You are on page 1of 50

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus
2.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 dan Perhimpunan Ahli

Endokrinologi Indonesia (Perkeni), Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit

metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin atau kedua-duanya. 1,2

2.2 Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA), 2005

dan Perkeni (2015), yaitu1,2 :


1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh defisiensi insulin absolut dalam darah yang terjadi akibat

kerusakan dari sel beta pankreas oleh proses autoimun atau idiopatik. Biasanya terjadi

pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.1


2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan oleh berbagai hal mulai yang dominan resistensi insulin disertai

defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi

insulin. 1

3. Diabetes Melitus Tipe lain

a. Defek genetik pada fungsi sel beta

b. Defek genetik pada kerja insulin

c. Penyakit eksokrin pankreas

d. Endokrinopati

e. Diinduksi obat atau zat kimia

f. Infeksi

g. Imunologi

3
4. DM Gestasional

KLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI


1998

DM
A TIPE 1: DM TIPE 2 : DM TIPE LAIN : DM
Defisiensi Defisiensi insulin 1. Defek genetik fungsi sel beta : GESTASIONAL
insulin absolut relatif : Maturity onset diabetes of the young
akibat destuksi 1, defek sekresi Mutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain
sel beta, insulin lebih 2. Penyakit eksokrin pankreas :Pankreatitis
karena: dominan daripada Pankreatektomy
1.autoimun resistensi insulin. 3.Endokrinopati : akromegali, cushing,
2. idiopatik 2. resistensi insulin hipertiroidisme
Gambar 2.1 Klasifikasi Diabetes Mellitus Perkeni
2.3Patogenesislebih dominan Mellitus 4.akibat
Diabetes Tipe 2obat : glukokortikoid, hipertiroidisme

2.3.1 Diabetes Melitus


daripada defek
Tipe 2 5.Akibat virus: CMV, Rubella
DeFronzo pada tahun 2009
sekresi insulin. menyampaikan,
6.Imunologi: bahwa
antibodi anti tidak hanya otot, liver dan
insulin
7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, Klinefelter
sel beta pankreas saja yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe-2

tetapi terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet. 1,2
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal

(omnious octet) berikut1,2 :


1. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat

berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea,

meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.


2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu

gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalamkeadaan basal oleh liver

(HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini

adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis.


3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple

di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan

transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi

glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak:

4
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan

peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty Acid)

dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan

mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi

insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat

yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.


5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau

diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan

oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent

insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada

penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP.

Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4,

sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat

kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga

mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-

glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian

diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah. setelah makan. Obat

yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah akarbosa.


6. Sel Alpha Pancreas:
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan

sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam

keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini

menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding

individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glucagon atau menghambat

reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4 inhibitor dan amylin.


7. Ginjal:

5
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis DM

tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen

dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium

Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10%

sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,

sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi

peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan

menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan

dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor.

Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya.


8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes

baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan

mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan

justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang

bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.


2.5 Manifestasi Klinik
Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan mengeluhkan apa

yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan, Polidipsi dengan poliuri, juga

keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan gatal di kulit 1.
Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus

Kriteria diagnostik1,2 :

6
 Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah sewaktu

merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makan

terakhir, atau
Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori

tambahan sedikit nya 8 jam, atau


Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan standard WHO,

menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang

dilarutkan dalam air.8



Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal 2x.3
 Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat

digolongkan ke dalam kelompok TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa

darah puasa terganggu) dari hasil yang diperoleh


 TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembenanan antara 140-199 mg/dl
 GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl

2.6 Faktor Risiko1,2


1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2) yang

disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut:


a. Aktivitas fisik yang kurang.
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga).
c. Kelompok ras/etnis tertentu.
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau

mempunyai riwayat diabetes mellitus gestasional (DMG).


e. Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi).
f. HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h. Riwayat prediabetes.
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j. Riwayat penyakit kardiovaskular.
2. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan mencegah komplikasi akut dan kronik, meningkatkan kualitas hidup

dengan menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol sehingga sama dengan

orang normal. Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus dimulai dari1,2 :


1. Edukasi
Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan

masyarakat.

7
2. Terapi gizi medis
Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non farmakologik yang sangat

direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi ini pada prinsipnya melakukan

pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan

modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.


Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan1,2 :
1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal
a) Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl
b) Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl
c) Kadar HbA1c < 7%
2. Tekanan darah <130/80
3. Profil lipid :
a) Kolesterol LDL <100 mg/dl
b) Kolesterol HDL >40 mg/dl
c) Trigliserida <150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin, BMI 18 – 24,9

Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola makan

diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi,, status kesehatan, aktivitas

fisik dan faktor usia. Selain itu ada beberapa faktor fisiologi seperti masa kehamilan,

masa pertumbuhan, gangguan pencernaan pada usia tua, dan lainnya. Pada keadaan

infeksi berat dimana terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan

pemberian nutrisi khusus. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah

status ekonomi, lingkungan kebiasaan dan tradisi dalam lingkungan yang

bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan yang ada.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari1,2 :

Komposisi nutrien berdasarkan konsensus nasional adalah Karbohidrat 60-70%, Lemak 20-

25% dan Protein 10-15%.

KARBOHIDRAT (1 gram=40 kkal)


 Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat lebih ditentukan oleh

jumlahnya dibandingkan jenis karbohidrat itu sendiri.


 Total kebutuhan kalori perhari, 60-70 % diantaranya berasal dari sumber karbohidrat

8
 Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi maka jumlah karbohidrat maksimal 70% dari

total kebutuhan perhari


 Jumlah serat 25-50 gram/hari.
 Penggunaan alkohol dibatasi dan tidak boleh lebih dari 10 ml/hari.
 Pemanis yang tidak meningkatkan jumlah kalori sebagai penggantinya adalah pemanis

buatan seperti sakarin, aspartam, acesulfam dan sukralosa. Penggunaannya pun dibatasi

karena dapat meningkatkan resiko kejadian kanker.


 Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gr/hari
 Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.
PROTEIN
 Kebuthan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.
 Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan

mempengaruhi konsentrasi glukosa darah .


 Pada keadaan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0

mg/kg BB/hari .
 Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampa 0,85 gr/kg BB/hari

dan tidak kurang dari 40 gr.


 Jika terdapat komplikasi kardiovaskular maka sumber protein nabati lebih dianjurkan

dibandingkan protein hewani.


LEMAK
 Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10% dari

total kebutuhan kalori perhari.


 Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan sampai

maksimal 7% dari total kalori perhari.


 Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL ≥100 mg/dl, maka

maksimal kolesterol yag dapat dikonsumsi 200 mg perhari.

B. Kebutuhan Kalori
Menetukan kebutuhan kalori basa yang besarnya 25-30 kalori/ kg BB ideal ditambah atau

dikurangi bergantung pada beberapa factor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan

dan lain-lain.

PENENTUAN KEBUTUHAN KALORI

Kebutuhan basal :

9
Laki-laki = berat badan ideal (kg) x 30 kalori

Wanita = berat badan ideal (kg) x 25 kalori

Koreksi :

umur

• 40-59 th : -5%

• 60-69 : -10%

• >70% : -20

aktivitas

• Istirahat : +10%

• Aktivitas ringan : +20%

• Aktivitas sedang : +30%

• Aktivitas berat : +50%

berat badan

• Kegemukan : - 20-30%

• Kurus : +20-30%

stress metabolik : + 10-30%

Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi 20%, makan siang 30% dan

makan malam 25%, serta 2-3 porsi ringan 10-15% diantara porsi besar.

Berdasarkan IMT  dihitung berdasarkan berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan

kuadrat (m2).

Kualifikasi status gizi :

BB kurang : < 18,5

BB normal : 18,5 – 22,9

10
BB lebih : 23 – 24,9

3. Latihan Jasmani
Kegiatan fisik bagi penderita diabetes sangat dianjurkan karena mengurangi resiko

kejadian kardiovaskular dimana pada diabetes telah terjadi mikroangiopati dan

peningkatan lipid darah akibat pemecahan berlebihan yang membuat vaskular menjadi

lebih rentan akan penimbunan LDL teroksidasi subendotel yang memperburuk

kualitas hidup penderita. Dengan latihan jasmani kebutuhan otot akan glukosa

meningkat dan ini akan menurunkan kadar gula darah.

Aktivitas latihan :

 5-10 menit pertama : glikogen akan dipecah menjadi glukosa


 10-40 menit berikutnya : kebutuhan otot akan glukosa akan meningkat 7-20x.

Lemak
juga akan mulai dipakai untuk pembakaran sekitar 40%
 > 40 menit : makin banyak lemak dipecah ±75-90% .
Dengan makin banyaknya lemak dipecah, makin banyakk pula benda keton yang

terkumpul dan ini menjadi perhatian karena dapat mengarah ke keadaan asidosis.

