You are on page 1of 187

Perubahan proses pikir : waham

LAPORAN PENDAHULUAN jiwa

WAHAM

A. Masalah Utama :

Perubahan proses pikir : waham

B. Proses terjadinya masalah

1. Pengertian Waham

Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah.
Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya
klien. Waham dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan perkembangan seperti adanya
penolakan, kekerasan, tidak ada kasih sayang, pertengkaran orang tua dan aniaya. (Budi
Anna Keliat,1999).

Tanda dan Gejala :

 Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama, kebesaran,


kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan
 Klien tampak tidak mempunyai orang lain

 Curiga

 Bermusuhan

 Merusak (diri, orang lain, lingkungan)

 Takut, sangat waspada

 Tidak tepat menilai lingkungan/ realitas

 Ekspresi wajah tegang

 Mudah tersinggung
(Azis R dkk, 2003)

2. Penyebab dari Waham

Salah satu penyebab dari perubahan proses pikir : waham yaitu Gangguan konsep diri :
harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Gangguan harga diri dapat
digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, dan
merasa gagal mencapai keinginan.

Tanda dan Gejala :

 Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi)
 Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)

 Gangguan hubungan sosial (menarik diri)

 Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)

 Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram,
mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.

( Budi Anna Keliat, 1999)

3. Akibat dari Waham

Klien dengan waham dapat berakibat terjadinya resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat
melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.

Tanda dan Gejala :

 Memperlihatkan permusuhan
 Mendekati orang lain dengan ancaman

 Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai

 Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan


 Mempunyai rencana untuk melukai

C. Pohon Masalah

Perubahan proses pikir: Waham

Gangguan konsep diri : harga diri rendah

(Keliat, BA, 1999)

D. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji

1) Masalah keperawatan:

1. Resiko menciderai diri, orang lain, dan lingkungan


2. Perubahan proses pikir : waham

3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah.

2. Data yang perlu dikaji:

1. Resiko menciderai diri, orang lain, dan


lingkungan

 Data subjektif

Klien mengatakan marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, dan ingin
membakar atau mengacak-acak lingkungannya.

 Data objektif

Klien mengamuk, merusak dan melempar barang-barang, melakukan tindakan kekerasan


pada orang-orang disekitarnya.

2. Perubahan proses pikir : waham


 Data subjektif :

Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama, kebesaran, kecurigaan,


keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai kenyataan.

 Data objektif :

Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak (diri, orang lain,
lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat menilai lingkungan/
realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung.

3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah.

 Data subjektif

Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa- apa, bodoh, mengkritik
diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri

 Data objektif

Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternative tindakan, ingin
mencedaerai diri/ ingin mengakhiri hidup

E. Diagnosa Keperawatan

1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan waham.

2. Perubahan proses pikir : waham berhubungan dengan harga diri rendah.

F. Rencana Keperawatan

Diagnosa 1: Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berubungan dengan
waham....

1. Tujuan umum :

Klien tidak menciderai diri, orang lain, dan lingkungan.

1. Tujuan khusus

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.


Rasional :

Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan interaksinya

Tindakan:

1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalkan diri,


jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak
yang jelas (topik, waktu, tempat).
2. Jangan membantah dan mendukung waham klien : katakan perawat
menerima keyakinan klien "saya menerima keyakinan anda" disertai
ekspresi menerima, katakan perawat tidak mendukung disertai ekspresi
ragu dan empati, tidak membicarakan isi waham klien.

3. Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindungi : katakan


perawat akan menemani klien dan klien berada di tempat yang aman,
gunakan keterbukaan dan kejujuran jangan tinggalkan klien sendirian.

4. Observasi apakah wahamnya mengganggu aktivitas harian dan perawatan


diri.

2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki.

Rasional :

dengan mengetahui kemampuan yang dimiliki klien, maka akan memudahkan perawat
untuk mengarahkan kegiatan yang bermanfaat bagi klien dari pada hanya memikirkannya

Tindakan:

1. Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realistis.


2. Diskusikan bersama klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu dan saat ini
yang realistis.

3. Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian anjurkan untuk melakukannya saat
ini (kaitkan dengan aktivitas sehari hari dan perawatan diri).

4. Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai kebutuhan waham
tidak ada. Perlihatkan kepada klien bahwa klien sangat penting.

3. Klien dapat mengidentifikasikan kebutuhan yang tidak terpenuhi

Rasional :
Dengan mengetahui kebutuhan klien yang belum terpenuhi perawat dapat merencanakan
untuk memenuhinya dan lebih memperhatikan kebutuhan klien tersebut sehingga klien
merasa nyaman dan aman

Tindakan:

1. Observasi kebutuhan klien sehari-hari.


2. Diskusikan kebutuhan klien yang tidak terpenuhi baik selama di rumah maupun di
rumah sakit (rasa sakit, cemas, marah).

3. Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya waham.

4. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien dan memerlukan


waktu dan tenaga (buat jadwal jika mungkin).

5. Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk menggunakan wahamnya.

4. Klien dapat berhubungan dengan realitas.

Rasional :

menghadirkan realitas dapat membuka pikiran bahwa realita itu lebih benar dari pada apa
yang dipikirkan klien sehingga klien dapat menghilangkan waham yang ada

Tindakan:

1. Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (diri, orang lain, tempat dan
waktu).
2. Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi realitas.

3. Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan klien.

5. Klien dapat menggunakan obat dengan benar

Rasional :

Penggunaan obat yang secara teratur dan benar akan mempengaruhi proses penyembuhan
dan memberikan efek dan efek samping obat

Tindakan:

1. Diskusikan dengan klien tentang nama obat, dosis, frekuensi, efek dan efek
samping minum obat.
2. Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama pasien, obat, dosis,
cara dan waktu).
3. Anjurkan klien membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.

4. Beri reinforcement bila klien minum obat yang benar.

6. Klien dapat dukungan dari keluarga.

Rasional :

dukungan dan perhatian keluarga dalam merawat klien akan mambentu proses
penyembuhan klien

Tindakan:

1. Diskusikan dengan keluarga melalui pertemuan keluarga tentang : gejala waham,


cara merawat klien, lingkungan keluarga dan follow up obat.

2. Beri reinforcement atas keterlibatan keluarga

Diagnosa 2: Perubahan proses pikir: waham berhubungan dengan harga diri


rendah

1. Tujuan umum :

Klien tidak terjadi perubahan proses pikir: waham dan klien akan meningkat harga
dirinya.

2. Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya

Tindakan :

1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalan diri, jelaskan


tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas
(waktu, tempat dan topik pembicaraan)
2. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya

3. Sediakan waktu untuk mendengarkan klien

4. Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga dan
bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri

2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang


dimiliki
Tindakan :

1. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat Diskusikan kemampuan dan


aspek positif yang dimiliki
2. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien, utamakan
memberi pujian yang realistis

3. Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki

3. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.

Tindakan :

1. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki


2. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke
rumah

4. Klien dapat menetapkan / merencanakan kegiatan sesuai dengan


kemampuan yang dimiliki

Tindakan :

4.1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan

4.2. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien

4.3. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan

5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan

Tindakan :

5.1. Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan

5.2. Beri pujian atas keberhasilan klien

5.3. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah

5. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada

Tindakan :

1. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara


merawat klien.
2. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.
3. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.

4. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

1. Stuart GW, Sundeen, Principles and


Practice of Psykiatric Nursing (5 th
ed.). St.Louis Mosby Year Book,
1995
2. Keliat Budi Ana, Proses
Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi
I, Jakarta : EGC, 1999

3. Keliat Budi Ana, Gangguan Konsep


Diri, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999

4. Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan


Keperawatan Jiwa Semarang :
RSJD Dr. Amino Gonohutomo, 2003

5. Tim Direktorat Keswa, Standar


Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1,
Bandung, RSJP Bandung, 2000

Gangguan konsep diri : harga diri rendah


LAPORAN PENDAHULUAN

I. Kasus (Masalah Utama)


Gangguan konsep diri : harga diri rendah

II. Proses terjadinya masalah


1. Pengertian harga diri rendah
Gangguan harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak langsung
diekspresikan ( Townsend, 1998 ).

Menurut Schult & Videbeck ( 1998 ), gangguan harga diri rendah adalah penilaian negatif
seseorang terhadap diiri dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun
tidak langsung

Gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri
sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai
keinginan. (Budi Ana Keliat, 1999).

Jadi dapat disimpulkan bahwa perasaan negatif terhadap diri sendiri yang dapat
diekspresikan secara langsung dan tak langsung.

Tanda dan gejala :

 Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi)
 Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)

 Gangguan hubungan sosial (menarik diri)

 Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)

 Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram,
mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.

( Budi Anna Keliat, 1999)

2. Penyebab dari harga diri rendah


Salah satu penyebab dari harga diri rendah yaitu berduka disfungsional. Berduka
disfungsional merupakan pemanjangan atau tidak sukses dalam menggunakan respon
intelektual dan emosional oleh individu dalam melalui proses modifikasi konsep diri
berdasarkan persepsi kehilangan.

Tanda dan gejala :

o Rasa bersalah
o Adanya penolakan

o Marah, sedih dan menangis


o Perubahan pola makan, tidur, mimpi, konsentrasi dan aktivitas

o Mengungkapkan tidak berdaya

2. Akibat dari harga diri rendah


Harga diri rendah dapat beresiko terjadinya isolasi sosial : menarik diri. Menarik diri
merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari
hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993).

Tanda dan gejala :

 Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul


 Menghindar dari orang lain (menyendiri)

 Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap


dengan klien lain/perawat

 Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk

 Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas

 Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan


percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap

 Tidak/ jarang melakukan kegiatan sehari-hari.

(Budi Anna Keliat, 1998)

III. a. Pohon masalah

Isolasi sosial : menarik diri

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah

Core Problem
Berduka disfungsional

2. Masalah dan Data yang Perlu


Dikaji

No
Masalah
Data Subyektif
Data
Keperawatan Obyektif
 Mengungkapkan  Ekspresi
1 Isolasi sosial : tidak berdaya dan wajah
menarik diri tidak ingin hidup kosong
lagi
 Tidak ada
 Mengungkapkan kontak mata
enggan berbicara ketika diajak
dengan orang lain bicara

 Klien malu  Suara pelan


bertemu dan dan tidak
berhadapan jelas
dengan orang lain

 Mengungkapkan  Merusak diri


2 Gangguan ingin diakui jati sendiri
konsep diri : dirinya
harga diri  Merusak
rendah  Mengungkapkan orang lain
tidak ada lagi
yang peduli  Menarik diri
dari
 Mengungkapkan hubungan
tidak bisa apa-apa sosial

 Mengungkapkan  Tampak
dirinya tidak mudah
berguna tersinggung
 Mengkritik diri  Tidak mau
sendiri makan dan
tidak tidur

 Perasaan
malu

 Tidak
nyaman jika
jadi pusat
perhatian

 Mengungkapkan  Ekspresi
3 Berduka tidak berdaya dan wajah sedih
disfungsional tidak ingin hidup
lagi  Tidak ada
kontak mata
 Mengungkapkan ketika diajak
sedih karena tidak bicara
naik kelas
 Suara pelan
 Klien malu dan tidak
bertemu dan jelas
berhadapan
dengan orang lain  Tampak
karena diceraikan menangis
suaminya

 Dan lain – lain…

IV. Diagnosa Keperawatan

1. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah

2. Gangguan konsep diri : harga diri rendah berhubungan dengan berduka


disfungsional.

V. Rencana Tindakan Keperawatan

Diagnosa 1: Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
1. Tujuan umum :

Klien tidak terjadi gangguan konsep diri : harga diri rendah/klien akan meningkat harga
dirinya.

2. Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya

Tindakan :

1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalan diri, jelaskan


tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas
(waktu, tempat dan topik pembicaraan)
2. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya

3. Sediakan waktu untuk mendengarkan klien

4. Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga dan
bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri

2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang


dimiliki

Tindakan :

1. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat Diskusikan kemampuan dan


aspek positif yang dimiliki
2. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien, utamakan
memberi pujian yang realistis

3. Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki

3. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.

Tindakan :

1. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki

2. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke


rumah
4. Klien dapat menetapkan / merencanakan kegiatan sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki

Tindakan :

4.1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan

4.2. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien

4.3. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan

5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan

Tindakan :

5.1. Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan

5.2. Beri pujian atas keberhasilan klien

5.3. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah

5. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada

Tindakan :

1. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara


merawat klien.
2. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.

3. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.

4. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.

Diagnosa 2: Gangguan konsep diri: harga diri rendah berhubungan dengan berduka
disfungsional
DAFTAR PUSTAKA

1. Azis R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino
Gondoutomo. 2003
2. Boyd MA, Hihart MA. Psychiatric nursing : contemporary practice. Philadelphia
: Lipincott-Raven Publisher. 1998

3. Keliat BA. Proses kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC. 1999

4. Stuart GW, Sundeen SJ. Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC.
1998

5. Tim Direktorat Keswa. Standar asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1.


Bandung : RSJP Bandung. 2000

askep menarik diri


LAPORAN PENDAHULUAN

I. Masalah Utama :

Menarik diri.

II. Proses Terjadinya Masalah

1. Pengertian

Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993). Terjadinya perilaku menarik
diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan stressor presipitasi. Faktor perkembangan
dan sosial budaya merupakan faktor predispoisi terjadinya perilaku menarik diri.
Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya
orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain,
menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan.
Keadaan menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain,
menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri, kegiatan sehari-hari
hampir terabaikan.
Gejala Klinis :

 Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul


 Menghindar dari orang lain (menyendiri)

 Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap


dengan klien lain/perawat

 Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk

 Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas

 Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan


percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap

 Tidak melakukan kegiatan sehari-hari.

(Budi Anna Keliat, 1998)

2. Penyebab dari Menarik Diri

Salah satu penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah. Harga diri adalah
penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku
sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai
perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai
keinginan.

Gejala Klinis

 Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi)
 Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)

 Gangguan hubungan sosial (menarik diri)

 Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)

 Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram,
mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.

( Budi Anna Keliat, 1999)


3. Akibat dari Menarik Diri

Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakita adanya terjadinya resiko perubahan
sensori persepsi (halusinasi). Halusinasi ini merupakan salah satu orientasi realitas yang
maladaptive, dimana halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus
yang nyata, artinya klien menginterprestasikan sesuatu yang nyata tanpa stimulus/
rangsangan eksternal.

Gejala Klinis :

 bicara, senyum dan tertawa sendiri


 menarik diri dan menghindar dari orang lain

 tidak dapat membedakan tidak nyata dan nyata

 tidak dapat memusatkan perhatian

 curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya), takut

 ekspresi muka tegang, mudah tersinggung

(Budi Anna Keliat, 1999)

III. Pohon Masalah

Resiko Perubahan Sensori-persepsi :

Halusinasi ……..

Isolasi sosial : menarik diri Core Problem

Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

( Budi Anna Keliat, 1999)


IV. Masalah Keperawatan dan Data yang perlu dikaji

a. Masalah Keperawatan

1. Resiko perubahan persepsi - sensori : halusinasi


2. Isolasi Sosial : menarik diri

3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah

b. Data yang perlu dikaji

1. Resiko perubahan persepsi - sensori : halusinasi

1). Data Subjektif

1. Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus


nyata
2. Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata

3. Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus

4. Klien merasa makan sesuatu

5. Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya

6. Klien takut pada suara/ bunyi/ gambar yang dilihat dan didengar

7. Klien ingin memukul/ melempar barang-barang

2). Data Objektif

1. Klien berbicara dan tertawa sendiri


2. Klien bersikap seperti mendengar/ melihat sesuatu

3. Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu

4. Disorientasi

2. Isolasi Sosial : menarik diri

1). Data Subyektif

Sukar didapat jika klien menolak komunikasi. Terkadang hanya berupa jawaban singkat
ya atau tidak.

2). Data Obyektif


Klien terlihat apatis, ekspresi sedih, afek tumpul, menyendiri, berdiam diri di kamar dan
banyak diam.

3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah

1). Data subyektif:

Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik
diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.

2). Data obyektif:

Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin
mencederai diri/ ingin mengakhiri hidup.

V. Diagnosis Keperawatan

1). Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi …. berhubungan dengan menarik diri.

2). Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.

VI. Rencana Tindakan Keperawatan

Diagnosa 1 : Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi …. berhubungan dengan


menarik diri.

Tujuan Umum :

Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi

Tujuan Khusus :

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya

Rasional : Hubungan saling percaya merupakan landasan utama untuk hubungan


selanjutnya

Tindakan:

1.1 Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik
dengan cara :
1. sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
2. perkenalkan diri dengan sopan

3. tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai

4. jelaskan tujuan pertemuan

5. jujur dan menepati janji

6. tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya

7. berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien

2. Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri

Rasional : Memberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya dapat membantu


mengurangi stres dan penyebab perasaaan menarik diri

Tindakan

2.1 Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya

2.1. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik
diri atau mau bergaul

2.1. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta penyebab
yang muncul

2.1. Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya

3. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian
tidak berhubungan dengan orang lain.

Rasional :

 Untuk mengetahui keuntungan dari bergaul dengan orang lain.

 Untuk mengetahui akibat yang dirasakan setelah menarik diri.

Tindakan :

1. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan


dengan orang lain
1. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan
tentang keuntungan berhubungan dengan prang lain
2. Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan
orang lain

3. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan


perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain

2. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan


orang lain

1. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan


dengan orang lain

2. Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan


dengan orang lain

3. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan


perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain

4. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial

Rasional :

 Mengeksplorasi perasaan klien terhadap perilaku menarik diri yang biasa


dilakukan.

 Untuk mengetahui perilaku menarik diria dilakukan dan dengan bantuan perawat
bisa membedakan perilaku konstruktif dan destruktif.

Tindakan

1. Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain


2. Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain melalui
tahap :

 K–P

 K – P – P lain

 K – P – P lain – K lain

 K – Kel/ Klp/ Masy

1. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai

2. Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan


3. Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi
waktu

4. Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan

5. Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan

4. Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain

Rasional : Dapat membantu klien dalam menemukan cara yang dapat menyelesaikan
masalah

Tindakan

1. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan


dengan orang lain
2. Diskusikan dengan klien tentang perasaan manfaat berhubungan dengan
orang lain

3. Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan


perasaan manfaat berhubungan dengan oranglain

6. Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga

Rasional : memberikan penanganan bantuan terapi melalui pengumpulan data yang


lengkap dan akurat kondisi fisik dan non fisik pasien serta keadaan perilaku dan sikap
keluarganya

Tindakan

1. Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :

 salam, perkenalan diri

 jelaskan tujuan

 buat kontrak

 eksplorasi perasaan klien

1. Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :

 perilaku menarik diri

 penyebab perilaku menarik diri


 akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi

 cara keluarga menghadapi klien menarik diri

3. Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan kepada klien untuk


berkomunikasi dengan orang lain

4. Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien


minimal satu kali seminggu

5. Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh
keluarga

Diagnosa 2 : Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.

Tujuan umum :

Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal

Tujuan khusus :

1. Klien dapat membina hubungan


saling percaya

Rasional : Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan


interaksi selanjutnya

Tindakan :

1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi


terapetutik

1. sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal

2. Perkenalkan diri dengan sopan

3. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien

4. Jelaskan tujuan pertemuan

5. Jujur dan menepati janji

6. Tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya

7. Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.


2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki

Rasional :

 Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas, kontrol diri atau
integritas ego diperlakukan sebagai dasar asuhan keperawatannya.
 Reinforcement positif akan meningkatkan harga diri klien

 Pujian yang realistik tidak menyebabkan klien melakukan kegiatan hanya karena
ingin mendapatkan pujian

Tindakan:

2.1. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien

2.1. Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi penilaian negatif

2.1. Utamakan memberikan pujian yang realistik

3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan

Rasional :

 Keterbukaan dan pengertian tentang kemampuan yang dimiliki adalah prasyarat


untuk berubah.

 Pengertian tentang kemampuan yang dimiliki diri memotivasi untuk tetap


mempertahankan penggunaannya

Tindakan:

1. Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama


sakit

2. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.

4. Klien dapat (menetapkan) merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang


dimiliki

Rasional :

 Membentuk individu yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri


 Klien perlu bertindak secara realistis dalam kehidupannya.

 Contoh peran yang dilihat klien akan memotivasi klien untuk melaksanakan
kegiatan
Tindakan:

1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari


sesuai kemampuan

 Kegiatan mandiri

 Kegiatan dengan bantuan sebagian

 Kegiatan yang membutuhkan bantuan total

1. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien

2. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan

5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya

Rasional :

 Memberikan kesempatan kepada klien mandiri dapat


meningkatkan motivasi dan harga diri klien
 Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien

 Memberikan kesempatan kepada klien ntk tetap melakukan


kegiatan yang bisa dilakukan

Tindakan:

1. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah


direncanakan

5.2. Beri pujian atas keberhasilan klien

5.3. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah

4. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada

Rasional:

 Mendorong keluarga untuk mampu merawat klien mandiri di rumah


 Support sistem keluarga akan sangat berpengaruh dalam mempercepat proses
penyembuhan klien.

 Meningkatkan peran serta keluarga dalam merawat klien di rumah.

Tindakan:
1. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan
harga diri rendah
2. Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat

3. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di ruma

DAFTAR PUSTAKA

1. Azis R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino
Gondoutomo. 2003
2. Boyd MA, Hihart MA. Psychiatric nursing : contemporary practice. Philadelphia
: Lipincott-Raven Publisher. 1998

3. Budi Anna Keliat. Asuhan Klien Gangguan Hubungan Sosial: Menarik Diri.
Jakarta : FIK UI. 1999

4. Keliat BA. Proses kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC. 1999

5. Stuart GW, Sundeen SJ. Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC.
1998

6. Tim Direktorat Keswa. Standar asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1.


Bandung : RSJP Bandung. 2000

askep perilaku kekerasan


LAPORAN PENDAHULUAN

1. Masalah Utama:

Perilaku kekerasan/ amuk.

2. Proses Terjadinya Masalah

1. Pengertian perilaku kekerasan

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995).
Tanda dan Gejala :

 Muka merah
 Pandangan tajam

 Otot tegang

 Nada suara tinggi

 Berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak

 Memukul jika tidak senang

2. Penyebab perilaku kekerasan

Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga
diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh
perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai
perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai
keinginan.

Tanda dan gejala :

 Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi)
 Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)

 Gangguan hubungan sosial (menarik diri)

 Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)

 Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram,
mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.

(Budiana Keliat, 1999)

3. Akibat dari Perilaku kekerasan


Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai diri, orang
lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan
dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.

Tanda dan Gejala :

 Memperlihatkan permusuhan
 Mendekati orang lain dengan ancaman

 Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai

 Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan

 Mempunyai rencana untuk melukai

C. Pohon Masalah

Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

Perilaku Kekerasan/amuk

Core Problem

Gangguan Harga Diri : Harga Diri Rendah

(Budiana Keliat, 1999)

D. Masalah keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji

1. Masalah keperawatan:

1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

2. Perilaku kekerasan / amuk

3. Gangguan harga diri : harga diri rendah

1. Data yang perlu dikaji:


1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

1. Data subjektif

Klien mengatakan marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, ingin
membakar atau mengacak-acak lingkungannya.

2. Data objektif

Klien mengamuk, merusak dan melempar barang-barang, melakukan tindakan kekerasan


pada orang-orang disekitarnya.

2. Perilaku kekerasan / amuk

1. Data Subjektif :

 Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.

 Klien suka membentak dan menyerang orang yang


mengusiknya jika sedang kesal atau marah.

 Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa


lainnya.

2. Data Objektif

 Mata merah, wajah agak merah.

 Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai.

 Ekspresi marah saat membicarakan orang,


pandangan tajam.

 Merusak dan melempar barang barang.

3. Gangguan harga diri : harga diri rendah

1. Data subyektif:

Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik
diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.

2. Data objektif:

Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin
mencederai diri / ingin mengakhiri hidup.
5. Diagnosa Keperawatan

1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan


perilaku kekerasan/ amuk.

2. Perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan harga diri: harga diri


rendah.

5. Rencana Tindakan

Diagnosa 1: Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan


dengan perilaku kekerasan/ amuk

1. Tujuan Umum: Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungannya
2. Tujuan Khusus:

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.

Tindakan:

1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati,


sebut nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
2. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.

3. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.

4. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat.

5. Beri rasa aman dan sikap empati.

6. Lakukan kontak singkat tapi sering.

2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.

Tindakan:

1. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.


2. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.

3. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan


klien dengan sikap tenang.
2. Klien dapat mengidentifikasi tanda tanda perilaku kekerasan.

Tindakan :

1. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan


dirasakan saat jengkel/kesal.
2. Observasi tanda perilaku kekerasan.

3. Simpulkan bersama klien tanda tanda jengkel / kesal yang


dialami klien.

2. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.

Tindakan:

1. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa


dilakukan.
2. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan.

3. Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya


selesai ?"

5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.

Tindakan:

1. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.


2. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang
digunakan.

3. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.

5. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap


kemarahan.

Tindakan :
1. Tanyakan kepada klien apakah ia ingin mempelajari cara
baru yang sehat
2. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.

3. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat.

 Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolah raga, memukul bantal /
kasur atau pekerjaan yang memerlukan tenaga.

 Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal/ tersinggung.

 Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara – cara marah yang sehat, latihan
asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan.

 Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk diberi


kesabaran.

7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.

Tindakan:

1. Bantu memilih cara yang paling tepat.


2. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.

3. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.

4. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai


dalam simulasi.

5. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel


/ marah.

7. Klien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol perilaku


kekerasan

Tindakan :
1. Identifikasi kemampuan keluarga merawat klien dari sikap
apa yang telah dilakukan keluarga selama ini.
2. Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.

3. Jelaskan cara – cara merawat klien :

 Cara mengontrol perilaku marah secara konstruktif.

 Sikap tenang, bicara tenang dan jelas.

 Membantu klien mengenal penyebab ia marah.

8.4.Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien.

8.5.Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi

9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).

Tindakan:

1. Jelaskan jenis – jenis obat yang diminum klien pada klien


dan keluarga.
2. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti
minum obat tanpa seizin dokter.

3. Jelaskan prinsip 5 benar minum obat (nama klien, obat,


dosis, cara dan waktu).

4. Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat


yang dirasakan.

5. Anjurkan klien melaporkan pada perawat / dokter jika


merasakan efek yang tidak menyenangkan.

6. Beri pujian jika klien minum obat dengan benar.

Diagnosa 2: Perilaku kekerasan berhubungan dengan gangguan konsep diri : harga


diri rendah

1. Tujuan Umum :

Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal

1. Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan
saling percaya dengan perawat

Tindakan :

1. Bina hubungan saling percaya

Salam terapeutik

Perkenalan diri

- Tanyakan nama lengkap klien dan panggilan yang disukai.

