You are on page 1of 6

1

Bahan Ceramah Pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah


Yogyakarta, 2 Juni 2017

DINAMIKA MUHAMMADIYAH KONTEMPORER:


Wacana Islam Berkemajuan

Azyumardi Azra, CBE

Peluncuran 12 buku tentang Muhammadiyah (4/11/2016) memperlihatkan


organisasi ini merupakan salah satu dari sedikit subyek kajian yang paling banyak
dikaji, baik oleh kalangan dalam maupun luar negeri. Tapi berbeda dengan kajian-
kajian terdahulu, khususnya dilakukan sarjana asing yang terutama menyoroti
aspek sejarah, paradigma pemikiran dan praksis pembaharuan dan elan vitalnya, 12
karya ini lebih banyak terkait dengan perkembangan mutakhir, terutama dari
perspektif ‘orang dalam’ (from within).
Dalam konteks terakhir, orang bisa teringat pada argumen Bernard Lewis
dalam jawaban kepada Edward Said; kajian dan pembahasan from within dapat
terjerumus ke dalam subyektivitas yang cenderung defensif dan apologetik. Said
memang menekankan pentingnya kajian yang dilakukan orang dalam, karena jika
dilakukan orang luar (from without), boleh jadi kajiannya tidak obyektif.

Menjadi Muhammadiyah
Keduabelas buku ini—berbeda dengan substansi kajian terdahulu tentang
Muhammadiyah—menampilkan berbagai dinamika kontemporer salah satu dari
dua ormas Islam terbesar di negeri ini. Dinamika itu bisa tidak sinkron satu sama
lain atau bahkan kontradiktif. Fenomena ini mengindikasikan lingkungan luar
Muhammadiyah yang berubah baik pada tingkatan nasional maupun internasional.
Pada level nasional, perubahan politik sejak 1998 dengan penerapan
demokrasi liberal multi-partai kompetitif menimbulkan banyak ekses yang tidak
diharapkan. Demokrasi itu sendiri sudah kompatibel dengan paradigma dan praksis
2

politik Muhammadiyah sejak waktu sangat lama, tetapi eksesseperti merosotnya


budaya kewargaan (civic culture) dan keadaban (civility); kian meluasnya korupsi;
berlanjutnya politik kekuatan massa (mobocracy) membuat Muhammadiyah harus
memberikan respon berupa pemikiran dan juga program aksi.
Dalam perubahan lingkungan, Muhammadiyah masih terlibat pergumulan
dalam dirinya, misalnya dalam kaitan dengan budaya lokal semacam budaya Jawa.
Dengan pretensi permurnian Islam dari ‘TBC’ yang cukup lazim dalam
kepercayaan dan praktek keagamaan serta budaya lokal, Muhammadiyah
cenderung tidak akrab. Karya Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa secara analitik
dan komprehensif menggambarkan pergulatan Muhammadiyah dengan budaya
lokal Jawa.
Menyorot kritis pergulatan ormas ini, Burhani berkesimpulan,
Muhammadiyah ambigu terhadap budaya Jawa: “Muhammadiyah …punya agenda
memperbaharui adat-istiadat sinkretik dan menyerang struktur sosil feudal-
aristoratik yang mendominasi masyarakat Jawa dan keraton menjadi porosnya”
Ambigu itu seperti diungkapkan Burhani, terlihat misalnya dalam kenyataan
Ahmad Dahlan, sang pendiri…menjadi abdi dalem yang patuh pada Keratoon
Yogyakarta hingga akhir hayatnya. “Meskipun ia pemimpin organisasi moderen, ia
tetap mengamalkan nilai-nilai Jawa seperti menunjukkan kerendahan hati dan
takzim kepada orang yang berstatus lebih tinggi, terutama Sultan”, tulisnya.
Secara nasional Muhammadiyah kontemporer menyaksikan peningkatan
arus pemahaman dan praksis keislaman yang cenderung kian literal, defensif dan
reaksioner, dengan kiprah ‘tanpa kompromi’, dan radikal. Pemahaman dan kiprah
seperti ini mengakibatkan pergumulan di dalam Muhammadiyah sendiri, berupa
peningkatan upaya meminggirkan kalangan yang dianggap ‘terlalu’ moderen,
progresif, dan bahkan ‘liberal’. Tarik menarik dan pergumulan ini tidak hanya
terjadi di dalam tubuh organisasi induk Muhammadiyah, juga merambah ke dalam
institusi milik Perserikatan seperti sekolah, perguruan tinggi dan sebagainya.
Selain itu, dinamika internal dan eksternal menimbulkan riak-riak di
kalangan Muhammadiyah sendiri, khususnya para pemikir dan aktivis muda atau
sudah lewat usia muda. Riak-riak itu mendorong terjadinya semacam ‘soul
searching’—pencarian identitas Muhammadiyah atau dalam bahasa judul buku,
Becoming Muhammadiyah.
Proses ‘menjadi Muhammadiyah’ secara teoritis tidak bakal pernah selesai
karena perubahan yang terus terjadi di lingkungan dalam dan luar Muhammadiyah,
3

