You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk yang terdiri dari

berbagai ragam budaya, adat, dan kelompok. Sebagai falsafah bangsa, Pancasila

merupakan norma dasar yang dijadikan sebagai sumber dari segala sumber hukum

di Indonesia. Artinya bahwa posisi Pancasila diletakkan pada posisi tertinggi

dalam hukum Indonesia. Sehingga segala bentuk aktivitas pengembangan hukum

nasional harus berdasarkan nilai-nilai yang termuat dalam Pancasila sebagai

norma dasar negara dan segala bentuk hukum di Indonesia harus diukur menurut

nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, serta didalam aturan hukum itu harus

tercermin kesadaran dan rasa keadilan yang sesuai dengan kepribadian dan

falsafah hidup bangsa. Dan Pancasila itu ada merupakan hasil dari masyarakat

Indonesia untuk mencari kebenaran.1

Pancasila dapat terbentuk dengan melalui proses yang cukup panjang

dalam sejarah Bangsa Indonesia. Dalam proses terbentuknya Pancasila tersebut

dirumuskan oleh para pendiri Negara Indonesia dengan cara menggali nilai-nilai

yang dimiliki bangsa Indonesia, dan disintesiskan dengan pemikiran-pemikiran

besar dunia.2 Nilai-nilai tersebut terdapat dalam budaya Bangsa Indonesia

sebelum mendirikan Negara. Dari nilai-nilai yang sudah ada sebelum mendirikan

1
Drs. C.S.T. Kansil, S.H., 1990, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, PT.
Pradnya Paramita, Jakarta, hal : 68.
2
Prof. DR. Kaelan, M.S., 2014, Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi, Paradigma,
Yogyakarta, hal : 97.
Negara berarti Pancasila memang sudah memiliki nilai budaya yang dimiliki

bangsa Indonesia secara keseluruhan yang telah dituangkan ke dalam lima sila

Pancasila.

Sehubungan dengan hal tersebut dapat dipahami bahwa Pancasila dapat

terbentuk tidak lepas dari sifat dan hakikat dari kebudayaan itu adalah sikap dan

tingkah laku manusia yang selalu dinamis, bergerak dan beraktivitas untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara melakukan hubungan-hubungan

dengan manusia lainnya, atau dengan cara melakukan hubungan-hubungan

dengan manusia lainnya. Hal inilah yang menyebabkan suatu produk hukum yang

dibuat harus melihat dan mengikuti kebudayaan masyarakat dimana hukum itu

diterapkan. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum yang paling

tinggi kedudukannya juga akan menjadi tumpuhan dalam setiap perubahan dan

perkembangan masyarakat khususnya dalam proses pembentukan perundang-

undangan di Indoenesia.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan budaya hukum ?

2. Bagaimana peran Pancasila sebagai dasar budaya hukum di Indonesia ?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Budaya Hukum

Dalam sistem hukum Indonesia yang merupakan implementasi dari nilai-

nilai Pancasila bertitik tolak dari konstitusi, the supreme law of the land (hukum

tertinggi), dengan mengerahkan segala potensi dan kemampuan sumber daya yang

kita miliki. Serta memperkirakan segala kondisi yang mempengaruhi hukum di

Indonesia. Sehingga untuk dapat mempersatukan opini dalam membuat suatu

perundang-undangan diperlukan adanya kesamaan langkah dalam menentukan

sistem hukum, untuk menjaga berbagai produk hukum yang dilahirkan tetap

berada dalam kesatuan sistem dan sekaligus untuk menghindari terjadinya

penyimpangan dari sistem yang telah disepakati bersama.

Hukum bukan sekedar alat yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu,

tetapi hukum itu merupakan perangkat tradisi, obyek pertukaran nilai yang tidak

netral dari pengaruh sosial dan budaya. Secara tidak langsung mengenai sosial dan

budaya berarti juga berbicara mengenai masyarakat. Dimana hukum dan

masyarakat mempunyai hubungan secara timbal balik, karena hukum sebagai

sarana pengantar masyarakat, bekerja di dalam masyarakat. Hubungan antara

hukum dan masyarakat tersebut bisa bersifat simbiosis mutualisme yaitu

mendukung tumbuh dan tegaknya hukum maupun sebaliknya yang bersifat

paratistis, yaitu menghambat tumbuh berkembang dan tegaknya hukum.