Jelaskan tujuan pertemuan

Ciptakan lingkungan yang tenang

Buat kontrak yang jelas ( waktu, tempat dan topik pembicaraan ).

2. Beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaannya.


3. Sediakan waktu untuk mendengarkan klien.

4. Katakan kepada klien bahwa ia adalah seseorang yang


berharga dan bertanggung jawab serta mampu menolong
dirinya sendiri.

2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.

Tindakan :

1. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki


klien.
2. Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi penilaian
negatif

3. Utamakan memberi pujian yang realistis.

2. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.

Tindakan :
1. Diskusikan bersama klien kemampuan yang masih dapat
digunakan selama sakit

2. Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah


pulang ke rumah.

4. Klien dapat menetapkan/ merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang dimiliki.

Tindakan :

1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan


setiap hari sesuai kemampuan ( mandiri, bantuan sebagian,
bantuan total ).
2. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.

3. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien


lakukan.

4. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuannya

Tindakan :

1. Beri kesempatan klien untuk mencoba kegiatan yang telah


direncanakan.
2. Beri pujian atas keberhasilan klien.

3. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah.

6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

Tindakan :

1. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara


merawat klien dengan harga diri rendah.
2. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.

3. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.

4. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga


DAFTAR PUSTAKA

1. Stuart GW, Sundeen, Principles and


Practice of Psykiatric Nursing (5 th
ed.). St.Louis Mosby Year Book,
1995
2. Keliat Budi Ana, Proses
Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi
I, Jakarta : EGC, 1999

3. Keliat Budi Ana, Gangguan Konsep


Diri, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999

4. Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan


Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD
Dr. Amino Gonohutomo, 2003

5. Tim Direktorat Keswa, Standar


Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1,
Bandung, RSJP Bandung, 2000

askep dengan halusinasi


KEPERAWATAN JIWA

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Kasus (Masalah Utama)

Perubahan sensori perseptual : halusinasi.

II. Proses Terjadinya Masalah

1. Pengertian Halusinasi

Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan
dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan dimana terjadi pada saat
kesadaran individu itu penuh / baik (Stuart & Sundenn, 1998).
Halusinasi adalah persepsi tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indera seorang
pasien yang terjadi dalam keadaan sadar/terbangun. (Maramis, hal 119)

Halusinasi yaitu gangguan persepsi (proses penyerapan) pada panca indera tanpa adanya
rangsangan dari luar pada pasien dalam keadaan sadar.

Tanda dan gejala :

 Bicara, senyum dan tertawa sendiri


 Menarik diri dan menghindar dari orang lain

 Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan tidak nyata

 Tidak dapat memusatkan perhatian

 Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya), takut

 Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung

(Budi Anna Keliat, 1999)

2. Penyebab dari Halusinasi

Salah satu penyebab dari Perubahan sensori perseptual : halusinasi yaitu isolasi social :
menarik diri. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan
orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993).

Tanda dan Gejala :

 Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul


 Menghindar dari orang lain (menyendiri)

 Komunikasi kurang/ tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap


dengan klien lain/ perawat

 Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk

 Berdiam diri di kamar/ klien kurang mobilitas

 Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan


percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap

 Tidak/ jarang melakukan kegiatan sehari-hari.


(Budi Anna Keliat, 1998)

3. Akibat dari Halusinasi

Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensori: halusinasi dapat beresiko mencederai
diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan
yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.

Tanda dan Gejala :

 Memperlihatkan permusuhan
 Mendekati orang lain dengan ancaman

 Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai

 Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan

 Mempunyai rencana untuk melukai

III. Pohon Masalah

Risiko mencederai diri , orang lain dan lingkungan

Perubahan sensori perseptual: halusinasi

Isolasi sosial : menarik diri

IV. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji


1. Masalah keperawatan

1. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

2. Perubahan sensori perseptual : halusinasi

3. Isolasi sosial : menarik diri

2. Data yang perlu dikaji

1. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

1. Data subjektif

Klien mengatakan marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, ingin
membakar atau mengacak-acak lingkungannya.

2. Data objektif

Klien mengamuk, merusak dan melempar barang-barang, melakukan tindakan kekerasan


pada orang-orang disekitarnya.

1. Perubahan sensori perseptual : halusinasi

1. Data Subjektif

 Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus


nyata.

 Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata.

 Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus.

 Klien merasa makan sesuatu.

 Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya.

 Klien takut pada suara/ bunyi/ gambar yang dilihat dan didengar.

 Klien ingin memukul/ melempar barang-barang.

2. Data Objektif

 Klien berbicar dan tertawa sendiri.

 Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu.


 Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu.

 Disorientasi.

1. Isolasi sosial : menarik diri

1. Data Subjektif

 Klien mengungkapkan tidak berdaya dan tidak ingin hidup lagi

 Klien mengungkapkan enggan berbicara dengan orang lain

 Klien malu bertemu dan berhadapan dengan orang lain.

1. Data Objektif

 Klien terlihat lebih suka sendiri

 Bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan

 Ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup

V. Diagnosa Keperawatan

1. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan


perubahan sensori perseptual : halusinasi.

2. Perubahan sensori perseptual : halusinasi berhubungan dengan menarik diri.

VI. Rencana Tindakan Keperawatan

Diagnosa 1: Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan


dengan perubahan sensori perseptual : halusinasi.

1. Tujuan umum : klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
2. Tujuan khusus :

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.

Tindakan :
1. Salam terapeutik – perkenalan diri – jelaskan tujuan – ciptakan lingkungan
yang tenang – buat kontrak yang jelas (waktu, tempat, topik).
2. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.

3. Empati.

4. Ajak membicarakan hal-hal yang ada di lingkungan.

2. Klien dapat mengenal halusinasinya.

Tindakan :

1. Kontak sering dan singkat.


2. Observasi tingkah laku yang terkait dengan halusinasi (verbal dan non
verbal).

3. Bantu mengenal halusinasinya dengan menanyakan apakah ada suara yang


didengar dan apa yang dikatakan oleh suara itu. Katakan bahwa perawat
percaya klien mendengar suara itu, tetapi perawat tidak. Katakan perawat
akan membantu.

4. Diskusi tentang situasi yang menimbulkan halusinasi, waktu, frekuensi


terjadinya halusinasi serta apa yang dirasakan saat terjadi halusinasi.

5. Dorong untuk mengungkapkan perasaan saat terjadi halusinasi.

2. Klien dapat mengontrol halusinasinya.

Tindakan :

1. Identifikasi bersama tentang cara tindakan jika terjadi halusinasi.


2. Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien dan cara baru untuk
mengontrol halusinasinya.

3. Bantu memilih dan melatih cara memutus halusinasi : bicara dengan orang
lain bila muncul halusinasi, melakukan kegiatan, mengatakan pada suara
tersebut “saya tidak mau dengar.”

4. Tanyakan hasil upaya yang telah dipilih/dilakukan.

5. Beri kesempatan melakukan cara yang telah dipilih dan beri pujian jika
berhasil.

6. Libatkan klien dalam TAK : stimulasi persepsi.

2. Klien dapat dukungan dari keluarga.


Tindakan :

1. Beri pendidikan kesehatan pada pertemuan keluarga tentang gejala, cara,


memutus halusinasi, cara merawat, informasi waktu follow up atau kapan
perlu mendapat bantuan.
2. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.

2. Klien dapat menggunakan obat dengan benar.

Tindakan :

1. Diskusikan tentang dosis, nama, frekuensi, efek dan efek samping minum
obat.
2. Bantu menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama pasien, obat,
dosis, cara, waktu).

3. Anjurkan membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.

4. Beri reinforcement positif klien minum obat yang benar.

Diagnosa 2: Perubahan sensori perseptual : halusinasi berhubungan dengan


menarik diri.

1. Tujuan Umum: Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal
2. Tujuan Khusus:

1. Klien dapat membina hubungan


saling percaya

Rasional : Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan


interaksi selanjutnya

Tindakan :

1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi


terapetutik

1. sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal

2. Perkenalkan diri dengan sopan

3. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien

4. Jelaskan tujuan pertemuan


5. Jujur dan menepati janji

6. Tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya

7. Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.

2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki

Rasional :

 Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas, kontrol diri atau
integritas ego diperlakukan sebagai dasar asuhan keperawatannya.
 Reinforcement positif akan meningkatkan harga diri klien

 Pujian yang realistik tidak menyebabkan klien melakukan kegiatan hanya karena
ingin mendapatkan pujian

Tindakan:

2.1. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien

2.1. Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi penilaian negatif

2.1. Utamakan memberikan pujian yang realistik

3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan

Rasional :

 Keterbukaan dan pengertian tentang kemampuan yang dimiliki adalah prasyarat


untuk berubah.
 Pengertian tentang kemampuan yang dimiliki diri memotivasi untuk tetap
mempertahankan penggunaannya

Tindakan:

1. Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama


sakit
2. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.
4. Klien dapat (menetapkan) merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki

Rasional :

 Membentuk individu yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri


 Klien perlu bertindak secara realistis dalam kehidupannya.

 Contoh peran yang dilihat klien akan memotivasi klien untuk melaksanakan
kegiatan

Tindakan:

1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari


sesuai kemampuan

 Kegiatan mandiri

 Kegiatan dengan bantuan sebagian

 Kegiatan yang membutuhkan bantuan total

1. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien

2. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan

5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya

Rasional :

 Memberikan kesempatan kepada klien mandiri dapat


meningkatkan motivasi dan harga diri klien
 Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien

 Memberikan kesempatan kepada klien ntk tetap melakukan


kegiatan yang bisa dilakukan

Tindakan:

1. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah


direncanakan

5.2. Beri pujian atas keberhasilan klien


5.3. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah

4. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada

Rasional:

 Mendorong keluarga untuk mampu merawat klien mandiri di rumah


 Support sistem keluarga akan sangat berpengaruh dalam mempercepat proses
penyembuhan klien.

 Meningkatkan peran serta keluarga dalam merawat klien di rumah.

Tindakan:

6.1 Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga
diri rendah

2. Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat

3. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah

DAFTAR PUSTAKA

1. Stuart GW, Sundeen, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC, 1995
2. Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC,
1999
3. Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo, 2003
4. Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung,
RSJP Bandung, 2000

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN


LUKA BAKAR
ASUHAN KEPERAWATAN

PADA pasien DENGAN LUKA BAKAR (COMBUSTIO)


Luka bakar dapat mengakibatkan masalah yang kompleks yang dapat meluas melebihi
kerusakan fisik yang terlihat pada jaringan yang terluka secara langsung. Masalah
kompleks ini mempengaruhi semua sistem tubuh dan beberapa keadaan yang mengancam
kehidupan. Dua puluh tahun lalu, seorang dengan luka bakar 50% dari luas permukaan
tubuh dan mengalami komplikasi dari luka dan pengobatan dapat terjadi gangguan
fungsional, hal ini mempunyai harapan hidup kurang dari 50%. Sekarang, seorang
dewasa dengan luas luka bakar 75% mempunyai harapan hidup 50%. dan bukan
merupakan hal yang luar biasa untuk memulangkanpasien dengan luka bakar 95% yang
diselamatkan. Pengurangan waktu penyembuhan, antisipasi dan penanganan secara dini
untuk mencegah komplikasi, pemeliharaan fungsi tubuh dalam perawatan luka dan tehnik
rehabilitasi yang lebih efektif semuanya dapat meningkatkan rata-rata harapan hidup pada
sejumlah klien dengan luka bakar serius.

Beberapa karakteristik luka bakar yang terjadi membutuhkan tindakan khusus yang
berbeda. Karakteristik ini meliputi luasnya, penyebab(etiologi) dan anatomi luka bakar.
Luka bakar yang melibatkan permukaan tubuh yang besar atau yang meluas ke jaringan
yang lebih dalam, memerlukan tindakan yang lebih intensif daripada luka bakar yang
lebih kecil dan superficial. Luka bakar yang disebabkan oleh cairan yang panas (scald
burn) mempunyai perbedaan prognosis dan komplikasi dari pada luka bakar yang sama
yang disebabkan oleh api atau paparan radiasi ionisasi. Luka bakar karena bahan kimia
memerlukan pengobatan yang berbeda dibandingkan karena sengatan listrik (elektrik)
atau persikan api. Luka bakar yang mengenai genetalia menyebabkan resiko nifeksi yang
lebih besar daripada di tempat lain dengan ukuran yang sama. Luka bakar pada kaki atau
tangan dapat mempengaruhi kemampuan fungsi kerja klien dan memerlukan tehnik
pengobatan yang berbeda dari lokasi pada tubuh yang lain. Pengetahuan umum perawat
tentang anatomi fisiologi kulit, patofisiologi luka bakar sangat diperlukan untuk
mengenal perbedaan dan derajat luka bakar tertentu dan berguna untuk mengantisipasi
harapan hidup serta terjadinya komplikasi multi organ yang menyertai.

Prognosis klien yang mengalami suatu luka bakar berhubungan langsung dengan lokasi
dan ukuran luka bakar. Faktor lain seperti umur, status kesehatan sebelumnya dan
inhalasi asap dapat mempengaruhi beratnya luka bakar dan pengaruh lain yang
menyertai. Klien luka bakar sering mengalami kejadian bersamaan yang merugikan,
seperti luka atau kematian anggota keluarga yang lain, kehilangan rumah dan lainnya.
Klien luka bakar harus dirujuk untuk mendapatkan fasilitas perawatan yang lebih baik
untuk menangani segera dan masalah jangka panjang yang menyertai pada luka bakar
tertentu.

Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia
dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Irna Bedah RSUD
Dr.Soetomo, 2001).

Etiologi

1. Luka Bakar Suhu Tinggi(Thermal Burn)

1. Gas

2. Cairan

3. Bahan padat (Solid)

2. Luka Bakar Bahan Kimia (hemical Burn)

3. Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical Burn)

4. Luka Bakar Radiasi (Radiasi Injury)

Fase Luka Bakar

1. Fase akut.

Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Secara umum pada fase ini, seorang penderita
akan berada dalam keadaan yang bersifat relatif life thretening. Dalam fase awal
penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), brething (mekanisme
bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gnagguan airway tidak hanya dapat terjadi segera
atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran
pernafasan akibat cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah
penyebab kematian utama penderiat pada fase akut.

Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera
termal yang berdampak sistemik. Problema sirkulasi yang berawal dengan kondisi syok
(terjadinya ketidakseimbangan antara paskan O2 dan tingkat kebutuhan respirasi sel dan
jaringan) yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik yang
masih ditingkahi denagn problema instabilitas sirkulasi.

2. Fase sub akut.


Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau
kehilangan jaringan akibat kontak denga sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan:

1. Proses inflamasi dan infeksi.


2. Problempenuutpan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak
berbaju epitel luas dan atau pada struktur atau organ – organ fungsional.

3. Keadaan hipermetabolisme.

3. Fase lanjut.

Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan
fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit
berupa parut yang hipertropik, kleoid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur.

Klasifikasi Luka Bakar

1. Dalamnya luka bakar.

Kedalaman Penyebab Penampilan Warna Perasaan

Ketebalan partial Kering tidak ada


superfisial Jilatan api, gelembung. Bertambah Nyeri
sinar ultra merah.
(tingkat I) violet Oedem minimal atau
(terbakar oleh tidak ada.
matahari).
Pucat bila ditekan
dengan ujung jari,
berisi kembali bila
tekanan dilepas.

Lebih dalam dari Kontak dengan Blister besar dan


ketebalan partial bahan air atau lembab yang Berbintik- Sangat
bahan padat. ukurannya bertambah bintik yang nyeri
kurang
besar.
(tingkat II) Jilatan api jelas, putih,
kepada Pucat bial ditekan coklat, pink,
 Superfisial pakaian. dengan ujung jari, bila daerah
 Dalam tekanan dilepas berisi merah
Jilatan kembali. coklat.
langsung
kimiawi.

Sinar ultra
violet.

Ketebalan Kontak dengan Kering disertai kulit Putih, Tidak


sepenuhnya bahan cair atau mengelupas. kering, sakit,
padat. hitam, sedikit
(tingkat III) Pembuluh darah seperti coklat tua. sakit.
Nyala api. arang terlihat dibawah
kulit yang mengelupas. Hitam. Rambut
Kimia. mudah
Gelembung jarang, Merah. lepas bila
Kontak dengan dindingnya sangat dicabut.
arus listrik. tipis, tidak membesar.

Tidak pucat bila


ditekan.

2. Luas luka bakar

Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal dengan nama rule
of nine atua rule of wallace yaitu:

1) Kepala dan leher : 9%

2) Lengan masing-masing 9% : 18%

3) Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36%

4) Tungkai maisng-masing 18% : 36%


5) Genetalia/perineum : 1%

Total : 100%

3. Berat ringannya luka bakar

Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain :

1. Persentasi area (Luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh.


2. Kedalaman luka bakar.

3. Anatomi lokasi luka bakar.

4. Umur klien.

5. Riwayat pengobatan yang lalu.

6. Trauma yang menyertai atau bersamaan.

American Burn Association membagi dalam :

1. Yang termasuk luka bakar ringan (minor) :


1. Tingkat II kurang dari 15% Total Body Surface Area pada orang dewasa
atau kurang dari 10% Total Body Surface Area pada anak-anak.

2. Tingkat III kurang dari 2% Total Body Surface Area yang tidak disertai
komplikasi.

2. Yang termasuk luka bakar sedang (moderate) :

1. Tingkat II 15% - 25% Total Body Surface Area pada orang dewasa atau
kurang dari 10% - 20% Total Body Surface Area pada anak-anak.

2. Tingkat III kurang dari 10% Total Body Surface Area yang tidak disertai
komplikasi.

3. Yang termasuk luka bakar kritis (mayor):

1. Tingkat II 32% Total Body Surface Area atau lebih pada orang dewasa
atau lebih dari 20% Total Body Surface Area pada anak-anak..

2. Tingkat III 10% atau lebih.

3. Luka bakar yang melibatkan muka, tangan, mata, telinga, kaki dan
perineum..
4. Luka bakar pada jalan pernafasan atau adanya komplikasi pernafasan.

5. Luka bakar sengatan listrik (elektrik).

6. Luka bakar yang disertai dengan masalah yang memperlemah daya tahan
tubuh seperti luka jaringan linak, fractur, trauma lain atau masalah
kesehatan sebelumnya..

American college of surgeon membagi dalam:

1. Parah – critical:
1. Tingkat II : 30% atau lebih.

2. Tingkat III : 10% atau lebih.

3. Tingkat III pada tangan, kaki dan wajah.

4. Dengan adanya komplikasi penafasan, jantung, fractura, soft tissue yang


luas.

2. Sedang – moderate:

a) Tingkat II : 15 – 30%

b) Tingkat III : 1 – 10%

3. Ringan – minor:

a) Tingkat II : kurang 15%

b) Tingkat III : kurang 1%

Patofisiologi (Hudak & Gallo; 1997)


Efek fisiologi yang merugikan pada luka bakar dapat ringan, pembentukan jaringan parut
lokal atau luka bakar yang berat yang berupa kematian. Pada luka bakar yang lebih besar
terjadi kecacatan. Setelah permulaan luka bakar dan akibat trauma kulit dapat
berkembang dan merusak berbagai organ. Perkembangan ini kompleks dan pada
beberapa kasus kejadiannya tak dapat dijelaskan. Yang penting besarnya perubahan
fisiologi yang disertai dengan luka bakar berkisar pada dua kejadian yang mendasari
yaitu :
1. Kerusakan langsung pada kulit dan gangguan fungsinya.

2. Stimulasi kompensasi reaksi pertahanan masif yang meliputi pengaktifan respon


keradangan dan respon stress sistem syaraf simpatis.

1. Kerusakan Kulit Dan Kehilangan Fungsi.

Tubuh mempunyai beberapa metode untuk mengkompensasi terhadap luasnya variasi


dalam temperatur eksternal. Sirkulasi darah bertindak menghasilkan dan menghantarkan
panas, penghantaran pasas yang efisien di bawah normal. Bila panas diberikan pada kulit
maka temperatur subdermal segera meningkat dengan cepat. Segera sumber panas
dipindah (diangkat), tubuh akan kembali normal dalam beberapa detik. Jika sumber panas
tidak segera dihilangkan atau diberikan rata-rata atau pada tingkat yang melebihi
kapasitas kulit untuk menghantarkannya, maka terjadilah kerusakan kulit. Paparan panas
yang relatif rendah yang lama atau paparan pendek temperaturnya yang lebih tinggi dapat
menyebabkan kerusakan kulit yang progresif pada tingkat yang lebih dalam. Kebanyakan
luka bakar pada ukuran yang berarti menyebabkan kerusakan sel melalui semua lapisan,
meskipun tidak sama pada semua area.

Ketebalan kulit yang terlibat tergantung pada kerusakan jaringan yang disebabkan oleh
panas. Panas yang kurang dalam waktu yang diperlukan untuk kerusakan pada daerah
tubuh dengan kulit tipis sebanding dengan daerah dimana kulit lebih tebal. Kulit yang
paling tebal adalah pada daerah belakang dan paha, dan yang paling tipis sekitar tangan
bagian medial, batang hidung dan wajah. Kulit umumnya lebih tipis pada anak-anak dan
orang tua dari pada dewasa pertengahan. Orang tua mempunyai penurunan lapisan
subkutan, kehilangan serat elastik dan pengurangan semua kemampuan untuk merespon
terhadap trauma.

2. Aktifitas Respon Kompensasi Terhadap Keradangan.

Beberapa luka jaringan yang diterima tubuh sebagai ancaman homeostasis yang normal
adalah respon pertahanan yang dirangsang sebagai sebagai kondisi dan kerusakan, urutan
respun aktual ini selalu sama. Besarnya respon tergantung pada intensitas dan lamanya
permulaam kerusakan. Satu hal yang penting untuk diingat dahwa respon keradangan
(inflamatory respon) merupakan mekanisme kompensasi yang segera membantu tubuh
bila invasi atau luka terjadi. Aksi-aksi ini merencanakan pertahanan lokal dan dalam
waktu yang relatif pendek. Bila aksi-aksi ini menyebar cepat dan menetap, maka akan
menyebabkan komplikasi fisiologis yang merugikan yang juga mempengaruhi pertahanan
homeostasis.

Respon terhadap keradangan pada luka terjadi secara primer pada tingkat vasculer.
Kerusakan jaringan dan makrofage dalam jaringan mengurangi kelenjar kimia tubuh
(histamin, bradikinin, serotonin dan vasoaktif-amin yang lain) yang menyebabkan dilatasi
pembuluh darah (vaso) dan meningkatkan permiabilitas kapiler. Bila kerusakan jaringan
bersifat luas, substansi ini disekresi dalam jumlah besar, diedarkan secara sistemik dan
menyebabkan perubahan vaskuler pada semua jaringan. perubahan vaskuler ini
bertanggungjawab terhadapmanifestasi klinik dini pembuluh darah (kardiovasculer) dan
komplikasi yang menyertai luka bakar. Substansi ini juga mempengaruhi darah dan
pembuluh darah, substansi kimiawi (chemotaksik) yang disertai oleh jaringan makrofage
yang mengikal leukosit khusus pada lokasi luka dan merubah sumsum tulang dan
kematangan leukosit. Perubahan ini segera menyeluruh dan lebih jauh mempengaruhi
fungsi kekebalan tubuh.

3. Aktifitas Respon Kompensasi Sistem Syaraf Simpatis.

Respon sistem syaraf simpatis dibangkitkan oleh pemisahan simpatis pada sistem syaraf
otonom pada hubungan sistem endokirn sebagai reaksi internal pada kondisi yang
mengancam kekacauan homeostasis internal. Reaksi ini kadang-kadang berbentuk gejala
adaptasi umum (general adaptif syndrom) atau reaksi bertempur dan lari (fight or flight)
karena mereka mempersiapkan tubuh untuk aktifitas yang mengijinkan perubahan pada
keadaan semula. Respon terhadap stress segera menimbulkan perubahan fisiologi
(adaptasi) yang merangsang atau menambah fungsi untuk keperluan bertempur atau lari
(fight or flight) atau menambah fungsi agar tidak segera menyebabkan fight or flight.

Perubahan rangsangan fisiologis meliputi peningkatan rata-rata dan kedalaman


pernafasan, peningkatan rata-rata denyut jantung, vasokunstriksi selektif, peningkatan
aliran darah otak, hati, muskuloskeletal dan miokardium, peningkatan metabolisme dan
pembentukan substansi energi tinggi dan penurunan persediaan glikogen dan lemak.
Perubahan fisiologis yang terhambat meliputi penurunan aliran darah ke kulit, ginjal dan
saluran pencernaan (traktus intestinal) serta penurunan pergerakan sistem pencernaan
(Gastrointestinal) dan sekresi. Respon ini berguna bagi tubuh untuk waktu yang pendek
dan membantu mempertahankan fungsi organ vital dalam kondisi yang merugikan atau
memperburuk keadaan. Bagaimanapun bila respon simpatis berlanjut untuk waktu yang
lama tanpa pengaruh dari luar, respon tubuh menjadi lebih tertekan dan menyebabkan
kondisi patologis menuju kehabisan sumber yang bersifat adaptasi.
Perubahan Fisiologis Pada Luka Bakar

Tingkatan hipovolemik Tingkatan diuretik

( s/d 48-72 jam pertama) (12 jam – 18/24 jam pertama)


Perubahan

Mekanisme Dampak dari Mekanisme Dampak dari

Pergeseran
cairan Vaskuler ke Hemokonsentras Interstitial ke Hemodilusi.
ekstraseluler. insterstitial. i oedem pada vaskuler.
lokasi luka
bakar.

Aliran darah
Fungsi renal. renal Oliguri. Peningkatan Diuresis.
berkurang aliran darah
karena renal karena
desakan desakan darah
darah turun meningkat.
dan CO
berkurang.

Na+
Kadar direabsorbsi Defisit sodium. Kehilangan Na+ Defisit sodium.
sodium/natrium oleh ginjal, melalui diuresis
. tapi (normal kembali
kehilangan setelah 1
Na+ melalui minggu).
eksudat dan
tertahan
dalam cairan
oedem.

K+ dilepas
Kadar sebagai Hiperkalemi K+ bergerak Hipokalemi.
akibat cidera
potassium. jarinagn sel- kembali ke
sel darah dalam sel, K+
merah, K+ terbuang melalui
berkurang diuresis (mulai
ekskresi 4-5 hari setelah
karena fungsi luka bakar).
renal
berkurang.

Kehilangan
Kadar protein. protein ke Hipoproteinemi Kehilangan Hipoproteinemia.
dalam a. protein waktu
jaringan berlangsung
akibat terus
kenaikan katabolisme.
permeabilitas.

