Professional Documents
Culture Documents
WAHAM
A. Masalah Utama :
1. Pengertian Waham
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah.
Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya
klien. Waham dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan perkembangan seperti adanya
penolakan, kekerasan, tidak ada kasih sayang, pertengkaran orang tua dan aniaya. (Budi
Anna Keliat,1999).
Curiga
Bermusuhan
Mudah tersinggung
(Azis R dkk, 2003)
Salah satu penyebab dari perubahan proses pikir : waham yaitu Gangguan konsep diri :
harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Gangguan harga diri dapat
digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, dan
merasa gagal mencapai keinginan.
Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi)
Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram,
mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
Klien dengan waham dapat berakibat terjadinya resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat
melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.
Memperlihatkan permusuhan
Mendekati orang lain dengan ancaman
C. Pohon Masalah
1) Masalah keperawatan:
Data subjektif
Klien mengatakan marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, dan ingin
membakar atau mengacak-acak lingkungannya.
Data objektif
Data objektif :
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak (diri, orang lain,
lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat menilai lingkungan/
realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung.
Data subjektif
Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa- apa, bodoh, mengkritik
diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri
Data objektif
Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternative tindakan, ingin
mencedaerai diri/ ingin mengakhiri hidup
E. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan waham.
F. Rencana Keperawatan
Diagnosa 1: Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berubungan dengan
waham....
1. Tujuan umum :
1. Tujuan khusus
Tindakan:
Rasional :
dengan mengetahui kemampuan yang dimiliki klien, maka akan memudahkan perawat
untuk mengarahkan kegiatan yang bermanfaat bagi klien dari pada hanya memikirkannya
Tindakan:
3. Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian anjurkan untuk melakukannya saat
ini (kaitkan dengan aktivitas sehari hari dan perawatan diri).
4. Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai kebutuhan waham
tidak ada. Perlihatkan kepada klien bahwa klien sangat penting.
Rasional :
Dengan mengetahui kebutuhan klien yang belum terpenuhi perawat dapat merencanakan
untuk memenuhinya dan lebih memperhatikan kebutuhan klien tersebut sehingga klien
merasa nyaman dan aman
Tindakan:
5. Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk menggunakan wahamnya.
Rasional :
menghadirkan realitas dapat membuka pikiran bahwa realita itu lebih benar dari pada apa
yang dipikirkan klien sehingga klien dapat menghilangkan waham yang ada
Tindakan:
1. Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (diri, orang lain, tempat dan
waktu).
2. Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi realitas.
Rasional :
Penggunaan obat yang secara teratur dan benar akan mempengaruhi proses penyembuhan
dan memberikan efek dan efek samping obat
Tindakan:
1. Diskusikan dengan klien tentang nama obat, dosis, frekuensi, efek dan efek
samping minum obat.
2. Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama pasien, obat, dosis,
cara dan waktu).
3. Anjurkan klien membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.
Rasional :
dukungan dan perhatian keluarga dalam merawat klien akan mambentu proses
penyembuhan klien
Tindakan:
1. Tujuan umum :
Klien tidak terjadi perubahan proses pikir: waham dan klien akan meningkat harga
dirinya.
2. Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
4. Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga dan
bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri
Tindakan :
Tindakan :
4.1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan
4.3. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan
Tindakan :
Tindakan :
DAFTAR PUSTAKA
Menurut Schult & Videbeck ( 1998 ), gangguan harga diri rendah adalah penilaian negatif
seseorang terhadap diiri dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun
tidak langsung
Gangguan harga diri rendah digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri
sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai
keinginan. (Budi Ana Keliat, 1999).
Jadi dapat disimpulkan bahwa perasaan negatif terhadap diri sendiri yang dapat
diekspresikan secara langsung dan tak langsung.
Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi)
Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram,
mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
o Rasa bersalah
o Adanya penolakan
Core Problem
Berduka disfungsional
No
Masalah
Data Subyektif
Data
Keperawatan Obyektif
Mengungkapkan Ekspresi
1 Isolasi sosial : tidak berdaya dan wajah
menarik diri tidak ingin hidup kosong
lagi
Tidak ada
Mengungkapkan kontak mata
enggan berbicara ketika diajak
dengan orang lain bicara
Mengungkapkan Tampak
dirinya tidak mudah
berguna tersinggung
Mengkritik diri Tidak mau
sendiri makan dan
tidak tidur
Perasaan
malu
Tidak
nyaman jika
jadi pusat
perhatian
Mengungkapkan Ekspresi
3 Berduka tidak berdaya dan wajah sedih
disfungsional tidak ingin hidup
lagi Tidak ada
kontak mata
Mengungkapkan ketika diajak
sedih karena tidak bicara
naik kelas
Suara pelan
Klien malu dan tidak
bertemu dan jelas
berhadapan
dengan orang lain Tampak
karena diceraikan menangis
suaminya
Diagnosa 1: Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
1. Tujuan umum :
Klien tidak terjadi gangguan konsep diri : harga diri rendah/klien akan meningkat harga
dirinya.
2. Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
4. Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga dan
bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri
Tindakan :
Tindakan :
Tindakan :
4.1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan
4.3. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan
Tindakan :
Tindakan :
Diagnosa 2: Gangguan konsep diri: harga diri rendah berhubungan dengan berduka
disfungsional
DAFTAR PUSTAKA
1. Azis R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino
Gondoutomo. 2003
2. Boyd MA, Hihart MA. Psychiatric nursing : contemporary practice. Philadelphia
: Lipincott-Raven Publisher. 1998
4. Stuart GW, Sundeen SJ. Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC.
1998
I. Masalah Utama :
Menarik diri.
1. Pengertian
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993). Terjadinya perilaku menarik
diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan stressor presipitasi. Faktor perkembangan
dan sosial budaya merupakan faktor predispoisi terjadinya perilaku menarik diri.
Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya
orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain,
menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan.
Keadaan menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain,
menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri, kegiatan sehari-hari
hampir terabaikan.
Gejala Klinis :
Salah satu penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah. Harga diri adalah
penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku
sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai
perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai
keinginan.
Gejala Klinis
Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi)
Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram,
mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakita adanya terjadinya resiko perubahan
sensori persepsi (halusinasi). Halusinasi ini merupakan salah satu orientasi realitas yang
maladaptive, dimana halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus
yang nyata, artinya klien menginterprestasikan sesuatu yang nyata tanpa stimulus/
rangsangan eksternal.
Gejala Klinis :
curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya), takut
Halusinasi ……..
a. Masalah Keperawatan
6. Klien takut pada suara/ bunyi/ gambar yang dilihat dan didengar
4. Disorientasi
Sukar didapat jika klien menolak komunikasi. Terkadang hanya berupa jawaban singkat
ya atau tidak.
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik
diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin
mencederai diri/ ingin mengakhiri hidup.
V. Diagnosis Keperawatan
1). Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi …. berhubungan dengan menarik diri.
2). Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
Tujuan Umum :
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi
Tujuan Khusus :
Tindakan:
1.1 Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik
dengan cara :
1. sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
2. perkenalkan diri dengan sopan
Tindakan
2.1 Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
2.1. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik
diri atau mau bergaul
2.1. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta penyebab
yang muncul
3. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian
tidak berhubungan dengan orang lain.
Rasional :
Tindakan :
Rasional :
Untuk mengetahui perilaku menarik diria dilakukan dan dengan bantuan perawat
bisa membedakan perilaku konstruktif dan destruktif.
Tindakan
K–P
K – P – P lain
K – P – P lain – K lain
Rasional : Dapat membantu klien dalam menemukan cara yang dapat menyelesaikan
masalah
Tindakan
Tindakan
jelaskan tujuan
buat kontrak
5. Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh
keluarga
Diagnosa 2 : Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
Tujuan umum :
Tujuan khusus :
Tindakan :
3. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
Rasional :
Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas, kontrol diri atau
integritas ego diperlakukan sebagai dasar asuhan keperawatannya.
Reinforcement positif akan meningkatkan harga diri klien
Pujian yang realistik tidak menyebabkan klien melakukan kegiatan hanya karena
ingin mendapatkan pujian
Tindakan:
Rasional :
Tindakan:
Rasional :
Contoh peran yang dilihat klien akan memotivasi klien untuk melaksanakan
kegiatan
Tindakan:
Kegiatan mandiri
Rasional :
Tindakan:
Rasional:
Tindakan:
1. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan
harga diri rendah
2. Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat
DAFTAR PUSTAKA
1. Azis R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino
Gondoutomo. 2003
2. Boyd MA, Hihart MA. Psychiatric nursing : contemporary practice. Philadelphia
: Lipincott-Raven Publisher. 1998
3. Budi Anna Keliat. Asuhan Klien Gangguan Hubungan Sosial: Menarik Diri.
Jakarta : FIK UI. 1999
5. Stuart GW, Sundeen SJ. Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC.
1998
1. Masalah Utama:
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995).
Tanda dan Gejala :
Muka merah
Pandangan tajam
Otot tegang
Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga
diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh
perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai
perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai
keinginan.
Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi)
Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram,
mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
Memperlihatkan permusuhan
Mendekati orang lain dengan ancaman
C. Pohon Masalah
Perilaku Kekerasan/amuk
Core Problem
1. Masalah keperawatan:
1. Data subjektif
Klien mengatakan marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, ingin
membakar atau mengacak-acak lingkungannya.
2. Data objektif
1. Data Subjektif :
2. Data Objektif
1. Data subyektif:
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik
diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
2. Data objektif:
Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin
mencederai diri / ingin mengakhiri hidup.
5. Diagnosa Keperawatan
5. Rencana Tindakan
1. Tujuan Umum: Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungannya
2. Tujuan Khusus:
Tindakan:
Tindakan:
Tindakan :
Tindakan:
Tindakan:
Tindakan :
1. Tanyakan kepada klien apakah ia ingin mempelajari cara
baru yang sehat
2. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolah raga, memukul bantal /
kasur atau pekerjaan yang memerlukan tenaga.
Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal/ tersinggung.
Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara – cara marah yang sehat, latihan
asertif, latihan manajemen perilaku kekerasan.
Tindakan:
Tindakan :
1. Identifikasi kemampuan keluarga merawat klien dari sikap
apa yang telah dilakukan keluarga selama ini.
2. Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
Tindakan:
1. Tujuan Umum :
1. Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan
saling percaya dengan perawat
Tindakan :
Salam terapeutik
Perkenalan diri
Tindakan :
Tindakan :
1. Diskusikan bersama klien kemampuan yang masih dapat
digunakan selama sakit
Tindakan :
Tindakan :
Tindakan :
LAPORAN PENDAHULUAN
1. Pengertian Halusinasi
Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan
dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan dimana terjadi pada saat
kesadaran individu itu penuh / baik (Stuart & Sundenn, 1998).
Halusinasi adalah persepsi tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indera seorang
pasien yang terjadi dalam keadaan sadar/terbangun. (Maramis, hal 119)
Halusinasi yaitu gangguan persepsi (proses penyerapan) pada panca indera tanpa adanya
rangsangan dari luar pada pasien dalam keadaan sadar.
Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya), takut
Salah satu penyebab dari Perubahan sensori perseptual : halusinasi yaitu isolasi social :
menarik diri. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan
orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993).
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensori: halusinasi dapat beresiko mencederai
diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan
yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.
Memperlihatkan permusuhan
Mendekati orang lain dengan ancaman
1. Data subjektif
Klien mengatakan marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, ingin
membakar atau mengacak-acak lingkungannya.
2. Data objektif
1. Data Subjektif
Klien takut pada suara/ bunyi/ gambar yang dilihat dan didengar.
2. Data Objektif
Disorientasi.
1. Data Subjektif
1. Data Objektif
V. Diagnosa Keperawatan
1. Tujuan umum : klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
2. Tujuan khusus :
Tindakan :
1. Salam terapeutik – perkenalan diri – jelaskan tujuan – ciptakan lingkungan
yang tenang – buat kontrak yang jelas (waktu, tempat, topik).
2. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
3. Empati.
Tindakan :
Tindakan :
3. Bantu memilih dan melatih cara memutus halusinasi : bicara dengan orang
lain bila muncul halusinasi, melakukan kegiatan, mengatakan pada suara
tersebut “saya tidak mau dengar.”
