdiri dari 3 langkah:

1. Pengeluaran cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air akan
dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang baru. Proses
pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.
2. Memasukkan cairan
2 L cairan dialirkan pada kira-kira setiap 45-60 menit, biasanya hanya memakan
waktu 5 menit untuk mengalirkan. Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui
kateter.

3. Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut selama 4-6
jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan ditinggal dalam ruang peritoneum untuk
kira-kira 20 menit dan kemudian 20 menit dibiarkan untuk pengeluaran. Setelah itu, 2 L
cairan lagi dialirkan. Hal ini diulang tiap jam untuk 36 jam atau lebih lama bila perlu.
Suatu catatan, keseimbangan kumulatif dari cairan yang mengalir ke dalam dan keluar
harus dilakukan dengan dasar tiap 24 jam. Suatu kateter “Tenchoff” yang fleksibel dapat
dipakai juga dapat ditinggal secara permanen untuk CAPD dari penderita yang mengalami
gagal ginjal tahap akhir.
Proses penggantian cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau 6 jam (4 kali
sehari), 7 hari dalam seminggu.

F. Prinsip-prinsip CAPD
CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk dialisis
lainnya, yaitu: difusi dan osmosis. Namun, karena CAPD merupakan terapi dialisis yang
kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil.
Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih tersisa, volume dialisa setiap hari, dan
kecepatan produk limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini pada
CAPD tidak bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten
karena proses dialysis berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap berada
dalam kisaran normal.

Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang berukuran sedang semakin baik.
Diperkirakan molekul-molekul ini merupakan toksik uremik yang signifikan. Dengan
CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti
ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialysis daripada molekul berukuran
sedang, meskipun pengeluarannya selama CAPD lebih lambat daripada selama
hemodialisa. Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialysis peritonial dicapai
dengan menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang
tinggi sehingga tercipta gradient osmotic. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus
tersedia dengan bebepara ukuran volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml
sehingga memungkinkan pemulihan dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh
dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar
gradient osmotic dan semakin banyak cairan yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan cara
memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.

Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung secara
kontinyu selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien
melaksanakan pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari (misalnya,
pada pukul 08.00 pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore dan 10.00 malam). Dan dapat tidur
pada malam harinya. Setipa pertukaran biasanya memerlukan waktu 30-60 menit atau
lebih; lamanya proses ini tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh
dokter. Lama waktu penukaran terdiri atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan
cairan dialisat), 20 menit periode drainase (pengeluaran ciiran dialisat) dan waktu rentensi
selama 10 menit, 30 menit atau lebih.

G. Efektifitas CAPD, Keuntungan serta Kerugian


1. Efektifitas CAPD
Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara CAPD lebih
hemat waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi ginjal yang masih tersisa
dapat dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010). Menurut Wurjanto, CAPD adalah cara
penanganan penderita gagal ginjal, yakni dialisis yang dilakukan melalui rongga
peritoneum (rongga perut) di mana yang berfungsi sebagai filter adalah selaput/membran.
Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan cairan dialisis ke dalam rongga perut melalui
selang kateter yang telah ditanam dalam rongga perut. Teknik ini memanfaatkan selaput
rongga perut untuk menyaring dan membersihkan darah. Ketika cairan dialisis berada
dalam rongga perut, zat-zat di dalam darah akan dibersihkan, juga kelebihan air akan
ditarik. Cara CAPD antara lain hanya butuh 30 menit, dilakukan di rumah oleh pasien
bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang menyakitkan, fungsi ginjal yang tersisa bisa
lebih lama, dialisis dapat dilakukan setiap saa, dan pasiennya lebih bebas atau dapat
bekerja seperti biasa (Wurjanto, 2010).

2. Keuntungan CAPD dibandingkan HD :


Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:

a) Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui sebenarnya
saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di samping untuk
membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya adalah
mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan pelbagai hormon
seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsi-
fungsi tersebut.
b) Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan hemodialisis
pada tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada akhirnya, semua mempunyai
usia juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama penggunaan dialisis
peritoneal menyatakan angka bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.
c) Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk tenaga/fasilitas
kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).
Keuntungan tambahan yang lain yaitu:
a) Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
b) Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
c) Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
d) Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana HD
e) Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
f) Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
g) Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
h) Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama.