Katabolisme
Keseimbangan jaringan, Keseimbangan Katabolisme Keseimbangan
nitrogen. kehilangan nitrogen negatif. jaringan, nitrogen negatif.
protein dalam kehilangan
jaringan, protein,
lebih banyak immobilitas.
kehilangan
dari masukan.

Metabolisme
Keseimbnagan anaerob Asidosis Kehilangan Asidosis
asam basa. karena metabolik. sodium metabolik.
perfusi bicarbonas
jarinagn melalui diuresis,
berkurang hipermetabolism
peningkatan e disertai
asam dari peningkatan
produk akhir, produk akhir
fungsi renal metabolisme.
berkurang
(menyebabka
n retensi
produk akhir
tertahan),
kehilangan
bikarbonas
serum.

Terjadi karena
Respon stres. Terjadi Aliran darah sifat cidera Stres karena
karena renal berkurang. berlangsung luka.
trauma, lama dan
peningkatan terancam
produksi psikologi
cortison. pribadi.

Terjadi
Eritrosit karena panas, Luka bakar Tidak terjadi Hemokonsentrasi
pecah termal. pada hari-hari .
menjadi pertama.
fragil.

Rangsangan
Lambung. Curling ulcer central di Akut dilatasi dan Peningkatan
(ulkus pada hipotalamus dan paralise usus. jumlah cortison.
gaster), peingkatan
perdarahan jumlah cortison.
lambung,
nyeri.

Peningkatan zat
Jantung. MDF Disfungsi MDF (miokard CO menurun.
meningkat 2x jantung. depresant factor)
lipat, sampai 26 unit,
merupakan bertanggung
glikoprotein jawab terhadap
yang toxic syok spetic.
yang
dihasilkan
oleh kulit
yang terbakar.

Indikasi Rawat Inap Luka Bakar

1. Luka bakar grade II:

1. Dewasa > 20%

2. Anak/orang tua > 15%

2. Luka bakar grade III.

3. Luka bakar dengan komplikasi: jantung, otak dll.

Penatalaksanaan

1. Resusitasi A, B, C.

1. Pernafasan:

1. Udara panas à mukosa rusak à oedem à obstruksi.

2. Efek toksik dari asap: HCN, NO2, HCL, Bensin à


iritasi à Bronkhokontriksi à obstruksi à gagal nafas.

2. Sirkulasi:

gangguan permeabilitas kapiler: cairan dari intra vaskuler pindah ke ekstra vaskuler à
hipovolemi relatif à syok à ATN à gagal ginjal.

2. Infus, kateter, CVP, oksigen, Laboratorium, kultur luka.


3. Resusitasi cairan à Baxter.

Dewasa : Baxter.

RL 4 cc x BB x % LB/24 jam.
Anak: jumlah resusitasi + kebutuhan faal:

RL : Dextran = 17 : 3

2 cc x BB x % LB.

Kebutuhan faal:

<>

1 – 3 tahun : BB x 75 cc

3 – 5 tahun : BB x 50 cc

½ à diberikan 8 jam pertama

½ à diberikan 16 jam berikutnya.

Hari kedua:

Dewasa : Dextran 500 – 2000 + D5% / albumin.

( 3-x) x 80 x BB gr/hr

100

(Albumin 25% = gram x 4 cc) à 1 cc/mnt.

Anak : Diberi sesuai kebutuhan faal.

4. Monitor urine dan CVP.


5. Topikal dan tutup luka

 Cuci luka dengan savlon : NaCl 0,9% ( 1 : 30 ) + buang jaringan nekrotik.

 Tulle.

 Silver sulfa diazin tebal.


 Tutup kassa tebal.

 Evaluasi 5 – 7 hari, kecuali balutan kotor.

6. Obat – obatan:

o Antibiotika : tidak diberikan bila pasien datang <>

o Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai hasil
kultur.

o Analgetik : kuat (morfin, petidine)

o Antasida : kalau perlu

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

1. Aktifitas/istirahat:

Tanda: Penurunan kekuatan, tahanan; keterbatasan rentang gerak pada area yang sakit;
gangguan massa otot, perubahan tonus.

2. Sirkulasi:

Tanda (dengan cedera luka bakar lebih dari 20% APTT): hipotensi (syok); penurunan
nadi perifer distal pada ekstremitas yang cedera; vasokontriksi perifer umum dengan
kehilangan nadi, kulit putih dan dingin (syok listrik); takikardia (syok/ansietas/nyeri);
disritmia (syok listrik); pembentukan oedema jaringan (semua luka bakar).

3. Integritas ego:

Gejala: masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan.

Tanda: ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.


4. Eliminasi:

Tanda: haluaran urine menurun/tak ada selama fase darurat; warna mungkin hitam
kemerahan bila terjadi mioglobin, mengindikasikan kerusakan otot dalam; diuresis
(setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam sirkulasi); penurunan bising
usus/tak ada; khususnya pada luka bakar kutaneus lebih besar dari 20% sebagai stres
penurunan motilitas/peristaltik gastrik.

5. Makanan/cairan:

Tanda: oedema jaringan umum; anoreksia; mual/muntah.

6. Neurosensori:

Gejala: area batas; kesemutan.

Tanda: perubahan orientasi; afek, perilaku; penurunan refleks tendon dalam (RTD) pada
cedera ekstremitas; aktifitas kejang (syok listrik); laserasi korneal; kerusakan retinal;
penurunan ketajaman penglihatan (syok listrik); ruptur membran timpanik (syok listrik);
paralisis (cedera listrik pada aliran saraf).

7. Nyeri/kenyamanan:

Gejala: Berbagai nyeri; contoh luka bakar derajat pertama secara eksteren sensitif untuk
disentuh; ditekan; gerakan udara dan perubahan suhu; luka bakar ketebalan sedang
derajat kedua sangat nyeri; smentara respon pada luka bakar ketebalan derajat kedua
tergantung pada keutuhan ujung saraf; luka bakar derajat tiga tidak nyeri.

8. Pernafasan:

Gejala: terkurung dalam ruang tertutup; terpajan lama (kemungkinan cedera inhalasi).

Tanda: serak; batuk mengii; partikel karbon dalam sputum; ketidakmampuan menelan
sekresi oral dan sianosis; indikasi cedera inhalasi.
Pengembangan torak mungkin terbatas pada adanya luka bakar lingkar dada; jalan nafas
atau stridor/mengii (obstruksi sehubungan dengan laringospasme, oedema laringeal);
bunyi nafas: gemericik (oedema paru); stridor (oedema laringeal); sekret jalan nafas
dalam (ronkhi).

9. Keamanan:

Tanda:

Kulit umum: destruksi jarinagn dalam mungkin tidak terbukti selama 3-5 hari
sehubungan dengan proses trobus mikrovaskuler pada beberapa luka.

Area kulit tak terbakar mungkin dingin/lembab, pucat, dengan pengisian kapiler lambat
pada adanya penurunan curah jantung sehubungan dengan kehilangan cairan/status syok.

Cedera api: terdapat area cedera campuran dalam sehubunagn dengan variase intensitas
panas yang dihasilkan bekuan terbakar. Bulu hidung gosong; mukosa hidung dan mulut
kering; merah; lepuh pada faring posterior;oedema lingkar mulut dan atau lingkar nasal.

Cedera kimia: tampak luka bervariasi sesuai agen penyebab.

Kulit mungkin coklat kekuningan dengan tekstur seprti kulit samak halus; lepuh; ulkus;
nekrosis; atau jarinagn parut tebal. Cedera secara mum ebih dalam dari tampaknya secara
perkutan dan kerusakan jaringan dapat berlanjut sampai 72 jam setelah cedera.

Cedera listrik: cedera kutaneus eksternal biasanya lebih sedikit di bawah nekrosis.
Penampilan luka bervariasi dapat meliputi luka aliran masuk/keluar (eksplosif), luka
bakar dari gerakan aliran pada proksimal tubuh tertutup dan luka bakar termal
sehubungan dengan pakaian terbakar.

Adanya fraktur/dislokasi (jatuh, kecelakaan sepeda motor, kontraksi otot tetanik


sehubungan dengan syok listrik).
10. Pemeriksaan diagnostik:
1. LED: mengkaji hemokonsentrasi.

2. Elektrolit serum mendeteksi ketidakseimbangan cairan dan biokimia. Ini


terutama penting untuk memeriksa kalium terdapat peningkatan dalam 24
jam pertama karena peningkatan kalium dapat menyebabkan henti
jantung.

3. Gas-gas darah arteri (GDA) dan sinar X dada mengkaji fungsi pulmonal,
khususnya pada cedera inhalasi asap.

4. BUN dan kreatinin mengkaji fungsi ginjal.

5. Urinalisis menunjukkan mioglobin dan hemokromogen menandakan


kerusakan otot pada luka bakar ketebalan penuh luas.

6. Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap.

7. Koagulasi memeriksa faktor-faktor pembekuan yang dapat menurun pada


luka bakar masif.

8. Kadar karbon monoksida serum meningkat pada cedera inhalasi asap.

2. Diagnosa Keperawatan

Sebagian klien luka bakar dapat terjadi Diagnosa Utama dan Diagnosa Tambahan selama
menderita luka bakar (common and additional). Diagnosis yang lazim terjadi pada klien
yang dirawat di rumah sakit yang menderila luka bakar lebih dari 25 % Total Body
Surface Area

1. Penurunan Kardiak Output berhubungan dengan peningkatan permiabilitas


kapiler.
2. Defisit Volume Cairan berhubungan dengan ketidak seimbangan elektrolit dan
kehilangan volume plasma dari pembuluh darah.

3. Perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Penurunan Kardiak Output dan


edema.
4. Ketidakefektifan Pola Nafas berhubungan dengan kesukaran bernafas
(Respiratory Distress) dari trauma inhalasi, sumbatan (Obstruksi) jalan nafas dan
pneumoni.

5. Perubahan Rasa Nyaman : Nyeri berhubungan dengan paparan ujung syaraf pada
kulit yang rusak.

6. Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan luka bakar.

7. Potensial Infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.

8. Perubahan Nutrisi : Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh berhubungan dengan


peningkatan rata-rata metabolisme.

9. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan luka bakar, scar dan kontraktur.

10. Gangguan Gambaran Tubuh (Body Image) berhubungan dengan perubahan


penampilan fisik

Marilynn E. Doenges dalam Nursing care plans, Guidelines for planning and
documenting patient care mengemukakan beberapa Diagnosa keperawatan sebagai
berikut :

1. Resiko tinggi bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan


obtruksi trakeabronkial;edema mukosa dan hilangnya kerja silia. Luka
bakar daerah leher; kompresi jalan nafas thorak dan dada atau keterdatasan
pengembangan dada.
2. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan Kehilangan
cairan melalui rute abnormal. Peningkatan kebutuhan : status
hypermetabolik, ketidak cukupan pemasukan. Kehilangan perdarahan.

3. Resiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan cedera inhalasi


asap atau sindrom kompartemen torakal sekunder terhadap luka bakar
sirkumfisial dari dada atau leher.

4. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan Pertahanan primer tidak


adekuat; kerusakan perlinduingan kulit; jaringan traumatik. Pertahanan
sekunder tidak adekuat; penurunan Hb, penekanan respons inflamasi.

5. Nyeri berhubungan dengan Kerusakan kulit/jaringan; pembentukan


edema. Manifulasi jaringan cidera contoh debridemen luka.
6. Resiko tinggi kerusakan perfusi jaringan, perubahan/disfungsi
neurovaskuler perifer berhubungan dengan Penurunan/interupsi aliran
darah arterial/vena, contoh luka bakar seputar ekstremitas dengan edema.

7. Perubahan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


status hipermetabolik (sebanyak 50 % - 60% lebih besar dari proporsi
normal pada cedera berat) atau katabolisme protein.

8. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler,


nyeri/tak nyaman, penurunan kekuatan dan tahanan.

9. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan Trauma : kerusakan


permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit (parsial/luka bakar dalam).

10. Gangguan citra tubuh (penampilan peran) berhubungan dengan krisis


situasi; kejadian traumatik peran klien tergantung, kecacatan dan nyeri.

11. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan


pengobatan berhubungan dengan Salah interpretasi informasi Tidak
mengenal sumber informasi.

Rencana Intervensi

Rencana Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan
Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil

Bersihan jalan Kaji refleks Dugaan cedera


Resiko bersihan nafas tetap gangguan/menelan; inhalasi
jalan nafas tidak efektif. perhatikan pengaliran air
efektif liur, ketidakmampuan
berhubungan Kriteria Hasil : menelan, serak, batuk
dengan obstruksi Bunyi nafas mengi.
trakheobronkhial; vesikuler, RR
oedema mukosa; dalam batas Awasi frekuensi, irama, Takipnea, penggunaan
kompressi jalan normal, bebas kedalaman pernafasan ; otot bantu, sianosis
nafas . dispnoe/cyanosis. perhatikan adanya dan perubahan
pucat/sianosis dan sputum menunjukkan
sputum mengandung terjadi distress
karbon atau merah muda. pernafasan/edema
paru dan kebutuhan
intervensi medik.

Auskultasi paru,
perhatikan stridor,
mengi/gemericik, Obstruksi jalan
penurunan bunyi nafas, nafas/distres
batuk rejan. pernafasan dapat
terjadi sangat cepat
atau lambat contoh
sampai 48 jam setelah
Perhatikan adanya pucat terbakar.
atau warna buah ceri
merah pada kulit yang
cidera
Dugaan adanya
Tinggikan kepala tempat hipoksemia atau
tidur. Hindari karbon monoksida.
penggunaan bantal di
bawah kepala, sesuai Meningkatkan
indikasi ekspansi paru
optimal/fungsi
pernafasan.
Bilakepala/leher
terbakar, bantal dapat
menghambat
Dorong batuk/latihan pernafasan,
nafas dalam dan menyebabkan
perubahan posisi sering. nekrosis pada
kartilago telinga yang
Hisapan (bila perlu) pada terbakar dan
perawatan ekstrem, meningkatkan
pertahankan teknik steril. konstriktur leher.

Meningkatkan
ekspansi paru,
memobilisasi dan
drainase sekret.
Tingkatkan istirahat
suara tetapi kaji Membantu
kemampuan untuk bicara mempertahankan
dan/atau menelan sekret jalan nafas bersih,
oral secara periodik. tetapi harus dilakukan
kewaspadaan karena
edema mukosa dan
inflamasi. Teknik
Selidiki perubahan steril menurunkan
perilaku/mental contoh risiko infeksi.
gelisah, agitasi, kacau
mental. Peningkatan
sekret/penurunan
kemampuan untuk
menelan
Awasi 24 jam menunjukkan
keseimbngan cairan, peningkatan edema
perhatikan trakeal dan dapat
variasi/perubahan. mengindikasikan
kebutuhan untuk
intubasi.

Meskipun sering
berhubungan dengan
nyeri, perubahan
kesadaran dapat
Lakukan program menunjukkan
kolaborasi meliputi : terjadinya/memburuk
nya hipoksia.
Berikan pelembab O2
melalui cara yang tepat, Perpindahan cairan
contoh masker wajah atau kelebihan
penggantian cairan
Awasi/gambaran seri meningkatkan risiko
GDA edema paru. Catatan :
Cedera inhalasi
meningkatkan
kebutuhan cairan
sebanyak 35% atau
lebih karena edema.

O2 memperbaiki
hipoksemia/asidosis.
Pelembaban
Kaji ulang seri rontgen menurunkan
pengeringan saluran
pernafasan dan
menurunkan
viskositas sputum.

Berikan/bantu fisioterapi Data dasar penting


dada/spirometri intensif. untuk pengkajian
lanjut status
pernafasan dan
pedoman untuk
pengobatan. PaO2
kurang dari 50,
PaCO2 lebih besar
dari 50 dan penurunan
Siapkan/bantu intubasi pH menunjukkan
atau trakeostomi sesuai inhalasi asap dan
indikasi. terjadinya
pneumonia/SDPD.

Perubahan
menunjukkan
atelektasis/edema
paru tak dapat terjadi
selama 2 – 3 hari
setelah terbakar

Fisioterapi dada
mengalirkan area
dependen paru,
sementara spirometri
intensif dilakukan
untuk memperbaiki
ekspansi paru,
sehingga
meningkatkan fungsi
pernafasan dan
menurunkan
atelektasis.

Intubasi/dukungan
mekanikal dibutuhkan
bila jalan nafas edema
atau luka bakar
mempengaruhi fungsi
paru/oksegenasi.

Pasien dapat Awasi tanda vital, CVP. Memberikan


Resiko tinggi mendemostrasika Perhatikan kapiler dan pedoman untuk
kekurangan n status cairan kekuatan nadi perifer. penggantian cairan
volume cairan dan biokimia dan mengkaji respon
berhubungan membaik. kardiovaskuler.
dengan
Kehilangan Kriteria evaluasi: Awasi pengeluaran urine
cairan melalui tak ada dan berat jenisnya.
rute abnormal. manifestasi Observasi warna urine Penggantian cairan
Peningkatan dehidrasi, dan hemates sesuai dititrasi untuk
kebutuhan : status resolusi oedema, indikasi. meyakinkan rata-2
hypermetabolik, elektrolit serum pengeluaran urine 30-
ketidak cukupan dalam batas 50 cc/jam pada orang
pemasukan. normal, haluaran dewasa. Urine
Kehilangan urine di atas 30 berwarna merah pada
perdarahan. ml/jam. kerusakan otot masif
Perkirakan drainase luka karena adanyadarah
dan kehilangan yang dan keluarnya
tampak mioglobin.

Peningkatan
permeabilitas kapiler,
perpindahan protein,
proses inflamasi dan
Timbang berat badan kehilangan cairan
setiap hari melalui evaporasi
mempengaruhi
volume sirkulasi dan
pengeluaran urine.
Ukur lingkar ekstremitas
yang terbakar tiap hari Penggantian cairan
sesuai indikasi tergantung pada berat
badan pertama dan
perubahan selanjutnya

Selidiki perubahan Memperkirakan


mental luasnya
oedema/perpindahan
cairan yang
mempengaruhi
volume sirkulasi dan
pengeluaran urine.
Observasi distensi
abdomen,hematomesis,fe Penyimpangan pada
ces hitam. tingkat kesadaran
dapat
Hemates drainase NG mengindikasikan
dan feces secara ketidak adequatnya
periodik. volume
sirkulasi/penurunan
Lakukan program perfusi serebral
kolaborasi meliputi :
Stres (Curling) ulcus
Pasang / pertahankan terjadi pada setengah
kateter urine dari semua pasien
yang luka bakar
berat(dapat terjadi
pada awal minggu
Pasang/ pertahankan pertama).
ukuran kateter IV.

Berikan penggantian
cairan IV yang dihitung,
elektrolit, plasma,
albumin. Observasi ketat fungsi
ginjal dan mencegah
stasis atau refleks
urine.
Awasi hasil pemeriksaan
laboratorium ( Hb, Memungkinkan infus
elektrolit, natrium ). cairan cepat.

Resusitasi cairan
menggantikan
Berikan obat sesuai kehilangan
idikasi : cairan/elektrolit dan
membantu mencegah
 Diuretika komplikasi.
contohnya
Manitol Mengidentifikasi
(Osmitrol) kehilangan
darah/kerusakan SDM
dan kebutuhan
penggantian cairan
dan elektrolit.

 Kalium

Meningkatkan
pengeluaran urine dan
 Antasida membersihkan
tubulus dari debris
/mencegah nekrosis.

Penggantian lanjut
karena kehilangan
Pantau: urine dalam jumlah
besar
 Tanda-tanda vital
setiap jam selama Menurunkan
periode darurat, keasaman gastrik
setiap 2 jam sedangkan inhibitor
selama periode histamin menurunkan
akut, dan setiap 4 produksi asam
jam selama hidroklorida untuk
periode menurunkan produksi
rehabilitasi. asam hidroklorida
 Warna urine. untuk menurunkan
iritasi gaster.
 Masukan dan
haluaran setiap Mengidentifikasi
jam selama penyimpangan
periode darurat, indikasi kemajuan
setiap 4 jam atau penyimpangan
selama periode dari hasil yang
akut, setiap 8 jam diharapkan. Periode
selama periode darurat (awal 48 jam
rehabilitasi. pasca luka bakar)
adalah periode kritis
 Hasil-hasil JDL
dan laporan yang ditandai oleh
elektrolit. hipovolemia yang
mencetuskan individu
 Berat badan pada perfusi ginjal
setiap hari. dan jarinagn tak
adekuat.
 CVP (tekanan
vena sentral)
setiap jam bial
diperlukan.

 Status umum
setiap 8 jam.

Pada penerimaan rumah


sakit, lepaskan semua
pakaian dan perhiasan
dari area luka bakar.

Mulai terapi IV yang


ditentukan dengan jarum
lubang besar (18G),
lebih disukai melalui
kulit yang telah terluka Inspeksi adekuat dari
bakar. Bila pasien luka bakar.
menaglami luka bakar
luas dan menunjukkan
gejala-gejala syok
hipovolemik, bantu
dokter dengan
pemasangan kateter vena Penggantian cairan
sentral untuk cepat penting untuk
pemantauan CVP. mencegah gagal
ginjal. Kehilangan
Beritahu dokter bila: cairan bermakna
haluaran urine <> terjadi melalui
jarinagn yang terbakar
dengan luka bakar
luas. Pengukuran
Konsultasi doketr bila tekanan vena sentral
manifestasi kelebihan memberikan data
cairan terjadi. tentang status volume
cairan intravaskular.

Tes guaiak muntahan


warna kopi atau feses ter
hitam. Laporkan temuan- Temuan-temuan ini
temuan positif. mennadakan
hipovolemia dan
perlunya peningkatan
cairan. Pada lka bakar
Berikan antasida yag luas, perpindahan
diresepkan atau cairan dari ruang
antagonis reseptor intravaskular ke ruang
histamin seperti interstitial
simetidin menimbukan
hipovolemi.

Pasien rentan pada


kelebihan beban
volume intravaskular
selama periode
pemulihan bila
perpindahan cairan
dari kompartemen
interstitial pada
kompartemen
intravaskuler.

Temuan-temuan
guaiak positif
ennandakan adanya
perdarahan GI.
Perdarahan GI
menandakan adaya
stres ulkus
(Curling’s).

Mencegah perdarahan
GI. Luka bakar luas
mencetuskan pasien
pada ulkus stres yang
disebabkan
peningkatan sekresi
hormon-hormon
adrenal dan asam HCl
oleh lambung.

Pasien dapat Pantau laporan GDA dan Mengidentifikasi


Resiko kerusakan mendemonstrasik kadar karbon monoksida kemajuan dan
pertukaran gas an oksigenasi serum. penyimpangan dari
berhubungan adekuat. hasil yang
dengan cedera diharapkan. Inhalasi
inhalasi asap atau Kriteroia asap dapat merusak
sindrom evaluasi: RR 12- alveoli,
kompartemen 24 x/mnt, warna mempengaruhi
torakal sekunder kulit normal, Beriakan suplemen pertukaran gas pada
terhadap luka GDA dalam oksigen pada tingkat membran kapiler
bakar renatng normal, yang ditentukan. Pasang alveoli.
sirkumfisial dari bunyi nafas atau bantu dengan selang
dada atau leher. bersih, tak ada endotrakeal dan Suplemen oksigen
kesulitan temaptkan pasien pada meningkatkan jumlah
bernafas. ventilator mekanis sesuai oksigen yang tersedia
pesanan bila terjadi untuk jaringan.
insufisiensi pernafasan Ventilasi mekanik
(dibuktikan dnegna diperlukan untuk
hipoksia, hiperkapnia, pernafasan dukungan
rales, takipnea dan sampai pasie dapat
perubahan sensorium). dilakukan secara
mandiri.
Anjurkan pernafasan
dalam dengan
penggunaan spirometri
insentif setiap 2 jam
selama tirah baring.
Pernafasan dalam
Pertahankan posisi semi mengembangkan
fowler, bila hipotensi tak alveoli, menurunkan
ada. resiko atelektasis.

Untuk luka bakar sekitar Memudahkan


torakal, beritahu dokter ventilasi dengan
bila terjadi dispnea menurunkan tekanan
disertai dengan takipnea. abdomen terhadap
Siapkan pasien untuk diafragma.
pembedahan eskarotomi
sesuai pesanan.

Luka bakar sekitar


torakal dapat
membatasi ekspansi
adda. Mengupas kulit
(eskarotomi)
memungkinkan
ekspansi dada.

Resiko tinggi Pasien bebas dari Pantau:


infeksi infeksi.
berhubungan  Penampilan luka Mengidentifikasi
dengan Kriteria evaluasi: bakar (area luka indikasi-indikasi
Pertahanan tak ada demam, bakar, sisi donor kemajuan atau
primer tidak pembentukan dan status balutan penyimapngan dari
adekuat; jaringan di atas sisi tandur hasil yang
kerusakan granulasi baik. bial tandur kulit diharapkan.
perlinduingan dilakukan) setiap
kulit; jaringan 8 jam.
traumatik.  Suhu setiap 4
Pertahanan jam.
sekunder tidak
adekuat;  Jumlah makanan
penurunan Hb, yang dikonsumsi
penekanan setiap kali
respons inflamasi makan.

Bersihkan area luka


bakar setiap hari dan Pembersihan dan
lepaskan jarinagn pelepasan jaringan
nekrotik (debridemen) nekrotik
sesuai pesanan. Berikan meningkatkan
mandi kolam sesuai pembentukan
pesanan, granulasi.
implementasikan
perawatan yang
ditentukan untuk sisi
donor, yang dapat
ditutup dengan balutan
vaseline atau op site.

Lepaskan krim lama dari


luka sebelum pemberian
krim baru. Gunakan Antimikroba topikal
sarung tangan steril dan membantu mencegah
beriakn krim antibiotika infeksi. Mengikuti
topikal yang diresepkan prinsip aseptik
pada area luka bakar melindungi pasien
dengan ujung jari. dari infeksi. Kulit
Berikan krim secara yang gundul menjadi
menyeluruh di atas luka. media yang baik
untuk kultur
Beritahu dokter bila pertumbuhan baketri.
demam drainase purulen
atau bau busuk dari area
luka bakar, sisi donor
atau balutan sisi tandur. Temuan-temuan ini
Dapatkan kultur luka dan mennadakan infeksi.
berikan antibiotika IV Kultur membantu
sesuai ketentuan. mengidentifikasi
patogen penyebab
sehingga terapi
antibiotika yang tepat
Tempatkan pasien pada dapat diresepkan.
ruangan khusus dan Karena balutan siis
lakukan kewaspadaan tandur hanya diganti
untuk luka bakar luas setiap 5-10 hari, sisi
yang mengenai area luas ini memberiakn media
tubuh. Gunakan linen kultur untuk
tempat tidur steril, pertumbuhan bakteri.
handuk dan skort untuk
pasien. Gunakan skort Kulit adalah lapisan
steril, sarung tangan dan pertama tubuh untuk
penutup kepala dengan pertahanan terhadap
masker bila memberikan infeksi. Teknik steril
perawatan pada pasien. dan tindakan
Tempatkan radio atau perawatan
televisis pada ruangan perlindungan
pasien untuk lainmelindungi pasien
menghilangkan terhadap infeksi.
kebosanan. Kurangnya berbagai
rangsang ekstrenal
Bila riwayat imunisasi dan kebebasan
tak adekuat, berikan bergerak mencetuskan
globulin imun tetanus pasien pada
manusia (hyper-tet) kebosanan.
sesuai pesanan.