5. Beri kesempatan melakukan cara yang telah dipilih dan beri pujian jika
berhasil.
Tindakan :
1. Diskusikan tentang dosis, nama, frekuensi, efek dan efek samping minum
obat.
2. Bantu menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama pasien, obat,
dosis, cara, waktu).
1. Tujuan Umum: Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal
2. Tujuan Khusus:
Tindakan :
3. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
Rasional :
Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas, kontrol diri atau
integritas ego diperlakukan sebagai dasar asuhan keperawatannya.
Reinforcement positif akan meningkatkan harga diri klien
Pujian yang realistik tidak menyebabkan klien melakukan kegiatan hanya karena
ingin mendapatkan pujian
Tindakan:
Rasional :
Tindakan:
Rasional :
Contoh peran yang dilihat klien akan memotivasi klien untuk melaksanakan
kegiatan
Tindakan:
Kegiatan mandiri
Rasional :
Tindakan:
Rasional:
Tindakan:
6.1 Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga
diri rendah
DAFTAR PUSTAKA
1. Stuart GW, Sundeen, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC, 1995
2. Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC,
1999
3. Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino
Gonohutomo, 2003
4. Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung,
RSJP Bandung, 2000
Beberapa karakteristik luka bakar yang terjadi membutuhkan tindakan khusus yang
berbeda. Karakteristik ini meliputi luasnya, penyebab(etiologi) dan anatomi luka bakar.
Luka bakar yang melibatkan permukaan tubuh yang besar atau yang meluas ke jaringan
yang lebih dalam, memerlukan tindakan yang lebih intensif daripada luka bakar yang
lebih kecil dan superficial. Luka bakar yang disebabkan oleh cairan yang panas (scald
burn) mempunyai perbedaan prognosis dan komplikasi dari pada luka bakar yang sama
yang disebabkan oleh api atau paparan radiasi ionisasi. Luka bakar karena bahan kimia
memerlukan pengobatan yang berbeda dibandingkan karena sengatan listrik (elektrik)
atau persikan api. Luka bakar yang mengenai genetalia menyebabkan resiko nifeksi yang
lebih besar daripada di tempat lain dengan ukuran yang sama. Luka bakar pada kaki atau
tangan dapat mempengaruhi kemampuan fungsi kerja klien dan memerlukan tehnik
pengobatan yang berbeda dari lokasi pada tubuh yang lain. Pengetahuan umum perawat
tentang anatomi fisiologi kulit, patofisiologi luka bakar sangat diperlukan untuk
mengenal perbedaan dan derajat luka bakar tertentu dan berguna untuk mengantisipasi
harapan hidup serta terjadinya komplikasi multi organ yang menyertai.
Prognosis klien yang mengalami suatu luka bakar berhubungan langsung dengan lokasi
dan ukuran luka bakar. Faktor lain seperti umur, status kesehatan sebelumnya dan
inhalasi asap dapat mempengaruhi beratnya luka bakar dan pengaruh lain yang
menyertai. Klien luka bakar sering mengalami kejadian bersamaan yang merugikan,
seperti luka atau kematian anggota keluarga yang lain, kehilangan rumah dan lainnya.
Klien luka bakar harus dirujuk untuk mendapatkan fasilitas perawatan yang lebih baik
untuk menangani segera dan masalah jangka panjang yang menyertai pada luka bakar
tertentu.
Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia
dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Irna Bedah RSUD
Dr.Soetomo, 2001).
Etiologi
1. Gas
2. Cairan
1. Fase akut.
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Secara umum pada fase ini, seorang penderita
akan berada dalam keadaan yang bersifat relatif life thretening. Dalam fase awal
penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), brething (mekanisme
bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gnagguan airway tidak hanya dapat terjadi segera
atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran
pernafasan akibat cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah
penyebab kematian utama penderiat pada fase akut.
Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera
termal yang berdampak sistemik. Problema sirkulasi yang berawal dengan kondisi syok
(terjadinya ketidakseimbangan antara paskan O2 dan tingkat kebutuhan respirasi sel dan
jaringan) yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik yang
masih ditingkahi denagn problema instabilitas sirkulasi.
3. Keadaan hipermetabolisme.
3. Fase lanjut.
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan
fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit
berupa parut yang hipertropik, kleoid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur.
Sinar ultra
violet.
Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal dengan nama rule
of nine atua rule of wallace yaitu:
Total : 100%
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain :
4. Umur klien.
2. Tingkat III kurang dari 2% Total Body Surface Area yang tidak disertai
komplikasi.
1. Tingkat II 15% - 25% Total Body Surface Area pada orang dewasa atau
kurang dari 10% - 20% Total Body Surface Area pada anak-anak.
2. Tingkat III kurang dari 10% Total Body Surface Area yang tidak disertai
komplikasi.
1. Tingkat II 32% Total Body Surface Area atau lebih pada orang dewasa
atau lebih dari 20% Total Body Surface Area pada anak-anak..
3. Luka bakar yang melibatkan muka, tangan, mata, telinga, kaki dan
perineum..
4. Luka bakar pada jalan pernafasan atau adanya komplikasi pernafasan.
6. Luka bakar yang disertai dengan masalah yang memperlemah daya tahan
tubuh seperti luka jaringan linak, fractur, trauma lain atau masalah
kesehatan sebelumnya..
1. Parah – critical:
1. Tingkat II : 30% atau lebih.
2. Sedang – moderate:
a) Tingkat II : 15 – 30%
3. Ringan – minor:
Ketebalan kulit yang terlibat tergantung pada kerusakan jaringan yang disebabkan oleh
panas. Panas yang kurang dalam waktu yang diperlukan untuk kerusakan pada daerah
tubuh dengan kulit tipis sebanding dengan daerah dimana kulit lebih tebal. Kulit yang
paling tebal adalah pada daerah belakang dan paha, dan yang paling tipis sekitar tangan
bagian medial, batang hidung dan wajah. Kulit umumnya lebih tipis pada anak-anak dan
orang tua dari pada dewasa pertengahan. Orang tua mempunyai penurunan lapisan
subkutan, kehilangan serat elastik dan pengurangan semua kemampuan untuk merespon
terhadap trauma.
Beberapa luka jaringan yang diterima tubuh sebagai ancaman homeostasis yang normal
adalah respon pertahanan yang dirangsang sebagai sebagai kondisi dan kerusakan, urutan
respun aktual ini selalu sama. Besarnya respon tergantung pada intensitas dan lamanya
permulaam kerusakan. Satu hal yang penting untuk diingat dahwa respon keradangan
(inflamatory respon) merupakan mekanisme kompensasi yang segera membantu tubuh
bila invasi atau luka terjadi. Aksi-aksi ini merencanakan pertahanan lokal dan dalam
waktu yang relatif pendek. Bila aksi-aksi ini menyebar cepat dan menetap, maka akan
menyebabkan komplikasi fisiologis yang merugikan yang juga mempengaruhi pertahanan
homeostasis.
Respon terhadap keradangan pada luka terjadi secara primer pada tingkat vasculer.
Kerusakan jaringan dan makrofage dalam jaringan mengurangi kelenjar kimia tubuh
(histamin, bradikinin, serotonin dan vasoaktif-amin yang lain) yang menyebabkan dilatasi
pembuluh darah (vaso) dan meningkatkan permiabilitas kapiler. Bila kerusakan jaringan
bersifat luas, substansi ini disekresi dalam jumlah besar, diedarkan secara sistemik dan
menyebabkan perubahan vaskuler pada semua jaringan. perubahan vaskuler ini
bertanggungjawab terhadapmanifestasi klinik dini pembuluh darah (kardiovasculer) dan
komplikasi yang menyertai luka bakar. Substansi ini juga mempengaruhi darah dan
pembuluh darah, substansi kimiawi (chemotaksik) yang disertai oleh jaringan makrofage
yang mengikal leukosit khusus pada lokasi luka dan merubah sumsum tulang dan
kematangan leukosit. Perubahan ini segera menyeluruh dan lebih jauh mempengaruhi
fungsi kekebalan tubuh.
Respon sistem syaraf simpatis dibangkitkan oleh pemisahan simpatis pada sistem syaraf
otonom pada hubungan sistem endokirn sebagai reaksi internal pada kondisi yang
mengancam kekacauan homeostasis internal. Reaksi ini kadang-kadang berbentuk gejala
adaptasi umum (general adaptif syndrom) atau reaksi bertempur dan lari (fight or flight)
karena mereka mempersiapkan tubuh untuk aktifitas yang mengijinkan perubahan pada
keadaan semula. Respon terhadap stress segera menimbulkan perubahan fisiologi
(adaptasi) yang merangsang atau menambah fungsi untuk keperluan bertempur atau lari
(fight or flight) atau menambah fungsi agar tidak segera menyebabkan fight or flight.
Pergeseran
cairan Vaskuler ke Hemokonsentras Interstitial ke Hemodilusi.
ekstraseluler. insterstitial. i oedem pada vaskuler.
lokasi luka
bakar.
Aliran darah
Fungsi renal. renal Oliguri. Peningkatan Diuresis.
berkurang aliran darah
karena renal karena
desakan desakan darah
darah turun meningkat.
dan CO
berkurang.
Na+
Kadar direabsorbsi Defisit sodium. Kehilangan Na+ Defisit sodium.
sodium/natrium oleh ginjal, melalui diuresis
. tapi (normal kembali
kehilangan setelah 1
Na+ melalui minggu).
eksudat dan
tertahan
dalam cairan
oedem.
K+ dilepas
Kadar sebagai Hiperkalemi K+ bergerak Hipokalemi.
akibat cidera
potassium. jarinagn sel- kembali ke
sel darah dalam sel, K+
merah, K+ terbuang melalui
berkurang diuresis (mulai
ekskresi 4-5 hari setelah
karena fungsi luka bakar).
renal
berkurang.
Kehilangan
Kadar protein. protein ke Hipoproteinemi Kehilangan Hipoproteinemia.
dalam a. protein waktu
jaringan berlangsung
akibat terus
kenaikan katabolisme.
permeabilitas.
Katabolisme
Keseimbangan jaringan, Keseimbangan Katabolisme Keseimbangan
nitrogen. kehilangan nitrogen negatif. jaringan, nitrogen negatif.
protein dalam kehilangan
jaringan, protein,
lebih banyak immobilitas.
kehilangan
dari masukan.
Metabolisme
Keseimbnagan anaerob Asidosis Kehilangan Asidosis
asam basa. karena metabolik. sodium metabolik.
perfusi bicarbonas
jarinagn melalui diuresis,
berkurang hipermetabolism
peningkatan e disertai
asam dari peningkatan
produk akhir, produk akhir
fungsi renal metabolisme.
berkurang
(menyebabka
n retensi
produk akhir
tertahan),
kehilangan
bikarbonas
serum.
Terjadi karena
Respon stres. Terjadi Aliran darah sifat cidera Stres karena
karena renal berkurang. berlangsung luka.
trauma, lama dan
peningkatan terancam
produksi psikologi
cortison. pribadi.
Terjadi
Eritrosit karena panas, Luka bakar Tidak terjadi Hemokonsentrasi
pecah termal. pada hari-hari .
menjadi pertama.
fragil.
Rangsangan
Lambung. Curling ulcer central di Akut dilatasi dan Peningkatan
(ulkus pada hipotalamus dan paralise usus. jumlah cortison.
gaster), peingkatan
perdarahan jumlah cortison.
lambung,
nyeri.
Peningkatan zat
Jantung. MDF Disfungsi MDF (miokard CO menurun.
meningkat 2x jantung. depresant factor)
lipat, sampai 26 unit,
merupakan bertanggung
glikoprotein jawab terhadap
yang toxic syok spetic.
yang
dihasilkan
oleh kulit
yang terbakar.
Penatalaksanaan
1. Resusitasi A, B, C.
1. Pernafasan:
2. Sirkulasi:
gangguan permeabilitas kapiler: cairan dari intra vaskuler pindah ke ekstra vaskuler à
hipovolemi relatif à syok à ATN à gagal ginjal.
Dewasa : Baxter.
RL 4 cc x BB x % LB/24 jam.
Anak: jumlah resusitasi + kebutuhan faal:
RL : Dextran = 17 : 3
2 cc x BB x % LB.