Hukum harus dilihat sebagai suatu sistem yang utuh. Hukum merupakan

suatu sistem, berarti bahwa hukum itu merupakan suatu tatanan, dimana hukum
merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-

unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Sistem dapat diartikan dalam

beberapa arti :

a. Berorientasi pada satu tujuan;

b. Lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagian;

c. Berinteraksi dengan sistem lain yang lebih besar;

d. Bekerjanya bagian-bagian menciptakan sesuatu yang berharga.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan sistem hukum adalah suatu

kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain

dan bekerja untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. dari setiap sistem

mengandung beberapa asas yang menjadi pedooman dalam pembentukannya dan

dapat dikatakan bahwa suatu sistem adalah tidak terlepas dari asas-asas yang

mendukungnya. Dengan demikian sifat sistem ini menyeluruh dan berstruktur

yang keseluruhan komponen-komponennya bekerja sama dalam hubungan

fungsional. Sehingga dalam sistem hukum yang baik tidak boleh ada

suatupertentangan-pertentangan atau tumpang tindih di antara bagian-bagian yang

ada.

Secara sosiologis, hukum sebagai sistem nilai yang merupakan sub sistem

dari sistem sosial. Hukum sebagai sistem nilai yang merupakan sub sistem dari

sistem sosial sebenarnya menjabarkan bahwa hukum merupakan das sein dan das

sollen yang antara sisi yang satu dengan sisi yang lainnya yaitu antara das sein

dan das sollen tidak mudah untuk dipertemukan bahkan seringkali mereka

bertolak belakang dengan perilaku hukum masyarakat hukum yang seharusnya.


Sulitnya penyelarasan hukum sebagai “sein” dan hukum sebagai “sollen” tidak

terlepad dari faktor-faktor non yuridis yang hidup dan berkembang yang salah

satunya adalah kultur hukum atau budaya hukum. Budaya sebagai produk

masyarakat amat beragam bentuk dan jenisnya dan berbeda tidak hanya

masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain pun juga berbeda, sehingga

akibat tingkatan-tingkatan sosial dalam lingkungan tersebut, misalnya budaya

hukum seorang pedagang kaki lima dengan seorang guru, sopir dengan pegawai,

dan sebagainya.

L. Friedman menjabarkan komponen sistem hukum meliputi :

1. Stuktur hukum :

Yakni norma-norma hukum (peraturan, keputusan) yang dihasilkan dari

produk hukum.

2. Substansi hukum :

Yakni kelembagaan yang diciptakan sistem hukum yang memungkinkan

pelayanan dan penegakkan hukum.

3. Budaya hukum :

Yakni ide-ide, sikap, harapan, pendapat, dan nilai-nilai yang berhubungan

dengan hukum (bisa positif/negatif).

Diantara ketiganya tersebut harus berjalan beriringan yaitu struktur harus

kuat, kredibel, akuntabel dan capabel. Substansi harus selaras dengan rasa

keadilan masyarakat sedangan kultur hukum atau budaya hukumnya harus

mendukung tegaknya hukum. Apabila salah satunya timpang, misalkan struktur


aparat yang mengalami ketimpangan dengan tidak akuntable, tidak kredible dan

tidak capable, maka mustahil untuk hukum dapat ditegakkan.

Mengenai budaya hukum sendiri, budaya hukum adalah merupakan

keseluruhan faktor yang menetukan bagaimana sistem hukum memperoleh

tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Elemen

budaya hukum (legal culture) yang harus diperhatikan. Budaya hukum dapat

dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

1. Internal legal culture : kultur yang dimiliki oleh struktur hukum.

2. External legal culture : kulture hukum masyarakat pada umumnya.

Menurut Daniel S. Lev, budaya hukum dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Budaya hukum prosedural

Adalah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dalam menyelesaikan

sengketa dan manajemen konflik.

2. Budaya hukum substantif

Adalah asumsi-asumsi fundamental terutama mengenai apa yang adil

dan tidak menurut masyarakat.

Budaya hukum berfungsi sebagai suatu kerangka normatif dalam

kehidupan manusia yang menentukan perilaku manusia. Artinya perilaku manusia

mengenai baik dan buruknya dapat dipengarhi dari budaya hukumnya dimana

masyarakat itu tinggal. Apabila lingkungan tempat dimana mereka tinggal

mayoritas berperilaku positif maka manusia yang ada disekitarnya pun ikut dan

mempunyai perilaku yang baik pula, begitu juga sebaliknya.


Selain itu, budaya hukum juga berfungsi sebagai sistem perilaku. Artinya

setiap perilaku manusia telah diatur dalam suatu peraturan hukum, baik itu

peraturan dalam bentuk tertulis maupun peraturan dalam bentuk tidak tertulis

yang kesemuanya itu mempunyai sifat yang memaksa untuk yang tertulis, seperti

undang-undang dan pelengkap tetapi harus ditaati pula oleh masyarakat, seperti

hukum adat.