Mulai rujukan pada ahli


diet, beriakn protein
tinggi, diet tinggi kalori.
Berikan suplemen nutrisi Melindungi terhadap
seperti ensure atau tetanus.
sustacal dengan atau
antara makan bila
masukan makanan
kurang dari 50%.
Anjurkan NPT atau
makanan enteral bial Ahli diet adalah
pasien tak dapat makan spesialis nutrisi yang
per oral. dapat mengevaluasi
paling baik status
nutrisi pasien dan
merencanakan diet
untuk emmenuhi
kebuuthan nutrisi
penderita. Nutrisi
adekuat memabntu
penyembuhan luka
dan memenuhi
kebutuhan energi.

Pasien dapat Berikan anlgesik Analgesik narkotik


Nyeri mendemonstrasik narkotik yang diresepkan diperlukan utnuk
berhubungan an hilang dari prn dan sedikitnya 30 memblok jaras nyeri
dengan ketidaknyamanan menit sebelum prosedur dengan nyeri berat.
Kerusakan . perawatan luka. Evaluasi Absorpsi obat IM
kulit/jaringan; keefektifannya. Anjurkan buruk pada pasien
pembentukan Kriteria evaluasi: analgesik IV bila luka dengan luka bakar
edema. menyangkal bakar luas. luas yang disebabkan
Manipulasi nyeri, oleh perpindahan
jaringan cidera melaporkan interstitial berkenaan
contoh perasaan dnegan peningkatan
debridemen luka. nyaman, ekspresi Pertahankan pintu kamar permeabilitas kapiler.
wajah dan postur tertutup, tingkatkan suhu
tubuh rileks. ruangan dan berikan Panas dan air hilang
selimut ekstra untuk melalui jaringan luka
memberikan kehangatan. bakar, menyebabkan
hipoetrmia. Tindakan
eksternal ini
membantu
Berikan ayunan di atas menghemat
temapt tidur bila kehilangan panas.
diperlukan.
Menururnkan neyri
dengan
mempertahankan
berat badan jauh dari
linen temapat tidur
Bantu dengan terhadap luka dan
pengubahan posisi setiap menuurnkan
2 jam bila diperlukan. pemajanan ujung
Dapatkan bantuan saraf pada aliran
tambahan sesuai udara.
kebutuhan, khususnya
bila pasien tak dapat Menghilangkan
membantu membalikkan tekanan pada tonjolan
badan sendiri. tulang dependen.
Dukungan adekuat
pada luka bakar
selama gerakan
membantu
meinimalkan
ketidaknyamanan.

Pasien Untuk luka bakar yang Mengidentifikasi


Resiko tinggi menunjukkan mengitari ekstermitas indikasi-indikasi
kerusakan perfusi sirkulasi tetap atau luka bakar listrik, kemajuan atau
jaringan, adekuat. pantau status penyimpangan dari
perubahan/disfun neurovaskular dari hasil yang
gsi neurovaskuler Kriteria evaluasi: ekstermitas setaip 2 jam. diharapkan.
perifer warna kulit
berhubungan normal, Pertahankan ekstermitas
dengan menyangkal bengkak ditinggikan.
Penurunan/interu kebas dan Meningkatkan aliran
psi aliran darah kesemutan, nadi balik vena dan
arterial/vena, perifer dapat menurunkan
contoh luka bakar diraba. Beritahu dokter dengan pembengkakan.
seputar segera bila terjadi nadi
ekstremitas berkurang, pengisian
dengan edema. kapiler buruk, atau
penurunan sensasi. Temuan-temuan ini
Siapkan untuk menandakan
pembedahan eskarotomi keruskana sirkualsi
sesuai pesanan. distal. Dokter dapat
mengkaji tekanan
jaringan untuk
emnentukan
kebutuhan terhadap
intervensi bedah.
Eskarotomi (mengikis
pada eskar) atau
fasiotomi mungkin
diperlukan untuk
memperbaiki sirkulasi
adekuat.

Kerusakan Memumjukkan Kaji/catat ukuran, warna, Memberikan


integritas kulit regenerasi kedalaman luka, informasi dasar
b/d kerusakan jaringan perhatikan jaringan tentang kebutuhan
permukaan kulit nekrotik dan kondisi penanaman kulit dan
sekunder Kriteria hasil: sekitar luka. kemungkinan
destruksi lapisan Mencapai petunjuk tentang
kulit. penyembuhan sirkulasi pada aera
tepat waktu pada graft.
area luka bakar. Lakukan perawatan luka
bakar yang tepat dan
tindakan kontrol infeksi.
Menyiapkan jaringan
untuk penanaman dan
menurunkan resiko
Pertahankan penutupan infeksi/kegagalan
luka sesuai indikasi. kulit.

Kain nilon/membran
silikon mengandung
kolagen porcine
peptida yang melekat
Tinggikan area graft bila pada permukaan luka
mungkin/tepat. sampai lepasnya atau
Pertahankan posisi yang mengelupas secara
diinginkan dan spontan kulit
imobilisasi area bila
diindikasikan. repitelisasi.

Menurunkan
pembengkakan
Pertahankan balutan /membatasi resiko
diatas area graft baru pemisahan graft.
dan/atau sisi donor Gerakan jaringan
sesuai indikasi. dibawah graft dapat
mengubah posisi yang
mempengaruhi
penyembuhan
Cuci sisi dengan sabun optimal.
ringan, cuci, dan
minyaki dengan krim, Area mungkin
beberapa waktu dalam ditutupi oleh bahan
sehari, setelah balutan dengan permukaan
dilepas dan tembus pandang tak
penyembuhan selesai. reaktif.

Lakukan program
kolaborasi :
Kulit graft baru dan
- Siapkan / bantu sisi donor yang
prosedur bedah/balutan sembuh memerlukan
biologis. perawatan khusus
untuk
mempertahankan
kelenturan.

Graft kulit diambil


dari kulit orang itu
sendiri/orang lain
untuk penutupan
sementara pada luka
bakar luas sampai
kulit orang itu siap
ditanam.
aftar pustaka

Brunner and suddart. (1988). Textbook of Medical Surgical Nursing. Sixth Edition. J.B.
Lippincott Campany. Philadelpia. Hal. 1293 – 1328.

Carolyn, M.H. et. al. (1990). Critical Care Nursing. Fifth Edition. J.B. Lippincott
Campany. Philadelpia. Hal. 752 – 779.

Carpenito,J,L. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2


(terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Djohansjah, M. (1991). Pengelolaan Luka Bakar. Airlangga University Press. Surabaya.

Doenges M.E. (1989). Nursing Care Plan. Guidlines for Planning Patient Care (2 nd
ed ). F.A. Davis Company. Philadelpia.

Donna D.Ignatavicius dan Michael, J. Bayne. (1991). Medical Surgical Nursing. A


Nursing Process Approach. W. B. Saunders Company. Philadelphia. Hal. 357 – 401.

Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. volume 2,


(terjemahan). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Goodner, Brenda & Roth, S.L. (1995). Panduan Tindakan Keperawatan Klinik
Praktis. Alih bahasa Ni Luh G. Yasmin Asih. PT EGC. Jakarta.
Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku
Kedoketran EGC. Jakarta

Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Volume I. Penerbit
Buku Kedoketran EGC. Jakarta.

Instalasi Rawat Inap Bedah RSUD Dr. Soetomo Surabaya. (2001). Pendidikan
Keperawatan Berkelanjutan (PKB V) Tema: Asuhan Keperawatan Luka Bakar
Secara Paripurna. Instalasi Rawat Inap Bedah RSUD Dr. Soetomo. Surabaya.

Jane, B. (1993). Accident and Emergency Nursing. Balck wellScientific Peblications.


London.

Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan


Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.

Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Penerbit Buku
Kedoketran EGC. Jakarta.

R. Sjamsuhidajat, Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Senat Mahasiswa FK Unair. (1996). Diktat Kuliah Ilmu Bedah 1. Surabaya.

Sylvia A. Price. (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4


Buku 2. Penerbit Buku Kedokteran Egc, Jakarta
ASKEP HEPATITIS
HEPATITIS

1. DEFINISI

Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat disebabkan oleh
infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta bahan-bahan kimia.
(Sujono Hadi, 1999).

Hepatitis virus merupakan infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan klinis,
biokimia serta seluler yang khas (Smeltzer, 2001)

2. ETIOLOGI

1. Virus

Type A Type B Type C Type D Type E

Parenteral
Metode Fekal- Parenteral Parenteral perinatal, Fekal-
transmisi oral seksual, jarang memerlukan oral
melalui perinatal seksual, koinfeksi dengan
orang orang ke type B
lain orang,
perinatal

Peningkatan
Keparah- Tak Parah Menyebar insiden kronis Sama
an ikterik luas, dapat dan gagal hepar dengan
dan berkem-bang akut D
asimto- sampai kronis
matik

Sumber Darah, Darah, saliva, Terutama Melalui darah Darah,


virus feces, semen, melalui darah feces,
saliva sekresi vagina saliva

2. Alkohol

Menyebabkan alkohol hepatitis dan selanjutnya menjadi alkohol sirosis.

3. Obat-obatan

Menyebabkan toksik untuk hati, sehingga sering disebut hepatitis toksik dan hepatitis
akut.

3. TANDA DAN GEJALA

1. Masa tunas

Virus A : 15-45 hari (rata-rata 25 hari)

Virus B : 40-180 hari (rata-rata 75 hari)

Virus non A dan non B : 15-150 hari (rata-rata 50 hari)

2. Fase Pre Ikterik

Keluhan umumnya tidak khas. Keluhan yang disebabkan infeksi virus berlangsung
sekitar 2-7 hari. Nafsu makan menurun (pertama kali timbul), nausea, vomitus, perut
kanan atas (ulu hati) dirasakan sakit. Seluruh badan pegal-pegal terutama di pinggang,
bahu dan malaise, lekas capek terutama sore hari, suhu badan meningkat sekitar 39oC
berlangsung selama 2-5 hari, pusing, nyeri persendian. Keluhan gatal-gatal mencolok
pada hepatitis virus B.

3. Fase Ikterik

Urine berwarna seperti teh pekat, tinja berwarna pucat, penurunan suhu badan disertai
dengan bradikardi. Ikterus pada kulit dan sklera yang terus meningkat pada minggu I,
kemudian menetap dan baru berkurang setelah 10-14 hari. Kadang-kadang disertai gatal-
gatal pasa seluruh badan, rasa lesu dan lekas capai dirasakan selama 1-2 minggu.

4. Fase penyembuhan
Dimulai saat menghilangnya tanda-tanda ikterus, rasa mual, rasa sakit di ulu hati, disusul
bertambahnya nafsu makan, rata-rata 14-15 hari setelah timbulnya masa ikterik. Warna
urine tampak normal, penderita mulai merasa segar kembali, namun lemas dan lekas
capai.

4. PATOFOSIOLOGI

Patways terlampir.

Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan
oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia. Unit fungsional dasar
dari hepar disebut lobul dan unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri. Sering
dengan berkembangnya inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu.
Gangguan terhadap suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan nekrosis dan
kerusakan sel-sel hepar. Setelah lewat masanya, sel-sel hepar yang menjadi rusak dibuang
dari tubuh oleh respon sistem imun dan digantikan oleh sel-sel hepar baru yang sehat.
Oleh karenanya, sebagian besar klien yang mengalami hepatitis sembuh dengan fungsi
hepar normal.

Inflamasi pada hepar karena invasi virus akan menyebabkan peningkatan suhu badan dan
peregangan kapsula hati yang memicu timbulnya perasaan tidak nyaman pada perut
kuadran kanan atas. Hal ini dimanifestasikan dengan adanya rasa mual dan nyeri di ulu
hati.

Timbulnya ikterus karena kerusakan sel parenkim hati. Walaupun jumlah billirubin yang
belum mengalami konjugasi masuk ke dalam hati tetap normal, tetapi karena adanya
kerusakan sel hati dan duktuli empedu intrahepatik, maka terjadi kesukaran
pengangkutan billirubin tersebut didalam hati. Selain itu juga terjadi kesulitan dalam hal
konjugasi. Akibatnya billirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui duktus hepatikus,
karena terjadi retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi pada duktuli,
empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin indirek), maupun bilirubin yang sudah
mengalami konjugasi (bilirubin direk). Jadi ikterus yang timbul disini terutama
disebabkan karena kesukaran dalam pengangkutan, konjugasi dan eksresi bilirubin.

Tinja mengandung sedikit sterkobilin oleh karena itu tinja tampak pucat (abolis). Karena
bilirubin konjugasi larut dalam air, maka bilirubin dapat dieksresi ke dalam kemih,
sehingga menimbulkan bilirubin urine dan kemih berwarna gelap. Peningkatan kadar
bilirubin terkonjugasi dapat disertai peningkatan garam-garam empedu dalam darah yang
akan menimbulkan gatal-gatal pada ikterus.

5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratorium

1. Pemeriksaan pigmen

 urobilirubin direk

 bilirubun serum total

 bilirubin urine

 urobilinogen urine

 urobilinogen feses

1. Pemeriksaan protein

 protein totel serum

 albumin serum

 globulin serum

 HbsAG

3. Waktu protombin

- respon waktu protombin terhadap vitamin K

1. Pemeriksaan serum transferase dan transaminase

 AST atau SGOT

 ALT atau SGPT

 LDH

 Amonia serum

2. Radiologi

 foto rontgen abdomen

 pemindahan hati denagn preparat technetium, emas, atau rose bengal yang
berlabel radioaktif

 kolestogram dan kalangiogram


 arteriografi pembuluh darah seliaka

3. Pemeriksaan tambahan

 laparoskopi

 biopsi hati

6. KOMPLIKASI

Ensefalopati hepatic terjadi pada kegagalan hati berat yang disebabkan oleh akumulasi
amonia serta metabolik toksik merupakan stadium lanjut ensefalopati hepatik. Kerusakan
jaringan paremkin hati yang meluas akan menyebabkan sirosis hepatis, penyakit ini lebih
banyak ditemukan pada alkoholik.

ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

Data dasar tergantung pada penyebab dan beratnya kerusakan/gangguan hati

1. Aktivitas
 Kelemahan

 Kelelahan

 Malaise


2. Sirkulasi

 Bradikardi ( hiperbilirubin berat )

 Ikterik pada sklera kulit, membran mukosa

3. Eliminasi

 Urine gelap

 Diare feses warna tanah liat

4. Makanan dan Cairan


 Anoreksia

 Berat badan menurun

 Mual dan muntah

 Peningkatan oedema

 Asites

5. Neurosensori

 Peka terhadap rangsang

 Cenderung tidur

 Letargi

 Asteriksis

6. Nyeri / Kenyamanan

 Kram abdomen

 Nyeri tekan pada kuadran kanan

 Mialgia

 Atralgia

 Sakit kepala

 Gatal ( pruritus )

7. Keamanan
 Demam

 Urtikaria

 Lesi makulopopuler

 Eritema

 Splenomegali
 Pembesaran nodus servikal posterior

8. Seksualitas

 Pola hidup / perilaku meningkat resiko terpajan

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Beberapa masalah keperawatan yang mungkin muncul pada penderita hepatitis :

1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan


tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme
pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik
karena anoreksia, mual dan muntah.
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang
mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.

3. Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder


terhadap inflamasi hepar

4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap


hepatitis

5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus
sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu

6. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari
agent virus

7. INTERVENSI

1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan


tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme
pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik
karena anoreksia, mual dan muntah.

Hasil yang diharapkan : Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan
nilai laboratorium normal dan bebas dari tanda-tanda mal nutrisi.

1. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan

R/ keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan


2. Awasi pemasukan diet/jumlah kalori, tawarkan makan sedikit tapi sering dan
tawarkan pagi paling sering

R/ adanya pembesaran hepar dapat menekan saluran gastro intestinal dan menurunkan
kapasitasnya.

3. Pertahankan hygiene mulut yang baik sebelum makan dan sesudah makan

R/ akumulasi partikel makanan di mulut dapat menambah baru dan rasa tak sedap yang
menurunkan nafsu makan.

4. Anjurkan makan pada posisi duduk tegak

R/ menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan pemasukan

5. Berikan diit tinggi kalori, rendah lemak

R/ glukosa dalam karbohidrat cukup efektif untuk pemenuhan energi, sedangkan lemak
sulit untuk diserap/dimetabolisme sehingga akan membebani hepar.

2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang


mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.

Hasil yang diharapkan :

Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri (tidak meringis kesakitan,
menangis intensitas dan lokasinya)

1. Kolaborasi dengan individu untuk menentukan metode yang dapat digunakan


untuk intensitas nyeri

R/ nyeri yang berhubungan dengan hepatitis sangat tidak nyaman, oleh karena terdapat
peregangan secara kapsula hati, melalui pendekatan kepada individu yang mengalami
perubahan kenyamanan nyeri diharapkan lebih efektif mengurangi nyeri.

2. Tunjukkan pada klien penerimaan tentang respon klien terhadap nyeri

 Akui adanya nyeri

 Dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan klien tentang nyerinya

R/ klienlah yang harus mencoba meyakinkan pemberi pelayanan kesehatan bahwa ia


mengalami nyeri
3. Berikan informasi akurat dan

 Jelaskan penyebab nyeri

 Tunjukkan berapa lama nyeri akan berakhir, bila diketahui

R/ klien yang disiapkan untuk mengalami nyeri melalui penjelasan nyeri yang
sesungguhnya akan dirasakan (cenderung lebih tenang dibanding klien yang penjelasan
kurang/tidak terdapat penjelasan)

4. Bahas dengan dokter penggunaan analgetik yang tak mengandung efek


hepatotoksi

R/ kemungkinan nyeri sudah tak bisa dibatasi dengan teknik untuk mengurangi nyeri.

3. Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder


terhadap inflamasi hepar.

Hasil yang diharapkan :

Tidak terjadi peningkatan suhu

1. Monitor tanda vital : suhu badan

R/ sebagai indikator untuk mengetahui status hypertermi

2. Ajarkan klien pentingnya mempertahankan cairan yang adekuat (sedikitnya 2000


l/hari) untuk mencegah dehidrasi, misalnya sari buah 2,5-3 liter/hari.

R/ dalam kondisi demam terjadi peningkatan evaporasi yang memicu timbulnya dehidrasi

3. Berikan kompres hangat pada lipatan ketiak dan femur

R/ menghambat pusat simpatis di hipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi kulit dengan


merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi panas tubuh melalui penguapan

4. Anjurkan klien untuk memakai pakaian yang menyerap keringat


R/ kondisi kulit yang mengalami lembab memicu timbulnya pertumbuhan jamur. Juga
akan mengurangi kenyamanan klien, mencegah timbulnya ruam kulit.

4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap


hepatitis

1. Jelaskan sebab-sebab keletihan individu

R/ dengan penjelasan sebab-sebab keletihan maka keadaan klien cenderung lebih tenang

2. Sarankan klien untuk tirah baring

R/ tirah baring akan meminimalkan energi yang dikeluarkan sehingga metabolisme dapat
digunakan untuk penyembuhan penyakit.

3. Bantu individu untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan, kemampuan-


kemampuan dan minat-minat

R/ memungkinkan klien dapat memprioritaskan kegiatan-kegiatan yang sangat penting


dan meminimalkan pengeluaran energi untuk kegiatan yang kurang penting

4. Analisa bersama-sama tingkat keletihan selama 24 jam meliputi waktu puncak


energi, waktu kelelahan, aktivitas yang berhubungan dengan keletihan

R/ keletihan dapat segera diminimalkan dengan mengurangi kegiatan yang dapat


menimbulkan keletihan

5. Bantu untuk belajar tentang keterampilan koping yang efektif (bersikap asertif,
teknik relaksasi)

R/ untuk mengurangi keletihan baik fisik maupun psikologis

5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan


pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu

Hasil yang diharapkan :

Jaringan kulit utuh, penurunan pruritus.

1. Pertahankan kebersihan tanpa menyebabkan kulit kering


 Sering mandi dengan menggunakan air dingin dan sabun ringan (kadtril, lanolin)

 Keringkan kulit, jaringan digosok

R/ kekeringan meningkatkan sensitifitas kulit dengan merangsang ujung syaraf

2. Cegah penghangatan yang berlebihan dengan pertahankan suhu ruangan dingin


dan kelembaban rendah, hindari pakaian terlalu tebal

R/ penghangatan yang berlebih menambah pruritus dengan meningkatkan sensitivitas


melalui vasodilatasi

3. Anjurkan tidak menggaruk, instruksikan klien untuk memberikan tekanan kuat


pada area pruritus untuk tujuan menggaruk

R/ penggantian merangsang pelepasan hidtamin, menghasilkan lebih banyak pruritus

4. Pertahankan kelembaban ruangan pada 30%-40% dan dingin

R/ pendinginan akan menurunkan vasodilatasi dan kelembaban kekeringan

6. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intraabdomen,


asites penurunan ekspansi paru dan akumulasi sekret.

Hasil yang diharapkan :

Pola nafas adekuat

Intervensi :

1. Awasi frekwensi , kedalaman dan upaya pernafasan

R/ pernafasan dangkal/cepat kemungkinan terdapat hipoksia atau akumulasi cairan dalam


abdomen

2. Auskultasi bunyi nafas tambahan

R/ kemungkinan menunjukkan adanya akumulasi cairan

3. Berikan posisi semi fowler


R/ memudahkan pernafasan denagn menurunkan tekanan pada diafragma dan
meminimalkan ukuran sekret

4. Berikan latihan nafas dalam dan batuk efektif

R/ membantu ekspansi paru dalam memobilisasi lemak

5. Berikan oksigen sesuai kebutuhan

R/ mungkin perlu untuk mencegah hipoksia

7. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari
agent virus

Hasil yang diharapkan :

Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.

1. Gunakan kewaspadaan umum terhadap substansi tubuh yang tepat untuk


menangani semua cairan tubuh

 Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan semua klien atau spesimen

 Gunakan sarung tangan untuk kontak dengan darah dan cairan tubuh

 Tempatkan spuit yang telah digunakan dengan segera pada wadah yang tepat,
jangan menutup kembali atau memanipulasi jarum dengan cara apapun

R/ pencegahan tersebut dapat memutuskan metode transmisi virus hepatitis

2. Gunakan teknik pembuangan sampah infeksius, linen dan cairan tubuh dengan
tepat untuk membersihkan peralatan-peralatan dan permukaan yang
terkontaminasi

R/ teknik ini membantu melindungi orang lain dari kontak dengan materi infeksius dan
mencegah transmisi penyakit

3. Jelaskan pentingnya mencuci tangan dengan sering pada klien, keluarga dan
pengunjung lain dan petugas pelayanan kesehatan.

R/ mencuci tangan menghilangkan organisme yang merusak rantai transmisi infeksi

4. Rujuk ke petugas pengontrol infeksi untuk evaluasi departemen kesehatan yang


tepat
R/ rujukan tersebut perlu untuk mengidentifikasikan sumber pemajanan dan
kemungkinan orang lain terinfeksi

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito Lynda Jual, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC,
Jakarta.

Gallo, Hudak, 1995, Keperawatan Kritis, EGC, Jakarta.

Hadim Sujono, 1999, Gastroenterologi, Alumni Bandung.

Moectyi, Sjahmien, 1997, Pengaturan Makanan dan Diit untuk Pertumbuhan Penyakit,
Gramedia Pustaka Utama Jakarta.

Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine Mc Carty, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, EGC, Jakarta.

Smeltzer, suzanna C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan Suddart. Alih
bahasa Agung Waluyo, Edisi 8, jakarta, EGC, 2001.

Susan, Martyn Tucker et al, Standar Perawatan Pasien, jakarta, EGC, 1998.

Reeves, Charlene, et al,Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Joko Setiyono, Edisi I,
jakarta, Salemba Medika.

Sjaifoellah Noer,H.M, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, Balai
Penerbit FKUI, jakarta.

ASKEP CIDERA KEPALA

A. Pengertian

Cidera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada
jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi
(Sylvia anderson Price, 1985).
B. Etiologi

Cidera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah :

1. oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal : kecelakaan,
dipukul dan terjatuh.

2. trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum.

C. Manifestasi klinis

Cidera otak karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala, cidera akut dengan cepat
menyebabkan pingsan (coma), yang pada akhirnya tidak selalu dapat disembuhkan.
Karena itu, sebagai penunjang diagnosis, sangat penting diingat arti gangguan vegetatif
yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan puyeng.
Gangguan vegetatif tidak dilihat sebagai tanda-tanda penyakit dan gambaran penyakit,
namun keadaannya reversibilitas.

Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia
antegrad), tetapi biasanya korban/ pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah
cidera (amnezia retrograd dan antegrad). Timbul tanda-tanda lemah ingatan, cepat lelah,
amat sensitif, negatifnya hasil pemeriksaan EEG, tidak akan menutupi diagnosis bila
tidak ada kelainan EEG.

Koma akut tergantung dari beratnya trauma/ cidera. Akibatnya juga beraneka ragam, bisa
terjadi sebentar saja dan bisa hanya sampai 1 menit. Catatan kesimpulan mengenai cidera
kepala akan lebih kalau terjadi koma berjam-jam atau seharian, apalagi kalau tidak
menampakkan gejala penyakit gangguan syaraff. Menurut dokter ahli spesialis penyakit
syaraf dan dokter ahli bedah syaraf, gegar otak akan terjadi jika coma berlangsung tidak
lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin
terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.

D. Patofisiologi

Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya karena terjatuh, dipukul, kecelakaan
dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem
dalam tubuh. Bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada
kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena
perdarahan yang terjadi terus – menerus dapat menyebabkan hipoksia sehingga tekanan
intra kranial akan meningkat. Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan
meneyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi
kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya
gangguan dalam mobilitas.

E. Klasifikasi

Cidera kepala diklasifikasikan menjadi dua :

1. Cidera kepala terbuka

2. Cidera kepala tertutup

1. Cidera kepala terbuka

Luka terbuka pada lapisan-lapisan galea tulang tempurung kepala duramater disertai
cidera jaringan otak karena impressi fractura berat. Akibatnya, dapat menyebabkan
infeksi di jaringan otak. Untuk pencegahan, perlu operasi dengan segera menjauhkan
pecahan tulang dan tindakan seterusnya secara bertahap.