baik domestik maupun internasional. Hajriyanto Y. Thohari dalam hal ini


menegaskan Muhammadiyah telah ‘menjadi legasi emblematik gerakan massa
yang mencatat sukses. Tidak saja secara sosial-keagamaan; legasi itu mewujud
dalam jangkar sejarah dan laku politik nasional semenjak sebelum kemerdekaan
hingga sekarang ini’.
Dalam perjalanannya, generasi demi generasi, lapisan tokoh dan akitivis
Muhammadiyah ‘masing-masing memiliki karakter dan pesona’. Generasi
Muhammadiyah kontemporer memiliki alasan masing-masing ‘mengapa mereka
terpesona, bergabung, dan menjadi penggerak Persyerikatan Muhammadiyah.
Maka, seperti dicatat Tohari, “Menjadi Muhammadiyah/Becoming
Muhammadiyah menandai sebuah proses panjang dan kadang berliku. Ia
merupakan ‘kata kerja’ yang selalu bergerak melalui ‘jeram’ dan ‘zaman’, ‘saat’,
dan ‘tempat’, ‘puak’ dan ‘lapak’. Karena itulah, proses ‘menjadi’ tidak bisa
dihukumi secara final sebagai sebuah ‘benda mati’ atau hasil akhir”.

Islam Berkemajuan: Islam Nusantara


Dengan kian meningkatnya wacana dan gerakan Salafi literal, keras dan
radikal di Indonesia belakangan ini, bisa tercipta semacam kontestasi internal di
dalam tubuh pergerakan yang sedikit banyak mempengaruhi paradigma dan kiprah
Muhammadiyah secara keseluruhan. Tidak jarang Muhammadiyah terlihat ‘kagok’
(awkward) dalam menyikapi pemahaman dan gerakan Islam radikal.
Karena itu, Muhammadiyah—bersama NU—sering menjadi sasaran kritik
lembaga dan aktivis kebhinnekaan, toleransi dan perdamaian yang mereka anggap
tidak memberi respon memadai terhadap gejala radikalisme dan intoleransi. Seolah
mendengar kritik itu, Muhammadiyah—dan juga NU—belakangan ini bersikap
dan bersuara lebih tegas dan jelas (loudly and clearly) terhadap radikalisme dan
terorisme semacam ISIS.
Berhadapan dengan dinamika domestik dan internasional yang tidak
kondusif, berkembang wacana di dalam Muhammadiyah tentang corak dan
karakter dasar ormas ini. Pertama-tama Muhammadiyah jelas merupakan pengikut
Ahlus-Sunnah wal Jama’ah dengan pemahaman dan praksis ummatan wasathan
atau Islam wasathiyah. Walau tidak terlalu lazim dibicarakan di kalangan para
pimpinan dan aktivis Muhammadiyah sendiri, jelas Muhammadiyah menganut
pemahaman dan praksis Islam wasathiyah.
4