Kebutuhan faal:
<>
1 – 3 tahun : BB x 75 cc
3 – 5 tahun : BB x 50 cc
Hari kedua:
( 3-x) x 80 x BB gr/hr
100
Tulle.
6. Obat – obatan:
o Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai hasil
kultur.
1. Pengkajian
1. Aktifitas/istirahat:
Tanda: Penurunan kekuatan, tahanan; keterbatasan rentang gerak pada area yang sakit;
gangguan massa otot, perubahan tonus.
2. Sirkulasi:
Tanda (dengan cedera luka bakar lebih dari 20% APTT): hipotensi (syok); penurunan
nadi perifer distal pada ekstremitas yang cedera; vasokontriksi perifer umum dengan
kehilangan nadi, kulit putih dan dingin (syok listrik); takikardia (syok/ansietas/nyeri);
disritmia (syok listrik); pembentukan oedema jaringan (semua luka bakar).
3. Integritas ego:
Tanda: haluaran urine menurun/tak ada selama fase darurat; warna mungkin hitam
kemerahan bila terjadi mioglobin, mengindikasikan kerusakan otot dalam; diuresis
(setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam sirkulasi); penurunan bising
usus/tak ada; khususnya pada luka bakar kutaneus lebih besar dari 20% sebagai stres
penurunan motilitas/peristaltik gastrik.
5. Makanan/cairan:
6. Neurosensori:
Tanda: perubahan orientasi; afek, perilaku; penurunan refleks tendon dalam (RTD) pada
cedera ekstremitas; aktifitas kejang (syok listrik); laserasi korneal; kerusakan retinal;
penurunan ketajaman penglihatan (syok listrik); ruptur membran timpanik (syok listrik);
paralisis (cedera listrik pada aliran saraf).
7. Nyeri/kenyamanan:
Gejala: Berbagai nyeri; contoh luka bakar derajat pertama secara eksteren sensitif untuk
disentuh; ditekan; gerakan udara dan perubahan suhu; luka bakar ketebalan sedang
derajat kedua sangat nyeri; smentara respon pada luka bakar ketebalan derajat kedua
tergantung pada keutuhan ujung saraf; luka bakar derajat tiga tidak nyeri.
8. Pernafasan:
Gejala: terkurung dalam ruang tertutup; terpajan lama (kemungkinan cedera inhalasi).
Tanda: serak; batuk mengii; partikel karbon dalam sputum; ketidakmampuan menelan
sekresi oral dan sianosis; indikasi cedera inhalasi.
Pengembangan torak mungkin terbatas pada adanya luka bakar lingkar dada; jalan nafas
atau stridor/mengii (obstruksi sehubungan dengan laringospasme, oedema laringeal);
bunyi nafas: gemericik (oedema paru); stridor (oedema laringeal); sekret jalan nafas
dalam (ronkhi).
9. Keamanan:
Tanda:
Kulit umum: destruksi jarinagn dalam mungkin tidak terbukti selama 3-5 hari
sehubungan dengan proses trobus mikrovaskuler pada beberapa luka.
Area kulit tak terbakar mungkin dingin/lembab, pucat, dengan pengisian kapiler lambat
pada adanya penurunan curah jantung sehubungan dengan kehilangan cairan/status syok.
Cedera api: terdapat area cedera campuran dalam sehubunagn dengan variase intensitas
panas yang dihasilkan bekuan terbakar. Bulu hidung gosong; mukosa hidung dan mulut
kering; merah; lepuh pada faring posterior;oedema lingkar mulut dan atau lingkar nasal.
Kulit mungkin coklat kekuningan dengan tekstur seprti kulit samak halus; lepuh; ulkus;
nekrosis; atau jarinagn parut tebal. Cedera secara mum ebih dalam dari tampaknya secara
perkutan dan kerusakan jaringan dapat berlanjut sampai 72 jam setelah cedera.
Cedera listrik: cedera kutaneus eksternal biasanya lebih sedikit di bawah nekrosis.
Penampilan luka bervariasi dapat meliputi luka aliran masuk/keluar (eksplosif), luka
bakar dari gerakan aliran pada proksimal tubuh tertutup dan luka bakar termal
sehubungan dengan pakaian terbakar.
3. Gas-gas darah arteri (GDA) dan sinar X dada mengkaji fungsi pulmonal,
khususnya pada cedera inhalasi asap.
2. Diagnosa Keperawatan
Sebagian klien luka bakar dapat terjadi Diagnosa Utama dan Diagnosa Tambahan selama
menderita luka bakar (common and additional). Diagnosis yang lazim terjadi pada klien
yang dirawat di rumah sakit yang menderila luka bakar lebih dari 25 % Total Body
Surface Area
5. Perubahan Rasa Nyaman : Nyeri berhubungan dengan paparan ujung syaraf pada
kulit yang rusak.
9. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan luka bakar, scar dan kontraktur.
Marilynn E. Doenges dalam Nursing care plans, Guidelines for planning and
documenting patient care mengemukakan beberapa Diagnosa keperawatan sebagai
berikut :
Rencana Intervensi
Rencana Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan
Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil
Auskultasi paru,
perhatikan stridor,
mengi/gemericik, Obstruksi jalan
penurunan bunyi nafas, nafas/distres
batuk rejan. pernafasan dapat
terjadi sangat cepat
atau lambat contoh
sampai 48 jam setelah
Perhatikan adanya pucat terbakar.
atau warna buah ceri
merah pada kulit yang
cidera
Dugaan adanya
Tinggikan kepala tempat hipoksemia atau
tidur. Hindari karbon monoksida.
penggunaan bantal di
bawah kepala, sesuai Meningkatkan
indikasi ekspansi paru
optimal/fungsi
pernafasan.
Bilakepala/leher
terbakar, bantal dapat
menghambat
Dorong batuk/latihan pernafasan,
nafas dalam dan menyebabkan
perubahan posisi sering. nekrosis pada
kartilago telinga yang
Hisapan (bila perlu) pada terbakar dan
perawatan ekstrem, meningkatkan
pertahankan teknik steril. konstriktur leher.
Meningkatkan
ekspansi paru,
memobilisasi dan
drainase sekret.
Tingkatkan istirahat
suara tetapi kaji Membantu
kemampuan untuk bicara mempertahankan
dan/atau menelan sekret jalan nafas bersih,
oral secara periodik. tetapi harus dilakukan
kewaspadaan karena
edema mukosa dan
inflamasi. Teknik
Selidiki perubahan steril menurunkan
perilaku/mental contoh risiko infeksi.
gelisah, agitasi, kacau
mental. Peningkatan
sekret/penurunan
kemampuan untuk
menelan
Awasi 24 jam menunjukkan
keseimbngan cairan, peningkatan edema
perhatikan trakeal dan dapat
variasi/perubahan. mengindikasikan
kebutuhan untuk
intubasi.
Meskipun sering
berhubungan dengan
nyeri, perubahan
kesadaran dapat
Lakukan program menunjukkan
kolaborasi meliputi : terjadinya/memburuk
nya hipoksia.
Berikan pelembab O2
melalui cara yang tepat, Perpindahan cairan
contoh masker wajah atau kelebihan
penggantian cairan
Awasi/gambaran seri meningkatkan risiko
GDA edema paru. Catatan :
Cedera inhalasi
meningkatkan
kebutuhan cairan
sebanyak 35% atau
lebih karena edema.
O2 memperbaiki
hipoksemia/asidosis.
Pelembaban
Kaji ulang seri rontgen menurunkan
pengeringan saluran
pernafasan dan
menurunkan
viskositas sputum.
Perubahan
menunjukkan
atelektasis/edema
paru tak dapat terjadi
selama 2 – 3 hari
setelah terbakar
Fisioterapi dada
mengalirkan area
dependen paru,
sementara spirometri
intensif dilakukan
untuk memperbaiki
ekspansi paru,
sehingga
meningkatkan fungsi
pernafasan dan
menurunkan
atelektasis.
Intubasi/dukungan
mekanikal dibutuhkan
bila jalan nafas edema
atau luka bakar
mempengaruhi fungsi
paru/oksegenasi.
Peningkatan
permeabilitas kapiler,
perpindahan protein,
proses inflamasi dan
Timbang berat badan kehilangan cairan
setiap hari melalui evaporasi
mempengaruhi
volume sirkulasi dan
pengeluaran urine.
Ukur lingkar ekstremitas
yang terbakar tiap hari Penggantian cairan
sesuai indikasi tergantung pada berat
badan pertama dan
perubahan selanjutnya
Berikan penggantian
cairan IV yang dihitung,
elektrolit, plasma,
albumin. Observasi ketat fungsi
ginjal dan mencegah
stasis atau refleks
urine.
Awasi hasil pemeriksaan
laboratorium ( Hb, Memungkinkan infus
elektrolit, natrium ). cairan cepat.
Resusitasi cairan
menggantikan
Berikan obat sesuai kehilangan
idikasi : cairan/elektrolit dan
membantu mencegah
Diuretika komplikasi.
contohnya
Manitol Mengidentifikasi
(Osmitrol) kehilangan
darah/kerusakan SDM
dan kebutuhan
penggantian cairan
dan elektrolit.
Kalium
Meningkatkan
pengeluaran urine dan
Antasida membersihkan
tubulus dari debris
/mencegah nekrosis.
Penggantian lanjut
karena kehilangan
Pantau: urine dalam jumlah
besar
Tanda-tanda vital
setiap jam selama Menurunkan
periode darurat, keasaman gastrik
setiap 2 jam sedangkan inhibitor
selama periode histamin menurunkan
akut, dan setiap 4 produksi asam
jam selama hidroklorida untuk
periode menurunkan produksi
rehabilitasi. asam hidroklorida
Warna urine. untuk menurunkan
iritasi gaster.
Masukan dan
haluaran setiap Mengidentifikasi
jam selama penyimpangan
periode darurat, indikasi kemajuan
setiap 4 jam atau penyimpangan
selama periode dari hasil yang
akut, setiap 8 jam diharapkan. Periode
selama periode darurat (awal 48 jam
rehabilitasi. pasca luka bakar)
adalah periode kritis
Hasil-hasil JDL
dan laporan yang ditandai oleh
elektrolit. hipovolemia yang
mencetuskan individu
Berat badan pada perfusi ginjal
setiap hari. dan jarinagn tak
adekuat.
CVP (tekanan
vena sentral)
setiap jam bial
diperlukan.
Status umum
setiap 8 jam.
Temuan-temuan
guaiak positif
ennandakan adanya
perdarahan GI.
Perdarahan GI
menandakan adaya
stres ulkus
(Curling’s).
Mencegah perdarahan
GI. Luka bakar luas
mencetuskan pasien
pada ulkus stres yang
disebabkan
peningkatan sekresi
hormon-hormon
adrenal dan asam HCl
oleh lambung.
Kain nilon/membran
silikon mengandung
kolagen porcine
peptida yang melekat
Tinggikan area graft bila pada permukaan luka
mungkin/tepat. sampai lepasnya atau
Pertahankan posisi yang mengelupas secara
diinginkan dan spontan kulit
imobilisasi area bila
diindikasikan. repitelisasi.
Menurunkan
pembengkakan
Pertahankan balutan /membatasi resiko
diatas area graft baru pemisahan graft.
dan/atau sisi donor Gerakan jaringan
sesuai indikasi. dibawah graft dapat
mengubah posisi yang
mempengaruhi
penyembuhan
Cuci sisi dengan sabun optimal.
ringan, cuci, dan
minyaki dengan krim, Area mungkin
beberapa waktu dalam ditutupi oleh bahan
sehari, setelah balutan dengan permukaan
dilepas dan tembus pandang tak
penyembuhan selesai. reaktif.
Lakukan program
kolaborasi :
Kulit graft baru dan
- Siapkan / bantu sisi donor yang
prosedur bedah/balutan sembuh memerlukan
biologis. perawatan khusus
untuk
mempertahankan
kelenturan.
Brunner and suddart. (1988). Textbook of Medical Surgical Nursing. Sixth Edition. J.B.
Lippincott Campany. Philadelpia. Hal. 1293 – 1328.
Carolyn, M.H. et. al. (1990). Critical Care Nursing. Fifth Edition. J.B. Lippincott
Campany. Philadelpia. Hal. 752 – 779.