Fractura Basis Cranii

Fractura ini dapat terletak di depan, tengah, atau di belakang. Gejala fractura di depan:

1. Rhino liquore disertai lesi di sinus-frontalis pada ethmoidal, spenoidal, dan


arachnoidal.
2. Pneunoencephalon, karena pada fractura basis cranii udara dari sinus maksilaris
masuk ke lapisan selaput otak encepalon.

3. Monokli haematoma, adalah haematoma pada biji mata, karena pada orbita mata
dan biji lensa mata memberi gejala pendarahan intracranialis pula.

Fractura bagian tengah basis cranii antara lain memberi gejala khas menetesnya cairan
otak bercampur darah dari telinga: otoliquor, melalui tuba eustachii. Gambaran rontgen
sebagai tanda khas pada fractura basis cranii selalu hanya memperlihatkan sebagian.
Karena itu, dokter-dokter ahli forensik selalu menerima kalau hanya ada satu tanda-tanda
klinik.

Gejala-gejala klinis lain yang dapat dilihat pada fractura basis cranii antara lain anosmia
(I); gangguan penglihatan (II); gangguan gerakan-gerakan biji mata (III,IV, V); gangguan
rasa di wajah (VI); kelumpuhan facialis (VII); serta ketulian bukan karena trauma octavus
tetapi karena trauma pada haemotympanon. Pada umumnya, N. VIII - XII jaringan saraf
otak tidak akan rusak pada fractura basis cranii. Kalau fractura disebut fractura impressio
maka terjadi dislocatio pada tulang-tulang sinus tengkorak kepala. Hal ini harus selalu
diperhatikan karena kemungkinan ini akibat contusio cerebri.

2. Cidera kepala tertutup

Pada tulang kepala, termasuk di antaranya selaput otak, terjadi keretakan-keretakan.


Dalam keadaan seperti ini, timbul garis/linea fractura sedemikian rupa sehingga
menyebabkan luka pada daerah periferia a. meningia media, yang menyebabkan
perdarahan arteri. Haematoma dengan cepat membesar dan gambaran klinik juga cepat
merembet, sehingga tidak kurang dari 1 jam terbentuk haematomaepiduralis. Penentuan
diagnosis sangat berarti lucidum intervalum (mengigat waktu yang jitu dan tepat). Jadi,
pada epiduralis haematoma, sebenarnya jaringan otak tidak rusak, hanya tertekan
(depresi). Dengan tindakan yang cepat dan tepat, mungkin pasien dapat ditolong. Paling
sering terdapat di daerah temporal, yaitu karena pecahnya pembulnh darah kecil/perifer
cabang-cabang a. meningia media akibat fractura tulang kepala daerah itu (75% pada Fr.
Capitis).

a. Epiduralis haematoma

Pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior, sin. transversus. Foto rontgen kepala
sangat berguna, tetapi yang lebih penting adalah pengawasan terhadap pasien. Saat ini,
diagnosis yang cepat dan tepat ialah CT scan atau Angiografi. Kadangkala kita sangat
terpaksa melakukan "Burr hole Trepanasi", karena dicurigai akan terjadi epiduralis
haematoina. Dengan ini sekaligus bisa didiagnosis dan dekompresi, sebab terapi untuk
epiduralis haematoma adalah suatu kejadian yang gawat dan harus segera ditangani.

b. Subduralis haematoma akut

Kejadian akut haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil
sinus vena pecah atau terjadi perdarahan. Atau jembatan vena bagian atas pada interval
yang akibat tekanan lalu terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan
jaringan otak sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter
dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam
jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial). Pada kejadian akut haematoma, lucidum
intervalum akan terasa setelah beberapa jam sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda
neurologis-klinis di sini jarang memberi gejala epileptiform pada perdarahan dasar
duramater. Akut hematoma subduralis pada trauma kapitis dapat juga terjadi tanpa
Fractura Cranii, namun pembuluh darah arteri dan vena di corteks terluka. Pasien segera
pingsan/ koma. Jadi, di sini tidak ada "free interval time". Kadang-kadang pembuluh
darah besar seperti arteri dan sinus dapat juga terluka. Dalam kasus ini sering dijumpai
kombinasi dengan intracerebral haematoma sehingga mortalitas subdural haematoma
akut sangat tinggi (80%).
c. Subrachnoidalis Haematoma

Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada
permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari
adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna
“pelebaran pembuluh darah”. Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.
Gambaran klinik tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit tetapi terjadi gangguan
ingatan karena timbulnya gangguan meningeal. Akut Intracerebralis Haematoma terjadi
karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan
pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam
subkorteks. Selaput otak menjadi pecah pula karena tekanan pada durameter bagian
bawah melebar sehingga terjadilah "subduralis haematoma", disertai gejala kliniknya.

d. Contusio Cerebri

Di antara yang paling sering adalah bagian yang berlawanan dengan tipe centralis -
kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, atau kelumpuhan syaraf-syaraf otak,
gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada
kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan
timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda
gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia,
kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta
kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).

E. Pemeriksaan diagnostik

1. Spinal X ray

Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan atau
ruptur atau fraktur).

2. CT Scan

Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan otak
yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.

3. Myelogram

Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal aracknoid jika
dicurigai.

4. MRI (magnetic imaging resonance)


Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/ luas
terjadinya perdarahan otak.

5. Thorax X ray

Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.

6. Pemeriksaan fungsi pernafasan

Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi
penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).

7. Analisa Gas Darah

Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.

F. Pengobatan

Penderita trauma saraf spinal akut yang diterapi dengan metilprednisolon (bolus 30
mg/kg berat badan dilanjutkan dengan infus 5,4 mg/kg berat badan per jam selama 23
jam), akan menunjukkan perbaikan keadaan neurologis bila preparat itu diberikan dalam
waktu paling lama 8 jam setelah kejadian (golden hour). Pemberian nalokson (bolus 5,4
mg/kg berat badan dilanjutkan dengan 4,0 mg/kg berat badan per jam selama 23 jam)
tidak memberikan perbaikan keadaan neurologis pada penderita trauma saraf spinal akut.

Metilprednisolon yang diberikan secara dini dan dalam dosis yang akurat, dapat
memperbaiki keadaan neurologis akibat efek inhibisi terjadinya reaksi peroksidasi lipid.
Dengan kata lain, metilprednisolon bekerja dengan cara:

 Menyusup masuk ke lapisan lipid untuk melindungi fosfolipid dan komponen


membran lain dari kerusakan.
 Mempertahankan kestabilan dan keutuhan membran.

 Mencegah perembetan kerusakan sel-sel lain di dekatnya.

 Mencegah berlanjutnya iskemia pascatrauma.

 Memutarbalikkan proses akumulasi kalsiun intraseluler.

 Menghambat pelepasan asam arakhidonat.


H. Diagnosa keperawatan

1. Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke


otak.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.

3. Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra


kranial.

4. Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik.

5. Resiko tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.

6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan elektrolit


meningkat.

7. Gangguan kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan.

8. Gangguan pola nafas b/ d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan


medula oblongata.

Intervensi

Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional

Gangguan Gangguan perfusi jaringan o Pantau Mengkaji


perfusi tidak dapat diatasi setelah status adanya
jaringan b/ d dilakukan tindakan neurologi kecenderungan
oedema keperawatan selama 2x 24 s secara pada tingkat
cerebri, jam dengan KH : teratur. kesadaran dan
meningkatny potensial
a aliran darah o Mampu peningkatan
ke otak. mempertahan TIK dan
kan tingkat bermanfaat
kesadaran dalam
o Fungsi menentukan
sensori dan lokasi,
motorik perluasan dan
membaik. perkembangan
kerusakan SSP

Menentukan
tingkat
kesadaran

Mengukur
kesadaran
secara
keseluruhan
dan
o Evaluasi kemampuan
kemampu untuk berespon
an pada
membuka rangsangan
mata eksternal.
(spontan,
rangsang
nyeri).
Dikatakan sadar
bila pasien
mampu
meremas atau
melepas tangan
pemeriksa.

o Kaji
respon
motorik Peningkatan
terhadap tekanan darah
perintah sistemik yang
yang diikuti dengan
sederhan penurunan
a. tekanan darah
diastolik
merupakan
tanda
peningkatan
TIK .
o Pantau
TTV dan Peningkatan
catat ritme dan
hasilnya. disritmia
merupakan
tanda adanya
depresi atau
trauma batang
otak pada
pasien yang
tidak
mempunyai
kelainan
jantung
sebelumnya.

Nafas yang
tidak teratur
menunjukan
adanya
peningkatan
TIK

Ungkapan
keluarga yang
menyenangkan
klien tampak
mempunyai
efek relaksasi
pada beberapa
o Anjurkan klien koma
orang yang akan
terdekat menurunkan
untuk TIK
berbicara
dengan
klien
Pembatasan
cairan
diperlukan
untuk
menurunkan
Oedema
cerebral:
meminimalkan
fluktuasi aliran
vaskuler,
tekanan darah
o Kolabora (TD) dan TIK
si
pemberia
n cairan
sesuai
indikasi
melalui
IV
dengan
alat
kontrol

Gangguan Rasa nyeri berkurang o Teliti Mengidentifika


rasa nyaman setelah dilakukan tindakan keluhan si karakteristik
nyeri b/ d keperawatan selama 2 x 24 nyeri, nyeri
peningkatan jam dengan KH : catat merupakan
tekanan intra intensitas faktor yang
kranial. o pasien nya, penting untuk
mengatakan lokasinya menentukan
nyeri dan terapi yang
berkurang. lamanya. cocok serta
o Pasien
menunjukan mengevaluasi
skala nyeri keefektifan dari
pada angka terapi.
3.
Pemahaman
o Ekspresi terhadap
wajah klien penyakit yang
rileks. mendasarinya
o Catat membantu
kemungk dalam memilih
inan intervensi yang
patofisiol sesuai.
ogi yang
khas,
misalnya
adanya Meningkatkan
infeksi, rasa nyaman
trauma dengan
servikal. menurunkan
vasodilatasi.

o Berikan
kompres
dingin
pada
kepala

Perubahan Fungsi persepsi sensori o Evaluasi Fungsi cerebral


persepsi kembali normal setelah secara bagian atas
sensori b/ d dilakukan perawatan selama teratur biasanya
penurunan 3x 24 jam dengan KH : perubaha terpengaruh
kesadaran, n lebih dahulu
peningkatan o mampu orientasi, oleh adanya
tekanan intra mengenali kemampu gangguan
kranial. orang dan an sirkulasi,
lingkungan berbicara, oksigenasi.
sekitar. alam Perubahan
o Mengakui perasaan, persepsi sensori
adanya sensori motorik dan
perubahan dan kognitif
dalam proses mungkin akan
kemampuann pikir. berkembang
ya. dan menetap
dengan
perbaikan
respon secara
bertahap

Semua sistem
sensori dapat
terpengaruh
dengan adanya
perubahan yang
o Kaji melibatkan
kesadara peningkatan
n sensori atau penurunan
dengan sensitivitas atau
sentuhan, kehilangan
panas/ sensasi untuk
dingin, menerima dan
benda berespon sesuai
tajam/ dengan stimuli.
tumpul
dan
kesadara
n
terhadap
gerakan. Pasien mungkin
mengalami
keterbatasan
perhatian atau
pemahaman
selama fase
akut dan
penyembuhan.
Dengan
tindakan ini
akan membantu
pasien untuk
memunculkan
komunikasi.
o Bicara
dengan
suara
yang Mengurangi
lembut kelelahan,
dan kejenuhan dan
pelan. memberikan
Gunakan kesempatan
kalimat untuk tidur
pendek REM
dan (ketidakadaan
sederhan tidur REM ini
a. dapat
Pertahan meningkatkan
kan gangguan
kontak persepsi
mata. sensori).
Memberikan
perasaan
normal tentang
perubahan
o Berikan waktu dan pola
lingkung tidur.
an
tersetrukt
ur rapi,
nyaman Pendekatan
dan buat antar disiplin
jadwal ilmu dapat
untuk menciptakan
klien jika rencana
mungkin panatalaksanaa
dan tinjau n terintegrasi
kembali. yang berfokus
pada masalah
klien

o Gunakan
penerang
an siang
atau
malam.

o Kolabora
si pada
ahli
fisioterap
i, terapi
okupasi,
terapi
wicara
dan terapi
kognitif.

Gangguan Pasien dapat melakukan o Periksa Mengidentifika


mobilitas mobilitas fisik setelah kembali si kerusakan
fisik b/d mendapat perawatan dengan kemampu secara
spastisitas KH : an dan fungsional dan
kontraktur, keadaan mempengaruhi
kerusakan o tidak adanya secara pilihan
saraf kontraktur, fungsiona intervensi yang
motorik. footdrop. l pada akan dilakukan.
o Ada kerusaka
peningkatan n yang
kekuatan dan terjadi.
fungsi bagian Penggunaan
tubuh yang sepatu tenis hak
sakit. tinggi dapat
membantu
o Mampu mencegah
mendemonstr footdrop,
asikan penggunaan
aktivitas o Pertahan bantal,
yang kan gulungan alas
memungkink kesejajar tidur dan bantal
an an tubuh pasir dapat
dilakukannya secara membantu
fungsiona mencegah
l, seperti terjadinya
bokong, abnormal pada
kaki, bokong.
tangan.
Pantau
selama
penempat Mempertahank
an alat an mobilitas
atau dan fungsi
tanda sendi/ posisi
penekana normal
n dari ekstrimitas dan
alat menurunkan
tersebut. terjadinya vena
statis.

Proses
penyembuhan
yang lambat
o Berikan/ seringakli
bantu menyertai
untuk trauma kepala
latihan dan pemulihan
rentang fisik merupakan
gerak bagian yang
sangat penting.
Keterlibatan
pasien dalam
program latihan
sangat penting
untuk
meningkatkan
kerja sama atau
keberhasilan
o Bantu program.
pasien
dalam
program
latihan
dan
pengguna
an alat
mobilisas
i.
Tingkatk
an
aktivitas
dan
partisipas
i dalam
merawat
diri
sendiri
sesuai
kemampu
an.

Resiko tinggi Tidak terjadi infeksi setelah Cara pertama


infeksi b/ d dilakukan tindakan o Berikan untuk
jaringan keperawatan selama 3x 24 perawata menghindari
trauma, jam dengan KH : n aseptik nosokomial
kerusakan dan infeksi.
kulit kepala. o Bebas tanda- antiseptik
tanda infeksi ,
pertahank
o Mencapai an teknik
penyembuha cuci
n luka tepat tangan Deteksi dini
waktu yang perkembangan
baik. infeksi
memungkinkan
untuk
melakukan
o Observas tindakan
i daerah dengan segera
kulit dan pencegahan
yang terhadap
mengala komplikasi
mi selanjutnya.
kerusaka
n, daerah
yang
terpasang Menurunkan
alat pemajanan
invasi, terhadap
catat pembawa
karakteris kuman infeksi.
tik
drainase
dan
adanya
inflamasi.

Terapi
o Batasi profilaktik
pengunju dapat
ng yang digunakan pada
dapat pasien yang
menulark mengalami
an infeksi trauma,
atau kebocoran LCS
cegah atau setelah
pengunju dilakukan
ng yang pembedahan
mengala untuk
mi menurunkan
infeksi resiko
saluran terjadinya
nafas infeksi
atas. nosokomial.

o Kolabora
si
pemberia
n
atibiotik
sesuai
indikasi.
Setelah dilakukan tindakan Deteksi dini
Gangguan keperawatan selama 3 x 24 o Kaji dan intervensi
keseimbanga jam ganguan keseimbangan tanda dapat mencegah
n cairan dan cairan dan elektrolit dapat klinis kekurangan /
elektrolit b/ d teratasi dengan KH : dehidrasi kelebihan
haluaran atau fluktuasi
urine dan o Menunjukan kelebihan keseimbangan
elektrolit membran cairan. cairan.
meningkat. mukosa
lembab,
tanda vital
normal Kehilangan
haluaran urinarius dapat
urine adekuat menunjukan
dan bebas terjadinya
oedema. o Catat dehidrasi dan
masukan berat jenis urine
dan adalah indikator
haluaran, hidrasi dan
hitung fungsi renal.
keseimba
ngan
cairan,
ukur Dengan
berat formula kalori
jenis lebih tinggi,
urine. tambahan air
diperlukan
untuk
mencegah
dehidrasi.

o Berikan
air
tambahan Hipokalimia/
/ bilas fofatemia dapat
selang terjadi karena
sesuai perpindahan
indikasi intraselluler
selama
pemberian
makan awal
dan
menurunkan
o Kolabora fungsi jantung
si bila tidak
pemeriks diatasi.
aan lab.
kalium/fo
sfor
serum, Ht
dan
albumin
serum.

Gangguan Pasien tidak mengalami o Kaji Faktor ini


kebutuhan gangguan nutrisi setelah kemampu menentukan
nutrisi b/ d dilakukan perawatan selama an pasien terhadap jenis
kelemahan 3 x 24 jam dengan KH : untuk makanan
otot untuk menguny sehingga pasien
menguyah o Tidak ah dan harus
dan menelan mengalami menelan, terlindung dari
tanda- tanda batuk dan aspirasi.
mal nutrisi mengatas
dengan nilai i sekresi.
lab. Dalam
rentang Fungsi bising
normal. usus pada
o Auskulta umumnya tetap
o Peningkatan si bising baik pada kasus
berat badan usus, cidera kepala.
sesuai tujuan. catat Jadi bising usus
adanya membantu
penuruna dalam
n/ menentukan
hilangnya respon untuk
atau makan atau
suara berkembangnya
hiperaktif komplikasi
. seperti paralitik
ileus.
Menurunkan
regurgitasi dan
terjadinya
aspirasi.

o Jaga
keamana
n saat
memberi
kan
makan
pada
pasien, Meningkatkan
seperti proses
meninggi pencernaan dan
kan toleransi pasien
kepala terhadap nutrisi
selama yang diberikan
makan dan dapat
atatu meningkatkan
selama kerjasama
pemberia pasien saat
n makan makan.
lewat
NGT.

Perdarahan
subakut/ akut
o Berikan dapat terjadi
makan dan perlu
dalam intervensi dan
porsi metode
kecil dan alternatif
sering pemberian
dengan makan.
teratur.
Metode yang
efektif untuk
memberikan
kebutuhan
kalori.

o Kaji
feses,
cairan
lambung,
muntah
darah.

o Kolabora
si dengan
ahli gizi.

Gangguan Tidak terjadi gangguan pola Perubahan


pola nafas b/ nafas setelah dilakukan o Pantau dapat
d obstruksi tindakan keperawatan frekuensi, menunjukan
trakeobronkia selama 2x 24 jam dengan irama, komplikasi
l, KH : kedalama pulmonal atau
neurovaskule n menandakan
r, kerusakan o Memperlihat pernafasa lokasi/ luasnya
medula kan pola n. Catat keterlibatan
oblongata. nafas normal/ ketidakte otak.
efektif, bebas raturan Pernafasan
sianosis pernafasa lambat, periode
dengan GDA n. apneu dapat
dalam batas menendakan
normal perlunya
pasien. ventilasi
mekanis.

Untuk
memudahkan
ekspansi paru
dan menjegah
lidah jatuh yang
o Angkat menyumbat
kepala jalan nafas.
tempat
tidur
sesuai
aturan Mencegah/
posisi menurunkan
miring atelektasis.
sesuai
indikasi.

Untuk
mengidentifikas
o Anjurkan i adanya
pasien masalah paru
untuk seperti
latihan atelektasis,
nafas kongesti atau
dalam obstruksi jalan
yang nafas yang
efektif membahayakan
jika oksigenasi
pasien serebral atau
sadar. menandakan
adanya infeksi
paru (umumnya
merupakan
o Auskulta komplikasi
si suara pada cidera
nafas. kepala).
Perhatika
n daerah
hipoventi
lasi dan Menentukan
adanya kecukupan
suara- oksigen,
suara keseimbangan
tambahan asam-basa dan
yang kebutuhan akan
tidak terapi.
normal.
(krekels,
ronki dan
whiszing) Mencegah
. hipoksia, jika
pusat
pernafasan
tertekan.
Biasanya
dengan
mnggunakan
ventilator
mekanis

o Kolabora
si untuk
pemeriks
aan
AGD,
tekanan
oksimetri
.

o Berikan
oksiegen
sesuai
indikasi.

SEROSIS HEPATIS
1. Pengertian

Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses
peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi
nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro
menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C.
Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).

2. Etiologi

Ada 3 tipe sirosis atau pembentukan parut dalam hati :

1. Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas
mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai
akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.

3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar
saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi
(kolangitis).

Bagian hati yang terlibat terdiri atas ruang portal dan periportal tempat kanalikulus
biliaris dari masing-masing lobulus hati bergabung untuk membentuk saluran empedu
baru. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan jaringan yang berlebihan terutama
terdiri atas saluran empedu yang baru dan tidak berhubungan yang dikelilingi oleh
jaringan parut.

3. Manifestasi Klinis

Penyakit ini mencakup gejala ikterus dan febris yang intermiten.

Pembesaran hati. Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya
dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat
diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran
hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung
fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati
akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila
dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler).

Obstruksi Portal dan Asites. Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan
fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari
organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati.
Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran
darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan
konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan
kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak
dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita
dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami
penurunan.

Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites.
Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan.
Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial
menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi
terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.

Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan
fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem
gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam
pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis
sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat
pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus
gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang
sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini
akan membentuk varises atau temoroid tergantung pada lokasinya.

Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat
sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan.
Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang
nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan
mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur
varises pada lambung dan esofagus.

Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang
kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk
terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi
natrium serta air dan ekskresi kalium.

Defisiensi Vitamin dan Anemia. Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan


vitamin tertentu yan tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda
defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang
berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi
gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati
turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan
status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat
yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
Kemunduran Mental. Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental
dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan
neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien,
kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.

4. Patofisiologi

Konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis
terjadi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi gizi dengan
penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupan
alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab utama pada perlemakan hati dan
konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada
individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan pada individu yang dietnya normal
tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.

Faktor lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida,
naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi skistosomiastis dua kali lebih banyak
daripada wanita dan mayoritas pasien sirosis berusia 40 – 60 tahun.

Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang melibatkan sel-sel
hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-sel hati yang
dihancurkan itu secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut yang melampaui
jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih
tersisa dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjal dari bagian-bagian yang
berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu
berkepala besar (hobnail appearance) yang khas.

Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang insidus dan perjalanan penyakit yang
sangat panjang sehingga kadang-kadang melewati rentang waktu 30 tahun/lebih.

5. Proses Keperawatan Pada Pasien Sirosis Hepatis

 Pengkajian

Pengkajian keperawatan berfokuskan pada awitan gejala dan riwayat faktor-faktor


pencetus, khususnya penyalahgunaan alkohol dalam jangka waktu yang lama disamping
asupan makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani penderita. Pola
penggunaan alkohol yang sekarang dan pada masa lampau (durasi dan jumlahnya) dikaji
serta dicatat. Yang juga harus dicatat adalah riwayat kontak dengan zat-zat toksik di
tempat kerja atau selama melakukan aktivitas rekreasi. Pajanan dengan obat-obat yang
potensial bersifat hepatotoksik atau dengan obat-obat anestesi umum dicatat dan
dilaporkan.

Status mental dikaji melalui anamnesis dan interaksi lain dengan pasien; orientasi
terhadap orang, tempat dan waktu harus diperhatikan. Kemampuan pasien untuk
melaksanakan pekerjaan atau kegiatan rumah tangga memberikan informasi tentang
status jasmani dan rohani. Di samping itu, hubungan pasien dengan keluarga, sahabat dan
teman sekerja dapat memberikan petunjuk tentang kehilangan kemampuan yang terjadi
sekunder akibat meteorismus (kembung), perdarahan gastrointestinal, memar dan
perubahan berat badan perlu diperhatikan.

Status nutrisi yang merupakan indikator penting pada sirosis dikaji melalui penimbangan
berat yang dilakukan setiap hari, pemeriksaan antropometrik dan pemantauan protein
plasma, transferin, serta kadar kreatinin.

Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan

Diagnosa Keperawatan : intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan


berat badan.

Tujuan : peningkatan energi dan partisipasi dalam aktivitas.

1. Tawarkan diet 1. Memberikan kalori  Melaporkan


tinggi kalori, bagi tenaga dan peningkatan
tinggi protein protein bagi proses kekuatan dan
(TKTP). penyembuhan. kesehatan pasien.

2. Berikan 2. Memberikan nutrien  Merencanakan


suplemen tambahan. aktivitas untuk
vitamin (A, B memberikan
kompleks, C dan 3. Menghemat tenaga kesempatan
K) pasien sambil istirahat yang
mendorong pasien cukup.
3. Motivasi pasien untuk melakukan
untuk melakukan latihan dalam batas  Meningkatkan
latihan yang toleransi pasien. aktivitas dan
diselingi istirahat latihan
4. Memperbaiki bersamaan
perasaan sehat secara dengan
umum dan percaya bertambahnya
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan

kekuatan.
diri
 Memperlihatkan
4. Motivasi dan asupan nutrien
bantu pasien yang adekuat dan
untuk melakukan menghilangkan
latihan dengan alkohol dari diet.
periode waktu
yang
ditingkatkan
secara bertahap

Diagnosa keperawatan : perubahan suhu tubuh: hipertermia berhubungan dengan proses


inflamasi pada sirosis.

Tujuan : pemeliharaan suhu tubuh yang normal.

1. Memberikan dasar  Melaporkan suhu


1. Catat suhu tubuh untuk deteksi hati tubuh yang
secara teratur. dan evaluasi normal dan tidak
intervensi. terdapatnya
gejala menggigil
2. Memperbaiki atau perspirasi.
2. Motivasi asupan kehilangan cairan
cairan akibat perspirasi serta  Memperlihatkan
febris dan asupan cairan
meningkatkan tingkat yang adekuat.
kenyamanan pasien.

3. Menurunkan panas
melalui proses
konduksi serta
evaporasi, dan
meningkatkan tingkat
3. Lakukan kenyaman pasien.
kompres dingin
atau kantong es 4. Meningkatkan
untuk konsentrasi antibiotik
menurunkan serum yang tepat
kenaikan suhu untuk mengatasi
tubuh. infeksi.
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan

5. Meminimalkan
resiko peningkatan
infeksi, suhu tubuh
4. Berikan serta laju metabolik.
antibiotik seperti
yang diresepkan. 6. Mengurangi laju
metabolik.

5. Hindari kontak
dengan infeksi.

6. Jaga agar pasien


dapat beristirahat
sementara suhu
tubuhnya tinggi.

Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan pembentukan


edema.

Tujuan : memperbaiki integritas kulit dan proteksi jaringan yang mengalami edema.