Menurut Hilman Hadikusuma, budaya hukum adalah tanggapan umum

yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu

merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi

suatu budaya hukum menunjukkan tentang pola perilaku individu sebagai anggota

masyarakat yang menggambarkan tanggapan yang sama terhadap kehidupan

hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan.

Budaya hukum juga sangat mempengaruhi efektifitas berlaku dan

keberhasilan penegakkan hukum. Dalam membentuk suatu keberhasilan

penegakkan huku, tidak luput dari peran serta msayarakat sebagai subyek

hukumnya. Masyarakat mengembangkan budaya yang tidak kondusif dan

mendukung tegaknya hukum seperti main hakim sendiri, tidak bersahabat dengan

aparat hukum untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimoangan,

pengabaian hukum dan sebagainya. Faktor yang mempengaruhi tegaknya hukum

yaitu ada faktor yang bersal dari dalam dan ada yang berasal dari luar.
1. Faktor dari dalam

Seperti aparaat yang tidak capable, credible dan akuntabel, politik

penguasa yang mewakili rasa keadilan masyarakat, artinya apa yang

diinginkan oleh hukum berbeda dengan keinginan masyarakat.

Terjadinya ketimpangan, diskersi antara hukum “solen” dengan hukum

“sein” bisa terjadi karena aparat penegak hukum sudah terwujud

masyarakat beraksi menolaknya, dengan berbagai cara seperti

memprotes, melanggar, bahkan tidak menghiraukannya.

2. Faktor dari luar

Berasal dari kesadaran hukum masyarakat dan perkembangan serta

perubahan sosial, politik hukum penguasa, tekanan dunia internasional,

maupun budaya hukum masyarakat.

Dengan kata lain, hukum dapat ditegakkan apabila seluruh komponen

sistem dapat bekerja sama. Namun, apabila salah satudari komponen sitem tidak

dapat bekerja sebagaimana mestinya, maka hukum yang tegak adalah sebuah

angan-angan belaka.

Hukum merupakan konkretisasi nilai-nilai sosial yang terbentuk dari

kebudayaan. Artinya hukum dapat berlaku dan dijalankan dalam masyarakat

karena terbentuk dari budaya dan kebiasaan masyarakat. Sehingga hukum dapat

mengatur segala bentuk kehidupan masyarakat pada umumnya. Hukum juga

menyesuaikan setiap perubahan yang ada dimasyarakat, sehingga hukum

dianggap selalu dapat mengerti apa yang dibutuhkan oleh manusianya. Apabila

saat ini sudah dizaman yang dapat dibilang modern, maka hukum pun harus
sesuai dengan zaman yang sekarang. Tetapi tidak jarang hukum dijaman yang

modern ini mengalami kegagalan dalam pelaksanaannya ataupun dalam membuat

perancangannya. Selain itu kegagalan hukum dizaman modern ini seringkali

karena tidak compatible dengan budaya hukum di masyarakat.

B. Peran Pancasila Sebagai Dasar Budaya Hukum Di Indonesia

Sebelum membicarakan Pancasila sebagai sumber budaya hukum, adalah

penting untuk memperkenalkan terlebih dahulu konsep tentang

staatsfundamentalnorm yang merupakan landasan penting bagi lahirnya konsep

Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Staatsfundamentalnorm

(norma fundamental negara) merupakan istilah yang digunakan Hans Nawiasky

dengan teorinya tentang Jenjang Norma Hukum (Die theorie von stufenordnung

der rechtsnormen) sebagai pengembangan dari teori Hans Kelsen tentang Jenjang

Norma (stufentheorie).3

Perihal norma hukum, Hans Nawiasky menggunakan hirarkisitas hukum

dapat terbagi menjadi 4 (empat) tingkatan, yaitu:4

1. Staatsfundamentalnorm yang berupa norma dasar bernegara atau sumber

dari segala sumber hukum;

2. Staatsgrundgezetze yang berupa hukum dasar yang apabila dituangkan

dalam dokumen negara menjadi konstitusi atau vervassung;

3
Jazim Hamidi, 2006, Revolusi Hukum Indonesia: Makna, Kedudukan dan Implikasi
Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Konstitusi Press
dan Citra Media, Jakarta dan Yogyakarta, hlm. 59.
4
Dardji Darmodihardjo, 1999, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia, Jakarta, hlm. 21
3. Formelegezetze atau undang-undang formal yang pada peraturan tersebut

dapat ditetapkan suatu ketentuan yang bersifat imperative, dalam

pengertian pelaksanaan maupun sanksi hukum;