Doenges M.E. (1989). Nursing Care Plan. Guidlines for Planning Patient Care (2 nd
ed ). F.A. Davis Company. Philadelpia.
Goodner, Brenda & Roth, S.L. (1995). Panduan Tindakan Keperawatan Klinik
Praktis. Alih bahasa Ni Luh G. Yasmin Asih. PT EGC. Jakarta.
Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku
Kedoketran EGC. Jakarta
Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Volume I. Penerbit
Buku Kedoketran EGC. Jakarta.
Instalasi Rawat Inap Bedah RSUD Dr. Soetomo Surabaya. (2001). Pendidikan
Keperawatan Berkelanjutan (PKB V) Tema: Asuhan Keperawatan Luka Bakar
Secara Paripurna. Instalasi Rawat Inap Bedah RSUD Dr. Soetomo. Surabaya.
R. Sjamsuhidajat, Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
1. DEFINISI
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat disebabkan oleh
infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta bahan-bahan kimia.
(Sujono Hadi, 1999).
Hepatitis virus merupakan infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan klinis,
biokimia serta seluler yang khas (Smeltzer, 2001)
2. ETIOLOGI
1. Virus
Parenteral
Metode Fekal- Parenteral Parenteral perinatal, Fekal-
transmisi oral seksual, jarang memerlukan oral
melalui perinatal seksual, koinfeksi dengan
orang orang ke type B
lain orang,
perinatal
Peningkatan
Keparah- Tak Parah Menyebar insiden kronis Sama
an ikterik luas, dapat dan gagal hepar dengan
dan berkem-bang akut D
asimto- sampai kronis
matik
2. Alkohol
3. Obat-obatan
Menyebabkan toksik untuk hati, sehingga sering disebut hepatitis toksik dan hepatitis
akut.
1. Masa tunas
Keluhan umumnya tidak khas. Keluhan yang disebabkan infeksi virus berlangsung
sekitar 2-7 hari. Nafsu makan menurun (pertama kali timbul), nausea, vomitus, perut
kanan atas (ulu hati) dirasakan sakit. Seluruh badan pegal-pegal terutama di pinggang,
bahu dan malaise, lekas capek terutama sore hari, suhu badan meningkat sekitar 39oC
berlangsung selama 2-5 hari, pusing, nyeri persendian. Keluhan gatal-gatal mencolok
pada hepatitis virus B.
3. Fase Ikterik
Urine berwarna seperti teh pekat, tinja berwarna pucat, penurunan suhu badan disertai
dengan bradikardi. Ikterus pada kulit dan sklera yang terus meningkat pada minggu I,
kemudian menetap dan baru berkurang setelah 10-14 hari. Kadang-kadang disertai gatal-
gatal pasa seluruh badan, rasa lesu dan lekas capai dirasakan selama 1-2 minggu.
4. Fase penyembuhan
Dimulai saat menghilangnya tanda-tanda ikterus, rasa mual, rasa sakit di ulu hati, disusul
bertambahnya nafsu makan, rata-rata 14-15 hari setelah timbulnya masa ikterik. Warna
urine tampak normal, penderita mulai merasa segar kembali, namun lemas dan lekas
capai.
4. PATOFOSIOLOGI
Patways terlampir.
Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan
oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia. Unit fungsional dasar
dari hepar disebut lobul dan unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri. Sering
dengan berkembangnya inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu.
Gangguan terhadap suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan nekrosis dan
kerusakan sel-sel hepar. Setelah lewat masanya, sel-sel hepar yang menjadi rusak dibuang
dari tubuh oleh respon sistem imun dan digantikan oleh sel-sel hepar baru yang sehat.
Oleh karenanya, sebagian besar klien yang mengalami hepatitis sembuh dengan fungsi
hepar normal.
Inflamasi pada hepar karena invasi virus akan menyebabkan peningkatan suhu badan dan
peregangan kapsula hati yang memicu timbulnya perasaan tidak nyaman pada perut
kuadran kanan atas. Hal ini dimanifestasikan dengan adanya rasa mual dan nyeri di ulu
hati.
Timbulnya ikterus karena kerusakan sel parenkim hati. Walaupun jumlah billirubin yang
belum mengalami konjugasi masuk ke dalam hati tetap normal, tetapi karena adanya
kerusakan sel hati dan duktuli empedu intrahepatik, maka terjadi kesukaran
pengangkutan billirubin tersebut didalam hati. Selain itu juga terjadi kesulitan dalam hal
konjugasi. Akibatnya billirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui duktus hepatikus,
karena terjadi retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi pada duktuli,
empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin indirek), maupun bilirubin yang sudah
mengalami konjugasi (bilirubin direk). Jadi ikterus yang timbul disini terutama
disebabkan karena kesukaran dalam pengangkutan, konjugasi dan eksresi bilirubin.
Tinja mengandung sedikit sterkobilin oleh karena itu tinja tampak pucat (abolis). Karena
bilirubin konjugasi larut dalam air, maka bilirubin dapat dieksresi ke dalam kemih,
sehingga menimbulkan bilirubin urine dan kemih berwarna gelap. Peningkatan kadar
bilirubin terkonjugasi dapat disertai peningkatan garam-garam empedu dalam darah yang
akan menimbulkan gatal-gatal pada ikterus.
5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratorium
1. Pemeriksaan pigmen
urobilirubin direk
bilirubin urine
urobilinogen urine
urobilinogen feses
1. Pemeriksaan protein
albumin serum
globulin serum
HbsAG
3. Waktu protombin
LDH
Amonia serum
2. Radiologi
pemindahan hati denagn preparat technetium, emas, atau rose bengal yang
berlabel radioaktif
3. Pemeriksaan tambahan
laparoskopi
biopsi hati
6. KOMPLIKASI
Ensefalopati hepatic terjadi pada kegagalan hati berat yang disebabkan oleh akumulasi
amonia serta metabolik toksik merupakan stadium lanjut ensefalopati hepatik. Kerusakan
jaringan paremkin hati yang meluas akan menyebabkan sirosis hepatis, penyakit ini lebih
banyak ditemukan pada alkoholik.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
1. Aktivitas
Kelemahan
Kelelahan
Malaise
2. Sirkulasi
3. Eliminasi
Urine gelap
Peningkatan oedema
Asites
5. Neurosensori
Cenderung tidur
Letargi
Asteriksis
6. Nyeri / Kenyamanan
Kram abdomen
Mialgia
Atralgia
Sakit kepala
Gatal ( pruritus )
7. Keamanan
Demam
Urtikaria
Lesi makulopopuler
Eritema
Splenomegali
Pembesaran nodus servikal posterior
8. Seksualitas
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus
sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu
6. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari
agent virus
7. INTERVENSI
Hasil yang diharapkan : Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan
nilai laboratorium normal dan bebas dari tanda-tanda mal nutrisi.
R/ adanya pembesaran hepar dapat menekan saluran gastro intestinal dan menurunkan
kapasitasnya.
3. Pertahankan hygiene mulut yang baik sebelum makan dan sesudah makan
R/ akumulasi partikel makanan di mulut dapat menambah baru dan rasa tak sedap yang
menurunkan nafsu makan.
R/ glukosa dalam karbohidrat cukup efektif untuk pemenuhan energi, sedangkan lemak
sulit untuk diserap/dimetabolisme sehingga akan membebani hepar.
Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri (tidak meringis kesakitan,
menangis intensitas dan lokasinya)
R/ nyeri yang berhubungan dengan hepatitis sangat tidak nyaman, oleh karena terdapat
peregangan secara kapsula hati, melalui pendekatan kepada individu yang mengalami
perubahan kenyamanan nyeri diharapkan lebih efektif mengurangi nyeri.
R/ klien yang disiapkan untuk mengalami nyeri melalui penjelasan nyeri yang
sesungguhnya akan dirasakan (cenderung lebih tenang dibanding klien yang penjelasan
kurang/tidak terdapat penjelasan)
R/ kemungkinan nyeri sudah tak bisa dibatasi dengan teknik untuk mengurangi nyeri.
R/ dalam kondisi demam terjadi peningkatan evaporasi yang memicu timbulnya dehidrasi
R/ dengan penjelasan sebab-sebab keletihan maka keadaan klien cenderung lebih tenang
R/ tirah baring akan meminimalkan energi yang dikeluarkan sehingga metabolisme dapat
digunakan untuk penyembuhan penyakit.
5. Bantu untuk belajar tentang keterampilan koping yang efektif (bersikap asertif,
teknik relaksasi)
Intervensi :
7. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari
agent virus
Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan semua klien atau spesimen
Gunakan sarung tangan untuk kontak dengan darah dan cairan tubuh
Tempatkan spuit yang telah digunakan dengan segera pada wadah yang tepat,
jangan menutup kembali atau memanipulasi jarum dengan cara apapun
2. Gunakan teknik pembuangan sampah infeksius, linen dan cairan tubuh dengan
tepat untuk membersihkan peralatan-peralatan dan permukaan yang
terkontaminasi
R/ teknik ini membantu melindungi orang lain dari kontak dengan materi infeksius dan
mencegah transmisi penyakit
3. Jelaskan pentingnya mencuci tangan dengan sering pada klien, keluarga dan
pengunjung lain dan petugas pelayanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito Lynda Jual, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC,
Jakarta.
Moectyi, Sjahmien, 1997, Pengaturan Makanan dan Diit untuk Pertumbuhan Penyakit,
Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine Mc Carty, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, EGC, Jakarta.
Smeltzer, suzanna C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan Suddart. Alih
bahasa Agung Waluyo, Edisi 8, jakarta, EGC, 2001.
Susan, Martyn Tucker et al, Standar Perawatan Pasien, jakarta, EGC, 1998.
Reeves, Charlene, et al,Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Joko Setiyono, Edisi I,
jakarta, Salemba Medika.
Sjaifoellah Noer,H.M, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, Balai
Penerbit FKUI, jakarta.
A. Pengertian
Cidera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada
jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi
(Sylvia anderson Price, 1985).
B. Etiologi
1. oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal : kecelakaan,
dipukul dan terjatuh.
2. trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum.
C. Manifestasi klinis
Cidera otak karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala, cidera akut dengan cepat
menyebabkan pingsan (coma), yang pada akhirnya tidak selalu dapat disembuhkan.
Karena itu, sebagai penunjang diagnosis, sangat penting diingat arti gangguan vegetatif
yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan puyeng.
Gangguan vegetatif tidak dilihat sebagai tanda-tanda penyakit dan gambaran penyakit,
namun keadaannya reversibilitas.
Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia
antegrad), tetapi biasanya korban/ pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah
cidera (amnezia retrograd dan antegrad). Timbul tanda-tanda lemah ingatan, cepat lelah,
amat sensitif, negatifnya hasil pemeriksaan EEG, tidak akan menutupi diagnosis bila
tidak ada kelainan EEG.
Koma akut tergantung dari beratnya trauma/ cidera. Akibatnya juga beraneka ragam, bisa
terjadi sebentar saja dan bisa hanya sampai 1 menit. Catatan kesimpulan mengenai cidera
kepala akan lebih kalau terjadi koma berjam-jam atau seharian, apalagi kalau tidak
menampakkan gejala penyakit gangguan syaraff. Menurut dokter ahli spesialis penyakit
syaraf dan dokter ahli bedah syaraf, gegar otak akan terjadi jika coma berlangsung tidak
lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin
terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.
D. Patofisiologi
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya karena terjatuh, dipukul, kecelakaan
dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem
dalam tubuh. Bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada
kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena
perdarahan yang terjadi terus – menerus dapat menyebabkan hipoksia sehingga tekanan
intra kranial akan meningkat. Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan
meneyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi
kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya
gangguan dalam mobilitas.
E. Klasifikasi
Luka terbuka pada lapisan-lapisan galea tulang tempurung kepala duramater disertai
cidera jaringan otak karena impressi fractura berat. Akibatnya, dapat menyebabkan
infeksi di jaringan otak. Untuk pencegahan, perlu operasi dengan segera menjauhkan
pecahan tulang dan tindakan seterusnya secara bertahap.
Fractura ini dapat terletak di depan, tengah, atau di belakang. Gejala fractura di depan:
3. Monokli haematoma, adalah haematoma pada biji mata, karena pada orbita mata
dan biji lensa mata memberi gejala pendarahan intracranialis pula.