1. Batasi natrium seperti 1. Meminimalkan  Memperlihatkan


yang diresepkan. pembentukan edema. turgor kulit yang
normal pada
2. Berikan perhatian dan 2. Jaringan dan kulit ekstremitas dan
perawatan yang cermat yang edematus batang tubun.
pada kulit. mengganggu suplai
nutrien dan sangat  Tidak
rentan terhadap memperlihatkan
tekanan serta trauma. luka pada kulit.

3. Meminimalkan  Memperlihatkan
3. Balik dan ubah posisi tekanan yang lama jaringan yang
pasien dengan sering. dan meningkatkan normal tanpa
gejala eritema,
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan

mobilisasi edema. perubahan warna


atau peningkatan
4. Memungkinkan suhu di daerah
perkiraan status tonjolan tulang.
cairan dan
4. Timbang berat badan pemantauan terhadap  Mengubah posisi
dan catat asupan serta adanya retensi serta dengan sering.
haluaran cairan setiap kehilangan cairan
hari. dengan cara yang
5. Lakukan latihan gerak paling baik.
secara pasif, tinggikan
ekstremitas edematus. 5. Meningkatkan
mobilisasi edema.
6. Letakkan bantalan busa
yang kecil dibawah 6. Melindungi tonjolan
tumit, maleolus dan tulang dan
tonjolan tulang lainnya. meminimalkan
trauma jika dilakukan
dengan benar.

Diagnosa keperawatan : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterus dan status
imunologi yang terganggu.

Tujuan : Memperbaiki integritas kulit dan meminimalkan iritasi kulit.

1. Observasi dan catat 1. Memberikan dasar  Memperlihatkan


derajat ikterus pada kulit untuk deteksi kulit yang utuh
dan sklera. perubahan dan tanpa terlihat
evaluasi intervensi. luka atau infeksi.
2. Lakukan perawatan yang
sering pada kulit, mandi 2. Mencegah  Melaporkan tidak
tanpa menggunakan kekeringan kulit dan adanya pruritus.
sabun dan melakukan meminimalkan
masase dengan losion pruritus.  Memperlihatkan
pelembut (emolien). pengurangan
3. Mencegah ekskoriasi gejala ikterus
3. Jaga agar kuku pasien kulit akibat garukan. pada kulit dan
selalu pendek. sklera.

 Menggunakan
emolien dan
menghindari
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan

pemakaian sabun
dalam menjaga
higiene sehari-
hari.

Diagnosa keperawatan : Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.

Tujuan : Perbaikan status nutrisi.

1. Motivasi pasien untuk 1. Motivasi sangat  Memperlihatkan


makan makanan dan penting bagi asupan makanan
suplemen makanan. penderita anoreksia yang tinggi
dan gangguan kalori, tinggi
2. Tawarkan makan gastrointestinal. protein dengan
makanan dengan porsi jumlah memadai.
sedikit tapi sering. 2. Makanan dengan
porsi kecil dan sering  Mengenali
3. Hidangkan makanan lebih ditolerir oleh makanan dan
yang menimbulkan penderita anoreksia. minuman yang
selera dan menarik bergizi dan
dalam penyajiannya. 3. Meningkatkan selera diperbolehkan
makan dan rasa sehat. dalam diet.
4. Pantang alkohol.
4. Menghilangkan  Bertambah berat
5. Pelihara higiene oral makanan dengan tanpa
sebelum makan. “kalori kosong” dan memperlihatkan
menghindari iritasi penambahan
6. Pasang ice collar untuk lambung oleh edema dan
mengatasi mual. alkohol. pembentukan
asites.
7. Berikan obat yang 5. Mengurangi citarasa
diresepkan untuk yang tidak enak dan  Mengenali dasar
mengatasi mual, muntah, merangsang selera pemikiran
diare atau konstipasi. makan. mengapa pasien
harus makan
8. Motivasi peningkatan 6. Dapat mengurangi sedikit-sedikit
asupan cairan dan frekuensi mual. tapi sering.
latihan jika pasien
melaporkan konstipasi. 7. Mengurangi gejala  Melaporkan
gastrointestinal dan peningkatan
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan

perasaan tidak enak selera makan dan


9. Amati gejala yang pada perut yang rasa sehat.
membuktikan adanya mengurangi selera
perdarahan makan dan keinginan  Menyisihkan
gastrointestinal. terhadap makanan. alkohol dari
dalam diet.
8. Meningkatkan pola
defekasi yang normal  Turut serta dalam
dan mengurangi rasa upaya
tidakenak serta memelihara
distensi pada higiene oral
abdomen. sebelum makan
dan menghadapi
mual.

9. Mendeteksi  Menggunakna
komplikasi obat kelainan
gastrointestinal yang gastrointestinal
serius. seperti yang
diresepkan.

 Melaporkan
fungsi
gastrointestinal
yang normal
dengan defekasi
yang teratur.

 Mengenali gejala
yang dapat
dilaporkan:
melena,
pendarahan yang
nyata.

Diagnosa keperawatan : Resiko cedera berhubungan dengan hipertensi portal, perubahan


mekanisme pembekuan dan gangguan dalam proses detoksifikasi obat.

Tujuan : Pengurangan resiko cedera.

1. Amati setiap feses yang 1. Memungkinkan  Tidak


dieksresikan untuk deteksi perdarahan memperlihatkan
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan

memeriksa warna, dalam traktus adanya


konsistensi dan gastrointestinal. perdarahan yang
jumlahnya. nyata dari traktus
2. Dapat menunjukkan gastrointestinal.
2. Waspadai gejala tanda-tanda dini
ansietas, rasa penuh pada perdarahan dan syok.  Tidak
epigastrium, kelemahan memperlihatkan
dan kegelisahan. 3. Mendeteksi tanda adanya
dini yang kegelisahan, rasa
3. Periksa setiap feses dan membuktikan adanya penuh pada
muntahan untuk perdarahan. epigastrium dan
mendeteksi darah yang indikator lain
tersembunyi. 4. Menunjukkan yang
perubahan pada menunjukkan
4. Amati manifestasi mekanisme hemoragi serta
hemoragi: ekimosis, pembekuan darah. syok.
epitaksis, petekie dan
perdarahan gusi. 5. Memberikan dasar  Memperlihatkan
dan bukti adanya hasil
5. Catat tanda-tanda vital hipovolemia dan pemeriksaan
dengan interval waktu syok. yang negatif
tertentu. untuk perdarahan
6. Meminimalkan tersembunyi
6. Jaga agar pasien tenang resiko perdarahan gastrointestinal.
dan membatasi dan mengejan.
aktivitasnya.  Bebas dari
7. Memudahkan insersi daerah-daerah
7. Bantu dokter dalam kateter kontraumatik yang mengalami
memasang kateter untuk untuk mengatasi ekimosis atau
tamponade balon perdarahan dengan pembentukan
esofagus. segera pada pasien hematom.
yang cemas dan
8. Lakukan observasi melawan.  Memperlihatkan
selama transfusi darah tanda-tanda vital
dilaksanakan. 8. Memungkinkan yang normal.
deteksi reaksi
9. Ukur dan catat sifat, transfusi (resiko ini  Mempertahankan
waktu serta jumlah akan meningkat istirahat dalam
muntahan. dengan pelaksanaan keadaan tenang
lebih dari satu kali ketika terjadi
10. Pertahankan pasien transfusi yang perdarahan aktif.
dalam keadaan puasa diperlukan untuk
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan

jika diperlukan. mengatasi perdarahan  Mengenali


aktif dari varises rasional untuk
11. Berikan vitamin K esofagus) melakukan
seperti yang diresepkan. transfusi darah
9. Membantu dan tindakan
12. Dampingi pasien secara mengevaluasi taraf guna mengatasi
terus menerus selama perdarahan dan perdarahan.
episode perdarahan. kehilangan darah.
 Melakukan
13. Tawarkan minuman 10. Mengurangi resiko tindakan untuk
dingin lewat mulut aspirasi isi lambung mencegah trauma
ketika perdarahan dan meminimalkan (misalnya,
teratasi (bila resiko trauma lebih menggunakan
diinstruksikan). lanjut pada esofagus sikat gigi yang
dan lambung. lunak, membuang
14. Lakukan tindakan untuk ingus secara
mencegah trauma : 11. Meningkatkan perlahan-lahan,
pembekuan dengan menghindari
1. Mempertahankan memberikan vitamin terbentur serta
lingkungan yang larut lemak yang terjatuh,
aman. diperlukan untuk menghindari
mekanisme mengejan pada
2. Mendorong pembekuan darah. saat defekasi).
pasien untuk
membuang ingus 12. Menenangkan pasien  Tidak mengalami
secara perlahan- yang merasa cemas efek samping
lahan. dan memungkinkan pemberian obat.
pemantauan serta
3. Menyediakan deteksi terhadap  Menggunakan
sikat gigi yang kebutuhan pasien semua obat
lunak dan selanjutnya. seperti yang
menghindari diresepkan.
penggunaan 13. Mengurangi resiko
tusuk gigi. perdarahan lebih  Mengenali
lanjut dengan rasional untuk
4. Mendorong meningkatkan melakukan
konsumsi vasokontriksi tindakan
makanan dengan pembuluh darah penjagaan
kandungan esofagus dan dengan
vitamin C yang lambung. menggunakan
tinggi. semua obat.
14. Meningkatkan
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan

5. Melakukan keamanan pasien.


kompres dingin
jika diperlukan. 1. Mengurangi resiko
trauma dan
6. Mencatat lokasi perdarahan dengan
tempat menghindari cedera,
perdarahan. terjatuh, terpotong,
dll.
7. Menggunakan
jarum kecil 2. Mengurangi resiko
ketika melakukan epistaksis sekunder
penyuntikan. akibat trauma dan
penurunan
15. Berikan obat dengan pembekuan darah.
hati-hati; pantau efek
samping pemberian obat. 3. Mencegah trauma
pada mukosa oral
sementara higiene
oral yang baik
ditingkatkan.

4. Meningkatkan proses
penyembuhan.

5. Mengurangi
perdarahan ke dalam
jaringan dengan
meningkatkan
vasokontriksi lokal.

6. Memungkinkan
deteksi tempat
perdarahan yang baru
dan pemantauan
tempat perdarahan
sebelumnya.

7. Meminimalkan
perambesan dan
kehilangan darah
akibat penyuntikan
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan

yang berkali-kali.

15. Mengurangi resiko


efek samping yang
terjadi sekunder
karena
ketidakmampuan hati
yang rusak untuk
melakukan
detoksifikasi
(memetabolisasi)
obat secara normal.

Diagnosa keperawatan : Nyeri dan gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hati yang
membesar serta nyeri tekan dan asites.

Tujuan : Peningkatan rasa kenyamanan.

1. Pertahankan tirah baring 1. Mengurangi  Mempertahankan


ketika pasien mengalami kebutuhan metabolik tirah baring dan
gangguan rasa nyaman dan melindungi hati. mengurangi
pada abdomen. aktivitas ketika
2. Mengurangi nyeri terasa.
2. Berikan antipasmodik iritabilitas traktus
dan sedatif seperti yang gastrointestinal dan  Menggunakan
diresepkan. nyeri serta gangguan antipasmodik dan
rasa nyaman pada sedatif sesuai
3. Kurangi asupan natrium abdomen. indikasi dan
dan cairan jika resep yang
diinstruksikan. 3. Memberikan dasar diberikan.
untuk mendeteksi
lebih lanjut  Melaporkan
kemunduran keadaan pengurangan rasa
pasien dan untuk nyeri dan
mengevaluasi gangguan rasa
intervensi. nyaman pada
abdomen.
4. Meminimalkan
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan

 Melaporkan rasa
pembentukan asites nyeri dan
lebih lanjut. gangguan rasa
nyaman jika
terasa.

 Mengurangi
asupan natrium
dan cairan sesuai
kebutuhan hingga
tingkat yang
diinstruksikan
untuk mengatasi
asites.

 Merasakan
pengurangan rasa
nyeri.

 Memperlihatkan
pengurangan rasa
nyeri.

 Memperlihatkan
pengurangan
lingkar perut dan
perubahan berat
badan yang
sesuai.

Diagnosa keperawatan : Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asites dan


pembentukan edema.

Tujuan : Pemulihan kepada volume cairan yang normal.

1. Batasi asupan natrium 1. Meminimalkan  Mengikuti diet


dan cairan jika pembentukan asites rendah natrium
diinstruksikan. dan edema. dan pembatasan
cairan seperti
2. Berikan diuretik, 2. Meningkatkan yang
suplemen kalium dan ekskresi cairan lewat diinstruksikan.
protein seperti yang ginjal dan
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan

dipreskripsikan. mempertahankan  Menggunakan


keseimbangan cairan diuretik,
3. Catat asupan dan serta elektrolit yang suplemen kalium
haluaran cairan. normal. dan protein
sesuai indikasi
4. Ukur dan catat lingkar 3. Menilai efektivitas tanpa mengalami
perut setiap hari. terapi dan kecukupan efek samping.
asupan cairan.
5. Jelaskan rasional  Memperlihatkan
pembatasan natrium dan 4. Memantau perubahan peningkatan
cairan. pada pembentukan haluaran urine.
asites dan
penumpukan cairan.  Memperlihatkan
pengecilan
5. Meningkatkan lingkar perut.
pemahaman dan
kerjasama pasien  Mengidentifikasi
dalam menjalani dan rasional
melaksanakan pembatasan
pembatasan cairan. natrium dan
cairan.

Diagnosa keperawatan : Perubahan proses berpikir berhubungan dengan kemunduran


fungsi hati dan peningkatan kadar amonia.

Tujuan : Perbaikan status mental.

1. Batasi protein makanan 1. Mengurangi sumber  Memperlihatkan


seperti yang diresepkan. amonia (makanan perbaikan status
sumber protein). mental.
2. Berikan makanan
sumber karbohidrat 2. Meningkatkan  Memperlihatkan
dalam porsi kecil tapi asupan karbohidrat kadar amonia
sering. yang adekuat untuk serum dalam
memenuhi kebutuhan batas-batas yang
3. Berikan perlindungan energi dan normal.
terhadap infeksi. “mempertahankan”
protein terhadap  Memiliki
4. Pertahankan lingkungan proses pemecahannya orientasi terhadap
agar tetap hangat dan untuk menghasilkan waktu, tempat
bebas dari angin. tenaga. dan orang.
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan

5. Pasang bantalan pada 3. Memperkecil resiko  Melaporkan pola


penghalang di samping terjadinya tidur yang
tempat tidur. peningkatan normal.
kebutuhan metabolik
6. Batasi pengunjung. lebih lanjut.  Menunjukkan
perhatian
7. Lakukan pengawasan 4. Meminimalkan gejala terhadap kejadian
keperawatan yang menggigil karena dan aktivitas di
cermat untuk akan meningkatkan lingkungannya.
memastikan keamanan kebutuhan metabolik.
pasien.  Memperlihatkan
5. Memberikan rentang perhatian
8. Hindari pemakaian perlindungan kepada yang normal.
preparat opiat dan pasien jika terjadi
barbiturat. koma hepatik dan  Mengikuti dan
serangan kejang. turut serta dalam
9. Bangunkan dengan percakapan
interval. 6. Meminimalkan secara tepat.
aktivitas pasien dan
kebutuhan  Melaporkan
metaboliknya. kontinensia fekal
dan urin.
7. Melakukan
pemantauan ketat  Tidak mengalami
terhadap gejala yang kejang.
baru terjadi dan
meminimalkan
trauma pada pasien
yang mengalami
gejala konfusi.

8. Mencegah
penyamaran gejala
koma hepatik dan
mencegah overdosis
obat yang terjadi
sekunder akibat
penurunan
kemampuan hati
yang rusak untuk
memetabolisme
preparat narkotik dan
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan

barbiturat.

9. Memberikan
stimulasi kepada
pasien dan
kesempatan untuk
mengamati tingkat
kesadaran pasien.

Diagnosa keperawatan : Pola napas yang tidak efektif berhubungan dengan asites dan
restriksi pengembangan toraks akibat aistes, distensi abdomen serta adanya cairan dalam
rongga toraks.

Tujuan : Perbaikan status pernapasan.

1. Tinggalkan bagian 1. Mengurangi tekanan  Mengalami


kepala tempat tidur. abdominal pada perbaikan status
diafragma dan pernapasan.
2. Hemat tenaga pasien. memungkinkan
pengembangan toraks  Melaporkan
3. Ubah posisi dengan dan ekspansi paru pengurangan
interval. yang maksimal. gejala sesak
napas.
4. Bantu pasien dalam 2. Mengurangi
menjalani parasentesis kebutuhan metabolik  Melaporkan
atau torakosentesis. dan oksigen pasien. peningkatan
tenaga dan rasa
1. Berikan 3. Meningkatkan sehat.
dukungan dan ekspansi
pertahankan (pengembangan) dan  Memperlihatkan
posisi selama oksigenasi pada frekuensi
menjalani semua bagian paru). respirasi yang
prosedur. normal (12-
4. Parasentesis dan 18/menit) tanpa
2. Mencatat jumlah torakosentesis (yang terdengarnya
dan sifat cairan dilakukan untuk suara pernapasan
yang diaspirasi. mengeluarkan cairan tambahan.
dari rongga toraks)
3. Melakukan merupakan tindakan  Memperlihatkan
observasi yang menakutkan pengembangan
terhadap bukti bagi pasien. Bantu toraks yang
terjadinya batuk, pasien agar bekerja penuh tanpa
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan

sama dalam gejala pernapasan


peningkatan menjalani prosedur dangkal.
dispnu atau ini dengan
frekuensi denyut meminimalkan resiko  Memperlihatkan
nadi. dan gangguan rasa gas darah yang
nyaman. normal.

2. Menghasilkan  Tidak mengalami


catatan gejala konfusi
tentang cairan atau sianosis.
yang
dikeluarkan
dan indikasi
keterbatasan
pengembanga
n paru oleh
cairan.

3. Menunjukkan
iritasi rongga
pleura dan
bukti adanya
gangguan
fungsi
respirasi oleh
pneumotoraks
atau
hemotoraks
(penumpukan
udara atau
darah dalam
rongga
pleura).

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (1999). Rencana
asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan
pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.

Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-
proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.

Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA


PASIEN DENGAN ULKUS KORNEA
A. Pengertian

Keratitis ulseratif yang lebih dikenal sebagai ulserasi kornea yaitu terdapatnya destruksi
(kerusakan) pada bagian epitel kornea. (Darling,H Vera, 2000, hal 112)

IB. Etiologi

Faktor penyebabnya antara lain:

 Kelainan pada bulu mata (trikiasis) dan sistem air mata (insufisiensi air mata,
sumbatan saluran lakrimal), dan sebagainya
 Faktor eksternal, yaitu : luka pada kornea (erosio kornea), karena trauma,
penggunaan lensa kontak, luka bakar pada daerah muka

 Kelainan-kelainan kornea yang disebabkan oleh : oedema kornea kronik,


exposure-keratitis (pada lagophtalmus, bius umum, koma) ; keratitis karena
defisiensi vitamin A, keratitis neuroparalitik, keratitis superfisialis virus.

 Kelainan-kelainan sistemik; malnutrisi, alkoholisme, sindrom Stevens-Jhonson,


sindrom defisiensi imun.
 Obat-obatan yang menurunkan mekaniseme imun, misalnya : kortikosteroid, IUD,
anestetik lokal dan golongan imunosupresif.

Secara etiologik ulkus kornea dapat disebabkan oleh :

o Bakteri

Kuman yang murni dapat menyebabkan ulkus kornea adalah streptokok pneumoniae,
sedangkan bakteri lain menimulkan ulkus kornea melalui faktor-faktor pencetus diatas.

o Virus : herpes simplek, zooster, vaksinia, variola


o Jamur : golongan kandida, fusarium, aspergilus, sefalosporium

o Reaksi hipersensifitas

Reaksi terhadap stapilokokus (ulkus marginal), TBC (keratokonjungtivitis flikten),


alergen tak diketahui (ulkus cincin)

(Sidarta Ilyas, 1998, 57-60)

C. Tanda dan Gejala

 Pada ulkus yang menghancurkan membran bowman dan stroma, akan


menimbulkan sikatrik kornea.

 Gejala subyektif pada ulkus kornea sama seperti gejala-gejala keratitis. Gejala
obyektif berupa injeksi silier, hilangnya sebagian jaringan kornea dan adanya
infiltrat. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi iritis disertai hipopion.

 Fotofobia

 Rasa sakit dan lakrimasi

(Darling,H Vera, 2000, hal 112)

D . MACAM-MACAM ULKUS KORNEA SECARA DETAIL

Ulkus kornea dibagi dalam bentuk :

1. Ulkus kornea sentral meliputi:

a. Ulkus kornea oleh bakteri


Bakteri yang ditemukan pada hasil kultur ulkus dari kornea yang tidak ada faktor
pencetusnya (kornea yang sebelumnya betul-betul sehat) adalah :

o Streptokokok pneumonia
o Streptokokok alfa hemolitik

o Pseudomonas aeroginosa

o Klebaiella Pneumonia

o Spesies Moraksella

Sedangkan dari ulkus kornea yang ada faktor pencetusnya adalah bakteri patogen
opportunistik yang biasa ditemukan di kelopak mata, kulit, periokular, sakus konjungtiva,
atau rongga hidung yang pada keadaan sistem barier kornea normal tidak menimbulkan
infeksi. Bakteri pada kelompok ini adalah :

o Stafilokukkus epidermidis
o Streptokokok Beta Hemolitik

o Proteus

 Ulkus kornea oleh bakteri Streptokokok

Bakteri kelompok ini yang sering dijumpai pada kultur dari infeksi ulkus kornea adalah :

o Streptokok pneumonia (pneumokok)


o Streptokok viridans (streptokok alfa hemolitik0

o Streptokok pyogenes (streptokok beta hemolitik)

o Streptokok faecalis (streptokok non-hemolitik)

Walaupun streptokok pneumonia adalah penyebab yang biasa terdapat pada keratitis
bakterial, akhir-akhir ini prevalensinya banyak digantikan oleh stafilokokus dan
pseudomonas.

Ulkus oleh streptokok viridans lebih sering ditemukan mungkin disebabkan karena
pneumokok adalah penghuni flora normal saluran pernafasan, sehingga terdapat semacam
kekebalan. Streptokok pyogenes walaupun seringkali merupakan bakteri patogen untuk
bagian tubuh yang lain, kuman ini jarang menyebabkan infeksi kornea. Ulkus oleh
streptokok faecalis didapatkan pada kornea yang ada faktor pencetusnya.

Gambaran Klinis Ulkus kornea oleh bakteri Streptokokok


Ulkus berwarna kuning keabu-abuan, berbetuk cakram dengan tepi ulkus menggaung.
Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karen aeksotoksin
yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia

Pengobatan : Sefazolin, Basitrasin dalam bentuk tetes, injeksi subkonjungtiva dan intra
vena

 Ulkus kornea oleh bakteri Stafilokokkus

Infeksi oleh Stafilokokus paling sering ditemukan. Dari 3 spesies stafilokokus Aureus,
Epidermidis dan Saprofitikus, infeksi oleh Stafilokokus Aureus adalah yang paling berat,
dapat dalam bentuk : infeksi ulkus kornea sentral, infeksi ulkus marginal, infeksi ulkus
alergi (toksik).

Infeksi ulkus kornea oleh Stafilokokus Epidermidis biasanya terjadi bila ada faktor
penceus sebelumnya seperti keratopati bulosa, infeksi herpes simpleks dan lensa kontak
yang telah lama digunakan.

Gambaran Klinis Ulkus kornea oleh bakteri Stafilokokkus

Pada awalnya berupa ulkus yang berwarna putih kekuningan disertai infiltrat berbatas
tegas tepat dibawah defek epithel. Apabila tidak diobati secara adekuat, akan terjadi abses
kornea yang disertai oedema stroma dan infiltrasi sel lekosit. Walaupun terdapat hipopion
ulkus sering kali indolen yaitu reaksi radangnya minimal. Infeksi kornea marginal
biasanya bebas kuman dan disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap Stafilokokus
Aureus.

 Ulkus kornea oleh bakteri Pseudomonas

Berbeda dengan ulkus kornea sebelumnya, pada ulkus pseudomonas bakteri ini
ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Bakteri pseudomonas bersifat aerob obligat dan
menghasilkan eksotoksin yang menghambat sintesis protein. Keadaan ini menerangkan
mengapa pada ulkus pseudomonas jaringan kornea cepat hancur dan mengalami
kerusakan. Bakteri pseudomonas dapat hidup dalam kosmetika, cairan fluoresein, cairan
lensa kontak.

Gambaran Klinis Ulkus kornea oleh bakteri pseudomonas

Biasanya dimulai dengan ulkus kecil dibagian sentral kornea dengan infiltrat berwarna
keabu-abuan disertai oedema epitel dan stroma. Ulkus kecil ini dengan cepat melebar dan
mendalam serta menimbulkan perforasi kornea. Ulkus mengeluarkan discharge kental
berwarna kuning kehijauan.
Pengobatan : gentamisin, tobramisin, karbesilin yang diberikan secara lokal,
subkonjungtiva serta intra vena.

b. Ulkus kornea oleh virus

Ulkus kornea oleh virus herpes simpleks cukup sering dijumpai. Bentuk khas dendrit
dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan
menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila mengalami
nekrosis di bagian sentral.

c.Ulkus kornea oleh jamur

Ulkus kornea oleh jamur banyak ditemukan, hal ini dimungkinkan oleh :

o Penggunaan antibiotika secara berlebihan dalam jangka waktu yang lama


atau pemakaian kortikosteroid jangka panjang
o Fusarium dan sefalosporium menginfeksi kornea setelah suatu trauma
yang disertai lecet epitel, misalnya kena ranting pohon atau binatang yang
terbang mengindikasikan bahwa jamur terinokulasi di kornea oleh benda
atau binatang yang melukai kornea dan bukan dari adanya defek epitel dan
jamur yang berada di lingkungan hidup.

o Infeksi oleh jamur lebih sering didapatkan di daerah yang beriklim tropik,
maka faktor ekologi ikut memberikan kontribusi.

Fusarium dan sefalosporium terdapat dimana-mana, ditanah, di udara dan sampah


organik. Keduanya dapat menyebabkan penyakit pada tanaman dan pada manusia dapat
diisolasi dari infeksi kulit, kuku, saluran kencing.

Aspergilus juga terdapat dimana-mana dan merupakan organisme oportunistik , selain


keratitis aspergilus dapat menyebabkan endoftalmitis eksogen dan endogen, selulitis
orbita, infeksi saluran lakrimal.

Kandida adalah jamur yang paling oportunistik karena tidak mempunyai hifa (filamen)
menginfeksi mata yang mempunyai faktor pencetus seperti exposure keratitis, keratitis
sika, pasca keratoplasti, keratitis herpes simpleks dengan pemakaian kortikosteroid.