Latihan berat hanya ditujukan pada penderita DM ringan atau terkontrol saja,

sedangkan DM yang agak berat, GDS mencapai > 350 mg/dl sebaiknya olahraga yang

ringan dahulu. Semua latihan yang memenuhi program CRIPE : Continous,

Rhythmical, Interval, Progressive, Endurance. Continous maksudnya

berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa berhenti. Rhytmical artinya

latihan yang berirama, yaitu otot berkontraksi dan relaksi secara teratur. Interval,

dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Progresive dilakukan secara

bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringa sampai sedang hingga 30-60 menit.

Endurance, latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiopulmoner

seperti jalan santai, jogging dll.

4. Intervensi Farmakologis

11
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai degan

pengaturan makanan dan latihan jasmani.

3. Obat hipoglikemik oral1,2


a. Insulin Secretagogue :
 Sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Merupakan obat

pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurangm namun masih

boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Contohnya glibenklamid.
 Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator. Penekanan pada

peningkatan sekresi insulin fase pertama.obat ini berisiko terjadinya hipoglikemia.

Contohnya : repaglinid, nateglinid.


b. Insulin sensitizers
 Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan efek insulin

endogen pada target organ (otot skelet dan hepar). Menurunkan resistensi insulin

dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa

di perifer meningkat. Agonis PPARγ yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan

lemak.
 Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga memperbaiki uptake

glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Kontraindikasi

pada pasien dengan gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan kecendrungan

hipoksemia.
c. Inhibitor absorbsi glukosa
 α glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi glukosa di usus

halus sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.

Obat ini tidak menimbulkan efek hipoglikemi


d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase- IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1

(Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif.

Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon

bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah

Sitagliptin dan Linagliptin.


e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)

12
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang

menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat

kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain:

Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin. Dapagliflozin baru saja

mendapat approvable letter dari Badan POM RI pada bulan Mei 2015.

Gambar 2.2 Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia

13
14
Gambar 2.3 Cara Pemakaian Obat Anti Hiperglikemik Oral

15
Hal-hal yang harus diperhatikan1,2 :
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara bertahap sesuai respon kadar

glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis maksimal.sulfonilurea generasi I dan II 15-30

menit sebelum makan. Glimepirid sebelum/sesaat sebelum makan. Repaglinid, Nateglinid

sesaat/sebelum makan. Metformin sesaat/pada saat/sebelum makan. Penghambat glukosidase

α bersama makan suapan pertama. Thiazolidindion tidak bergantung jadwal makan.


4. Obat Anti Hiperglikemik Parenteral: Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
a. HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
b. Penurunan berat badan yang cepat
c. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
d. Krisis Hiperglikemia
e. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
f. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
g. Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali dengan

perencanaan makan
h. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
i. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
j. Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
a. Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)
b. Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
c. Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)
d. Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
e. Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)
f. Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat

dengan menengah (Premixed insulin)


Tabel 2.1 Macam-macam Insulin

16
17
Gambar 2.4 Algoritme Pengelolaan DM Tipe 2
5. Terapi Kombinasi

18
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk kemudian

diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Untuk kombinasi OHO

dengan insulin, yang banyak dipakai adalah kombinasi OHO dan insulin basal (kerja

menengah atau kerja lama) yang divberikan pada malam hari atau menjelang tidur. Dengan

pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa yag baik dengan

dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang

diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai

kadar gula darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti ini kadar gula darah

sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan insulin. 1,2
2.8 Penyulit Diabetes Mellitus
2.8.1 Penyulit Akut
1. Hiperglikemia meliputi Ketoasidosis Diabetikum (KAD) dan Status

Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH).


2. Hipoglikemia
2.8.2 Penyulit Menahun
1. Makroangiopati
 Pembuluh darah jantung: penyakit jantung coroner
 Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada penyandang DM.

Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri pada saat beraktivitas dan

berkurang saat istirahat (claudicatio intermittent), namun sering juga tanpa disertai

gejala. Ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan yang dapat ditemukan pada

penderita.
 Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik
2. Mikroangiopati
 Retinopati
 Nefropati diabetikum
 Neuropati diabetikum

B. KETOASIDOSIS DIABETIKUM

II.1. DEFINISI

19
Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang
ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi
insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes
mellitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis
osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan
syok.3

II.2. FAKTOR PENCETUS


Terdapat sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama
kalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya
faktor pencetus, sementara 20% lainnya tidak diketahui faktor pencetusnya.3,4
Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai pencetus
lebih dari 50% kasus KAD.(6-8) Pada infeksi akan terjadi peningkatan sekresi kortisol dan
glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang bermakna. Faktor lainnya
adalah cerebrovascular accident, alcohol abuse, pankreatitis, infark jantung, trauma,
pheochromocytoma, obat, DM tipe 1 yang baru diketahui dan diskontinuitas (kepatuhan) atau
terapi insulin inadekuat.(1,5,6)
Kepatuhan akan pemakaian insulin dipengaruhi oleh umur, etnis dan faktor komorbid
penderita.(5) Faktor lain yang juga diketahui sebagai pencetus KAD adalah trauma, kehamilan,
pembedahan, dan stres psikologis. Infeksi yang diketahui paling sering mencetuskan KAD
adalah infeksi saluran kemih dan pneumonia. (4,5) Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat
mempengaruhi oksigenasi dan mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan
sebagai keadaan yang serius dan akan menurunkan kompensasi respiratorik dari asidosis
metabolik.7 Infeksi lain dapat berupa infeksi ringan seperti skin lesion atau infeksi
tenggorokan. Obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat seperti
kortikosteroid, thiazid, pentamidine, dan obat simpatomimetik (seperti dobutamin dan
terbutalin), dapat mencetuskan KAD. Obat-obat lain yang diketahui dapat mencetuskan KAD
diantaranya beta bloker, obat antipsikotik, dan fenitoin, Pada pasien usia muda dengan DM
tipe 1, masalah psikologis yang disertai kelainan makan memberikan kontribusi pada 20%
KAD berulang.
Faktor yang memunculkan kelalaian penggunaan insulin pada pasien muda diantaranya
ketakutan untuk peningkatan berat badan dengan perbaikan kontrol metabolik, ketakutan
terjadinya hipoglikemia, dan stres akibat penyakit kronik. 1,4,8 Namun demikian, seringkali
faktor pencetus KAD tidak ditemukan dan ini dapat mencapai 20 – 30% dari semua kasus

20
KAD, akan tetapi hal ini tidak mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat KAD itu sendiri.
(9,10)

II.3 PATOFISIOLOGI KAD


KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan peningkatan
konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis merupakan akibat dari
kekurangan atau inefektifitas insulin yang terjadi bersamaan dengan peningkatan hormon
kontraregulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut
mengakibatkan perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan lipolisis dan
produksi benda keton. Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan
ginjal (glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan
perifer.
Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat nonkarbohidrat
(alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada ginjal) dan dari peningkatan
aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol piruvat karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat,
dan piruvat karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan patogenesis
utama yang bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan KAD.
Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi menyebabkan diuresis
osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan penurunan glomerular filtration rate.
Keadaan yang terakhir akan memperburuk hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari
peningkatan produksi benda keton telah dipelajari selama ini. Kombinasi defisiensi insulin
dan peningkatan konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi hormon lipase
yang sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserid
menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol
merupakan substrat penting untuk glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam
lemak bebas yang berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid.

21
Gambar 2.5. Bagan Patofisiologi KAD (11)

22
Gambar 2.6. Proses Ketogenesis di Hepar3

Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang prosesnya
distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon menurunkan kadar
malonyl coenzyme A (Co A) dengan cara menghambat konversi piruvat menjadi acetyl Co A
melalui inhibisi acetyl Co A carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam
lemak bebas. Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyl- transferase I (CPT I), enzim
untuk transesteri¿ kasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine, yang mengakibatkan
oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I diperlukan untuk perpindahan asam lemak
bebas ke mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas fatty acyl
Co A dan CPT I pada KAD mengakibatkan peningkatan ketongenesis.4

II.4. GEJALA KLINIS


Tujuh puluh sampai sembilan puluh persen pasien KAD telah diketahui menderita
DM sebelumnya. Sesuai dengan patofisiologi KAD, akan dijumpai pasien dalam keadaan
ketoasidosis dengan pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi
(turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai
syok. Keluhan poliuria dan polidipsi seringkali mendahului KAD, serta didapatkan
riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. 3
Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai. Pada KAD anak, sering
dijumpai gejala muntah-muntah massif. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan

23
hal ini dapat berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung. Derajat kesadaran pasien
bervariasi, mulai dari kompos mentis sampai koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu
dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum
alcohol). Bau aseton dari hawa napas tidak selalu mudah tercium.