Islam wasathiyah yang menjadi arus utama di Indonesia sering pula disebut
sebagai ‘Islam Nusantara’. Tetapi jelas, Muhammadiyah enggan mengunakan
istilah ini karena dalam kenyataannya ‘Islam Nusantara’ lebih terasosiasi dengan
NU, apalagi jika ditulis dengan Islam NUsantara (N dan U ditulis dengan huruf
besar dan bold).
Fenomena ini menggambarkan masih berlanjutnya ‘kontestasi’ antara
Muhammadiyah dengan NU. Kontestasi itu dalam soal ‘Islam Nusantara’ itu
terkait distingsi yang melekat pada entitas Islam Nusantara itu yang tidak
sepenuhnya sesuai dengan paradigma dan praksis Islam Muhammadiyah. Distingsi
Islam Nusantara itu memang lebih memiliki banyak afinitas dengan NU daripada
Muhammadiyah.
Tetapi penting dicatat, ‘kontestasi’ dan ‘persaingan antara Muhammadiyah
dan NU—khususnya dalam pemahaman dan praksis keIslaman—sebenarnya kian
terbatas terutama karena terjadinya ‘konvergensi keagamaan’. Perkembangan ini,
sejak 1980an menghasilkan terjadinya ‘pertukaran’ dan ‘pertemuan’ di antara
pemahaman dan praksis keislaman berbeda yang sebelumnya sangat mewarnai
hubungan antara Muhammadiyah dan NU. Kini ‘kontestasi’ lebih banyak terkait
soal hisab dan rukyah atau posisi politik dalam pemerintahan—menteri kabinet,
direktur jenderal atau direktur di kementerian tertentu.
Di luar itu, dalam isyu dan hal politik, Muhammadiyah dan NU
berkonvergensi sebagai Islamic-based civil society. Muhammadiyah sebagai CS
dalam dasawarsa terakhir, cenderung bernada lebih kritis terhadap pemerintahan
SBY-Boediono dan dalam kadar lebih rendah juga kepada pemerintahan Jokowi-
JK.
Menghindari istilah ‘Islam wasathiyah’ dan ‘Islam Nusantara’,
Muhammadiyah sebaliknya mempopulerkan istilah dan paradigma ‘Islam
Berkemajuan’—yang dalam bahasa Inggris dapat disebut sebagai ‘progressive
Islam’. Seperti dijelaskan Burhani (Muhammadiyah Berkemajuan, 2016), istilah ini
jarang terdengar, bahkan di kalangan Muhammadiyah sendiri. Ia baru
diperkenalkan kembali, setelah cukup lama terpendam, dengan terbitnya buku
Islam Berkemajuan: Kiai Ahmad Dahlan dalam Catatan Pribadi Kiai Syuja’
(2009). Istilah ini mulai digunakan dalam Muktamar Muhammadiyah di
Yogyakarta (2010) untuk menegaskan karakter Muhammadiyah.
Apakah ‘Islam berkemajuan’ itu? Burhani mengungkapkan, Kiai Ahmad
Dahlan sering menegaskan pentingnya ‘berkemajuan’; ‘jika ingin menjadi kiai,
5

maka jadilah kiai yang maju’. Selanjutnya, makna berkemajuan adalah dekat
dengan ‘selalu berfikir ke depan, visioner, selalu one step ahead (selangkah lebih
depan) dari kondisi sekarang. Dalam literatur resmi Muhammadiyah, Indonesia
Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna (2014)
dinyatakan, makna manusia berkemajuan adalah “manusia yang senantiasa
mengikuti ajaran agama dan sejalan dengan kehendak zaman”.
Buku ini juga menyebutkan definisi ‘berkemajuan’ dalam kaitannya dengan
negara bangsa Indonesia. Disebutkan “Indonesia Berkemajuan dapat dimaknai
sebagai negara utama (al-madinah al-fadhilah), negara berkemakmuran dan
berkeadaban (umran), dan negara yang sejahtera. Negara berkemajuan adalah
negara yang mendorong terciptanya fungsi kerisalahan dan kerahmatan yang
didukung sumber daya manusia yang cerdas, berkepribadian, dan berkeadaban
mulia”
Semua penjelasan ini, sayang, tidak memberikan definisi, paradigma,
distingsi dan karakter Islam Berkemajuan. Sudah saatnya perlu dirumuskan secara
lebih jelas, sehingga dapat menjadi pegangan para pimpinan dan anggota
Muhammadiyah.