3. Kelemahan CAPD :
a) Resiko infeksi. Peritonitis merupakan komplikasi yang sering. Juga dapat terjadi
infeksi paru karena goncangan diafragma
b) Pengobatan yang tidak nayman dan penderita sebagian tidak boleh bergerak di
tempat tidur. Kateter harus diganti setiap 4-5 hari
c) Pengeluaran protein dari dialisat, sampai pada 40 gram/24 jam. Baik subnutrisi
(pengeluaran asam amino) maupun hipovolemia (pengeluaran albumin) dapat
terjadi.
d) BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al, 2005).
Table 1. Perbandingan hemodialisis dengan dialisis mandiri

Kategori Hemodialisa (HD) Dialisis Mandiri (CAPD)

Segi Harus dilakukan di Rumah Sakit, lamanya Dapat dilakukan di rumah/tempat


kepraktisan proses 4-5 jam kerja, lamanya proses 30 menit

Biaya Sekali cuci darah Rp. 500 ribu-1 juta, Satu kantong dialisat (cairan
seminggu bisa 2-3 kali. Total biaya per pencuci darah) Rp. 40 ribu sehari
bulannya akan mencapai akan mencapai Rp. penggantian dialisat. Biaya per
4-5 juta bulannya mencapai Rp. 5,5 juta.

Pantangan Pantang beragam makanan terutama yang Tidak perlu diet ketat
tinggi protein

Resiko Fungsi ginjal dan jantung dapat menurun Fungsi ginjal, jantung, dan darah
komplikasi karena dipaksa bekerja lebih keras selama relatif aman karena tidak
proses pencucian darah. Dengan pengeluaran terganggu. Kadar Hb relativ lebih
darah, darah tidak cukup aman dari resiko tinggi dibandingkan dengan
kontaminasi. Butuh terapi hormon hemodialis, sehingga dibutuhkan
eritropoetin untuk mengimbangi penurunan lebih sedikit eritroprotein. Namun,
kadar Hb CAPD rawan infeksi sehingga
pasien perlu dilatih untuk menjaga
kebersihan badannya
H. Penyulit-penyulit selama CAPD
a. Cairan yang tidak kembali
1. Pada permulaan: adalah biasa untuk pengembalian kurang dari 1 liter penggantian
pertama terutama bila kateter tidak diletakkan rendah dalam pelvis juga, bila
penderita dehidrasi 2,3 atau 4 liter cairan dapat terambil dan tidak pernah kembali.
Sehubungan dengan itu bila liter pertama tidak kembali, liter selanjutnya dialirkan
dan kemudian yang liter ke tiga diberikan untuk melihat tanda-tanda pembesaran
dan rasa tidak enak di perut. Bila liter ke tiga tidak kembali dan terdapat dalam
abdomen maka kateter atau posisi kateter harus diganti. Bila kateter pada awalnya
salah meletakkan antara lapisan dinding perut, cairan akan mengalir masuk tetapi
biasanya tidak ada pengeluaran. Hal ini dapat diketahui dengan: 1. Kesulitan dalam
memajukan keteter, 2. Sakit pada waktu memperdalam kateter, 3. Sakit menyebar
yang hebat pada waktu mengalirkan cairan masuk, 4. Sakit kencang di perut, 5. Bila
katerter ditarik tampak terputar keras atau melengking ke sudut kanan. Kateter
paling baik dimasukkan kembali pada tempat lain yang bukan tempat pertama
karena peritoneum terkoyak dari dinding perut pada tempat tersebut
2. Kemudian pada dialysis, cairan yang tidak kembali dapat karena perubahan posisi
penderita atau barangkali menunjukkan penggumpalan atau penyumbatan kateter.
Hal ini harus dipindah perlahan-lahan dan bila perlu diganti. Hal ini dapat sering
dilakukan pada seluruh lubang yang telah dibuat tanpa perlu kesibukan selanjutnya.
Penggumpalan tidak akan terjadi bila digunakan heparin dan jika terjadi lebih sering
disebabkan oleh infeksi.
b. Sakit pada saat pengaliran cairan masuk. Beberapa penderita mengalami lebih dari rasa
tidak enak selama setiap pengaliran masuk, barangkali karena penarikan dari
peletakkan lama. Sakit di awal mungkin disebabkan karena kateter salah letak. Bila
larutan tidak hangat, kolik dapat terjadi. Bila rasa sakit ada setiap kali cairan ke dalam,
hal ini biasanya dapat dihilangkan dengan petidin. Beberapa penderita mengalami sakit
hanya dengan larutan glukosa pekat (6,36 g/100ml). Perkembangan rasa sakit dapat
diindikasikan terjadinya penimbunan cairan yang berlebihan dalam perut atau terjadi
peritonitis.
c. Kebocoran di sekitar tempat masuk kateter adalah sering, pada dialysis yang
diperpanjang. Perubahan kecil pada posisi atau sudut tempat masuk kateter sering
mengakibatkan kebocoran seluruhnya. Jahitan kulit pada lubang masuk dapat
membantu. Hal ini harus dilaporkan dan ditangani segera.
d. Cairan keruh dengan atau tanpa sakit atau demam bias berarti peritonitis. Setelah
pengambilan specimen untuk pewarnaan dan biakan gram, dokter dapat menambah
antibiotic spektrum luas pada dialisat.
e. Darah dalam dialisat, sejumlah kecil sering terdapat pada awalnya, perdarahan
kemudian kadang-kadang terjadi. Untuk mengentikannya dengan menambah heparin
dan melanjutkan dialysis. Perdarahan hebat sangat jarang.