II.5. DIAGNOSIS
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan patensi jalan napas, status
mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat
menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga
penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan. 3
Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa hari,
perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam jangka waktu pendek (<
24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak atau berkembang lebih akut
dan pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala atau tanda KAD sebelumnya.
Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia, penurunan
berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of sensoria, dan akhirnya koma.
Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi Kussmaul, takikardia,
hipotensi, perubahan status mental, syok, dan koma. Lebih dari 25% pasien KAD menjadi
muntah-muntah yang tampak seperti kopi.
Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan hipotermia karena menunjukkan
prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan abdominal pain, karena gejala ini
dapat merupakan akibat atau sebuah indikasi dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda.
Evaluasi lebih lanjut diperlukan jika gejala ini tidak membaik dengan koreksi dehidrasi dan
asidosis metabolik.
Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah untuk segera dilakukan
setelah dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan kadar glukosa
darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan urine dengan menggunakan urine strip untuk
melihat secara kualitatif jumlah glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan
laboratorium lengkap untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi
kadar HCO3, anion gap, pH darah dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan kadar AcAc dan
laktat serta 3HB.

24
Tabel 2.2. Kriteria diagnostik KAD menurut American Diabetes Association1

II.6. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan KAD bersifat multifaktorial sehingga memerlukan pendekatan
terstruktur dokter dan paramedis yang bertugas. Terdapat banyak sekali pedoman
penatalaksanaan KAD pada literatur kedokteran, dan hendaknya semua itu tidak diikuti
secara ketat sekali dan disesuaikan dengan kondisi penderita. Dalam menatalaksana penderita
KAD setiap rumah sakit hendaknya memiliki pedoman atau disebut sebagai integrated care
pathway. Pedoman ini harus dilaksanakan sebagaimana mestinya dalam rangka mencapai
tujuan terapi. Studi terakhir menunjukkan sebuah integrated care pathway dapat memperbaiki
hasil akhir penatalaksanaan KAD secara signifikan.1
Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi, hiperglikemia,
asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi komorbid, dan yang terpenting
adalah pemantauan pasien terus menerus.1,12 Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan
pada penatalaksanaan KAD.

25
Gambar 2.7 Algoritma Penanganan Ketoasidosis Diabetikum

1. Terapi cairan
Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan.6 Terapi insulin hanya
efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi dan hanya dengan terapi cairan saja akan
membuat kadar gula darah menjadi lebih rendah. Studi menunjukkan bahwa selama empat
jam pertama, lebih dari 80% penurunan kadar gula darah disebabkan oleh rehidrasi. (2,11) Oleh
karena itu, hal penting pertama yang harus dipahami adalah penentuan defisit cairan yang
terjadi. Beratnya kekurangan cairan yang terjadi dipengaruhi oleh durasi hiperglikemia yang
terjadi, fungsi ginjal, dan intake cairan penderita13 Hal ini bisa diperkirakan dengan
pemeriksaan klinis atau dengan menggunakan rumus sebagai berikut:7

Fluid deficit = (0,6 X berat badan dalam kg) X (corrected Na/140)


*Corrected Na = Na + (kadar gula darah-5)/3,5

Rumus lain yang dapat dipakai untuk menentukan derajat dehidrasi adalah dengan
menghitung osmolalitas serum total dan corrected serum sodium concentration.
Osmolalitas serum total = 2 X Na (mEq/l) + kadar glukosa darah (mg/dl)/18 +
BUN/2,8
Serum sodium concentration dapat dikoreksi dengan menambahkan 1,6 mEq/l tiap

26
kenaikan 100 mg/dl kadar gula darah di atas kadar gula 100 mg/ dl.
•Corrected Na+ = (Plasma glucose-100) / 100 * 1.6)
Nilai corrected serum sodium concentration > 140 dan osmolalitas serum total > 330
mOsm/kg air menunjukkan defisit cairan yang berat.(12) Penentuan derajat dehidrasi dengan
gejala klinis seringkali sukar dikerjakan, namun demikian beberapa gejala klinis yang dapat
menolong untuk menentukan derajat dehidrasi adalah.11:
- 5% : penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, takikardia
- 10% : capillary refill time ≥ 3 detik, kelopak mata cekung
- > 10% : pulsus arteri perifer lemah, hipotensi, syok, oliguria
Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif. Targetnya adalah penggantian
cairan sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam 8 – 12 jam pertama dan sisanya
dalam 12 – 16 jam berikutnya.(5,9) Menurut perkiraan banyak ahli, total kekurangan cairan
pada pasien KAD sebesar 100 ml/kgBB, atau sebesar 5 – 8 liter. (5,7,9) Pada pasien dewasa,
terapi cairan awal langsung diberikan untuk ekspansi volume cairan intravaskular dan
ekstravaskular dan menjaga perfusi ginjal.(1,9) Terdapat beberapa kontroversi tentang jenis
cairan yang dipergunakan.
Tidak ada uji klinik yang membuktikan kelebihan pemakaian salah satu jenis cairan.
Kebanyakan ahli menyarankan pemakaian cairan fisiologis (NaCl 0,9%) sebagai terapi awal
untuk resusitasi cairan. Cairan fisiologis (NaCl 0,9%) diberikan dengan kecepatan 15 – 20
ml/kgBB/jam atau lebih selama jam pertama (± 1 – 1,5 liter). Sebuah sumber memberikan
petunjuk praktis pemberian cairan sebagai berikut: 1 liter pada jam pertama, 1 liter dalam 2
jam berikutnya, kemudian 1 liter setiap 4 jam sampai pasien terehidrasi.
Sumber lain menyarankan 1 – 1,5 lt pada jam pertama, selanjutnya 250 – 500 ml/jam
pada jam berikutnya.7 Petunjuk ini haruslah disesuaikan dengan status hidrasi pasien. Pilihan
cairan selanjutnya tergantung dari status hidrasi, kadar elektrolit serum, dan pengeluaran
urine. Pada umumnya, cairan NaCl 0,45% diberikan jika kadar natrium serum tinggi (> 150
mEq/l), dan diberikan untuk mengkoreksi peningkatan kadar Na+ serum (corrected serum
sodium) dengan kecepatan 4 – 14 ml/kgBB/jam serta agar perpindahan cairan antara intra
dan ekstraselular terjadi secara gradual.(1,8,12)
Pemakaian cairan Ringer Laktat (RL) disarankan untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya hiperkloremia yang umumnya terjadi pada pemakaian normal saline(14) dan
berdasarkan strong- ion theory untuk asidosis (Stewart hypothesis).7
Sampai saat ini tidak didapatkan alasan yang meyakinkan tentang keuntungan
pemakaian RL dibandingkan dengan NaCl 0,9%. Jika kadar Na serum rendah tetaplah
27
mempergunakan cairan NaCl 0,9%. Setelah fungsi ginjal dinilai, infus cairan harus
mengandung 20 – 30 mEq/l Kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat
makan. Keberhasilan terapi cairan ditentukan dengan monitoring hemodinamik (perbaikan
tekanan darah), pengukuran cairan masuk dan keluar, dan pemeriksaan klinis.
Pemberian cairan harus dapat mengganti perkiraan kekurangan cairan dalam jangka
waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum tidak melebihi 3 mOsm/kgH 2O/jam.
Pada pasien dengan kelainan ginjal, jantung atau hati terutama orang tua, harus dilakukan
pemantauan osmolalitas serum dan penilaian fungsi jantung, ginjal, dan status mental
yang berkesinambungan selama resusitasi cairan untuk menghindari overload cairan
iatrogenik. Untuk itu pemasangan Central Venous Pressure (CVP) monitor dapat
sangat menolong.
Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, cairan diganti atau ditambahkan
dengan cairan yang mengandung dextrose seperti (dextrose 5%, dextrose 5% pada
NaCl 0,9%, atau dextrose 5% pada NaCl 0,45%) untuk menghindari hipoglikemia dan
mengurangi kemunginan edema serebral akibat penurunan gula darah yang terlalu
cepat.(1,7)

Tabel 2.3 Perkiraan jumlah total defisit air dan elektrolit pada pasien KAD(1)