 Prof. Dr. Azyumardi AZRA, M.A.

AZYUMARDI AZRA, CBE, lahir 4 Maret 1955, adalah gurubesar


sejarah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah; dan Staf Khusus Wakil Presiden RI
untuk Bidang Reformasi Birokrasi (19 Januari 2017-sekarang).
Dia pernah menjabat Direktur Sekolah PascaSarjana UIN Jakarta
sejak Januari 2007 sampai April 2015. Ia juga pernah bertugas
sebagai Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (April
2007-20 Oktober 2009). Sebelumnya dia adalah Rektor IAIN/UIN
Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan
UIN, 2002-2006).
Memperoleh gelar MA (Kajian Timur Tengah), MPhil dan
PhD (Sejarah/Comparative History of Muslim Societies) dari
Columbia University, New York (1992) with distinction. Pada Mei
2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll
College, Montana, USA. Ia juga gurubesar kehormatan
Universitas Melbourne (2006-9); Selain itu juga anggota Dewan Penyantun International Islamic University,
Islamabad, Pakistan (2005-12); Komite Akademis The Institute for Muslim Society and Culture (IMSC),
International Aga Khan University (London, 2005-2010).

Dalam bidang ilmu pengetahuan dan riset, dia adalah anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI,
2005-sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-9). Dia juga anggota Southeast Asian Regional
Exchange Program (SEASREP, Tokyo, 1999-2001); Asian Research Foundation-Asian Muslim Action Network
(ARF-AMAN, Bangkok, 2004-sekarang); The Habibie Center Scholarship (2005-sekarang); Ford Foundation
International Fellowship Program (IFP-IIEF, 2006-12); Asian Scholarship Foundation (ASF, Bangkok, 2006-10);
Asian Public Intellectual (API), the Nippon Foundation (Tokyo, 2007-2014); anggota Selection Committee Senior
Fellow Program AMINEF-Fulbright (2008); Presiden International Association of Historians of Asia (IAHA,
2010-12); dan Presiden Asian Muslim Action Network (AMAN, Bangkok 2015-sekarang).
6

Selain itu, dia anggota Dewan Pendiri Kemitraan—Partnership for Governance Reform in Indonesia (2004-
sekarang); Dewan Penasehat United Nations Democracy Fund (UNDEF, New York, 2006-8); International IDEA
(Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm (2007-13); Multi Faith Centre, Griffith University,
Brisbane (2005-14); Institute of Global Ethics and Religion, USA (2004-sekarang); LibforAll, USA (2006-
sekarang); Center for the Study of Contemporary Islam (CSCI, University of Melbourne, 2005-7); Tripartite
Forum for Inter-Faith Cooperation (New York, 2006-sekarang); anggota World Economic Forum’s Global Agenda
Council on the West-Islam Dialogue (Davos 2008-sekarang).

Dia juga adalah pemimpin redaksi Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies (Jakarta, 1994-
sekarang); juga menjadi editor; Journal of Qur’anic Studies (SOAS, University of London, 2006-sekarang);
Journal of Usuluddin (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2006-sekarang); Jurnal Sejarah (Universiti Malaya,
Kuala Lumpur, 2005-sekarang); The Australian Journal of Asian Law (Sydney, Australia, 2008-sekarang); IAIS
Journal of Civilisation Studies (International Institute of Advanced Studies, Kuala Lumpur, 2008-sekarang);
Journal of Royal Asiatic Society (JRAS, London, 2009-sekarang); Journal Islamic Studies (Islamic Research
Institute, Islamabad, 2010-sekarang; Jurnal Akademika (Universiti Kebangsaan Malaysia, 2010-sekarang); dan
Journal of Islamic Studies (Oxford Centre for Islamic Studies, 2013-16).