Pengobatan : Pemberian obat anti jamur dengan spektrum luas, apabila memungkinkan
dilakukan pemeriksaan laboratorium dan tes sensitifitas untuk dapat memilih obat anti
jamur yang spesifik.
2. Ulkus marginal

Ulkus marginal adalah peradangan kornea bagian perifer dapat berbentuk bulat atau dapat
juga rektangular (segiempat) dapat satu atau banyak dan terdapat daerah kornea yang
sehat dengan limbus. Ulkus marginal dapat ditemukan pada orang tua dan sering
dihubungkan dengan penyakit rematik atau debilitas. Dapat juga terjadi ebrsama-sama
dengan radang konjungtiva yang disebabkan oleh Moraxella, basil Koch Weeks dan
Proteus Vulgaris. Pada beberapa keadaan dapat dihubungkan dengan alergi terhadap
makanan. Secara subyektif ; penglihatan pasien dengan ulkus marginal dapat menurun
disertai rasa sakit, lakrimasi dan fotofobia. Secara obyektif : terdapat blefarospasme,
injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang sejajar dengan limbus.

Pengobatan : Pemberian kortikosteroid topikal akan sembuh dalam 3 hingga 4 hari, tetapi
dapat rekurens. Antibiotika diberikan untuk infeksi stafilokok atau kuman lainnya.
Disensitisasi dengan toksoid stafilokkus dapat memberikan penyembuhan yang efektif.

1. Ulkus cincin

Merupakan ulkus kornea perifer yang dapat mengenai seluruh lingkaran kornea, bersifat
destruktif dan biasaya mengenai satu mata.

Penyebabnya adalah reaksi alergi dan ditemukan bersama-sama penyakit disentri basile,
influenza berat dan penyakit imunologik. Penyakit ini bersifat rekuren.

Pengobatan bila tidak erjad infeksi adalah steroid saja.

2. Ulkus kataral simplek

Letak ulkus peifer yang tidak dalam ini berwarna abu-abu dengan subu terpanjag tukak
sejajar dengan limbus. Diantara infiltrat tukak yang akut dengan limbus ditepiya terlihat
bagian yang bening.

Terjadi ada pasien lanut usia.

Pengobatan dengan memberikan antibiotik, steroid dan vitamin.

3. Ulkus Mooren

Merupakan ulkus kronik yang biasanya mulai dari bagian perifer kornea berjalan
progresif ke arah sentral tanpa adaya kecenderungan untuk perforasi. Gambaran khasnya
yaitu terdapat tepi tukak bergaung dengan bagan sentral tanpa adanya kelainan dalam
waktu yang agak lama. Tukak ini berhenti jika seluuh permukaan kornea terkenai.

Penyebabya adalah hipersensitif terhadap tuberkuloprotein, virus atau autoimun.

Keluhannya biasanya rasa sakit berat pada mata.


Pengobatan degan steroid, radioterapi. Flep konjungtiva, rejeksi konjungtiva, keratektomi
dan keratoplasti.

(Sidarta Ilyas, 1998, 57-60)

E. Penatalaksanaan :

Pasien dengan ulkus kornea berat biasanya dirawat untuk pemberian berseri (kadang
sampai tiap 30 menit sekali), tetes antimikroba dan pemeriksaan berkala oleh ahli
opthalmologi. Cuci tangan secara seksama adalah wajib. Sarung tangan harus dikenakan
pada setiap intervensi keperawatan yang melibatkan mata. Kelopak mata harus dijaga
kebersihannya, dan perlu diberikan kompres dingin. Pasien dipantau adanya peningkatan
tanda TIO. Mungkin diperlukan asetaminofen untuk mengontrol nyeri. Siklopegik dan
midriatik mungkin perlu diresep untuk mengurangi nyeri dan inflamasi. Tameng mata
(patch) dan lensa kontak lunak tipe balutan harus dilepas sampai infeksi telah terkontrol,
karena justru dapat memperkuat pertumbuhan mikroba. Namun kemudian diperlukan
untuk mempercepat penyembuhan defek epitel.

F. Pemeriksaan Diagnostik :

1. Kartu mata/ snellen telebinokuler (tes ketajaman penglihatan dan sentral


penglihatan )
2. Pengukuran tonografi : mengkaji TIO, normal 15 - 20 mmHg

3. Pemeriksaan oftalmoskopi

4. Pemeriksaan Darah lengkap, LED

5. Pemeriksaan EKG

6. Tes toleransi glukosa

G. Pengkajian :

1. Aktifitas / istirahat : perubahan aktifitas


2. Neurosensori : penglihatan kabur, silau

3. Nyeri : ketidaknyamanan, nyeri tiba-tiba/berat menetap/ tekanan pada & sekitar


mata
4. Keamanan : takut, ansietas

(Doenges, 2000)

Diagnosa dan Intervensi Keperawatan :

1. Ketakutan atau ansietas berhubungan dengan kerusakan sensori dan


kurangnya pemahaman mengenai perawatan pasca operatif, pemberian obat

Intervensi :

o Kaji derajat dan durasi gangguan visual


o Orientasikan pasien pada lingkungan yang baru

o Jelaskan rutinitas perioperatif

o Dorong untuk menjalankan kebiasaan hidup sehari-hari bila mampu

o Dorong partisipasi keluarga atau orang yang berarti dalam perawatan


pasien.

2. Risiko terhadap cedera yang berhubungan dengan kerusakan penglihatan

Intervensi :

o Bantu pasien ketika mampu melakukan ambulasi pasca operasi sampai


stabil
o Orientasikan pasien pada ruangan

o Bahas perlunya penggunaan perisai metal atau kaca mata bila diperlukan

o Jangan memberikan tekanan pada mata yang terkena trauma

o Gunakan prosedur yang memadai ketika memberikan obat mata

3. Nyeri yang berhubungan dengan trauma, peningkatan TIO, inflamasi


intervensi bedah atau pemberian tetes mata dilator
Intervensi :

o Berikan obat untuk mengontrol nyeri dan TIO sesuai resep


o Berikan kompres dingin sesuai permintaan untuk trauma tumpul

o Kurangi tingkat pencahayaan

o Dorong penggunaan kaca mata hitam pada cahaya kuat

4. Potensial terhadap kurang perawatan diri yang berhubungan dengan


kerusakan penglihatan

Intervensi :

o Beri instruksi pada pasien atau orang terdekat mengenai tanda dan gejala,
komplikasi yang harus segera dilaporkan pada dokter

o Berikan instruksi lisan dan tertulis untuk pasien dan orang yang berarti
mengenai teknik yang benar dalam memberikan obat

o Evaluasi perlunya bantuan setelah pemulangan

o Ajari pasien dan keluarga teknik panduan penglihatan

e. Perubahan persepsi sensori: visual b.d kerusakan penglihatan

Tujuan: Pasien mampu beradaptasi dengan perubahan

Kriteria hasil :

1. Pasien menerima dan mengatasi sesuai dengan keterbatasan penglihatan

2. Menggunakan penglihatan yang ada atau indra lainnya secara adekuat

Intervensi:

o Perkenalkan pasien dengan lingkungannya


o Beritahu pasien untuk mengoptimalkan alat indera lainnya yang tidak
mengalami gangguan

o Kunjungi dengan sering untuk menentukan kebutuhan dan menghilangkan


ansietas

o Libatkan orang terdekat dalam perawatan dan aktivitas

o Kurangi bising dan berikan istirahat yang seimbang

f. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi mengenai perawatan diri dan


proses penyakit

Tujuan: Pasien memiliki pengetahuan yang cukup mengenai penyakitnya

Kriteria hasil:

1. Pasien memahami instruksi pengobatan


2. Pasien memverbalisasikan gejala-gejala untuk dilaporkan

Intervensi:

o Beritahu pasien tentang penyakitnya


o Ajarkan perawatan diri selama sakit

o Ajarkan prosedur penetesan obat tetes mata dan penggantian balutan pada
pasien dan keluarga

o Diskusikan gejala-gejala terjadinya kenaikan TIO dan gangguan


penglihatan

PATHWAYS

1. Kelainan pada bulu mata dan sistem air mata


2. Trauma kornea

3. Kelainan kornea

4. Kelainan sistemik
5. Obat penurun mekanisme imun

1. Bakteri

2. Virus

3. Jamur

4. Hipersensitivitas

Menginfeksi kornea

Terpajannya reseptor nyeri

Ulkus

Perforasi kornea

Tumpukan pus di camera oculi anterior


Nyeri

Ruptur kornea

TIO meningkat

Perubahan Persepsi sensori : penglihatan

Penglihatan terganggu

Resiko cidera

Harga diri rendah

Gangguan body image

DAFTAR PUSTAKA
1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata.
Cet. 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 1998.
2. Darling, Vera H & Thorpe Margaret R.
Perawatan Mata. Yogyakarta : Penerbit Andi; 1995.
3. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made
Kariasa. Ed. 3. Jakarta, 2000

LAPORAN PENDAHULUAN PADA


PASIEN DENGAN SINDROM
NEFROTIK
KONSEP DASAR

1. Pengertian

Sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang timbul dari kehilangan protein
karena kerusakan glomerulus yang difus. (Luckmans, 1996 : 953).

Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia


dan hiperkolesterolemia kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi dan penurunan
fungsi ginjal. (Ngastiyah, 1997).

2. Etiologi

Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap
sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi.
Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:

1. Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah
edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua
pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa
neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik sekunder

Disebabkan oleh:

1. Malaria kuartana atau parasit lain.


2. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura
anafilaktoid.

3. Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis.

4. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas,


sengatan lebah, racun oak, air raksa.

5. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis


membranoproliferatif hipokomplementemik.

2. Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya )

Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan


mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk membagi dalam 4 golongan yaitu:
kelainan minimal,nefropati membranosa, glumerulonefritis proliferatif dan
glomerulosklerosis fokal segmental.

3. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yang muncul pada anak yang mengalami Sindrom nefrotik adalah:

1. Oedem umum ( anasarka ), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
2. Proteinuria dan albuminemia.

3. Hipoproteinemi dan albuminemia.

4. Hiperlipidemi khususnya hipercholedterolemi.

5. Lipid uria.

6. Mual, anoreksia, diare.

7. Anemia, pasien mengalami edema paru.

4. Klasifikasi

Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:

1. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic


syndrome).
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak dengan
sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila dilihat dengan
mikroskop cahaya.

2. Sindrom Nefrotik Sekunder

Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik, purpura
anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan neoplasma
limfoproliferatif.

3. Sindrom Nefrotik Kongenital

Factor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang
terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema dan
proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi
pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.

5. Patofisiologi

Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah proteinuria
sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini disebabkan
oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang sebabnya belum
diketahui yang terkait dengan hilannya muatan negative gliko protein dalam dinding
kapiler. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan
protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak akibat dari
kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan dalam urin. (Husein A Latas, 2002 :
383).

Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang terutama terdiri dari
albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edema muncul bila
kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme edema belum diketahui
secara fisiologi tetapi kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik/
osmotic intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus keruang intertisial, hal ini
disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan keruang intertisial
menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan. (Silvia A Price, 1995: 833).

Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri menurun
dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan penurunan
volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi ginjal. Hal ini
mengaktifkan system rennin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh
darah dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume atrium yang akan
merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium ditubulus distal
dan merangsang pelepasan hormone anti diuretic yang meningkatkan reabsorbsi air
dalam duktus kolektifus. Hal ini mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi
karena onkotik plasma berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan memperberat
edema. (Husein A Latas, 2002: 383).

Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan anti diuretic hormone akan
mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol, trigliserid, dan
lipoprotein serum meningkat yang disebabkan oleh hipoproteinemia yang merangsang
sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan terjadinya katabolisme lemak yang menurun
karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma. Hal ini dapat menyebabkan
arteriosclerosis. (Husein A Latas, 2002: 383).

6. Pathways

idiopatik

Reaksi auto imun

Penyakit sekunder

Tekanan hidrostatik

Tekanan

Osmotic plasma

Transudasi air dan elektrolit ke ruang intertisiil

edema

Sel terjepit

Gangguan metabolisme sel

Stimulasi jaringan tubuler

kelelahan

Intoleransi

aktivitas
Aktivasi mekanisme renin angiotensin

Stimulasi duktus kolektifus

Aktivasi mekanisme renin angiotensin

Stimulasi jaringan tubuler

Stimulasi duktus kolektifus

Kontriksi pembuluh darah

Reabsorbsi Na

Reabsorbsi

air

oliguri

hipertesi

Edema anasarka

immobilitas

Penekanan lama pada tubuh

Gg. Integritas kulit

bedrest

Sulit bergerak

Perubahan penampilan

Intoleransi aktivitas

Gg. Body image


Retensi cairan diseluruh tubuh

Kelebihan volume cairan

Paru-paru

Ekspansi dada dan paru

Ventilasi tidak adekuat

Sesak nafas

Perubahan pola nafas

Abdomen

Menekan gaster

Mual, muntah

anoreksia

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan

Edema disaluran pencernaan

usus

Absorbsi tidak adekuat

Gg. Pola eliminasi diare

7. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

1. Urine

Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor, sediment
kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin, porfirin.

2. Darah
Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium biasanya
meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring
dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah
merah). Klorida, fsfat dan magnesium meningkat. Albumin <>

2. Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa.

8. Penatalaksanan

1. Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan keadaan
tidak berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan untuk
mempertahankan tirah baring selama diuresis jika terdapat kehilangan berat badan
yang cepat.
2. Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/
hari dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis
dan edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan
protein yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen
yang persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit
harus mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami
anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
3. Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma
terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban
harus dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat
dengan lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan.
Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong
dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok kulit.
4. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan
untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
5. Kemoterapi:

 Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai


efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis pemeliharaan
sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya sering terjadi dengan
cepat dan obat dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau
diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan,
osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi.

 Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat
cairan berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik
( imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis
dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan
siklofosfamid.

1. Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan


mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma
intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
2. Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung
mengalami infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga merupakan
hal yang menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.
3. Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat,
penimbnagan harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
4. Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu
dengan penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang
penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan
masa remisi, eksaserbasi dan masuk rumah sakit secara periodik. Kondisi ini
harus diterangkan pada orang tua sehingga mereka mereka dapat mengerti
perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada mereka
karena mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumahn sakit.

II. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

 Lakukan pengkajian fisik, termasuk pengkajian luasnya


edema.

 Kaji riwayat kesehatan, khususnya yang berhubungan


dengan adanya peningkatan berat badan dan kegagalan
fungsi ginjal.

 Observasi adanya manifestasi dari Sindrom nefrotik :


Kenaikan berat badan, edema, bengkak pada wajah
( khususnya di sekitar mata yang timbul pada saat bangun
pagi , berkurang di siang hari ), pembengkakan abdomen
(asites), kesulitan nafas ( efusi pleura ), pucat pada kulit,
mudah lelah, perubahan pada urin ( peningkatan volum,
urin berbusa ).

 Pengkajian diagnostik meliputi meliputi analisa urin untuk


protein, dan sel darah merah, analisa darah untuk serum
protein ( total albumin/globulin ratio, kolesterol ) jumlah
darah, serum sodium.

2. Prioritas Diagnosa Keperawatan

 Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna


L, 2004 : 550)
 Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)
 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999:
204)
 Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif (Carpenito, 1999:204).
 Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)
 Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.(Wong,Donna,2004:550)
 Gangguan body image b.d. perubahan penampilan. (Wong, Donna, 2004:553).
 Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.

3. Perencanaan Keperawatan
Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna
L, 2004 : 550)

Tujuan: tidak terjadi akumulasi cairan dan dapat mempertahankan keseimbangan intake
dan output.

KH: menunjukkan keseimbangan dan haluaran, tidak terjadi peningkatan berat badan,
tidak terjadi edema.

Intervensi:

 Pantau, ukur dan catat intake dan output cairan


 Observasi perubahan edema
 Batasi intake garam
 Ukur lingkar perut
 timbang berat badan setiap hari

Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)


kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai program dan monitor efeknya

Tujuan: Pola nafas adekuat

KH: frekuensi dan kedalaman nafas dalam batas normal

Intervensi:

1. auskultasi bidang paru


2. pantau adanya gangguan bunyi nafas

3. berikan posisi semi fowler

4. observasi tanda-tanda vital

5. kolaborasi pemberian obat diuretik

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia.


(Carpenito,1999: 204)

Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi


KH: tidak terjadi mual dan muntah, menunjukkan masukan yang adekuat,
mempertahankan berat badan

Intervensi:

1. tanyakan makanan kesukaan pasien


2. anjurkan keluarga untuk mrndampingi anak pada saat makan

3. pantau adanya mual dan muntah

4. bantu pasien untuk makan

5. berikan makanan sedikit tapi sering

6. berikan informasi pada keluarga tentang diet klien

Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif. (Carpenito, 1999:204).

Tujuan: tidak terjadi infeksi

KH: tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tanda-tanda vitl dalam batas normal, leukosit
dalam batas normal.

Intervensi:

1. cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan


2. pantau adanya tanda-tanda infeksi

3. lakukan perawatan pada daerah yang dilakukan prosedur invasif

4. anjurkan keluarga untuk mrnjaga kebersihan pasien

5. kolaborasi pemberian antibiotik

Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)

Tujuan: pasien dapat mentolerir aktivitas dan mrnghemat energi

KH: menunjukkan kemampuan aktivitas sesuai dengan kemampuan, mendemonstrasikan


peningkatan toleransi aktivitas

Intervensi:

1. pantau tingkat kemampuan pasien dalan beraktivitas


2. rencanakan dan sediakan aktivitas secara bertahap
3. anjurkan keluarga untuk membantu aktivitas pasien

4. berikan informasi pentingnya aktivitas bagi pasien

Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.(Wong,Donna,2004:550)

Tujuan: tidak terjadi kerusakan integritas kulit

KH: integritas kulit terpelihara, tidak terjadi kerusakan kulit

Intervensi:

1. inspeksi seluruh permukaan kulit dari kerusakan kulit dan iritasi


2. berikan bedak/ talk untuk melindungi kulit

3. ubah posisi tidur setiap 4 jam

4. gunakan alas yang lunak untuk mengurangi penekanan pada kulit.

7. Gangguan body image b.d.


perubahan penampilan. (Wong,
Donna, 2004:553).

Tujuan: tidak terjadi gangguan boby image

KH: menytakan penerimaan situasi diri, memasukkan perubahan konsep diri tanpa harga
diri negatif

Intervensi:

1. gali perasaan dan perhatian anak terhadap penampilannya


2. dukung sosialisasi dengan orang-orang yang tidak terkena infeksi

3. berikan umpan balik posotif terhadap perasaan anak

8. Gangguan pola eliminasi:diare b.d.


mal absorbsi.

Tujuan: tidak terjadi diare

KH: pola fungsi usus normal, mengeluarkan feses lunak

Intervensi:

1. observasi frekuensi, karakteristik dan warna feses


2. identifikasi makanan yang menyebabkan diare pada pasien
3. berikan makanan yang mudah diserap dan tinggi serap.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2003. Medical Surgical Nursing (Perawatan Medikal Bedah), alih
bahasa: Monica Ester. Jakarta : EGC.

Carpenito, L. J.1999. Hand Book of Nursing (Buku Saku Diagnosa Keperawatan), alih
bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC.

Doengoes, Marilyinn E, Mary Frances Moorhouse. 2000. Nursing Care Plan: Guidelines
for Planning and Documenting Patient Care (Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman
Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), alih bahasa: I Made
Kariasa. Jakarta: EGC.

Donna L, Wong. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica Ester.
Jakarta: EGC.

Husein A Latas. 2002. Buku Ajar Nefrologi. Jakarta: EGC.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Price A & Wilson L. 1995. Pathofisiology Clinical Concept of Disease Process


(Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit), alih bahasa: Dr. Peter Anugrah.
Jakarta: EGC.

ASUHAN KEPERAWATAN KUSTA

LAPORAN PENDAHULUAN

1. Pengertian

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer,
kulit dan jaringan tubuh lainnya.

Lepra : Morbus hansen, Hamseniasis


Reaksi :Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktiv disebabkan
suatu interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati dengan zat yang
telah tertimbun di dalam darah penderita dan cairan penderita.

2. Etiologi

M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan
oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat
tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya
ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan
yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat
mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.

3. Patogenesis

Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian,
tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa
nasal.

Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor imunitas seseorang, kemampuan hidup M.


Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi lama, serta sifat kuman yang
Avirulen dan non toksis.

M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar
pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk
tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn,
histiosit ) untuk memfagosit.

Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu
menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.

Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya
setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan
kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi
berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.

4. Klasifikasi Kusta

Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :

1. TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering


dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang
besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan langsung
dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
2. BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan
jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )

3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran


khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah
dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.

Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji
lepromin ( - ).

4. BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral


tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin (
- ).

5. LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah


sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan kulit
dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).

WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :

1. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT

2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL

5. Gambaran Klinis

Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling

1. Tipe Tuberkoloid ( TT )

 Mengenai kulit dan saraf.

 Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi,
atau, kontrol healing ( + ).

 Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan
psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,
kelemahan otot, sedikit rasa gatal.

 Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon


imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )

 Hampir sama dengan tipe tuberkoloid

 Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.

 Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.

 Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

3. Tipe Mid Borderline ( BB )

 Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.

 Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.

 Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe
BT, cenderung simetris.

 Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.

 Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian
tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.

4. Tipe Borderline Lepromatus ( BL )

Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula
lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah,
beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada
tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.

5. Tipe Lepromatosa ( LL )

 Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak
tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.

 Distribusi lesi khas :

o Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.

o Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat


bawah.

 Stadium lanjutan :
o Penebalan kulit progresif

o Cuping telinga menebal

o Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai
madarosis, intis dan keratitis.

 Lebih lanjut

o Deformitas hidung

o Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis

o Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.

o Penyakit progresif, makula dan popul baru.

o Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

 Stadium lanjut

Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan


pengecilan tangan dan kaki.

6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)

 Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.

 Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat


ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.

 Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

 Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain

 Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan


 Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana

 Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis

 Lidah : ulkus, nodus

 Larings : suara parau


 Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi

 Kelenjar limfe : limfadenitis

 Rambut : alopesia, madarosis

 Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.

6. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif koping indifidu

2. Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d proses reaksi

3. Gangguan aktivitas b/d post amputasi

4. Resti injuri b/d invasif bakteri

7. Intervensi

Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif koping indifidu

Tujuan :

Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan dengan kriteria
hasil :

 Klien dapat menerima perubahan dirinya


 Klien tidak merasa kotor (selalu menjaga kebersihan)

 Klien tidak merasa malu

Intervensi :

 Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan bahwa
perubahan fisiknya tidak akan kembali normal.
 Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan latihan
otot tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.

 Anjurkan klien agar lebih mendekatkan pada Tuhan YME.

Gangguan rasa nyaman : nyeriberhubungan dengan luka amputasi

Tujuan :
Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan,
dengan kriteria hasil :

 Klien merasakan nyeri berkurang di daerah operasi


 Klien tenang

 Pola istirahat-tidur normal, 7-8 jam sehari

Intervensi :

1. Kaji skala nyeri klien


2. Alihkan perhatian klien terhadap nyeri

3. Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital

4. Awasi keadaan luka operasi

5. Ajarkan cara nafas dalam & massage untuk mengurangi nyeri

6. Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik dan analgetik.

Perubahan pola aktivitas berhubungan dengan post amputasi

Tujuan :

Klien dapat beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah dilakukan tindakan
keperaatan dengan kriteria hasil :

 Klien dapat beraktivitas mandiri

 Klien tidak diam di tempat tidur terus

Intervensi :

1. Motivasi klien untuk bisa beraktivitas sendiri


2. mengajarkan Range of Motion : terapi latihan post amputasi

3. Motivasi klien untuk dapat melakukan aktivitas sesuai dengan


kemampuannya.

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : Jakarta.
Stadar asuhan keperawatan RSUD Tugurejo Semarang. 2002. Ruang Kusta. Propinsi
Jawa Tangah

Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC :
Jakarta.

Tifus Abdominalis
Definisi
Tifus Abdominalis (demam tifoid enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang
besarnya tedapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu
minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. (FKUI, 1985)
Tifus abdominalis adalah infeksi yang mengenai usus halus, disebarkan dari kotoran ke
mulut melalui makanan dan air minum yang tercemar dan sering timbul dalam wabah.
(Markum, 1991).

Etiologi
Tyfus abdominalis disebabkan oleh salmonella typhosa, basil gram negatif, bergerak
dengan bulu getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurngnya 3 macam antigen yaitu
antigen O (somatic terdiri dari zat komplek lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan
antigen Vi. Dalam serum penderita terdapat zat anti (glutanin) terhadap ketiga macam
antigen tersebut.

Patofisiologi
Kuman salmonella typhosa masuk kedalam saluran cerna, bersama makanan dan
minuman, sabagian besar akan mati oleh asam lambung HCL dan sebagian ada yang
lolos (hidup), kemudian kuman masuk kedalam usus (plag payer) dan mengeluarkan
endotoksin sehingga menyebabkan bakterimia primer dan mengakibatkan perdangan
setempat, kemudian kuman melalui pembuluh darah limfe akan menuju ke organ RES
terutama pada organ hati dan limfe.
Di organ RES ini sebagian kuman akan difagosif dan sebagian yang tidak difagosif akan
berkembang biak dan akan masuk pembuluh darah sehingga menyebar ke organ lain,
terutama usus halus sehingga menyebabkan peradangan yang mengakibatkan malabsorbsi
nutrien dan hiperperistaltik usus sehingga terjadi diare. Pada hipotalamus akan menekan
termoregulasi yang mengakibatkan demam remiten dan terjadi hipermetabolisme tubuh
akibatnya tubuh menjadi mudah lelah.
Selain itu endotoksin yang masuk kepembuluh darah kapiler menyebabkan roseola pada
kulit dan lidah hipermi. Pada hati dan limpa akan terjadi hepatospleno megali. Konstipasi
bisa terjadi menyebabkan komplikasi intestinal (perdarahan usus, perfarasi, peritonitis)
dan ekstra intestinal (pnemonia, meningitis, kolesistitis, neuropsikratrik).

Manifestasi Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan
penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika infeksi
terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama 30 hari jika infeksi melalui minuman.
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodomal yaitu perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersamangat kemudian menyusul gejala klinis
sbb:
Demam
Berlangsung selama 3 minggu, bersifat febris remiten dan suhu tidak terlalu tinggi.
Selama minggu pertama duhu berangsur-angsur meningkat, biasanya turun pada pagi hari
dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Pada minggu ke-2 penderita terus demam
dan minggu ke-3 penderita demamnya berangsur-angsur normal.
Gangguan pada saluran pencernaan
Nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah, lidah putih kotor (coated tongue)
ujung dan tepi kemerahan, perut kembung, hati dan limpa membesar. disertai nyeri pada
perabaan
Gangguan kesadaran
Kesadaran menurun walaupun tidak berapa dalam yaitu apatis sampai samnolen.
Disamping gejala-gejala tersebut ditemukan juga pada penungggungdan anggota gerak
dapat ditemukan roseola yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler
kulit.

Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d arbsorpsi nutrisi
2. Hipertermi b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus
3. Resiko tinggi kurang volume cairan b/d kehilangan cairan sekunder terhadap diare
4. Intoleransi aktivitas b/d peningkatan kebutuhan metabolisme sekunder terhadap infeksi
akut
5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi b/d kesalahan interpretasi informasi, kurang
mengingat

Focus Intervensi
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d arbsorpsi nutrisi
Tujuan:
Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Intervensi:
a. Dorong tirah baring
Rasional:
Menurunkan kebutuhan metabolic untuk meningkatkan penurunan kalori dan simpanan
energi
b. Anjurkan istirahat sebelum makan
Rasional:
Menenangkan peristaltic dan meningkatkan energi makan
c. Berikan kebersihan oral
Rasional :
Mulut bersih dapat meningkatkan nafsu makan
d. Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan menyenangkan
Rasional:
Lingkungan menyenangkan menurunkan stress dan konduktif untuk makan
e. Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat
Rasional:
Nutrisi yang adekuat akan membantu proses
f. Kolaborasi pemberian nutrisi, terapi IV sesuai indikasi
Rasional:
Program ini mengistirahatkan saluran gastrointestinal, sementara memberikan nutrisi
penting.

2. Hipertermi b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus


Tujuan:
Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal
Intervensi:
a. Pantau suhu klien
Rasional:
Suhu 380 C sampai 41,10 C menunjukkan proses peningkatan infeksius akut
b. pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur sesuai dengan
indikasi
Rasional:
Suhu ruangan atau jumlah selimut harus dirubah, mempertahankan suhu mendekati
normal
c. Berikan kompres mandi hangat
Rasional :
Dapat membantu mengurangi demam
d. Kolaborasi pemberian antipiretik
Rasional:
Untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya hipotalamus

3. Resiko tinggi kurang volume cairan b/d kehilangan cairan sekunder terhadap diare
Tujuan:
Mempertahankan volume cairan adekuat dengan membran mukosa, turgor kulit baik,
kapiler baik, tanda vital stabil, keseimbangan dan kebutuhan urin normal
Intervensi:
a. Awasi masukan dan keluaran perkiraan kehilangan cairan yang tidak terlihat
Rasional:
Memberikan informasi tentang keseimbangan cairan dan elektrolit penyakit usus yang
merupakan pedoman untuk penggantian cairan
b. Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa turgor kulit dan pengisian
kapiler
Rasional:
Menunjukkan kehilangan cairan berlebih atau dehidrasi
c. Kaji tanda vital
Rasional :
Dengan menunjukkan respon terhadap efek kehilangan cairan
d. Pertahankan pembatasan peroral, tirah baring
Rasional:
Kalau diistirahkan utnuk penyembuhan dan untuk penurunan kehilangan cairan usus
e. Kolaborasi utnuk pemberian cairan parenteral
Rasional:
Mempertahankan istirahat usus akan memerlukan cairan untuk mempertahankan
kehilangan

4. Intoleransi aktivitas b/d peningkatan kebutuhan metabolisme sekunder terhadap infeksi


akut
Tujuan:
Melaporkan kemampuan melakukan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
a. Tingkatkan tirah baring dan berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung
Rasional:
Menyediakan energi yang digunakan untuk penyembuhan
b. Ubah posisi dengan sering, berikan perawatan kulit yang baik
Rasional:
Meningkatkan fungsi pernafasan dan meminimalkan tekanan pada area tertentu untuk
menurunkan resiko kerusakan jaringan
c. Tingkatkan aktifitas sesuai toleransi
Rasional :
Tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan karena keterbatasan aktifitas yang
menganggu periode istirahat
d. Berikan aktifitas hiburan yang tepat (nonton TV, radio)
Rasional:
Meningkatkan relaksasi dan hambatan energi

5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi b/d kesalahan interpretasi informasi, kurang


mengingat
Tujuan:
Dapat menyatakan pemahaman proses penyakit
Intervensi:
a. berikan nformasi tentang cara mempertahankan pemasukan makanan yang memuaskan
dilingkungan yang jauh dari rumah
Rasional:
Membantu individu untuk mengatur berat badan
b. Tentukan persepsi tentang proses penyakit
Rasional:
Membuat pengetahuan dasar dan memberikan kesadaran kebutuhan belajar individu
c. Kaji ulang proses penyakit, penyebab/efek hubungan faktor yang menimbulkan gejala
dan mengidentifikasi cara menurunkan faktor pendukung
Rasional :
Faktor pencetus/pemberat individu, sehingga kebutuhan pasien untuk waspada terhadap
makanan, cairan dan faktor pola hidup dapat mencetuskan gejala

Komplikasi
Dapat terjadi paDA
Usus halus
Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal yaitu:
a. Perdarahan usus bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan
nyari perut dengan tanda-tanda rejatan
b. Perforasi usus
c. Peritonitis ditemukan gejala abdomen akut yaitu: nyeri perut yang hebat, diding
abdomen dan nyeri pada tekanan

12. Diluar anus


Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakterimia) yaitu meningitis,
kolesistitis, ensefelopati. Terjadi karena infeksi sekunder yaitu bronkopneumonia

Pemeriksaan Penunjang
Untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium antara lain
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan darah tepi
b. Pemeriksaan sumsum tulang
c. Biakan empedu untuk menemukan salmonella thyposa
d. Pemeriksaan widal digunakan untuk membuat diagnosis tifus abdominalis yang pasti
Penatalaksanaan
Pengobatan/penatalaksaan pada penderita typus abdominalis adalah sebagai berikut:
1. 13. Isolasi penderita dan desinfeksi pakaian dan ekskreta
2. 14. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi
3. 15. Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu
4. 16. Diet makanan harus mengandung cukup cairan dan tinggi protein
5. 17. Obat Kloramfenikol

DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito, L. J (1997). Buku Saku Keperawatan. Edisi VI.EGC: Jakarta
2. Doengoes M.E (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi III. EGC : Jakarta
3. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi XII. EGC : Jakarta
4. Staf Pengajar IKA (1995). Ilmu Kesehatan Anak. EGC : Jakarta
5. mansjoer. A (2000). Kapikta Selekta kedokteran. edisi IV. EGC: Jakarta
6. Sarwana (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. FKUI: Jakarta.

GLAUKOMA
Pengertian
Gaukoma adalah sejumlah kelainan mata yang mempunyai gejala peningkatan tekanan
intra okuler (TIO), dimana dapat mengakibatkan penggaungan atau pencekungan papil
syaraf optik sehingga terjadi atropi syaraf optik, penyempitan lapang pandang dan
penurunan tajam pengelihatan (Martinelli, 1991).
Patofisiologi
Aqueus humor secara kontinue diproduksi oleh badan silier (sel epitel prosesus ciliary
bilik mata belakang untuk memberikan nutrien pada lensa. Aqueua humor mengalir
melalui jaring-jaring trabekuler, pupil, bilik mata depan, trabekuler mesh work dan kanal
schlem. Tekana intra okuler (TIO) dipertahankan dalam batas 10-21 mmhg tergantung
keseimbangan antara produksi dan pegeluaran (aliran) AqH di bilik mata depan.

Peningaktan TIO akan menekan aliran darah ke syaraf optik dan retina sehingga dapat
merusak serabut syaraf optik menjadi iskemik dan mati. Selanjutnya menyebabkan
kesrusakan jaringan yang dimula dari perifir menuju ke fovea sentralis. Hal ini
menyebabkan penurunan lapang pandang yang dimulai dari derah nasal atas dan sisa
terakhir pada temporal

Produksi homur aqueus Corpus Ciliaris

Bilik Mata Belakang

Pupi

Bilik Mata Depan

Sudut BMD

Trab. Schlem

Sistem Vena Sklera

Glaukoma dibedakan menjadi 2 macam yaitu:


1. Galukoma sudut terbuka /simplek (kronis)
Sudut bilik depan terbuka normal, ada hambatan aliran AgH tidak secepat produksi, bila
berlagnsung secara terus menerus, maka menyebabkan degenerasi syaraf optik, sel
gangglion, atropi iris dan siliare. Gejala yang timbul adalah: mata terasa berat, pening,
pengelihatan kabur, halo di sekitar cahaya, kelainan lapang pandang , membesarnya titik
buta.

2. Glaukoma sudut tertutup/sudut sempit (akut)Terjadi penyempitan sudut dan perubahan


iris ke anterior, terjadi penekanan kornea dan menutup sudut mata, AqH tidak bisa
mengakir keluar, bilik mata depan menjadi dangkal. Gejala yang timbul adalah: nyeri
selam beberapa jam dan hilang kalau tidur sebentar, TIO >75 mmhg, halo disekitar
cahaya, headache, mual, muntah, bradikardi, pengelihatan kabur dan berkabut serta
odema pada kornea.

Pengkajian

Riwayat atau adanya faktor risiko:


-Riwayat keluarga positif
-Umur penderita >40 tahun
-Riwayat penyakit mata: tumor mata, hemoragi intraokuler, uveitis
-Riwayat operasi mata
-Riwayat gangguan pengelihatan
-Penggunaan obat-obatan: antihistamin, kortikosteroid

Pemeriksaan fisik
-Melaporkan kehilangan pengelihatan perifer lambat
-Awitan tiba-tiba dari nyeri berat pada mata sering disertai sakit kepala, mual dan muntah
-Keluhan-keluhan sinar halo pelangi, pengelihatan kabur dan penurunan persepsi sinar.

Pemeriksaan Diagnostik
-Tonometri digunakan untuk pemeriksaan TIO
-Gonioskopi digunakan untuk melihat secara langsung ruang anterior untuk membedakan
antara glaukoma sudut tertututp dengan glaukoma sudut terbuka
-Oftalmoskopi digunakan untuk melihat secara langsung diskus optik dan struktur mata
internal

Diagnose Keperawatan

1. Penurunan sensori-persepsi visual s.d. kerusakan serabut syaraf oleh karena


peningkatan TIO
2. Nyeri s.d peningkatan TIO
3. Kurang pengetahuan :tentang proses penyakit, status klinik saat ini s.d kurang
informasi tentang penyakit glaukoma.
4. Cemas s.d penurunan pengelihatan aktual.
5. Potensial injuri s.d penurunan lapang pandang
6. Ketidakmampuan dalam perawatan diri s.d.penurunan pengelihatan

Rencana Keperawatan
Penurunan sensori pengelihatan s.d. kerusakan serabut syaraf karena peningkatan TIO
Ditandai:
Data subyektif:
Menyatakan pengelihatan kabur
Menyatakan adanaya sambaran seperti kilat (halo)

Data obyektif:
Visus menurun
TIO meningkat

Kriteria Evaluasi
 Klien dapat meneteskan obat dengan benar
 Kooperatif dalam tindakan
 Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen
 Tidak terjadi penurunan visus lebih lanjut
INTERVENSI RASIONAL
1.Kaji dan catat ketajaman pengelihatan
2.Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.
3.Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan:
-Orientasikan thd lingkungan.
-Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan pengelihatan klien.
-Berikan pencahayaan yang cukup.
-Letakan alat-alat ditemapat yang tetap.
-Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar.
-Hindari pencahayaan yang menyilaukan.
-Gunakan jam yang ada bunyinya.
4.Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.
5.Anjurkan pada alternatif bentuk rangsangan seperti radio. TV.
RASIONAL
1.Menetukan kemampuan visual
2.Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan.
3.Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.
4. Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan menurun.

Cemas berhubungan dengan penurunan pengelihatan, kurangnya pengetahuan.


Ditandai:
Data subyektif:
Menyatakan perasaan takut
Sering menanyakan tentang penyakitnya
Mengakui kurangnya pemahaman

Data obyektif:
Suara gemetar
Tampak gugup
Nadi meningkat
Berkeringat dingin

Kriteria evaulasi
Berkurangnya perasaan gugup
Mengungkapkan pemahaman tentang rencana tindakan
Posisi tubuh rileks.

INTERVENSI
1.Hati-hati menyampaikan hilangnya pengelihatan secara permanen
2.Berikan kesemapatan klien mengekspresikan tentang kondisinya.
3.Pertahankan kondisi yang rileks.
4.Jelaskan tujuan setiap tindakan
5.Siapakn bel di tempat tidur dan intruksikan klien memberikan tanda bila mohon
bantuan.
6. pertahankan kontrol nyeri yang efektif
RASIONAL
1.Kalau klien belum siap, akan menambah kecemasan.
2.Pengekspresikan perasaan membantu klien mengidentifikasi sumber cemas.
3.Rileks dapat menurunkan cemas.
4.Dengan penjelasan akan memberikan informasi yang jelas.
5.Dengan memberikan perhatian akan menambah kepercayaan klien.
6.Nyeri adalah sumber stress

ASKEP ATRESIA ANI


1. Definisi
Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan trepsis yang
berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu keadaan tidak
adanya atau tertutupnya lubang badan normal.

Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang keluar
(Walley,1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak lengkapnya
perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal
(Suriadi,2001). Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana rectal terjadi
gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan.

Jadi menurut kesimpulan penulis, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana
anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan
pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan.

Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa
terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.

2. Etiologi
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan
bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari
tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaananus umumnya tidak ada kelainan rectum,
sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut peneletian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa
gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang mempunyai
gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya
saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetic, kelainan kromosom atau
kelainan congenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani. Sedangkan kelainan
bawaan rectum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus
urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal
yang memisahkannya.
Faktor predisposisi

Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir seperti :

1. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal,


jantung, trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe).
2. Kelainan sistem pencernaan.

3. Kelainan sistem pekemihan.

4. Kelainan tulang belakang.

3. Klasifikasi
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu :

1. Yang tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis


dicapai melalui saluran fistula eksterna.

Kelompok ini terutma melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina atau
rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka
bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu.

2. Yang tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalam keluar
tinja.

Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi spontan
kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa diklasifikasikan
lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :

1. Anomali rendah

Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat sfingter
internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat
hubungan dengan saluran genitourinarius.

2. Anomali intermediet

Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan sfingter
eksternal berada pada posisi yang normal.

3. Anomali tinggi

Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya
berhungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina
(perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih daai1 cm.
Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi 2 golongan yang
dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 4
kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rectum, perineum datar dan fistel tidak ada. Jika
ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin
terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel
adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel
terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung
mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita
memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rectum tindakannya sama pada perempuan ;
harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada
invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi.

Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan kloaka,
fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rectum dan fistel tidak ada. Pada fistel vagina,
mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga
sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva.
Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai
etrhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila
penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara
traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak
sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.Pada atresia rectum, anus tampak
normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm.
Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada
fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi.

Golongan II pada laki – laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran
anal, stenosis anus, fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya
terdapat anterior dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan
mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi
definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan, tindakan definitive
harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara <>

Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu kelainan fistel perineum,
stenosis anus dan fistel tidak ada. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan
tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada
stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi
feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel
dan pada invertogram udara <>

4. Patofisiologi
Anus dan rectum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian
belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitoury dan struktur anorektal.
Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena
tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam
perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sacral dan
abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus
menyebabkan fecal tidak dapat dikeluarkan sehungga intestinal mengalami obstrksi.
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya mekonium
setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal dan fistula eksternal
pada perineum (Suriadi,2001). Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika bayi tidak dapat
buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh
darah di kulir abdomen akan terlihat menonjol (Adele,1996)

Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan salah satu
manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena cairan empedu
atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium.

7. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :

2. Pemeriksaan radiologis

Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.

3. Sinar X terhadap abdomen

Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.

4. Ultrasound terhadap abdomen

Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan
mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.

d. CT Scan

Digunakan untuk menentukan lesi.

e. Pyelografi intra vena

Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.

f. Pemeriksaan fisik rectum

Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.

g. Rontgenogram abdomen dan pelvis

Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan
traktus urinarius.
8. Penatalaksaan
1. Penatalaksanaan Medis

1. Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang disebut diseksi


posterosagital atau plastik anorektal posterosagital.

2. Colostomi sementara

2. Penatalaksanaan Keperawatan

2.1 Pengkajian

Diperlukan pengkajian yang cermat dan teliti untuk mengetahui masalah pasien dengan
tepat, sebab pengkajian merupakan awal dari proses keperawatan. Dan keberhasilan proses
keperawatan tergantung dari pengkajian. Konsep teori yang difunakan penulis adalah model
konseptual keperawatan dari Gordon. Menurut Gordon data dapat dikelompokkan menjadi 11
konsep yang meliputi :

1. Persepsi Kesehatan – Pola Manajemen Kesehatan

Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan perawatan di rumah.

2. Pola nutrisi – Metabolik

Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien dengan atresia ani post
kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual dan munta dampak dari
anestesi.

3. Pola Eliminasi

Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh
dibersihkan dari bahan - bahan yang melebihi kebutuhan dan dari produk buangan. Oleh karena
pada atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien akan mengalami kesulitan
dalam defekasi (Whaley & Wong,1996).

4. Pola Aktivitas dan Latihan

Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menhindari kelemahan otot.

5. Pola Persepsi Kognitif

Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan masa


lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.

6. Pola Tidur dan Istirahat

Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka inisisi.

7. Konsep Diri dan Persepsi Diri


Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort. Terjadi
perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan operasi (Doenges,1993).

8. Peran dan Pola Hubungan

Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit. Perubahan
pola biasa dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran
(Doenges,1993).

9. Pola Reproduktif dan Sexual

Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi (Doenges,1993).

10. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi

Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, rumah (Doenges,1993).

11. Pola Keyakinan dan Nilai

Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang dipeluk
dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat dalam memberikan
motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya pelaksanaan ibadah (Mediana,1998).

2. Pemeriksaan Fisik

Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak
merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang dimasukkan
melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium
dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina (Whaley & Wong,1996).

2. Diagnosa Keperawatan

Data yang diperoleh perlu dianalisa terlebih dahulu sebelum mengemukkan diagnosa
keperawatan, sehingga dapat diperoleh diagnosa keperawatan yang spesifik. Diagnosa
keperawatan yang mungkin muncul pada pasien atresia ani yaitu:

a. Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik berhubungan dengan tidak


lengkapnya pembentukan anus (Suriadi,2001).

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia


(Doenges,1993).

c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi (Doenges,1993).

d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges,1993).

5. Kecemasan keluarga berhungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi bayi


(Suriadi,2001).
6. Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya kolostomi (Doenges,1993).
7. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan
(Doenges,1993).

8. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan penumpuksan secket berlebih


(Doenges,1993).

9. Kurangnya pengetahuan keluarga berhungan dengan kebutuhan perawatan di rumah


(Whaley & Wong,1996).

2. Intervensi Keperawatan

Fokus intervensi keperawatan pada atresia ani adalah sebagai berikut :

1. Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi


eksretorik) berhubungan dengan tidak
lengkapnya pembentukan anus
(Suriadi,2001).
Tujuan yang diharapkan yaitu terjadi peningkatan fungsi usus, dengan kriteria hasil :
pasien akan menunjukkan konsistensi tinja lembek, terbentuknya tinja,tidak ada nyeri saat
defekasi, tidak terjadi perdarahan.

Intervensi :

1. Dilatasikan anal sesuai program.


2. Pertahankan puasa dan berikan terapi hidrasi IV sampai fungsi
usus normal.

2. Gangguan integritas kulit berhubungan


dengan kolostomi (Doenges,1996).
Tujuan yang diharapkan adalah tidak terjadi gangguan integritas kulit, dengan kriteria
hasil : penyembuhan luka tepat waktu, tidak terjadi kerusakan di daerah sekitar anoplasti.

Intervensi :

1. Kaji area stoma.


2. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar pada area stoma.

3. Sebelum terpasang colostomy bag ukur dulu sesuai dengan stoma.

4. Yakinkan lubang bagian belakang kantong berperekat lebih besar sekitar 1/8 dari ukuran
stoma.

5. Selidiki apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.


c. Resiko infeksi berhubungan dengan
prosedur pembedahan (Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah tidak terjadi infeksi, dengan kriteria hasil : tidak ada
tanda – tanda infeksi, TTV normal, lekosit normal.

Intervensi :

1. Pertahankan teknik septik dan aseptik secaa ketat pada prosedur medis atau
perawatan.
2. Amati lokasi invasif terhadap tanda-tanda infeksi.

3. Pantau suhu tubuh, jumlah sel darah putih.

4. Pantau dan batasi pengunjung , beri isolasi jika memungkinkan.

5. Beri antibiotik sesuai advis dokter.

d. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukkan sekret berlebih
(Doenges,1993).

Tujuan yang diharapkan adalah mempertahakan efektif jalan nafas, mengeluarkan sekret
tanpa bantuan dengan kriteria hasil : bunyi nafas bersih, menunjukkan perilaku perbaikan
jalan nafas misalnya, batuk efektif dan mengeluarkan sekret.

Intervensi :

1. Kaji fungsi pernafasan, contoh : bunyi nafas, kecepatan, irama dan


kedalaman dan penggunaan otot tambahan.
2. Catat kemampuan untuk mengeluarkan dahak atau batuk efektif,
catat karakter, jumlah spuntum, adanya hemaptoe.

3. Berikan posisi semi fowler dan Bantu pasien untuk batuk efektif
dan latihan nafas dalam.

4. Bersihkan secret dari mulut dan trakea, penghisapan sesuai


keperluan.

5. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali


kontra indikasi.

6. Kolaborasi pemberian mukolitik dan bronkodilator.


e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan anoreksia
(Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah kebutuhan nurtisi tubuh tercukupi, dengan kriteria hasil :
menunjukkan peningkatan BB, nilai laboratorium normal, bebas tanda mal nutrisi.

Intervensi :

1. Pantau masukan/ pengeluaran makanan / cairan.


2. Kaji kesukaan makanan anak.

3. Beri makan sedikit tapi sering.

4. Pantau berat badan secara periodik.

5. Libatkan orang tua, misal membawa makanan dari rumah, membujuk anak untuk
makan.

6. Beri perawatan mulut sebelum makan.

7. Berikan isirahat yang adekuat.

8. Pemberian nutrisi secara parenteral, untuk mempertahankan kebutuhan kalori


sesuai program diit.

6. Kecemasan keluarga berhungan dengan


prosedur pembedahan dan kondisi bayi.
(Suriadi,2001;159)
Tujuan yang diharapkan adalah memberi support emosional pada keluarga, dengan
kriteria hasil : keluarga akan mengekspresikan perasaan dan pemahaman terhadap
kebutuhan intervensi perawatan dan pengobatan.

Intervensi :

1. Ajarkan untuk mengekspresikan perasaan.


2. Berikan informasi tentang kondisi, pembedahan dan perawatan di rumah.

3. Ajarkan keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan pasien.


4. Berikan pujian pada keluarga saat memberikan perawatan pada pasien.

5. Jelaskan kebutuhan terapi IV, NGT, pengukuran tanda – tanda vital dan
pengkajian.

6. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan


dengan trauma saraf jaringan (Doenges,1996).
Tujuan yang diharapkan adalah pasien akan melaporkan nyeri hilang atau terkontrol,
pasien akan tampak rileks, dengan kriteria hasil : ekspresi wajah pasien relaks, TTV
normal.

Intervensi :

1. Tanyakan pada pasien tentang nyeri.


2. Catat kemungkinan penyebab nyeri.

3. Anjurkan pemakaian obat dengan benar untuk mengontrol nyeri.

4. Ajarkan dan anjurkan tehnik relaksasi.

6. Resiko tinggi terhadap konstipasi


berhubungan dengan ketidakadekuatan
masukan diit (Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah pola eliminasi sesuai kebutuhan, dengan kriteria hasil :
BAB 1x/hari, feses lunak, tidak ada rasa nyeri saat defekasi.

Intervensi :

1. Auskultasi bising usus.


2. Observasi pola diit dan itake cairan

6. Gangguan citra diri berhubungan dengan


adanya kolostomi (Doenges,1996).
Tujuan yang diharapkan adalah pasien mau menerima kondisi dirinya sekarang, dengan
kriteria hasil : pasien mentatakan menerima perubahan ke dalam konsep diri tanpa harga
diri rendah, menunjukkan penerimaan dengan merawat stoma tersebut, menyatakan
perasaannya tentang stoma.

Intervensi :
1. Kaji persepsi pasien tentang stoma.
2. Motivasi pasien untuk megungkapkan perasaannya.

3. Kaji ulang tentang alasan pembedahan.

4. Observasi perilaku pasien.

5. Berikan kesempatan pada pasien untuk merawat stomanya.

6. Hindari menyinggung perasaan pasien atau pertahankan hubungan positif.

6. Kurangnya pengetahuan keluarga berhungan


dengan kebutuhan perawatan di rumah
(Walley & Wong,1996).
Tujuan yang diharapkan adalah pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah,
dengan kriteria hasil keluarga menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawata
untuk bayi di rumah.

Intervensi :

1. Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan sampai mereka


dapat melakukan perawatan.
2. Ajarkan untuk mengenal tanda – tanda dan gejala yang perlu dilaporkan perawat.

3. Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan melakukan dilatasi


pada anal secara tepat.

4. Ajarkan cara perawatan luka yang tepat.

5. Latih pasien untuk kebiasaan defekasi.

6. Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat)

2.5 Implementasi Keperawatan

Seperti tahap lainnya dalam proses keperawatan fase pelaksanaan terdiri dari : validasi
rencana keperawatan, dokumentasi rencana keperawatan dan melakukan tindakan
keperawatan.

1. Validasi rencana keperawatan

Suatu tindakan untuk memberikan kebenaran. Tujuan validasi data adalah menekan
serendah mungkin terjadinya kesalahpahaman, salah persepsi. Karena adanya potensi
manusia berbuat salah dalam proses penilaian.
2. Dokumentasi rencana keperawatan

Agar rencana perawatan dapat berarti bagi semua pihak, maka harus mempunyai
landasan kuat, dan bermanfaat secara optimal. Perawat hendaknya mengadakan
pertemuan dengan tim kesehatan lain untuk membahas data, masalah, tujuan serta
rencana tindakan.

3. Tindakan keperawatan

Meskipun perawat sudah mengembangkan suatu rencana keperawatan yang maksimal,


kadang timbul situasi yang bertentangan dengan tindakan yang direncanakan, maka
kemampuan perawat diuji untuk memodifikasi alat maupun situasi.

6. Evaluasi

Evaluasi adalah suatu kegiatan yang terus menerus dengan melibatkan klien, perawat dan
anggota tim kesehatan lainnya. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan keehatan dan
strategi evaluasi. Tujuan dari evaluasi adalah menilai apakah tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak.

You might also like