28
2. Terapi Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang
memadai.(3) Sumber lain menyebutkan pemberian insulin dimulai setelah diagnosis KAD
ditegakkan dan pemberian cairan telah dimulai. (14) Pemakaian insulin akan menurunkan kadar
hormon glukagon, sehingga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak
bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan
utilisasi glukosa oleh jaringan. (3,4) Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya
secara bolus intravena, intramuskular, ataupun subkutan.
Sejak pertengahan tahun 1970-an protokol pengelolaan KAD dengan drip insulin
intravena dosis rendah mulai digunakan dan menjadi popular. Cara ini dianjurkan karena
lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar glukosa darah lebih lambat, efek
insulin cepat menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi
hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit.(1) Pemberian insulin dengan infus intravena dosis
rendah adalah terapi pilihan pada KAD yang disebutkan oleh beberapa literatur, sedangkan
ADA menganjurkan insulin intravena tidak diberikan pada KAD derajat ringan. Jika
tidak terdapat hipokalemia (K < 3,3 mEq/l), dapat diberikan insulin regular 0,15 u/kg
BB, diikuti dengan infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam (5 – 7 u/jam). Jika kadar kalium < 3,3
mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia yang
akan dapat mengakibatkan aritmia jantung.(4,14)
Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah dengan kecepatan 50 – 75
mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih tinggi. Jika gula darah tidak menurun
sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam pertama, periksa status hidrasi pasien. Jika status
hidrasi mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali lipat setiap jam sampai tercapai
penurunan gula darah konstan antara 50 – 75 mg/dl/jam. Ketika kadar gula darah
mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin menjadi 0,05 – 0,1 u/kgBB/jam (3 – 6
u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5 – 10%.(2,4) Setelah itu kecepatan pemberian insulin
atau konsentrasi dextrose harus disesuaikan untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan
asidosis membaik.
Pada kondisi klinik pemberian insulin intravena tidak dapat diberikan, maka insulin
diberikan dengan dosis 0,3 iu (0,4 – 0,6 iu)/ kgBB yang terbagi menjadi setengah dosis secara
intravena dan setengahnya lagi secara subkutan atau intramuskular, selanjutnya diberikan
insulin secara intramuskular atau subkutan 0,1 iu/kgBB/ jam, selanjutnya protokol
penatalaksanaannya sama seperti pemberian drip intravena. (14) Perbaikan ketonemia
memerlukan waktu lebih lama daripada hiperglikemia. Pengukuran langsung β-OHB (beta
29
hidroksi butirat) pada darah merupakan metoda yang lebih disukai untuk pemantauan KAD.
Selama terapi β-OHB berubah menjadi asam asetoasetat, yang menandakan bahwa ketosis
memburuk. Selama terapi KAD harus diperiksa kadar elektrolit, glukosa, BUN, serum
kreatinin, osmolalitas, dan derajat keasaman vena setiap 2 – 4 jam, sumber lain menyebutkan
bahwa kadar glukosa kapiler diperiksa tiap 1 – 2 jam.(4)
Pada KAD ringan, insulin regular dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskular setiap jam dengan efektifitas yang sama dengan pemberian intravena
pada kadar gula darah yang rendah dan keton bodies yang rendah. Efektifitas pemberian
insulin dengan intramuskular dan subkutan adalah sama, namun injeksi subkutan lebih mudah
dan kurang menyakitkan pasien. Pasien dengan KAD ringan harus mendapatkan “priming
dose” insulin regular 0,4 – 0,6 u/kgBB, setengah dosis sebagai bolus dan setengah dosis
dengan subkutan atau injeksi intramuskular. Selanjutnya diberikan insulin subkutan atau
intramuskular 0,1 u/kgBB/jam.
Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200 mg/dl, serum
bikarbonat ≥ 18 mEq/l, pH vena > 7,3, dan anion gap ≤ 12 mEq/l. Saat ini, jika pasien
NPO, lanjutkan insulin intravena dan pemberian cairan dan ditambah dengan insulin regular
subkutan sesuai keperluan setiap 4 jam. Pada pasien dewasa dapat diberikan 5 iu insulin
tambahan setiap kenaikan gula darah 50 mg/dl pada gula darah di atas 150 mg/dl dan dapat
ditingkatkan 20 iu untuk gula darah ≥ 300 mg/dl.
Ketika pasien mendapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan
memakai kombinasi dosis short atau rapid acting insulin dan intermediate atau long
acting insulin sesuai kebutuhan untuk mengontrol glukosa darah. Lebih mudah untuk
melakukan transisi ini dengan pemberian insulin saat pagi sebelum makan atau saat makan
malam. Teruskan insulin intravena selama 1 – 2 jam setelah pergantian regimen dimulai
untuk memastikan kadar insulin plasma yang adekuat.
Penghentian insulin tiba-tiba disertai dengan pemberian insulin subkutan yang
terlambat dapat mengakibatkan kontrol yang buruk, sehingga diperlukan sedikit overlapping
pemberian insulin intravena dan subkutan. Pasien yang diketahui diabetes sebelumnya dapat
diberikan insulin dengan dosis yang diberikan sebelum timbulnya KAD dan selanjutnya
disesuaikan seperlunya. Pada pasien DM yang baru, insulin awal hendaknya 0,5 – 1,0 u/
kgBB/hari, diberikan terbagi menjadi sekurangnya 2 dosis dalam regimen yang
termasuk short dan long acting insulin sampai dosis optimal tercapai, duapertiga dosis
harian ini diberikan pagi hari dan sepertiganya diberikan sore hari sebagai split-mixed
dose.(1,4)
30
3. Natrium
Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum yang rendah,
oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap peningkatan gula darah 100 mg/dl di atas
100 mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang
diukur. Hiponatremia memerlukan koreksi jika level natrium masih rendah setelah
penyesuaian efek ini. Contoh, pada orang dengan kadar gula darah 600 mg/dl dan level
natrium yang diukur 130, maka level natrium yang sebenarnya sebesar 130 + (1,6 x 5) = 138,
sehingga tidak memerlukan koreksi dan hanya memerlukan pemberian cairan normal saline
(NaCl 0,9%).
Sebaliknya kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan resusitasi cairan dengan
normal saline oleh karena normal saline memiliki kadar natrium lebih tinggi dari kadar
natrium ekstraselular saat itu disamping oleh karena air tanpa natrium akan berpindah ke
intraselular sehingga akan meningkatkan kadar natrium.(6) Serum natrium yang lebih tinggi
daripada 150 mEq/l memerlukan koreksi dengan NaCl 0,45%.(1)

4. Kalium
Meskipun terdapat kekurangan kalium secara total dalam tubuh (sampai 3 – 5
mEq/kgBB), hiperkalemia ringan sampai sedang seringkali terjadi. Hal ini terjadi karena shift
kalium dari intrasel ke ekstrasel oleh karena asidosis, kekurangan insulin, dan hipertonisitas,
sehingga terapi insulin, koreksi asidosis, dan penambahan volume cairan akan menurunkan
konsentrasi kalium serum. Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai
setelah kadar kalium serum kurang dari 5,0, sumber lain menyebutkan nilai 5,5 mEq/l.
Umumnya, 20 – 30 mEq kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap liter cairan infus cukup
untuk memelihara kadar kalium serum dalam range normal 4 – 5 mEq/l.
Kadang- kadang pasien KAD mengalami hipokalemia yang signifikan. Pada kasus
tersebut, penggantian kalium harus dimulai dengan terapi KCl 40 mEq/l, dan terapi insulin
harus ditunda hingga kadar kalium > 3,3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau gagal
jantung dan kelemahan otot pernapasan.(6,7) Terapi kalium dimulai saat terapi cairan sudah
dimulai, dan tidak dilakukan jika tidak ada produksi urine, terdapat kelainan ginjal, atau
kadar kalium > 6 mEq/l.(3,4)

5. Bikarbonat
Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Pada pH > 7,0 , pengembalian

31
aktifitas insulin memblok lipolisis dan memperbaiki ketoasidosis tanpa pemberian
bikarbonat. Studi random prospektif telah gagal menunjukkan baik keuntungan atau kerugian
pada perubahan morbiditas atau mortalitas dengan terapi bikarbonat pada pasien KAD
dengan pH antara 6,9 – 7,1. Tidak didapatkan studi random prospektif yang mempelajari
pemakaian bikarbonat pada KAD dengan nilai pH < 6,9. Mengetahui bahwa asidosis berat
menyebabkan banyak efek vaskular yang tidak diinginkan, tampaknya cukup bijaksana
menentukan bahwa pada pasien dewasa dengan pH < 6,9 , 100 mmol natrium bikarbonat
ditambahkan ke dalam 400 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200
ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9 – 7,0, 50 mmol natrium bikarbonat dicampur
dalam 200 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200 ml/jam.
Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0. Sebagaimana natrium bikarbonat,
insulin menurunkan kadar kalium serum, oleh karena itu pemberian kalium harus terus
diberikan secara intravena dan dimonitor secara berkala. Setelah itu pH darah vena diperiksa
setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0 , dan terapi harus diulangi setiap 2 jam jika perlu.(1)