Fractura bagian tengah basis cranii antara lain memberi gejala khas menetesnya cairan
otak bercampur darah dari telinga: otoliquor, melalui tuba eustachii. Gambaran rontgen
sebagai tanda khas pada fractura basis cranii selalu hanya memperlihatkan sebagian.
Karena itu, dokter-dokter ahli forensik selalu menerima kalau hanya ada satu tanda-tanda
klinik.
Gejala-gejala klinis lain yang dapat dilihat pada fractura basis cranii antara lain anosmia
(I); gangguan penglihatan (II); gangguan gerakan-gerakan biji mata (III,IV, V); gangguan
rasa di wajah (VI); kelumpuhan facialis (VII); serta ketulian bukan karena trauma octavus
tetapi karena trauma pada haemotympanon. Pada umumnya, N. VIII - XII jaringan saraf
otak tidak akan rusak pada fractura basis cranii. Kalau fractura disebut fractura impressio
maka terjadi dislocatio pada tulang-tulang sinus tengkorak kepala. Hal ini harus selalu
diperhatikan karena kemungkinan ini akibat contusio cerebri.
a. Epiduralis haematoma
Pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior, sin. transversus. Foto rontgen kepala
sangat berguna, tetapi yang lebih penting adalah pengawasan terhadap pasien. Saat ini,
diagnosis yang cepat dan tepat ialah CT scan atau Angiografi. Kadangkala kita sangat
terpaksa melakukan "Burr hole Trepanasi", karena dicurigai akan terjadi epiduralis
haematoina. Dengan ini sekaligus bisa didiagnosis dan dekompresi, sebab terapi untuk
epiduralis haematoma adalah suatu kejadian yang gawat dan harus segera ditangani.
Kejadian akut haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil
sinus vena pecah atau terjadi perdarahan. Atau jembatan vena bagian atas pada interval
yang akibat tekanan lalu terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan
jaringan otak sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter
dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam
jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial). Pada kejadian akut haematoma, lucidum
intervalum akan terasa setelah beberapa jam sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda
neurologis-klinis di sini jarang memberi gejala epileptiform pada perdarahan dasar
duramater. Akut hematoma subduralis pada trauma kapitis dapat juga terjadi tanpa
Fractura Cranii, namun pembuluh darah arteri dan vena di corteks terluka. Pasien segera
pingsan/ koma. Jadi, di sini tidak ada "free interval time". Kadang-kadang pembuluh
darah besar seperti arteri dan sinus dapat juga terluka. Dalam kasus ini sering dijumpai
kombinasi dengan intracerebral haematoma sehingga mortalitas subdural haematoma
akut sangat tinggi (80%).
c. Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada
permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari
adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna
“pelebaran pembuluh darah”. Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.
Gambaran klinik tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit tetapi terjadi gangguan
ingatan karena timbulnya gangguan meningeal. Akut Intracerebralis Haematoma terjadi
karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan
pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam
subkorteks. Selaput otak menjadi pecah pula karena tekanan pada durameter bagian
bawah melebar sehingga terjadilah "subduralis haematoma", disertai gejala kliniknya.
d. Contusio Cerebri
Di antara yang paling sering adalah bagian yang berlawanan dengan tipe centralis -
kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, atau kelumpuhan syaraf-syaraf otak,
gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada
kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan
timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda
gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia,
kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta
kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).
E. Pemeriksaan diagnostik
1. Spinal X ray
Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan atau
ruptur atau fraktur).
2. CT Scan
Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan otak
yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
3. Myelogram
Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal aracknoid jika
dicurigai.
5. Thorax X ray
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi
penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
F. Pengobatan
Penderita trauma saraf spinal akut yang diterapi dengan metilprednisolon (bolus 30
mg/kg berat badan dilanjutkan dengan infus 5,4 mg/kg berat badan per jam selama 23
jam), akan menunjukkan perbaikan keadaan neurologis bila preparat itu diberikan dalam
waktu paling lama 8 jam setelah kejadian (golden hour). Pemberian nalokson (bolus 5,4
mg/kg berat badan dilanjutkan dengan 4,0 mg/kg berat badan per jam selama 23 jam)
tidak memberikan perbaikan keadaan neurologis pada penderita trauma saraf spinal akut.
Metilprednisolon yang diberikan secara dini dan dalam dosis yang akurat, dapat
memperbaiki keadaan neurologis akibat efek inhibisi terjadinya reaksi peroksidasi lipid.
Dengan kata lain, metilprednisolon bekerja dengan cara:
Intervensi
Menentukan
tingkat
kesadaran
Mengukur
kesadaran
secara
keseluruhan
dan
o Evaluasi kemampuan
kemampu untuk berespon
an pada
membuka rangsangan
mata eksternal.
(spontan,
rangsang
nyeri).
Dikatakan sadar
bila pasien
mampu
meremas atau
melepas tangan
pemeriksa.
o Kaji
respon
motorik Peningkatan
terhadap tekanan darah
perintah sistemik yang
yang diikuti dengan
sederhan penurunan
a. tekanan darah
diastolik
merupakan
tanda
peningkatan
TIK .
o Pantau
TTV dan Peningkatan
catat ritme dan
hasilnya. disritmia
merupakan
tanda adanya
depresi atau
trauma batang
otak pada
pasien yang
tidak
mempunyai
kelainan
jantung
sebelumnya.
Nafas yang
tidak teratur
menunjukan
adanya
peningkatan
TIK
Ungkapan
keluarga yang
menyenangkan
klien tampak
mempunyai
efek relaksasi
pada beberapa
o Anjurkan klien koma
orang yang akan
terdekat menurunkan
untuk TIK
berbicara
dengan
klien
Pembatasan
cairan
diperlukan
untuk
menurunkan
Oedema
cerebral:
meminimalkan
fluktuasi aliran
vaskuler,
tekanan darah
o Kolabora (TD) dan TIK
si
pemberia
n cairan
sesuai
indikasi
melalui
IV
dengan
alat
kontrol
o Berikan
kompres
dingin
pada
kepala
Semua sistem
sensori dapat
terpengaruh
dengan adanya
perubahan yang
o Kaji melibatkan
kesadara peningkatan
n sensori atau penurunan
dengan sensitivitas atau
sentuhan, kehilangan
panas/ sensasi untuk
dingin, menerima dan
benda berespon sesuai
tajam/ dengan stimuli.
tumpul
dan
kesadara
n
terhadap
gerakan. Pasien mungkin
mengalami
keterbatasan
perhatian atau
pemahaman
selama fase
akut dan
penyembuhan.
Dengan
tindakan ini
akan membantu
pasien untuk
memunculkan
komunikasi.
o Bicara
dengan
suara
yang Mengurangi
lembut kelelahan,
dan kejenuhan dan
pelan. memberikan
Gunakan kesempatan
kalimat untuk tidur
pendek REM
dan (ketidakadaan
sederhan tidur REM ini
a. dapat
Pertahan meningkatkan
kan gangguan
kontak persepsi
mata. sensori).
Memberikan
perasaan
normal tentang
perubahan
o Berikan waktu dan pola
lingkung tidur.
an
tersetrukt
ur rapi,
nyaman Pendekatan
dan buat antar disiplin
jadwal ilmu dapat
untuk menciptakan
klien jika rencana
mungkin panatalaksanaa
dan tinjau n terintegrasi
kembali. yang berfokus
pada masalah
klien
o Gunakan
penerang
an siang
atau
malam.
o Kolabora
si pada
ahli
fisioterap
i, terapi
okupasi,
terapi
wicara
dan terapi
kognitif.
Proses
penyembuhan
yang lambat
o Berikan/ seringakli
bantu menyertai
untuk trauma kepala
latihan dan pemulihan
rentang fisik merupakan
gerak bagian yang
sangat penting.
Keterlibatan
pasien dalam
program latihan
sangat penting
untuk
meningkatkan
kerja sama atau
keberhasilan
o Bantu program.
pasien
dalam
program
latihan
dan
pengguna
an alat
mobilisas
i.
Tingkatk
an
aktivitas
dan
partisipas
i dalam
merawat
diri
sendiri
sesuai
kemampu
an.
Terapi
o Batasi profilaktik
pengunju dapat
ng yang digunakan pada
dapat pasien yang
menulark mengalami
an infeksi trauma,
atau kebocoran LCS
cegah atau setelah
pengunju dilakukan
ng yang pembedahan
mengala untuk
mi menurunkan
infeksi resiko
saluran terjadinya
nafas infeksi
atas. nosokomial.
o Kolabora
si
pemberia
n
atibiotik
sesuai
indikasi.
Setelah dilakukan tindakan Deteksi dini
Gangguan keperawatan selama 3 x 24 o Kaji dan intervensi
keseimbanga jam ganguan keseimbangan tanda dapat mencegah
n cairan dan cairan dan elektrolit dapat klinis kekurangan /
elektrolit b/ d teratasi dengan KH : dehidrasi kelebihan
haluaran atau fluktuasi
urine dan o Menunjukan kelebihan keseimbangan
elektrolit membran cairan. cairan.
meningkat. mukosa
lembab,
tanda vital
normal Kehilangan
haluaran urinarius dapat
urine adekuat menunjukan
dan bebas terjadinya
oedema. o Catat dehidrasi dan
masukan berat jenis urine
dan adalah indikator
haluaran, hidrasi dan
hitung fungsi renal.
keseimba
ngan
cairan,
ukur Dengan
berat formula kalori
jenis lebih tinggi,
urine. tambahan air
diperlukan
untuk
mencegah
dehidrasi.
o Berikan
air
tambahan Hipokalimia/
/ bilas fofatemia dapat
selang terjadi karena
sesuai perpindahan
indikasi intraselluler
selama
pemberian
makan awal
dan
menurunkan
o Kolabora fungsi jantung
si bila tidak
pemeriks diatasi.
aan lab.
kalium/fo
sfor
serum, Ht
dan
albumin
serum.
o Jaga
keamana
n saat
memberi
kan
makan
pada
pasien, Meningkatkan
seperti proses
meninggi pencernaan dan
kan toleransi pasien
kepala terhadap nutrisi
selama yang diberikan
makan dan dapat
atatu meningkatkan
selama kerjasama
pemberia pasien saat
n makan makan.
lewat
NGT.
Perdarahan
subakut/ akut
o Berikan dapat terjadi
makan dan perlu
dalam intervensi dan
porsi metode
kecil dan alternatif
sering pemberian
dengan makan.
teratur.
Metode yang
efektif untuk
memberikan
kebutuhan
kalori.
o Kaji
feses,
cairan
lambung,
muntah
darah.
o Kolabora
si dengan
ahli gizi.
Untuk
memudahkan
ekspansi paru
dan menjegah
lidah jatuh yang
o Angkat menyumbat
kepala jalan nafas.
tempat
tidur
sesuai
aturan Mencegah/
posisi menurunkan
miring atelektasis.
sesuai
indikasi.
Untuk
mengidentifikas
o Anjurkan i adanya
pasien masalah paru
untuk seperti
latihan atelektasis,
nafas kongesti atau
dalam obstruksi jalan
yang nafas yang
efektif membahayakan
jika oksigenasi
pasien serebral atau
sadar. menandakan
adanya infeksi
paru (umumnya
merupakan
o Auskulta komplikasi
si suara pada cidera
nafas. kepala).
Perhatika
n daerah
hipoventi
lasi dan Menentukan
adanya kecukupan
suara- oksigen,
suara keseimbangan
tambahan asam-basa dan
yang kebutuhan akan
tidak terapi.
normal.
(krekels,
ronki dan
whiszing) Mencegah
. hipoksia, jika
pusat
pernafasan
tertekan.
Biasanya
dengan
mnggunakan
ventilator
mekanis
o Kolabora
si untuk
pemeriks
aan
AGD,
tekanan
oksimetri
.
o Berikan
oksiegen
sesuai
indikasi.
SEROSIS HEPATIS
1. Pengertian
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses
peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi
nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro
menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C.
Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).
2. Etiologi
1. Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas
mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai
akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar
saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi
(kolangitis).