I. Komplikasi CAPD
- Peritonitis
Komplikasi yang bisa terjadi pada pelaksanaan Dialisa Peritonial Ambulatory Continous
adalah radang selaput rongga perut atau peritonitis. Gejala yang muncul seperti cairan
menjadi keruh dan atau nyeri perut dan atau demam. Peritonitis merupakan komplikasi
yang paling sering dijumpai dan paling serius. Komplikasi ini terjadi pada 60% hingga
80% pasien yang menjalani dialysis peritoneal. Sebagian besar kejadian peritonitis
disebabkan oleh kontaminasi staphylococcus epidermis yang bersifat aksidental. Kejadian
ini mengakibatkan gejala ringan dan prognosisnya baik. Meskipun demikian, peritonitis
akibat staphylococcus aureus menghasilkan angka morbiditas yang lebih tinggi,
mempunyai prognosis yang lebih serius dan berjalan lebih lama. Mikroorganisme gram
negative dapat berasal dari dalam usus, khususnya bila terdapat lebih dari satu macam
mikroorganisme dalam cairan peritoneal dan bila mikroorganisme tersebut bersifat
anaerob. Manifestasi peritonitis mencakup cairan drainase (effluent) dialisat yang keruh
dan nyeri abdomen yang difus. Hipotensi dan tanda-tanda syok lainnya dapat terjadi jika
staphylococcus merupakan mikroorganisme penyebab peritonitis. Pemeriksaan cairan
drainase dilakukan untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan gram, dan pemeriksaan
kultur untuk mengenali mikroorganisme serta mengarahkan terapi. Untuk mencegah
komplikasi seperti ini, sangatlah penting penderita selalu:

- Membersihkan tangan sebelum melakukan penukaran atau menyentuh kateter.


- Menjaga lubang keluar kateter itu bersih dan sehat
- Tidak mengkontaminasi peralatan yang steril (gunakan masker selama proses
penukaran cairan)
- Carilah tempat yang bersih, nyaman dan aman sebelum melakukan penukaran cairan
dialisat tersebut
- Jika hendak bepergian, jangan lupa mengontak 3 minggu sebelumnya sentra-sentra
dialisa di kota tujuan
- Jika telah terjadi komplikasi seperti ini, biasanya dokter akan menginstruksikan untuk
menambah obat pada cairan pencuci (dialisat) tersebut. Hal ini bisa dilakukan sendiri
oleh pasien.
- Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat melalui luka insisi atau luka pada pemasangan kateter dapat
segera diketahui sesudah kateter dipasang. Biasanya kebocoran tersebut berhenti
spontan jika terapi dialysis ditunda selama beberapa ahri untuk menyembuhkan luka
insisi dan tempat keluarnya kateter. Selama periode ini, factor-faktor yang dapat
memperlambat proses kesembuhan seperti aktivitas abdomen yang tidak semestinya
atau mengejan pada saat BAB harus dikurangi. Kebocoran melalui tempat pemasangan
kateter atau ke dalam dinding abdomen dapat terjadi spontan beberapa bulan atau tahun
setelah pemasangan kateter tersebut.