6. Fosfat
Meskipun kadar fosfat tubuh secara keseluruhan mengalami penurunan hingga 1,0
mmol/kgBB, kadar fosfat serum seringkali normal atau meningkat. Kadar fosfat menurun
dengan terapi insulin. Studi acak prospektif gagal untuk menunjukkan efek menguntungkan
dari pemberian fosfat pada hasil akhir pasien KAD, dan terapi fosfat berlebihan dapat
menyebabkan hipokalemia berat tanpa bukti adanya tetanus.
Bagaimanapun untuk menghindari lemahnya otot rangka dan jantung serta depresi
pernapasan yang disebabkan hipofosfatemia, pemberian fosfat secara hati-hati mungkin
kadang- kadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan jantung, anemia, atau depresi
pernapasan dan pada mereka dengan kadar serum posfat < 1,0 mg/dl. Ketika diperlukan, 20 –
30 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan pada terapi cairan yang telah diberikan. Untuk itu
diperlukan pemantauan secara kontinu.(1) Beberapa peneliti menganjurkan pemakaian kalium
fosfat rutin karena mereka percaya akan dapat menurunkan hiperkloremia setelah terapi
dengan membatasi pemberian anion Cl-. Pemberian fosfat juga mencetuskan hipokalsemia
simtomatis pada beberapa pasien.(9)

7. Magnesium
Biasanya terdapat defisit magnesium sebesar 1 – 2 mEq/l pada pasien KAD. Kadar

32
magnesium ini juga dipengaruhi oleh pemakaian obat seperti diuretik yang dapat menurunkan
kadar magnesium darah. Gejala kekurangan magnesium sangat sulit dinilai dan sering
tumpang tindih dengan gejala akibat kekurangan kalsium, kalium atau natrium. Gejala yang
sering dilaporkan adalah parestesia, tremor, spame karpopedal, agitasi, kejang, dan aritmia
jantung. Pasien biasanya menunjukkan gejala pada kadar ≤ 1,2 mg/dl. Jika kadarnya di bawah
normal disertai gejala, maka pemberian magnesium dapat dipertimbangkan.(1)

8. Hiperkloremik asidosis selama terapi


Oleh karena pertimbangan pengeluaran keto acid dalam urine selama fase awal terapi,
substrat atau bahan turunan bikarbonat akan menurun. Sebagian defisit bikarbonat akan
diganti dengan infus ion klorida pada sejumlah besar salin untuk mengkoreksi dehidrasi. Pada
kebanyakan pasien akan mengalami sebuah keadaan hiperkloremik dengan bikarbonat yang
rendah dengan anion gap yang normal. Keadaan ini merupakan kelainan yang ringan dan
tidak akan berbahaya dalam waktu 12 – 24 jam jika pemberian cairan intravena tidak
diberikan terlalu lama.(12)

9. Penatalaksaan terhadap Infeksi yang Menyertai


Antibiotika diberikan sesuai dengan indikasi, terutama terhadap faktor pencetus

terjadinya KAD.(12) Jika faktor pencetus infeksi belum dapat ditemukan, maka antibiotika

yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas.(5)

C. SEPSIS
C.1. DEFINISI

Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2017, sepsis diartikan sebagai adanya infeksi yang
disertai dengan manifestasi klinis dari infeksi sistemik. Sepsis juga merupakan komplikasi
infeksi yang berpotensi mengancam nyawa. Sepsis terjadi ketika bahan kimia (sitokin)
yang berfungsi untuk melawan infeksi dilepaskan ke dalam aliran darah sehingga memicu
respon inflamasi seluruh tubuh. Inflamasi tersebut dapat menyebabkan perubahan
homeostasis dalam tubuh sehingga destruksi akan melebihi proteksi dalam tubuh. Hal
tersebut dapat merusak beberapa sistem organ yang pada akhirnya menyebabkan
15
kegagagalan organ. Kegagalan pada organ tubuh yang terjadi tersebut akan berlanjut
menjadi komplikasi yang berujung pada sepsis berat. Sepsis berat merupakan keadaan

33
sepsis yang diikuti dengan gangguan fungsi organ, hipotensi atau hipoperfusi jaringan.
Sedangkan sepsis dengan hipotensi ialah sepsis dengan tekanan sistolik <90mmHg atau
rata-rata tekanan arteri (Mean Arterial Pressure) <70 mmHg atau penurunan tekanan
sistolik >40mmHg. Perkembangan dari Multiple Organ Dysfunction / Multiple Organ
Failure (MODS/MOF) akan menyebabkan suatu keadaan yang dinamakan syok septik.
Syok septik didefinisikan sebagai suatu keadaan kegagalan sirkulasi akut yang ditandai
dengan hipotensi arteri persisten meskipun dengan resusitasi cairan yang cukup ataupun
adanya hipoperfusi jaringan (dimanifestasikan oleh konsentrasi laktat yang >4mg/dL)
yang tidak dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lain. 16

Beberapa definisi yang berhubungan dengan sepsis: 1


7

Kolonisasi Adanya mikroorganisme pada suatu lokasi


tubuh, namun belum membahayakan bagi
host.

Infeksi Suatu proses patologis yang disebabkan


oleh invasi dari jaringan normal steril atau
cairan atau rongga tubuh oleh
mikroorganisme pathogen yang berpotensi.

Bakteremia Adanya bakteri hidup dalam darah, yang


mungkin sementara, dan dapat berlanjut
pada viremia, fungemia, dan parasitemia.

Systemic inflammatory response syndrome Respon tubuh non spesifik terhadap kondisi
(SIRS) yang menyebabkan inflamasi yang berupa
infeksi, luka bakar, pancreatitis akut,
trauma, atau yang lainnya. Setidaknya
terdapat dua poin dari berikut:

- Temperature >38.0C atau <36C


- Laju nadi >90 kali per menit
- Laju nafas >20 kali per menit atau
PaCo2<32 mmHg
- Jumlah sel darah putih
>12.000/mm3 atau <4.000/mm3 atau
>10% sel imatur.
Sepsis SIRS yang disertai dengan sumber infeksi

34
yang dapat berasal dari bakteri, virus, atau
parasit.

Hipotensi Tekanan sistolik <90 mmHg atau kurang


dari 40 mmHg dari tekanan baseline.

Sepsis berat Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ


atau hipoperfusi jaringan (dengan
karakteristik oligouria, gangguan status
mental, dan/atau laktat asidosis), atau
hipotensi arteri.

Syok sepsis Sepsis yang disertai dengan kegagalan


sirkulasi, ditandai dengan hipotensi yang
menetap meskipun telah dilakukan
resusitasi cairan.

Multiple organ dysfunction syndrome Perubahan fungsi organ pada pasien sakit
(MODS) berat sehingga homeostatis tidak dapat
dipertahankan walaupun dengan intervensi.

Gambar 2.7 Kriteria Sepsis

35
Berikut merupakan kriteria diagnosis untuk sepsis berdasarkan Surviving Sepsis Campaign
2012: 16

1. Variable umum
- Demam (>38.3C)
- Hipotermia ( <36C)
- Laju nadi >90x/menit atau lebih dari 2 standar deviasi di atau nilai normal sesuai
usia
- Takipneu
- Gangguan status mental
- Edema secara signifikan atau balance cairan positif (>20 ml/kg selama 24 jam)
- Hiperglikemia (glukosa plasma >140 mg/dl atau 7,7 mmol/l) tanpa disertai dengan
diabetes
2. Variable inflamasi
- Leukositosis (jumlah sel darah putih >12.000 µL)
- Leucopenia (jumlah sel darah putih <4000 µL)
- Jumlah sel darah putih normal disertai dengan >10% bentuk imatur
- C-reactive protein plasma lebih dari 2 standar deviasi di atas nilai normal sesuai
usia
- Prokalsitonin plasma lebih dari 2 standar deviasi di atas nilai normal sesuai usia
3. Variable hemodinamik
- Hipotensi arterial (tekanan sistolik <90 mmHg, Mean Arterial Pressur menurun
>40 mmHg pada dewasa atau kurang dari 2 standar deviasi di bawah normal
sesuai usia)
4. Variable disfungsi organ
- Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 <300)
- Oligouria akut (output urin <0,5 ml/kg berat badan /jam selama minimal 2 jam
setelah pemberian resusitasi cairan yang adekuat)
- Kelainan koagulasi (INR >1,5 atau aPTT >60)
- Ileus (tidak adanya bising usus)
- Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000 µL L)
- Hiperbilirubinemia (total plasma bilirubin >4mg/dL atau 70 µmol/L)
5. Variable perfusi jaringan
- Hiperlaktatemia (>1mmol/L)
- Penurunan capillary refill atau mottling