4. Verordnung en dan autonome satzungen yakni aturan-aturan pelaksanaan

dan peraturan yang otonom, baik yang lahir dari delegasi maupun atribusi;

Dalam negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang

merupakan sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum tata negara disebut

“staatsfundamentalnorm”5. Dalam Negara Indonesia “staatsfundamentalnorm”

tersebut intinya tidak lain adalah Pancasila. Maka Pancasila merupakan cita-cita

hukum, kerangka berpikir, sumber nilai serta sumber arah penyusunan dan

perubahan hukum positif Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila

berfungsi sebagai paradigma hukum terutama dalam kaitannya dengan berbagai

macam uapaya perubahan hukum, atau Pancasila harus merupakan paradigma

dalam suatu pembaharuan hukum.

Namun dengan penempatan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm

berarti menempatkannya di atas Undang-undang Dasar. Jika demikian, Pancasila

tidak termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi.

Untuk membahas permasalahan ini dapat dilakukan dengan melacak kembali

konsep norma dasar dan konstitusi menurut Kelsen dan pengembangan yang

dibuat Hans Nawiasky, serta melihat hubungan antara Pancasila dan UUD 1945.

5
Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh
Notonagoro. Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi
ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila,
serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai
Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat
dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.
Memang hingga kini masih terjadi polemik di kalangan ahli hukum mengenai

apakah Pancasila, atau Pembukaan UUD 1945, atau Proklamasi Kemerdekaan,

sebenarnya yang dapat disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum.6

Menurut Moh. Mahfud MD, dalam pembentukan negara hukum, maka

Pancasila harus melahirkan kaidah-kaidah penuntun dalam pembuatan politik

hukum atau kebijakan negara lainnya yaitu: (1) kebijakan umum dan politik

hukum harus tetap menjaga integrasi atau keutuhan bangsa baik secara ideologi

maupun secara teritori, (2) kebijakan umum dan politik hukum haruslah

didasarkan pada upaya membangun demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi

(negara hukum) sekaligus, (3) kebijakan umum dan politik hukum haruslah

didasarkan pada upaya membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,

(4) kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada prinsip toleransi

beragama yang berkeadaban.7

Demikian pula menurut Notonagoro, sebagai konsekuensi Pancasila

tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, maka pembukaan yang memuat

Pancasila itu sebagai staatsfundamentalnorm. Konsekuensinya nilai-nilai

Pancasila, secara yuridis harus diderivasikan kedalam UUD Negara Indonesia dan

selanjutnya pada seluruh peraturan perundangan lainnya. Dalam kedudukan

seperti ini Pancasila telah memiliki legitimasi filosofis, yuridis dan politis. Dalam

6
Jimly Assihiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan
Kesekretariatan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
7
Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, hlm.35.
kapasitas ini Pancasila telah diderivasikan dalam suatu norma-norma dalam

kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.8

Oleh karena itu agar hukum berfungsi sebagi pelayanan kebutuhan

masyarakat maka hukum harus senantiasa di perbaharui agar aktual atau sesuai

dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat yang dilayaninya dan dalam

pembaharuan hukum yang terus menerus tersebut.

Sebagai cita cita hukum Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif

maupun fungsi regulatif. Dengan fungsi regulaatifnya Pancasila menentukan dasar

suatu tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga

tanpa dasar yang di berikan oleh Pancasila maka hukum akan kehilangan arti dan

maknanya sebagai hukum itu sendiri. Demikian juga dengan fungsi regulatifnya

Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif itu sebagai produk yang adil

ataukah tidak adil. Sebagai staatsfundamentalnorm Pancasila merupakan pangkal

tolak derivasi (sumber penjabaran) dari tertib hukum di Indonesia termasuk UUD

1945. Dalam pengertian inilah menurut istilah ilmu hukum disebut sebagai

sumber dari segala peraturan perundang-undangan di Indonesia (Mahfud,

1999:59).