Dia telah menerbitkan lebih dari 36 buku, termasuk Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in a Global
Context (Jakarta & Singapore, TAF, ICIP, Equinox-Solstice, 2006); Islam in the Indonesian World: An Account of
Institutional Development (Mizan International: 2007); (co-contributing editor), Islam Beyond Conflict:
Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashgate: 2008); Varieties of Religious Authority:
¨Changes and Challenges in 20th Century Indonesian Islam (Singapore: ISEAS, 2010); contributing-editor,
Indonesia dalam Arus Sejarah: Jilid III, Kedatangan dan Peradaban Islam, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan & Ichtiar Baru-Van Hoeve, 2012; dan contributing editor, Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia,
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jilid III, 2015; dan Transformasi Politik Islam: Radikalisme,
Khilafatisme dan Demokrasi (2016). Lebih 30 artikel dan bab buku berbahasa Inggris telah diterbitkan dalam
berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional, di antara yang paling akhir; ‘Koneksi, Kolusi and Nepotism:
The Indonesian Experience in Combatting Negative Wasta’, dalam Mohamed A. Ramadi (ed.), The Political
Economy of Wasta: Use and Abuse of Social Capital Networking (New York: Springer, 2016); ‘Indonesia’s Middle
Power Public Diplomacy: Asia and Beyond’, in Jan Melissen & Yul Sohn (eds.), Understanding Public Diplomacy
in East Asia: Middle Powers in a Troubled Region (New York: Palgrave-Macmillan, 2016).

Pada 2005 ia mendapatkan The Asia Foundation Award dalam rangka 50 tahun The Asia Foundation atas
peran pentingnya dalam modernisasi pendidikan Islam; dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI, pada 15
Agustus 2005 mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama RI atas kontribusinya dalam pengembangan Islam
moderat; pada September 2010, ia mendapat penghargaan gelar CBE (Commander of the Most Excellent Order of
British Empire) dari Ratu Elizabeth, Kerajaan Inggris atas jasa-jasanya dalam hubungan antar-agama dan
peradaban. Kemudian pada 28 Agustus 2014 ia mendapat penghargaan ‘MIPI Award’ dari Masyarakat Imu
Pemerintahan Indonesia (MIPI). Selanjutnya, pada 4 Agustus 2014, ia dianugerahi ‘Commendations’ dari
Kementerian Luarnegeri Jepang atas jasanya memperkuat saling pengertian antara Jepang dan Indonesia; dan 18
September 2014 dia terpilih sebagai salah satu dari tiga penerima anugerah bergengsi Fukuoka Prize 2014 Jepang
atas jasa dan kontribusi signifikannya pada peningkatan pemahaman masyarakat internasional terhadap budaya
Asia. Pada 25 Juni 2015 dia mendapat penghargaan ‘Cendekiawan Berdedikasi’ dari Harian Kompas; pada 20
Agustus 2015 dia terpilih menyampaikan ‘LIPI Sarwono Memorial Lecture’ dalam rangka ulang tahun ke-48 LIPI;
dan pada 21 Agustus 2015 dia terpilih menerima ‘Penghargaan Achmad Bakrie’ dalam Pemikiran Sosial.
Selain itu, pada 2009 dia terpilih sebagai salah satu di antara ‘The 500 Most Influential Muslim Leaders’
dalam bidang Scholarly (kesarjanaan/keilmuan) oleh Prince Waleed bin Talal Center for Muslim-Christian
Understanding, Georgetown University, Washington DC dan The Royal Islamic Strategic Studies Centre, Amman,
Yordania di bawah pimpinan Prof John Esposito dan Prof Ibrahim Kalin.

Dia dapat dikontak melalui azyumardiazra1@gmail.com / azyumardiazra1@yahoo.com

You might also like