Sedangkan kriteria diagnosis untuk sepsis berat adalah sebagai berikut: 16

1. Sepsis dengan hipotensi


2. Laktat di atas batas atas nilai normal
3. Output urin <0,5 ml/kg berat badan /jam selama minimal 2 jam setelah pemberian
resusitasi cairan yang adekuat
4. Kerusakan paru akut dengan PaO2/FiO2 <250 tanpa disertai dengan pneumonia
sebagai sumber infeksi
36
5. Kerusakan paru akut dengan PaO2/FiO2 <200 disertai dengan pneumonia sebagai
sumber infeksi
6. Kreatinin >2,0 mg/dL (178,8 µmol/L)
7. Bilirubin >2mg/dL (34,2 µmol/L)
8. Jumlah platelet <100.000 µL
9. Koagulopati (INR>1,5)

C.2 Patofisiologi
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada
bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di dalam
plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis oleh
hepatosit, diketahui berperan penting dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam
sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein,
kilomikron sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP
sehingga mempercepat ikatan dengan CD14. Kompleks CD14-LPS menyebabkan
transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK),
protein kinase C (PKC), suatu faktor transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA
sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel
melalui toll like receptor-2 (TLR2).18

Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic acid
(LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram positif
menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai superantigen dan
komponen dinding sel yang menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan molekul
MHC kelas II dari antigen presenting cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian
akan mengaktivasi sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi
yang berlebih.18,19

37
Gambar 2.8 Skema Antara Infeksi, dan Sepsis

Peran sitokin pada sepsis


Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap infeksi dan
invasi mikroorganisme. Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi mediator inflamasi yang
berlebih, yang mencakup sitokin yang bekerja lokal maupun sistemik, aktivasi netrofil,
monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan sel lainnya, aktivasi kaskade protein plasma
seperti komplemen, pelepasan proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal.
Selain mediator proinflamasi, dilepaskan juga mediator antiinflamasi seperti sitokin
antiinflamasi, reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase dan berbagai
hormon.18,20
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang terpenting
adalah TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi dan IL-10 sebagai
antiinflamasi. Pengaruh TNF-α dan IL-1 pada endotel menyebabkan permeabilitas endotel
meningkat, ekspresi TF, penurunan regulasi trombomodulin sehingga meningkatkan efek
prokoagulan, ekspresi molekul adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1, PDGF, hematopoetic
growth factor, uPA, PAI-1, PGE2 dan PGI2, pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-α, IL-1,
IL-6, IL-8 yang merupakan mediator primer akan merangsang pelepasan mediator sekunder
seperti prostaglandin E2 (PGE2), tromboxan A2 (TXA2), Platelet Activating Factor (PAF),
peptida vasoaktif seperti bradikinin dan angiotensin, intestinal vasoaktif peptida seperti
histamin dan serotonin di samping zat-zat lain yang dilepaskan yang berasal dari sistem

38
komplemen.21 Awal sepsis dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi, tetapi
pada sepsis berat pergeseran ke keadaan immunosupresi anti-inflamasi.22

Peran komplemen pada sepsis


Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi, aktivasi
respons imun dan inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan produk inflamasi dari
sirkulasi. Pada sepsis, aktivasi komplemen terjadi terutama melalui jalur alternatif, selain
jalur klasik. Potongan fragmen pendek dari komplemen yaitu C3a, C4a dan C5a
(anafilatoksin) akan berikatan pada reseptor di sel menimbulkan respons inflamasi berupa:
kemotaksis dan adhesi netrofil, stimulasi pembentukan radikal oksigen, ekosanoid, PAF,
sitokin, peningkatan permeabilitas kapiler dan ekspresi faktor jaringan.20

Peran NO pada sepsis


NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus vaskular. Pada
sepsis, produksi NO oleh sel endotel meningkat, menyebabkan gangguan hemodinamik
berupa hipotensi. NO diketahui juga berkaitan dengan reaksi inflamasi karena dapat
meningkatkan produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi dan menghambat
agregasi trombosit. Peningkatan sintesis NO pada sepsis berkaitan dengan renjatan septik
yang tidak responsif dengan vasopresor.18,20

Peran netrofil pada sepsis


Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi dan ekstravasasi netrofil dengan pengaruh
mediator kemotaktik. Pada keadaan sepsis, jumlah netrofil dalam sirkulasi umumnya
meningkat, walaupun pada sepsis berat jumlahnya dapat menurun. Walaupun netrofil penting
dalam mengeradikasi kuman, namun pelepasan berlebihan oksidan dan protease oleh netrofil
dipercaya bertanggung jawab terhadap kerusakan organ. Terdapat 2 studi klinis yang
menyatakan bahwa menghambat fungsi netrofil untuk mencegah komplikasi sepsis tidak
efektif, dan terapi untuk meningkatkan jumlah dan fungsi netrofil pada pasien dengan sepsis
juga tidak efektif .21
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang menyebabkan
kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini menyebabkan vasodilatasi kapiler
dan terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu, terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer meyebabkan
terjadinya hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan
kehilangan cairan intravaskular ke interstisial yang terlihatsebagai edema.Pada syok sepsis

39
hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan karena
ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman Berlanjutnya proses
inflamasi yang maladaptive akan menhyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang
dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multiple (MODS/MOF). Proses MOF merupakan
kerusakan (injury) pada tingkat seluler (termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke
organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai
faktor lain yang ikut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial
depressant substance), malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada
eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan.21

Gambar 2.9 Skema Gangguan Hemodinamik Pada Pasien Sepsis20

40
C.3 Tahap Perkembangan Sepsis

Gambar 2.10 Perjalanan Sepsis

 Infeksi

Proses patologi yang disebabkan oleh invasi mikroorganisme patogenik ke jaringan


tubuh yang normalnya steril.

 Systemic inflammatory response syndrome (SIRS)

Respons peradangan sistemik terhadap beragam serangan klinis yang berat. Respons ini
berupa dua atau lebih dari kondisi-kondisi berikut:

o Suhu tubuh >38°C atau <36°C


o Denyut nadi >90 kali/menit
o Laju nafas >20 kali/menit atau PaCO2<4,3 kPa (<32 Torr) / 32 mm HG
o Jumlah leukosit >12.000 sel/mm3, <4.000 sel/mm3, atau >10% sel neutrofil
batang
 Sepsis

Sindrom klinis ditandai dengan adanya infeksi dan respon inflamasi sistemik, yang
bermanifestasi dalam dua atau lebih kondisi-kondisi seperti yang ditemukan pada SIRS
sebagai akibat infeksi.

 Sepsis berat

Sepsis yang menyebabkan hipoperfusi jaringan atau disfungsi organ.

41
 Syok septik

Sepsis berat dengan hipotensi, walaupun resusitasi cairan yang adekuat telah diberikan,
disertai adanya kelainan perfusi.

 Multiple organ dysfunction syndrome (MODS)

Adanya perubahan fungsi organ pada pasien yang sakit akut di mana homeostasis tidak
dapat dipertahankan tanpa intervensi.

C.4 Diagnosis 16
Anamnesis mengenai riwayat penyakit akan memberikan informasi mengenai
faktor resiko potensial terjadinya infeksi, berhubunagn dengan patogen spesifik pada
area jaringan tertentu.7 Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum pasien, tanda-tanda
vital. Gambaran klasik sepsis berat adalah pasien hipermetabolik dengan temperatur
tinggi, takikardia, takipnea, sirkulasi vasodilatasi hiperdinamik, tekanan diastolik rendah,
dan suara ‘pistol shot’ pada arteri femoralis. Oliguria umum ditemukan dan pasien dapat
terlihat gelisah, pusing, atau mengantuk. Leukositosis biasanya terkadi dan urea dapat
meningkat tanpa diikuti kenaikan kadar kreatinin plasma, yang menunjukkan
katabolisme protein yang besar. Namun tidak semua kasus memiliki gambaran-gambaran
tersebut. Suhu tubuh dapat normal, tinggi, atau rendah. Hipotensi, vasokonstriksi, dan
sianosis perifer (‘cold shock’) dapat ditemukan pada pasien septik yang hipovolemik
atau memang sudah memiliki disfungsi miokard, atau terlambat dirujuk dan tanpa
resusitasi awal.