- Perdarahan
Cairan drainase (effluent) dialisat yang mengandung darah kadang-kadang dapat
terlihat, khususnya pada pasien wanita yang sedang haid. Kejadian ini sering dijumpai
selama beberapa kali pertukaran pertama mengingat sebagian darah akibat prosedur
tersebut tetap berada dalam rongga abdomen pada banyak kasus penyebab terjadinya
perdarahan tidak ditemukan. Pergeseran kateter dari pelvis kadang-kadang disertai
dengan perdarahan. Sebagian pasien memperlihatkan cairan drainase dialisat yang
berdarah sesudah ia menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma ringan.
Perdarahan selalu berhenti setelah satu atau dua hari sehingga tidak memerlukan
intervensi yang khusu. Terapi pertukaran yang lebih sering dilakukan selama waktu ini
mungkin diperlukan untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah.

- Hernia abdomen
Hernia abdomen mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan intraabdomen yang terus
menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah tipe insisional, inguinal, diafragmatik
dan umbilical. Tekanan intraabdomen yang secara persisten meningkat juga akan
memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.
- Hipertrigliseridemia
Hipertrigliseridemia sering dijumpai pada pasien-pasien yang menjalani CAPD
sehingga timbul kesan bahwa terapi ini mempermudah aterogenesis.

- Nyeri punggung bawah dan anoreksia


Nyeri punggung bawah dan anoreksia terjadi akibat adanya cairan dalam rongga
abdomen disamping rasa manis yang selalu terasa pada indera pengecap serta berkaitan
dengan absorbsi glukosa dapat pula terjadi pada terapi CAPD

- Gangguan citra rubuh dan seksualitas


Meskipun CAPD telah memberikan kebebasan yang lenih besar untuk mengontrol
sendiri terapinya kepada pasien penyakit renal stadium terminal, namun bentuk terapi
ini bukan tanpa masalah. Pasien sering mengalami gangguan citra tubuh dengan adanya
kateter abdomen dan kantong penampung serta selang dibadannya.

H. Pengkajian Fokus Keperawatan


Pengkajian fokus manurut Carpenito (2006) yang disusun berdasarkan sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang mengalami
CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti proses
pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada
siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu
kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan
lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum / mengandungbanyak senyawa/
zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo nefritis,
hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus urinarius
bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6
bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
4. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah
penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah
atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
5. Pengkajian fisik :
a. Penampilan / keadaan umum : lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas
nyeri. Kesadaranpasien dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital : tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea,
nadimeningkat dan reguler.
c. Antropometri : penurunan berat badan selama 6 bulan terahir
karenakekurangannutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebihan
cairan.
d. Kepala : rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat
kotorantelinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung,mulut bau ureum,bibir
kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok : peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada
leher.
f. Dada : dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot
bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru
(rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada
jantung.
g. Abdomen : terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut
buncit.
h. Genital : kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus.
i. Ekstremitas : kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema,
pengeroposan tulang, dan Capillary Refill lebih dari 1 detik.
j. Kulit : turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat /
uremia, dan terjadi perikarditis.

I. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada CKD adalah sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan retensi
cairan dan natrium.
2. Perubahan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia mual
muntah.
4. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan nutrisi ke
jaringan sekunder.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialysis.
6. Resiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveolus sekunder
terhadap adanya edema pulmoner.
7. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak seimbangan cairan
mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan
frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidak seimbangan elektrolit).
J. Rencana Asuhan Keperawatan

NO Diagnosa Keperawatan Tujuan & KH (NIC = Nursing Intervention Classification) Intervensi


Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan Tujuan: Fluid Management :
b.d penurunan haluaran urin Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Kaji status cairan ; timbang berat badan,keseimbangan
dan retensi cairan dan selama 3x24 jam volume cairan masukan dan haluaran, turgor kulit dan adanya edema
natrium. seimbang. 2. Batasi masukan cairan
Kriteria Hasil: 3. Identifikasi sumber potensial cairan
NOC : Fluid Balance 4. Jelaskan pada pasien dan keluarga rasional pembatasan
 Terbebas dari edema, efusi, cairan
anasarka 5. Kolaborasi pemberian cairan sesuai terapi.
 Bunyi nafas bersih,tidak adanya Hemodialysis therapy
dipsnea 1. Ambil sampel darah dan meninjau kimia darah
 Memilihara tekanan vena sentral, (misalnya BUN, kreatinin, natrium, pottasium, tingkat
tekanan kapiler paru, output phospor) sebelum perawatan untuk mengevaluasi respon
jantung dan vital sign normal. thdp terapi.
2. Rekam tanda vital: berat badan, denyut nadi,
pernapasan, dan tekanan darah untuk mengevaluasi
respon terhadap terapi.
3. Sesuaikan tekanan filtrasi untuk menghilangkan jumlah
yang tepat dari cairan berlebih di tubuh klien.
4. Bekerja secara kolaboratif dengan pasien untuk
menyesuaikan panjang dialisis, peraturan diet,
keterbatasan cairan dan obat-obatan untuk mengatur
cairan dan elektrolit pergeseran antara pengobatan
2 Gangguan nutrisi kurang Setelah dilakukan asuhan keperawatan Nutritional Management
dari kebutuhan tubuh b.d selama 3x24 jam nutrisi seimbang dan 1. Monitor adanya mual dan muntah
anoreksia mual muntah. adekuat. 2. Monitor adanya kehilangan berat badan dan perubahan
Kriteria Hasil: status nutrisi.
NOC :Nutritional Status 3. Monitor albumin, total protein, hemoglobin, dan
 Nafsu makan meningkat hematocrit level yang menindikasikan status nutrisi dan
 Tidak terjadi penurunan BB untuk perencanaan treatment selanjutnya.
 Masukan nutrisi adekuat 4. Monitor intake nutrisi dan kalori klien.