Bagian hati yang terlibat terdiri atas ruang portal dan periportal tempat kanalikulus
biliaris dari masing-masing lobulus hati bergabung untuk membentuk saluran empedu
baru. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan jaringan yang berlebihan terutama
terdiri atas saluran empedu yang baru dan tidak berhubungan yang dikelilingi oleh
jaringan parut.
3. Manifestasi Klinis
Pembesaran hati. Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya
dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat
diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran
hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung
fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati
akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila
dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler).
Obstruksi Portal dan Asites. Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan
fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari
organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati.
Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran
darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan
konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan
kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak
dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita
dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami
penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites.
Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan.
Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial
menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi
terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.
Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan
fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem
gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam
pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis
sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat
pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus
gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang
sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini
akan membentuk varises atau temoroid tergantung pada lokasinya.
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat
sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan.
Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang
nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan
mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur
varises pada lambung dan esofagus.
Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang
kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk
terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi
natrium serta air dan ekskresi kalium.
4. Patofisiologi
Konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis
terjadi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi gizi dengan
penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupan
alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab utama pada perlemakan hati dan
konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada
individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan pada individu yang dietnya normal
tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
Faktor lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida,
naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi skistosomiastis dua kali lebih banyak
daripada wanita dan mayoritas pasien sirosis berusia 40 – 60 tahun.
Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang melibatkan sel-sel
hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-sel hati yang
dihancurkan itu secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut yang melampaui
jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih
tersisa dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjal dari bagian-bagian yang
berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu
berkepala besar (hobnail appearance) yang khas.
Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang insidus dan perjalanan penyakit yang
sangat panjang sehingga kadang-kadang melewati rentang waktu 30 tahun/lebih.
Pengkajian
Status mental dikaji melalui anamnesis dan interaksi lain dengan pasien; orientasi
terhadap orang, tempat dan waktu harus diperhatikan. Kemampuan pasien untuk
melaksanakan pekerjaan atau kegiatan rumah tangga memberikan informasi tentang
status jasmani dan rohani. Di samping itu, hubungan pasien dengan keluarga, sahabat dan
teman sekerja dapat memberikan petunjuk tentang kehilangan kemampuan yang terjadi
sekunder akibat meteorismus (kembung), perdarahan gastrointestinal, memar dan
perubahan berat badan perlu diperhatikan.
Status nutrisi yang merupakan indikator penting pada sirosis dikaji melalui penimbangan
berat yang dilakukan setiap hari, pemeriksaan antropometrik dan pemantauan protein
plasma, transferin, serta kadar kreatinin.
kekuatan.
diri
Memperlihatkan
4. Motivasi dan asupan nutrien
bantu pasien yang adekuat dan
untuk melakukan menghilangkan
latihan dengan alkohol dari diet.
periode waktu
yang
ditingkatkan
secara bertahap
3. Menurunkan panas
melalui proses
konduksi serta
evaporasi, dan
meningkatkan tingkat
3. Lakukan kenyaman pasien.
kompres dingin
atau kantong es 4. Meningkatkan
untuk konsentrasi antibiotik
menurunkan serum yang tepat
kenaikan suhu untuk mengatasi
tubuh. infeksi.
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan
5. Meminimalkan
resiko peningkatan
infeksi, suhu tubuh
4. Berikan serta laju metabolik.
antibiotik seperti
yang diresepkan. 6. Mengurangi laju
metabolik.
5. Hindari kontak
dengan infeksi.
Tujuan : memperbaiki integritas kulit dan proteksi jaringan yang mengalami edema.
3. Meminimalkan Memperlihatkan
3. Balik dan ubah posisi tekanan yang lama jaringan yang
pasien dengan sering. dan meningkatkan normal tanpa
gejala eritema,
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan
Diagnosa keperawatan : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterus dan status
imunologi yang terganggu.
Menggunakan
emolien dan
menghindari
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan
pemakaian sabun
dalam menjaga
higiene sehari-
hari.
9. Mendeteksi Menggunakna
komplikasi obat kelainan
gastrointestinal yang gastrointestinal
serius. seperti yang
diresepkan.
Melaporkan
fungsi
gastrointestinal
yang normal
dengan defekasi
yang teratur.
Mengenali gejala
yang dapat
dilaporkan:
melena,
pendarahan yang
nyata.
4. Meningkatkan proses
penyembuhan.
5. Mengurangi
perdarahan ke dalam
jaringan dengan
meningkatkan
vasokontriksi lokal.
6. Memungkinkan
deteksi tempat
perdarahan yang baru
dan pemantauan
tempat perdarahan
sebelumnya.
7. Meminimalkan
perambesan dan
kehilangan darah
akibat penyuntikan
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan
yang berkali-kali.
Diagnosa keperawatan : Nyeri dan gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hati yang
membesar serta nyeri tekan dan asites.
Melaporkan rasa
pembentukan asites nyeri dan
lebih lanjut. gangguan rasa
nyaman jika
terasa.
Mengurangi
asupan natrium
dan cairan sesuai
kebutuhan hingga
tingkat yang
diinstruksikan
untuk mengatasi
asites.
Merasakan
pengurangan rasa
nyeri.
Memperlihatkan
pengurangan rasa
nyeri.
Memperlihatkan
pengurangan
lingkar perut dan
perubahan berat
badan yang
sesuai.
8. Mencegah
penyamaran gejala
koma hepatik dan
mencegah overdosis
obat yang terjadi
sekunder akibat
penurunan
kemampuan hati
yang rusak untuk
memetabolisme
preparat narkotik dan
Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan
barbiturat.
9. Memberikan
stimulasi kepada
pasien dan
kesempatan untuk
mengamati tingkat
kesadaran pasien.
Diagnosa keperawatan : Pola napas yang tidak efektif berhubungan dengan asites dan
restriksi pengembangan toraks akibat aistes, distensi abdomen serta adanya cairan dalam
rongga toraks.
3. Menunjukkan
iritasi rongga
pleura dan
bukti adanya
gangguan
fungsi
respirasi oleh
pneumotoraks
atau
hemotoraks
(penumpukan
udara atau
darah dalam
rongga
pleura).
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (1999). Rencana
asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan
pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-
proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.
Keratitis ulseratif yang lebih dikenal sebagai ulserasi kornea yaitu terdapatnya destruksi
(kerusakan) pada bagian epitel kornea. (Darling,H Vera, 2000, hal 112)
IB. Etiologi
Kelainan pada bulu mata (trikiasis) dan sistem air mata (insufisiensi air mata,
sumbatan saluran lakrimal), dan sebagainya
Faktor eksternal, yaitu : luka pada kornea (erosio kornea), karena trauma,
penggunaan lensa kontak, luka bakar pada daerah muka
o Bakteri
Kuman yang murni dapat menyebabkan ulkus kornea adalah streptokok pneumoniae,
sedangkan bakteri lain menimulkan ulkus kornea melalui faktor-faktor pencetus diatas.
o Reaksi hipersensifitas
Gejala subyektif pada ulkus kornea sama seperti gejala-gejala keratitis. Gejala
obyektif berupa injeksi silier, hilangnya sebagian jaringan kornea dan adanya
infiltrat. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi iritis disertai hipopion.
Fotofobia
o Streptokokok pneumonia
o Streptokokok alfa hemolitik
o Pseudomonas aeroginosa
o Klebaiella Pneumonia
o Spesies Moraksella
Sedangkan dari ulkus kornea yang ada faktor pencetusnya adalah bakteri patogen
opportunistik yang biasa ditemukan di kelopak mata, kulit, periokular, sakus konjungtiva,
atau rongga hidung yang pada keadaan sistem barier kornea normal tidak menimbulkan
infeksi. Bakteri pada kelompok ini adalah :
o Stafilokukkus epidermidis
o Streptokokok Beta Hemolitik
o Proteus
Bakteri kelompok ini yang sering dijumpai pada kultur dari infeksi ulkus kornea adalah :
Walaupun streptokok pneumonia adalah penyebab yang biasa terdapat pada keratitis
bakterial, akhir-akhir ini prevalensinya banyak digantikan oleh stafilokokus dan
pseudomonas.
Ulkus oleh streptokok viridans lebih sering ditemukan mungkin disebabkan karena
pneumokok adalah penghuni flora normal saluran pernafasan, sehingga terdapat semacam
kekebalan. Streptokok pyogenes walaupun seringkali merupakan bakteri patogen untuk
bagian tubuh yang lain, kuman ini jarang menyebabkan infeksi kornea. Ulkus oleh
streptokok faecalis didapatkan pada kornea yang ada faktor pencetusnya.
Pengobatan : Sefazolin, Basitrasin dalam bentuk tetes, injeksi subkonjungtiva dan intra
vena
Infeksi oleh Stafilokokus paling sering ditemukan. Dari 3 spesies stafilokokus Aureus,
Epidermidis dan Saprofitikus, infeksi oleh Stafilokokus Aureus adalah yang paling berat,
dapat dalam bentuk : infeksi ulkus kornea sentral, infeksi ulkus marginal, infeksi ulkus
alergi (toksik).
Infeksi ulkus kornea oleh Stafilokokus Epidermidis biasanya terjadi bila ada faktor
penceus sebelumnya seperti keratopati bulosa, infeksi herpes simpleks dan lensa kontak
yang telah lama digunakan.
Pada awalnya berupa ulkus yang berwarna putih kekuningan disertai infiltrat berbatas
tegas tepat dibawah defek epithel. Apabila tidak diobati secara adekuat, akan terjadi abses
kornea yang disertai oedema stroma dan infiltrasi sel lekosit. Walaupun terdapat hipopion
ulkus sering kali indolen yaitu reaksi radangnya minimal. Infeksi kornea marginal
biasanya bebas kuman dan disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap Stafilokokus
Aureus.
Berbeda dengan ulkus kornea sebelumnya, pada ulkus pseudomonas bakteri ini
ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Bakteri pseudomonas bersifat aerob obligat dan
menghasilkan eksotoksin yang menghambat sintesis protein. Keadaan ini menerangkan
mengapa pada ulkus pseudomonas jaringan kornea cepat hancur dan mengalami
kerusakan. Bakteri pseudomonas dapat hidup dalam kosmetika, cairan fluoresein, cairan
lensa kontak.
Biasanya dimulai dengan ulkus kecil dibagian sentral kornea dengan infiltrat berwarna
keabu-abuan disertai oedema epitel dan stroma. Ulkus kecil ini dengan cepat melebar dan
mendalam serta menimbulkan perforasi kornea. Ulkus mengeluarkan discharge kental
berwarna kuning kehijauan.
Pengobatan : gentamisin, tobramisin, karbesilin yang diberikan secara lokal,
subkonjungtiva serta intra vena.
Ulkus kornea oleh virus herpes simpleks cukup sering dijumpai. Bentuk khas dendrit
dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan
menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila mengalami
nekrosis di bagian sentral.
Ulkus kornea oleh jamur banyak ditemukan, hal ini dimungkinkan oleh :
o Infeksi oleh jamur lebih sering didapatkan di daerah yang beriklim tropik,
maka faktor ekologi ikut memberikan kontribusi.
Kandida adalah jamur yang paling oportunistik karena tidak mempunyai hifa (filamen)
menginfeksi mata yang mempunyai faktor pencetus seperti exposure keratitis, keratitis
sika, pasca keratoplasti, keratitis herpes simpleks dengan pemakaian kortikosteroid.
Pengobatan : Pemberian obat anti jamur dengan spektrum luas, apabila memungkinkan
dilakukan pemeriksaan laboratorium dan tes sensitifitas untuk dapat memilih obat anti
jamur yang spesifik.
2. Ulkus marginal
Ulkus marginal adalah peradangan kornea bagian perifer dapat berbentuk bulat atau dapat
juga rektangular (segiempat) dapat satu atau banyak dan terdapat daerah kornea yang
sehat dengan limbus. Ulkus marginal dapat ditemukan pada orang tua dan sering
dihubungkan dengan penyakit rematik atau debilitas. Dapat juga terjadi ebrsama-sama
dengan radang konjungtiva yang disebabkan oleh Moraxella, basil Koch Weeks dan
Proteus Vulgaris. Pada beberapa keadaan dapat dihubungkan dengan alergi terhadap
makanan. Secara subyektif ; penglihatan pasien dengan ulkus marginal dapat menurun
disertai rasa sakit, lakrimasi dan fotofobia. Secara obyektif : terdapat blefarospasme,
injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang sejajar dengan limbus.