1. Darah lengkap
Walaupun leukositosis dan peningkatan sel-sel batang lazim dijumpai, leukopenia bisa
saja terjadi. Seringkali laju endap darah meningkat. Kadar laktat darah umumnya meningkat
seperti halnya kadar gula darah, namun hipoglisemia sering terjadi pada pasien dengan
disfungsi liver. Bukti gagal organ lain (ginjal, hepar, usus, miokardium, dan koagulopati)
dapat ditemukan. Tanda-tanda dan gejala-gejala lain dapat berhubungan dengan sumber
infeksi mula-mula. Pengambilan level laktat harus dalam 3 jam.
2. Kultur
Sebaiknya dilakukan sebelum dilakukan terapi antimikrobial dan proes pengambilan
sebaikanya tidak menjadi penyebab penundaan pemberian terapi antibiotik. Pengambilan
kultur sebelum antimikrobial berguna untuk konfirmasi infeksi dan mengetahui patogen
penyebab. Pengambilan kultur darah harus selesai dalam 3 jam. Untuk mengoptimalisasi

42
identifikasi organisme penyebab, direkomendasikan untuk mengambil sedikitnya 2 set kultur
darah (botol aerob dan anaerob), dengan satu diambil decara perkutaneus dan satu diambil
vascular access device, jika device <48 jam digunakan. Darah ini dapat diambil bersamaan
waktu jika diambil dari tempat yang berbeda.
Kultur dapat dari urin, cerebrospinal fluid, luka, sekret pernafasan dan cairan tubuh lain
yang mungkin menjadi penyebab infeksi.
3. Gram stain
Terutama untuk spesimen pernafasan, untuk menentukan adanya sel inflamatori.
4. Biomarker
Level prokalsitonin dan C reactive protein meningkat untuk menentukan patern akut
inflamasi dari sepsis.
5. Polymerase chain reaction, mass spectroscopy, microarray diharapkan dapat menjadi
cara identifikasi patogen yang lebih cepat.
6. CT-guided needle aspiration

43
Tabel 2.4 Kriteria Diagnosis Sepsis

2.5 Tatalaksana 16

Penatalaksanaan sepsis meliputi resusitasi inisial, terapi antimikroba yang sesuai,


mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan.7 Diperlukan
puta terapi suportif, seperti bila terjadi respons imun maladaptifhost terhadap infeksi dapat
diberikan vasopresor dan inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan
koagulasi dan terapi imunologi. Skrining sumber infeksi menjadi esensial dalam penanganan
pasien sepsis, diperlukan ketelitian dalam menduga mikroorganisme patogen yang menjadi
penyebab (berdasarkan pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat), sebagai panduan
dalam memberikan terapi antimikroba empirik.

1. Resusitasi
44
Resusitasi harus segera dilakukan bila didapatkan keadaan hipoperfusi. Selama 6 jam
pertama resusitasi, tujuan dari resusitasi pada pasien sepsis-induced hypoperfusion
adalah:
a) CVP 8–12 mm Hg
Pasien yang menggunakan ventilasi dengan diketahui komplians ventrikular yang
menurun dan pasien dengan tekanan abdominal tinggi, target CVP nya lebih tinggi yaitu
12-15 mmHg.
b) MAP ≥ 65 mm Hg
c) Urine output ≥ 0.5 mL·kg·hr
d) Saturasi oksigenisasi superior vena cava (Scvo2) atau mixed venous oxygen
saturation (SvO2) 70% or 65%,
Target resusitasi adalah untuk menormalkan laktat pada pasien dengan level laktat
meningkat yang merupakan marker dari hipoperfusi jaringan.
Terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila
diperlukan. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% atau mixed
venous oxygen saturation (SvO2) kurang dari 70% dengan resusitasi cairan, transfusi
PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai
maksimal 20 μg/kg/menit).
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian cairan inisial kristaloid, minumun 30
ml/kg untuk dewasa dan tambahan albumin pada pasien yang membutuhkan cukup
banyak kristaloid untuk mempertahankan cukup MAP. Sebaiknya menghindari hetactarh,
karena koloid buatan tidak terbukti menguntungkan melainkan meningkatkan resiko
gagal ginjal akut.

2. Skrining untuk sepsis dan perkembangan keadaan

Skrining rutin perlu dilakukan pada pasien dengan sakit berat pada severe sepsis
untuk mendapatkan terapi lebih awal. Mengurangi waktu untuk diagnosis sepsis berat
menjadi komponen penting untuk menurunkan angka kematian akibat disfungsi
multiorgan.

3. Terapi antimikroba

Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui
sepsis berat tanpa syok septik dan syok septik, setelah kultur diambil. 7 Penundaan
terapi antimikroba berhubungan dengan peningkatan mortalitas.8 Terapi empirik

45
inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan patogen bakteri
atau jamur atau virus dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber sepsis.
Terapi antimikroba empiris tergantung pada riwayat penyakit pasien meliputi
intoleransi obat, penggunaan antibiotik sebelumnya (3 bulan), penyakit penyerta,
sindrom klinis, dan patogen berdasarkan komunitas dan rumah sakit.
Patogen umum yang sering menyebabkan syok septik adalah gram positif,
diikuti gram negatif dan mikroorganisme campuran. Kandidiasis, sindrom syok
toksik, dan patogen uncommon harus dipertimbangkan pada pasien tertentu. Iinisial
kombinasi untuk pasien neutropenia dengan sepsis berat dan untuk pasien dengan
sulit untuk disembuhkan,
Untuk memilih terapi empirik, klinisi harus mempertimbangkan mengenani
virulensi dan prevalensi methicillin resistant staphylococcus aureus dan resistensi
spektrum luas beta laktam dan carbapenem untuk gram negatif bacilli di beberapa
komunitas dan seting kesehatan.

 terapi antifungal empirik, seperti: echinocandin, triazoles (fluconazole,


amfoterisin B).
 Pemilihan terapi antibiotik definit tergantung pada tipe patogen, karakteristik
pasien, dan regimen terapi rumah sakit. Karena pasien dengan sepsis berat atau
syok septik punya latar yang sedikit untuk menentukan terapi, maka terapi
pilihan inisial harus spektrum luas untuk dapat melawan patogen luas. Setelah
patogen kausatif diidentifikasi, baru dilakukan de-eskalasi dengan memakan
agen antimikroba yang sesuai patogen tersebut, lebih aman, dan biaya yang
paling efektif. Dapat juga digunakan antimikroba kombinasi setelah tes
susceptibilitas dilakukan,

 Penggunaan antimikroba harus di cek setiap hari efeknya untuk mencegah


perkembangan resistensi, mengurangi toksisitas, dan mengurangi biaya.

Level procalcitonin dan biomarker lain dapat membantu untuk diskontinuitas


penggunaan antimikroba empirik pada pasien yang klinis sepsis namun tidak ada cukup bukti
infeksi.

Penggunaan antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti


karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi
yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ.

46
Patogen bakteri yang resisten terhadap beberapa obat seperti Acinetobacter dan Pseudomonas
spp.

- Pada pasien infeksi berat yang berhubungan dengan gagal pernafasan dan syok
septik, kombinasi terapi dengan spektrum beta laktam dan aminoglikosida atau
fluoroquinolon disarankan uuntuk P. Aeruginosa.
- Kombinasi beta-laktam dan makrolid untuk pasien dengan syok septik dari
infeksi bakteri Steptococcus pneumoniae.

Terapi kombinasi empiris ini sebaiknya tidka diberikan lebih dari 3-5 hari. De-eskalasi
menggunakan single-agent terapi yang tepat setelah ada profil patogen yang kemungkinan
menginfeksi teridentifikasi. Terkecuali, pada monoterapi aminoglikosida, khususnya pada P.
Aeruginosa karena untuk mencegah endocarditis, maka prolong terapi harus dilakukan.

Durasi dari terapi antibiotik adalah 7-10 hari. Penentuhan meneruskan, menurunkan,
atau menghentukan terapi intimikrobial tergantuk pada informasi klinis pasien.

Terapi antiviral diberikan sesegera mungkin pada pasien dengan sepsis berat atau
syok septik dengan penyebab virus.

- terapi antiviral pada pasien dengan influenza berat, dan resiko tinggi untuk
komplikasi
- terapi dengan neuraminidase inhibitor (oseltamivir dan zanamivir) untuk H1N1
virus, influenza A(H3N2), influenza B.

Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data mikrobiologi
dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi
lebih baik daripada monoterapi.

Indikasi terapi kombinasi yaitu:

 Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui


 Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
 Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat patogen (Pseudomonas
aureginosa, Enterokokus)

47
4. Kontrol Sumber13
Diagnosis anatomis yang spesifik dari infeksi dibutuhkan sebagai pertimbangan untuk
mengendalikan kontrol sumber untuk didiagnosis atau dieksklusi sesegera mungkin dan
intervensi harus dilakukan pada kontrol sumber dalam 12 jam pertama setelah diagnosis
ditegakkan. Misalnya infeksi jaringan lunak nekrotik, peritonitis, cholangitis)

5. Pencegahan Infeksi13
Dekontaminasi oral selektif dan dekontaminasi pencernaan selektif harus diketahui dan
diinvestigasi sebagai metode untuk mengurangi kasus pneumonia yang terkait ventilator. Hal
ini harus menjadi perhatian pada pelayanan kesehatan secara efektif.
Glukonat klorhexidin chlorhexidine gluconate (CHG) oral dapat digunakan sebagai
dekontaminasi orofaring untuk mengurangi resiko pneumonia yang terkait ventilator pada
pasien dengan sepsis berat di ICU.
Peencegahan lain meliputi penanganan perawatan selama di ICU, pengguunaan kateter,
managemen jakan nafas, pengangkatan kepala di kasur, suction.