Sumber hukum meliputi 2 macam pengertian, (1) Sumber formal hukum,

yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum, yang

mengikat terhadap komunitasnya, misalnya UU PERMEN, PERDA dan (2)

8
Notonagoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pencasila, Pidato 18 November 1968
(Djakarta : Pantju-ran Tujuh, 1975), hlm.20 sebagaimana dikutip Philipus M Hadjon, Pancasila
Sebagai Dasar Negara Dan Hukum Tata Negara Dalam Jurnal Yustika (Surabaya : FH UBAYA,
1998), hlm.63.
Sumber material hukum, yauitu suatu sumber hukum yang menentukan materi

atau isi suatu norma hukum (Darmodiharjo, 1996:206). Pancasila yang di

dalamnya terkanndung nilai nilai religious, nilai hukum kodrat, nilai hukum moral

pada hakikatnya merupakan suatau sumber material hukum potitif di Indonesia.

Dengan demikian Pancasila menentukan isis dan bentuk peraturan per undang

undangan Indonesia yang tersusun seacara hierarkhis.9

Dalam susuan yang hierarkhis ini Pancasila menjamin keserasian atau

tiadanya kontradiksi antara berbagai peraturan per undang undangan baik secara

vertical maupun horizontal. Ini mengandung konsekuensi jikalau terjadi

ketidakseraian atau bertentangan satu norma hukum dengan norma hukum lainnya

yang secara hierarkhis lebih tinggi apalagi dengan Pancasila sebagai sumbernya,

berarti terjadi inkonstitusionalitas dan ketidak legalan atau (illegality) dan

karenanya norma hukum yang lebih rendah itu batal demi hukium (Mahfud,

1999:59).

Selain sumber nilai yang terkandung dalam Pancasila reformasi dan

pembaharuan hukum juga harus bersumber pada kenyataan empiris yang ada

dalam masyarakat terutama dalam wujud aspirasi aspirasi yang dikehendakinya.

Menurut Johan Galtung suatu perubahan serta pengembangan secara ilmiah harus

mempertimbangkan 3 unsur (1) nilai, (2) teori atau norma, dan (3) fakta atau

realitas empiris (Galtung, 1980: 30-33).

9
Kaelan. 2010, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, hlm. 244
Oleh karena itu dalam reformasi hukum dewasa ini selain Pancasila

sebagai paradigma pembaharuan hukum yang merupakan sumber norma dan

sumber nilai, terdapat unsure pokok yang justru tidak kalah pentingnya yaitu

kenyataan empiris yang ada dalam masyarakat. Oleh karena masyarakat bersifat

dinamis baik menyangkut aspirasinya, kemajuan peradaban serta kemajuan iptek

maka perubahan dan pembaharuan hukum harus mampu mengakomodasikannya

dalam norma norma hukum dengan sendirinya selama hal tersebut didak

bertentangan dengan nilai nilai hakiki yang terkandung dalam sila sila Pancasila.

Dengan demikian maka upaya untuk reformasi hukum akan benar benar mampu

mengantarkan ketingkatan harkat dan martabat yang lebih tinggi sebagai makhluk

yang berbudaya dan beradab.10

10
Ibid, hlm. 245
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Hukum merupakan konkretisasi nilai-nilai sosial yang terbentuk dari

kebudayaan. Artinya hukum dapat berlaku dan dijalankan dalam

masyarakat karena terbentuk dari budaya dan kebiasaan masyarakat.

Sehingga hukum dapat mengatur segala bentuk kehidupan masyarakat

pada umumnya. Hukum juga menyesuaikan setiap perubahan yang ada

dimasyarakat, sehingga hukum dianggap selalu dapat mengerti apa yang

dibutuhkan oleh manusianya.

2. Dalam negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang

merupakan sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum tata negara

disebut staatsfundamentalnorm. Dalam Negara Indonesia

staatsfundamentalnorm tersebut intinya tidak lain adalah Pancasila. Maka

Pancasila merupakan cita-cita hukum, kerangka berpikir, sumber nilai

serta sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif Indonesia.

Dalam pengertian inilah maka Pancasila berfungsi sebagai paradigma

hukum terutama dalam kaitannya dengan berbagai macam uapaya

perubahan hukum, atau Pancasila harus merupakan paradigma dalam suatu

pembaharuan hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Kansil, 1990. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta : PT. Pradnya

Paramita.

M.S., Kaelan., 2014. Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi. Yogyakarta :

Paradigma.

Hamidi, Jazim, 2006. Revolusi Hukum Indonesia: Makna, Kedudukan dan

Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem

Ketatanegaraan RI. Jakarta : Konstitusi Press dan Citra Media.

Darmodihardjo, Dardji. 1999. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana

Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta : Gramedia.

Assihiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Tata Negara. Jakarta : Sekretariat

Jenderal dan Kesekretariatan Mahkamah Konstitusi RI.

M.D. Mahfud. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : LP3ES.

You might also like