 Menghabiskan porsi makan 5. Berikan makanan sedikit tapi sering

 Hasil lab normal (albumin, kalium) 6. Berikan perawatan mulut sering


7. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet sesuai
terapi

3 Perubahan pola napas Setelah dilakukan asuhan keperawatan Respiratory Monitoring


berhubungan dengan selama 1x24 jam pola nafas adekuat. 1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
hiperventilasi paru Kriteria Hasil: 2. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan
NOC : Respiratory Status otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan
 Peningkatan ventilasi dan intercostal
oksigenasi yang adekuat 3. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul,
 Bebas dari tanda tanda distress hiperventilasi, cheyne stokes
pernafasan 4. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak
 Suara nafas yang bersih, tidak ada adanya ventilasi dan suara tambahan
sianosis dan dyspneu (mampu Oxygen Therapy
mengeluarkan sputum, mampu 1. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
bernafas dengan mudah, tidak ada 2. Ajarkan pasien nafas dalam
pursed lips) 3. Atur posisi senyaman mungkin
 Tanda tanda vital dalam rentang 4. Batasi untuk beraktivitas
normal 5. Kolaborasi pemberian oksigen

4 Gangguan perfusi jaringan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Circulatory Care


berhubungan dengan selama 3x24 jam perfusi jaringan 1. Lakukan penilaian secara komprehensif fungsi sirkulasi
penurunan suplai O2 dan adekuat. periper. (cek nadi priper,oedema, kapiler refil, temperatur
nutrisi ke jaringan sekunder. Kriteria Hasil: ekstremitas).
NOC: Circulation Status 2. Kaji nyeri
 Membran mukosa merah muda 3. Inspeksi kulit dan Palpasi anggota badan
 Conjunctiva tidak anemis 4. Atur posisi pasien, ekstremitas bawah lebih rendah untuk
 Akral hangat memperbaiki sirkulasi.

 TTV dalam batas normal. 5. Monitor status cairan intake dan output

 Tidak ada edema 6. Evaluasi nadi, oedema


7. Berikan therapi antikoagulan.
K. Patofisiologi
DAFTAR PUSTAKA

1. Black, Joyce M. & Jane Hokanson Hawks. 2005.Medical Surgical Nursing Clinical
Management for Positive Outcome Seventh Edition. China : Elsevier inc.
2. Brunner dan Suddarth. 2009. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume
2 Edisi8. Jakarta : EGC.
3. Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi 3. Jakarta: EGC.
4. Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
5. Nahas, Meguid El & Adeera Levin. 2010. Chronic Kidney Disease: A Practical Guide
toUnderstanding and Management . USA : Oxford University Press.
6. Patel, P. R. 2007. Lecture Notes: Radiologi Ed. 2. Surabaya: Erlangga.
7. Purnomo, Basuki. B. 2011. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Ke Tiga. Jakarta :Sagung
Seto
8. Price, Sylvia A. & Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC.
9. Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Ed. 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
10. Rindiastuti, Yuyun. 2006. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta: EGC.
11. Sudoyo, Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed. IV. Jakarta: FKUI. 2006.
12. Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
13. Smeltzer, Suzanne C. (2009). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :EGC
14. Sudoyo. 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
15. Suyono, Slamet. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.:
Balai Penerbit FKUI
16. Udjianti, WJ. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.

You might also like