6. Terapi suportif

a. Oksigenasi

Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.

b. Terapi cairan

Kristaloid adalah cairan pertama yang sebagai pilihan untuk resusitasi pada sepsis berat
dan syok septik.Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.

 Tidak menggunakan hydroxyethyl starches untuk resusitasi cairan pada sepsis


berat dan syok septik.
 Albumin dalam resusitasi cairan untuk sepsis berat dan syok sepsis ketika pasien
membutuhkan jumlah substansial dari kristaloid.

 Target cairan pertama pada pasien dengan sepsis mengakibatkan hipoperfusi


jaringan dengan dugaan hipovolemia adalah mencapai minimal 30 ml/kg dari

48
kristaloid. Pemberian yang lebih cepat dan jumlah cairan yang lebih banyak
mungkin dibutuhkan oleh beberapa pasien.

c. Vasopresor

Terapi vasopressor mulanya mencapai target tekanan arterial rata-rata (MAP) 65


mmHg. Norepinephrine merupakan pilihan utama vasopressor. Epinefrin (ditambahkan dan
berpotensial sebagai subsitusi dari norepinefrin) digunakan ketika agen tambahan dibutuhkan
untuk menjaga tekanan darah yang memadahi. Vasopresin 0,03 U/menit dapat ditambahkan
pada norepinefrin dengan tujuan untuk menaikkan MAP atau menurunkan dosis norepinefrin.
Dopamin dapat menjadi alternative vasopressor selain norepinefrin hanya pada pasien
tertentu. Misalnya pada pasien dengan resiko rendah takiaritmia dan bradikardia absolut atau
relatif. Fenilefrin tidak direkomendasikan pada pengobatan syok septik kecuali pada lingkup
dimana norepinefrin yang berhubungan dengan aritmia yang serius, curah jantung diketahui
akan tinggi atau tekanan darah akan secara persisten rendah, atau sebagai terapi penyelamat
ketika kombinasi obat inotropic atau vasopressor dan vasopressin dosis rendah telah gagal
untuk mencapai target MAP. Dopamin dosis rendah seharusnya tidak digunakan untuk
proteksi renal.

d. Terapi Inotropik

Infus percobaan dari dobutamin hingga mencapai 30 mcg/kg/menit diberikan atau


ditambahkan pada vasopressor (jika digunakan) dalam keadaan disfungsi miokardial
sebagaimana disebabkan karena peningkatan tekanan pengisian jantung dan curah jantung
yang rendah atau gejala hipoperfusi yang terus menerus, meskipun mencapai volume
intravascular secara adekuat dan MAP yang cukup.
e. Kortikosteroid
Sebaiknya tidak menggunakan hidrokortison intravena untuk mengobati pasien dewasa
syok septik jika resusitasi cairan cukup dan terapi vasopressor dapat menjaga kestabilan
hemodinamik. Jika hal tersebut tidak tercapai, direkomendasikan untuk memakai
hidrokortison saja dengan dosis 200mg per hari. Tidak diperbolehkan menggunakan tes
stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi orang dewasa dengan syok septik yang seharusnya
menerima hidrokortison. Pasien dalam terapi hidrokortison diturunkan dosisnya jika
vasopressor tidak lagi digunakan. Kortikosteroid tidak diberikan dalam terapi sepsis tanpa
syok.

49
f. Pemberian produk darah

Setelah hipoperfusi jaringan telah diselesaikan dan jika tidak ada keadaan khusus,
seperti iskemia miokardial, hipoksemia yang berat, perdarahan akut, atau penyakit jantung
iskemik, direkomendasikan bahwa transfusi sel darah merah hanya dilakukan ketika
konsentrasi Hb menurun hingga <7 g/dl dan untuk mencapai target Hb 7-9 g/dl pada orang
dewasa. Tidak dianjurkan untuk menggunakan eritropoietin sebagai terapi spesifik dari
anemia terkait sepsis. FFP tidak diberikan untuk mengkoreksi abnormalitas pembekuan pada
kondisi tidak perdarahan atau prosedur invasif terencana.
Pada pasien dengan sepsis berat, diberikan profilaksis platelet jika jumlahnya
<10.000/mm3 (10x109/L) pada kondisi tidak ada perdarahan. Disarankan untuk transfusi
trombosit profilaksis jika jumlahnya <20.000/mm3 (20x109/L) jika pasien memiliki resiko
perdarahan yang signifikan. Jumlah trombosit yang lebih tinggi (≥50.000/mm3) disarankan
pada perdarahan aktif, pembedahan, atau prosedur invasif.

g. Imunoglobulin

Tidak menggunakanimunoglobulinintravenapada pasien dewasa dengan sepsis berat


atau syok septik

h. Selenium

Tidak menggunakan selenium intravena untuk pengobatan sepsis berat.

i. Kontrol gula darah

Pendekatan menurut protocol dalam manajemen glukosa darah pada pasien sepsis berat
di ICU memerlukan insulin jika hasil tes gula darah dua kali berturut turut >180 mg/dl.
Protokol ini mengharuskan target gula darah mencapai ≤180mg/dl daripada ≤110 mg/dl.
Nilai glukosa darah dimonitor setiap 1-2 jam hingga nilai glukosa dan pemberian
insulin stabil dan kemudian setiap 4 jam.

j. Renal Replacement Therapy

Terapi pengganti ginjal yang berkelanjutan dan hemodialisis intermiten adalah setara
dengan pasien dengan sepsis berat dan gagal ginjal akut. Dapat terus melakukan terapi untuk
mengatur keseimbangan cairan dalam pasien sepsis yang tidak stabil hemodinamiknya.

50
k. Bikarbonat

Tidak menggunakan sodium bikarbonat untuk tujuan memeperbaiki hemodinamik atau


mengurangi kebutuhan vasopresor pada pasien dengan hipoperfusi yang menyebabkan
asidemia laktat dengan pH ≥7,15.

l. Profilaksis DVT (Deep Vein Thrombosis)

Pasien dengan sepsis berat menerima farmacoprofilaksis harian terhadap tromboemboli


vena (VTE). Hal ini harus dilakukan dengan low molecular weight heparin (LMWH) secara
subkutan. Jika nilai creatinine clearance adalah <30 mL / menit, dapat menggunakan
dalteparin atau bentuk lain dari LMWH yang memiliki tingkat metabolisme ginjal rendah
atau UFH.
Pasien dengan sepsis berat diobati dengan kombinasi terapi farmakologis dan perangkat
kompresi penumatik intermiten jika memungkinkan.
Pasien sepsis yang memiliki kontraindikasi untuk digunakannya heparin (misalnya,
trombositopenia, koagulopati yang parah, perdarahan aktif, perdarahan intraserebral baru-
baru ini) tidak menerima farmakofilaksis, tetapi menerima pengobatan profilaksis mekanik,
seperti stoking kompresi atau perangkat kompresi intermiten , kecuali kontraindikasi. Ketika
resiko menurun, farmakofilaksis dapat dimulai.

m. Profilaksis stress ulcer

Dapat menggunakan H2 blocker atau PPI pada pasien dengan sepsis berat atau syok
septik yang memiliki faktor resiko perdarahan. Ketika profilaksis ini digunakan, PPI lebih
dipilih daripada H2RA. Pasien tanpa faktor resiko tidak memerlukan profilaksis.

n. Nutrisi

Berikan makanan oral atau enteral yang dapat ditoleransi daripada puasa total atau
provisi dari hanya glukosa intravena dalam 48 jam pertama setelah diagnosis sepsis
berat/syok sepsis ditegakkan. Makanan tinggi kalori harus dihindari dalam minggu pertama
tetapi lebih direkomendasikan untuk dosis rendah (hingga 500 kal/hari) sesuai toleransi.
Pemberian glukosa intravena dan nutrisi enteral lebih baik daripada hanya TPN (Total
Parenteral Nutrition) atau nutrisi parenteral dengan konjungsi dengan makanan enteral pada 7
hari pertama setelah didiagnosis sepsis berat atau syok septik.

51
Gunakan nutrisi tanpa suplemen imunomodulasi yang tidak spesifik daripada nutrisi
dengan suplemen imunomodulasi pada pasien dengan sepsis berat.

52

You might also like