Pengobatan : Pemberian kortikosteroid topikal akan sembuh dalam 3 hingga 4 hari, tetapi
dapat rekurens. Antibiotika diberikan untuk infeksi stafilokok atau kuman lainnya.
Disensitisasi dengan toksoid stafilokkus dapat memberikan penyembuhan yang efektif.
1. Ulkus cincin
Merupakan ulkus kornea perifer yang dapat mengenai seluruh lingkaran kornea, bersifat
destruktif dan biasaya mengenai satu mata.
Penyebabnya adalah reaksi alergi dan ditemukan bersama-sama penyakit disentri basile,
influenza berat dan penyakit imunologik. Penyakit ini bersifat rekuren.
Letak ulkus peifer yang tidak dalam ini berwarna abu-abu dengan subu terpanjag tukak
sejajar dengan limbus. Diantara infiltrat tukak yang akut dengan limbus ditepiya terlihat
bagian yang bening.
3. Ulkus Mooren
Merupakan ulkus kronik yang biasanya mulai dari bagian perifer kornea berjalan
progresif ke arah sentral tanpa adaya kecenderungan untuk perforasi. Gambaran khasnya
yaitu terdapat tepi tukak bergaung dengan bagan sentral tanpa adanya kelainan dalam
waktu yang agak lama. Tukak ini berhenti jika seluuh permukaan kornea terkenai.
E. Penatalaksanaan :
Pasien dengan ulkus kornea berat biasanya dirawat untuk pemberian berseri (kadang
sampai tiap 30 menit sekali), tetes antimikroba dan pemeriksaan berkala oleh ahli
opthalmologi. Cuci tangan secara seksama adalah wajib. Sarung tangan harus dikenakan
pada setiap intervensi keperawatan yang melibatkan mata. Kelopak mata harus dijaga
kebersihannya, dan perlu diberikan kompres dingin. Pasien dipantau adanya peningkatan
tanda TIO. Mungkin diperlukan asetaminofen untuk mengontrol nyeri. Siklopegik dan
midriatik mungkin perlu diresep untuk mengurangi nyeri dan inflamasi. Tameng mata
(patch) dan lensa kontak lunak tipe balutan harus dilepas sampai infeksi telah terkontrol,
karena justru dapat memperkuat pertumbuhan mikroba. Namun kemudian diperlukan
untuk mempercepat penyembuhan defek epitel.
F. Pemeriksaan Diagnostik :
3. Pemeriksaan oftalmoskopi
5. Pemeriksaan EKG
G. Pengkajian :
(Doenges, 2000)
Intervensi :
Intervensi :
o Bahas perlunya penggunaan perisai metal atau kaca mata bila diperlukan
Intervensi :
o Beri instruksi pada pasien atau orang terdekat mengenai tanda dan gejala,
komplikasi yang harus segera dilaporkan pada dokter
o Berikan instruksi lisan dan tertulis untuk pasien dan orang yang berarti
mengenai teknik yang benar dalam memberikan obat
Kriteria hasil :
Intervensi:
Kriteria hasil:
Intervensi:
o Ajarkan prosedur penetesan obat tetes mata dan penggantian balutan pada
pasien dan keluarga
PATHWAYS
3. Kelainan kornea
4. Kelainan sistemik
5. Obat penurun mekanisme imun
1. Bakteri
2. Virus
3. Jamur
4. Hipersensitivitas
Menginfeksi kornea
Ulkus
Perforasi kornea
Ruptur kornea
TIO meningkat
Penglihatan terganggu
Resiko cidera
DAFTAR PUSTAKA
1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata.
Cet. 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 1998.
2. Darling, Vera H & Thorpe Margaret R.
Perawatan Mata. Yogyakarta : Penerbit Andi; 1995.
3. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made
Kariasa. Ed. 3. Jakarta, 2000
1. Pengertian
Sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang timbul dari kehilangan protein
karena kerusakan glomerulus yang difus. (Luckmans, 1996 : 953).
2. Etiologi
Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap
sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi.
Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah
edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua
pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa
neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya.
2. Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh:
Tanda dan gejala yang muncul pada anak yang mengalami Sindrom nefrotik adalah:
1. Oedem umum ( anasarka ), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
2. Proteinuria dan albuminemia.
5. Lipid uria.
4. Klasifikasi
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik, purpura
anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan neoplasma
limfoproliferatif.
Factor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang
terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema dan
proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi
pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.
5. Patofisiologi
Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah proteinuria
sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini disebabkan
oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang sebabnya belum
diketahui yang terkait dengan hilannya muatan negative gliko protein dalam dinding
kapiler. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan
protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak akibat dari
kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan dalam urin. (Husein A Latas, 2002 :
383).
Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang terutama terdiri dari
albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edema muncul bila
kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme edema belum diketahui
secara fisiologi tetapi kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik/
osmotic intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus keruang intertisial, hal ini
disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan keruang intertisial
menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan. (Silvia A Price, 1995: 833).
Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri menurun
dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan penurunan
volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi ginjal. Hal ini
mengaktifkan system rennin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh
darah dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume atrium yang akan
merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium ditubulus distal
dan merangsang pelepasan hormone anti diuretic yang meningkatkan reabsorbsi air
dalam duktus kolektifus. Hal ini mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi
karena onkotik plasma berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan memperberat
edema. (Husein A Latas, 2002: 383).
Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan anti diuretic hormone akan
mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol, trigliserid, dan
lipoprotein serum meningkat yang disebabkan oleh hipoproteinemia yang merangsang
sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan terjadinya katabolisme lemak yang menurun
karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma. Hal ini dapat menyebabkan
arteriosclerosis. (Husein A Latas, 2002: 383).
6. Pathways
idiopatik
Penyakit sekunder
Tekanan hidrostatik
Tekanan
Osmotic plasma
edema
Sel terjepit
kelelahan
Intoleransi
aktivitas
Aktivasi mekanisme renin angiotensin
Reabsorbsi Na
Reabsorbsi
air
oliguri
hipertesi
Edema anasarka
immobilitas
bedrest
Sulit bergerak
Perubahan penampilan
Intoleransi aktivitas
Paru-paru
Sesak nafas
Abdomen
Menekan gaster
Mual, muntah
anoreksia
usus
7. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
1. Urine
Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor, sediment
kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin, porfirin.
2. Darah
Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium biasanya
meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring
dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah
merah). Klorida, fsfat dan magnesium meningkat. Albumin <>
8. Penatalaksanan
1. Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan keadaan
tidak berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan untuk
mempertahankan tirah baring selama diuresis jika terdapat kehilangan berat badan
yang cepat.
2. Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/
hari dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis
dan edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan
protein yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen
yang persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit
harus mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami
anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
3. Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma
terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban
harus dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat
dengan lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan.
Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong
dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok kulit.
4. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan
untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
5. Kemoterapi:
Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat
cairan berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik
( imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis
dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan
siklofosfamid.
1. Pengkajian
3. Perencanaan Keperawatan
Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna
L, 2004 : 550)
Tujuan: tidak terjadi akumulasi cairan dan dapat mempertahankan keseimbangan intake
dan output.
KH: menunjukkan keseimbangan dan haluaran, tidak terjadi peningkatan berat badan,
tidak terjadi edema.
Intervensi:
Intervensi:
Intervensi:
KH: tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tanda-tanda vitl dalam batas normal, leukosit
dalam batas normal.
Intervensi:
Intervensi:
Intervensi:
KH: menytakan penerimaan situasi diri, memasukkan perubahan konsep diri tanpa harga
diri negatif
Intervensi:
Intervensi:
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2003. Medical Surgical Nursing (Perawatan Medikal Bedah), alih
bahasa: Monica Ester. Jakarta : EGC.
Carpenito, L. J.1999. Hand Book of Nursing (Buku Saku Diagnosa Keperawatan), alih
bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC.
Doengoes, Marilyinn E, Mary Frances Moorhouse. 2000. Nursing Care Plan: Guidelines
for Planning and Documenting Patient Care (Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman
Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), alih bahasa: I Made
Kariasa. Jakarta: EGC.
Donna L, Wong. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica Ester.
Jakarta: EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
1. Pengertian
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer,
kulit dan jaringan tubuh lainnya.
2. Etiologi
M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan
oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat
tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya
ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan
yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat
mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.
3. Patogenesis
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian,
tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa
nasal.
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar
pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk
tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn,
histiosit ) untuk memfagosit.
Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak mampu
menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak jaringan.
Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya
setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan
kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi
berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.
4. Klasifikasi Kusta
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji
lepromin ( - ).
5. Gambaran Klinis
1. Tipe Tuberkoloid ( TT )
Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi,
atau, kontrol healing ( + ).
Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan
psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,
kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe
BT, cenderung simetris.
Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian
tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula
lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah,
beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada
tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.
5. Tipe Lepromatosa ( LL )
Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak
tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
Stadium lanjutan :
o Penebalan kulit progresif
o Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai
madarosis, intis dan keratitis.
Lebih lanjut
o Deformitas hidung
Stadium lanjut
6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)
6. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif koping indifidu
7. Intervensi
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif koping indifidu
Tujuan :
Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan dengan kriteria
hasil :
Intervensi :
Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan bahwa
perubahan fisiknya tidak akan kembali normal.
Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan latihan
otot tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
Tujuan :
Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan,
dengan kriteria hasil :
Intervensi :
Tujuan :
Klien dapat beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah dilakukan tindakan
keperaatan dengan kriteria hasil :
Intervensi :
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : Jakarta.
Stadar asuhan keperawatan RSUD Tugurejo Semarang. 2002. Ruang Kusta. Propinsi
Jawa Tangah
Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC :
Jakarta.
Tifus Abdominalis
Definisi
Tifus Abdominalis (demam tifoid enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang
besarnya tedapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu
minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. (FKUI, 1985)
Tifus abdominalis adalah infeksi yang mengenai usus halus, disebarkan dari kotoran ke
mulut melalui makanan dan air minum yang tercemar dan sering timbul dalam wabah.
(Markum, 1991).
Etiologi
Tyfus abdominalis disebabkan oleh salmonella typhosa, basil gram negatif, bergerak
dengan bulu getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurngnya 3 macam antigen yaitu
antigen O (somatic terdiri dari zat komplek lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan
antigen Vi. Dalam serum penderita terdapat zat anti (glutanin) terhadap ketiga macam
antigen tersebut.
Patofisiologi
Kuman salmonella typhosa masuk kedalam saluran cerna, bersama makanan dan
minuman, sabagian besar akan mati oleh asam lambung HCL dan sebagian ada yang
lolos (hidup), kemudian kuman masuk kedalam usus (plag payer) dan mengeluarkan
endotoksin sehingga menyebabkan bakterimia primer dan mengakibatkan perdangan
setempat, kemudian kuman melalui pembuluh darah limfe akan menuju ke organ RES
terutama pada organ hati dan limfe.
Di organ RES ini sebagian kuman akan difagosif dan sebagian yang tidak difagosif akan
berkembang biak dan akan masuk pembuluh darah sehingga menyebar ke organ lain,
terutama usus halus sehingga menyebabkan peradangan yang mengakibatkan malabsorbsi
nutrien dan hiperperistaltik usus sehingga terjadi diare. Pada hipotalamus akan menekan
termoregulasi yang mengakibatkan demam remiten dan terjadi hipermetabolisme tubuh
akibatnya tubuh menjadi mudah lelah.
Selain itu endotoksin yang masuk kepembuluh darah kapiler menyebabkan roseola pada
kulit dan lidah hipermi. Pada hati dan limpa akan terjadi hepatospleno megali. Konstipasi
bisa terjadi menyebabkan komplikasi intestinal (perdarahan usus, perfarasi, peritonitis)
dan ekstra intestinal (pnemonia, meningitis, kolesistitis, neuropsikratrik).
Manifestasi Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan dengan
penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari jika infeksi
terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama 30 hari jika infeksi melalui minuman.
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodomal yaitu perasaan tidak enak
badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersamangat kemudian menyusul gejala klinis
sbb:
Demam
Berlangsung selama 3 minggu, bersifat febris remiten dan suhu tidak terlalu tinggi.
Selama minggu pertama duhu berangsur-angsur meningkat, biasanya turun pada pagi hari
dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Pada minggu ke-2 penderita terus demam
dan minggu ke-3 penderita demamnya berangsur-angsur normal.
Gangguan pada saluran pencernaan
Nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah, lidah putih kotor (coated tongue)
ujung dan tepi kemerahan, perut kembung, hati dan limpa membesar. disertai nyeri pada
perabaan
Gangguan kesadaran
Kesadaran menurun walaupun tidak berapa dalam yaitu apatis sampai samnolen.
Disamping gejala-gejala tersebut ditemukan juga pada penungggungdan anggota gerak
dapat ditemukan roseola yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler
kulit.
Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d arbsorpsi nutrisi
2. Hipertermi b/d efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus
3. Resiko tinggi kurang volume cairan b/d kehilangan cairan sekunder terhadap diare
4. Intoleransi aktivitas b/d peningkatan kebutuhan metabolisme sekunder terhadap infeksi
akut
5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi b/d kesalahan interpretasi informasi, kurang
mengingat
Focus Intervensi
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d arbsorpsi nutrisi
Tujuan:
Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Intervensi:
a. Dorong tirah baring
Rasional:
Menurunkan kebutuhan metabolic untuk meningkatkan penurunan kalori dan simpanan
energi
b. Anjurkan istirahat sebelum makan
Rasional:
Menenangkan peristaltic dan meningkatkan energi makan
c. Berikan kebersihan oral
Rasional :
Mulut bersih dapat meningkatkan nafsu makan
d. Sediakan makanan dalam ventilasi yang baik, lingkungan menyenangkan
Rasional:
Lingkungan menyenangkan menurunkan stress dan konduktif untuk makan
e. Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat
Rasional:
Nutrisi yang adekuat akan membantu proses
f. Kolaborasi pemberian nutrisi, terapi IV sesuai indikasi
Rasional:
Program ini mengistirahatkan saluran gastrointestinal, sementara memberikan nutrisi
penting.
3. Resiko tinggi kurang volume cairan b/d kehilangan cairan sekunder terhadap diare
Tujuan:
Mempertahankan volume cairan adekuat dengan membran mukosa, turgor kulit baik,
kapiler baik, tanda vital stabil, keseimbangan dan kebutuhan urin normal
Intervensi:
a. Awasi masukan dan keluaran perkiraan kehilangan cairan yang tidak terlihat
Rasional:
Memberikan informasi tentang keseimbangan cairan dan elektrolit penyakit usus yang
merupakan pedoman untuk penggantian cairan
b. Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa turgor kulit dan pengisian
kapiler
Rasional:
Menunjukkan kehilangan cairan berlebih atau dehidrasi
c. Kaji tanda vital
Rasional :
Dengan menunjukkan respon terhadap efek kehilangan cairan
d. Pertahankan pembatasan peroral, tirah baring
Rasional:
Kalau diistirahkan utnuk penyembuhan dan untuk penurunan kehilangan cairan usus
e. Kolaborasi utnuk pemberian cairan parenteral
Rasional:
Mempertahankan istirahat usus akan memerlukan cairan untuk mempertahankan
kehilangan
Komplikasi
Dapat terjadi paDA
Usus halus
Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal yaitu:
a. Perdarahan usus bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat disertai perasaan
nyari perut dengan tanda-tanda rejatan
b. Perforasi usus
c. Peritonitis ditemukan gejala abdomen akut yaitu: nyeri perut yang hebat, diding
abdomen dan nyeri pada tekanan
Pemeriksaan Penunjang
Untuk memastikan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium antara lain
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan darah tepi
b. Pemeriksaan sumsum tulang
c. Biakan empedu untuk menemukan salmonella thyposa
d. Pemeriksaan widal digunakan untuk membuat diagnosis tifus abdominalis yang pasti
Penatalaksanaan
Pengobatan/penatalaksaan pada penderita typus abdominalis adalah sebagai berikut:
1. 13. Isolasi penderita dan desinfeksi pakaian dan ekskreta
2. 14. Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi
3. 15. Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu
4. 16. Diet makanan harus mengandung cukup cairan dan tinggi protein
5. 17. Obat Kloramfenikol
DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito, L. J (1997). Buku Saku Keperawatan. Edisi VI.EGC: Jakarta
2. Doengoes M.E (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi III. EGC : Jakarta
3. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi XII. EGC : Jakarta
4. Staf Pengajar IKA (1995). Ilmu Kesehatan Anak. EGC : Jakarta
5. mansjoer. A (2000). Kapikta Selekta kedokteran. edisi IV. EGC: Jakarta
6. Sarwana (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. FKUI: Jakarta.
GLAUKOMA
Pengertian
Gaukoma adalah sejumlah kelainan mata yang mempunyai gejala peningkatan tekanan
intra okuler (TIO), dimana dapat mengakibatkan penggaungan atau pencekungan papil
syaraf optik sehingga terjadi atropi syaraf optik, penyempitan lapang pandang dan
penurunan tajam pengelihatan (Martinelli, 1991).
Patofisiologi
Aqueus humor secara kontinue diproduksi oleh badan silier (sel epitel prosesus ciliary
bilik mata belakang untuk memberikan nutrien pada lensa. Aqueua humor mengalir
melalui jaring-jaring trabekuler, pupil, bilik mata depan, trabekuler mesh work dan kanal
schlem. Tekana intra okuler (TIO) dipertahankan dalam batas 10-21 mmhg tergantung
keseimbangan antara produksi dan pegeluaran (aliran) AqH di bilik mata depan.
Peningaktan TIO akan menekan aliran darah ke syaraf optik dan retina sehingga dapat
merusak serabut syaraf optik menjadi iskemik dan mati. Selanjutnya menyebabkan
kesrusakan jaringan yang dimula dari perifir menuju ke fovea sentralis. Hal ini
menyebabkan penurunan lapang pandang yang dimulai dari derah nasal atas dan sisa
terakhir pada temporal
Pupi
Sudut BMD
Trab. Schlem
Pengkajian
Pemeriksaan fisik
-Melaporkan kehilangan pengelihatan perifer lambat
-Awitan tiba-tiba dari nyeri berat pada mata sering disertai sakit kepala, mual dan muntah
-Keluhan-keluhan sinar halo pelangi, pengelihatan kabur dan penurunan persepsi sinar.
Pemeriksaan Diagnostik
-Tonometri digunakan untuk pemeriksaan TIO
-Gonioskopi digunakan untuk melihat secara langsung ruang anterior untuk membedakan
antara glaukoma sudut tertututp dengan glaukoma sudut terbuka
-Oftalmoskopi digunakan untuk melihat secara langsung diskus optik dan struktur mata
internal
Diagnose Keperawatan
Rencana Keperawatan
Penurunan sensori pengelihatan s.d. kerusakan serabut syaraf karena peningkatan TIO
Ditandai:
Data subyektif:
Menyatakan pengelihatan kabur
Menyatakan adanaya sambaran seperti kilat (halo)
Data obyektif:
Visus menurun
TIO meningkat
Kriteria Evaluasi
Klien dapat meneteskan obat dengan benar
Kooperatif dalam tindakan
Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen
Tidak terjadi penurunan visus lebih lanjut
INTERVENSI RASIONAL
1.Kaji dan catat ketajaman pengelihatan
2.Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.
3.Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan:
-Orientasikan thd lingkungan.
-Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan pengelihatan klien.
-Berikan pencahayaan yang cukup.
-Letakan alat-alat ditemapat yang tetap.
-Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar.
-Hindari pencahayaan yang menyilaukan.
-Gunakan jam yang ada bunyinya.
4.Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.
5.Anjurkan pada alternatif bentuk rangsangan seperti radio. TV.
RASIONAL
1.Menetukan kemampuan visual
2.Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan.
3.Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.
4. Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan menurun.
Data obyektif:
Suara gemetar
Tampak gugup
Nadi meningkat
Berkeringat dingin
Kriteria evaulasi
Berkurangnya perasaan gugup
Mengungkapkan pemahaman tentang rencana tindakan
Posisi tubuh rileks.
INTERVENSI
1.Hati-hati menyampaikan hilangnya pengelihatan secara permanen
2.Berikan kesemapatan klien mengekspresikan tentang kondisinya.
3.Pertahankan kondisi yang rileks.
4.Jelaskan tujuan setiap tindakan
5.Siapakn bel di tempat tidur dan intruksikan klien memberikan tanda bila mohon
bantuan.
6. pertahankan kontrol nyeri yang efektif
RASIONAL
1.Kalau klien belum siap, akan menambah kecemasan.
2.Pengekspresikan perasaan membantu klien mengidentifikasi sumber cemas.
3.Rileks dapat menurunkan cemas.
4.Dengan penjelasan akan memberikan informasi yang jelas.
5.Dengan memberikan perhatian akan menambah kepercayaan klien.
6.Nyeri adalah sumber stress
Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang keluar
(Walley,1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak lengkapnya
perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal
(Suriadi,2001). Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana rectal terjadi
gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan.
Jadi menurut kesimpulan penulis, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana
anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan
pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan.
Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa
terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.
2. Etiologi
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan
bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari
tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaananus umumnya tidak ada kelainan rectum,
sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut peneletian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa
gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang mempunyai
gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya
saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetic, kelainan kromosom atau
kelainan congenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani. Sedangkan kelainan
bawaan rectum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus
urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal
yang memisahkannya.
Faktor predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir seperti :
3. Klasifikasi
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu :
Kelompok ini terutma melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina atau
rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka
bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu.
2. Yang tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalam keluar
tinja.
Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi spontan
kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa diklasifikasikan
lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
1. Anomali rendah
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat sfingter
internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat
hubungan dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan sfingter
eksternal berada pada posisi yang normal.
3. Anomali tinggi
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya
berhungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina
(perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih daai1 cm.
Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi 2 golongan yang
dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 4
kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rectum, perineum datar dan fistel tidak ada. Jika
ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin
terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel
adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel
terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung
mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita
memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rectum tindakannya sama pada perempuan ;
harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada
invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi.
Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan kloaka,
fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rectum dan fistel tidak ada. Pada fistel vagina,
mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga
sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva.
Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai
etrhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila
penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara
traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak
sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.Pada atresia rectum, anus tampak
normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm.
Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada
fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi.
Golongan II pada laki – laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran
anal, stenosis anus, fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya
terdapat anterior dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan
mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi
definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan, tindakan definitive
harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara <>
Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu kelainan fistel perineum,
stenosis anus dan fistel tidak ada. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan
tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada
stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi
feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel
dan pada invertogram udara <>
4. Patofisiologi
Anus dan rectum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian
belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitoury dan struktur anorektal.
Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena
tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam
perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sacral dan
abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus
menyebabkan fecal tidak dapat dikeluarkan sehungga intestinal mengalami obstrksi.
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya mekonium
setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal dan fistula eksternal
pada perineum (Suriadi,2001). Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika bayi tidak dapat
buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh
darah di kulir abdomen akan terlihat menonjol (Adele,1996)
Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan salah satu
manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena cairan empedu
atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium.
7. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
2. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan
mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
d. CT Scan
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan
traktus urinarius.
8. Penatalaksaan
1. Penatalaksanaan Medis
2. Colostomi sementara
2. Penatalaksanaan Keperawatan
2.1 Pengkajian
Diperlukan pengkajian yang cermat dan teliti untuk mengetahui masalah pasien dengan
tepat, sebab pengkajian merupakan awal dari proses keperawatan. Dan keberhasilan proses
keperawatan tergantung dari pengkajian. Konsep teori yang difunakan penulis adalah model
konseptual keperawatan dari Gordon. Menurut Gordon data dapat dikelompokkan menjadi 11
konsep yang meliputi :
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien dengan atresia ani post
kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual dan munta dampak dari
anestesi.
3. Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh
dibersihkan dari bahan - bahan yang melebihi kebutuhan dan dari produk buangan. Oleh karena
pada atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien akan mengalami kesulitan
dalam defekasi (Whaley & Wong,1996).
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka inisisi.
Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit. Perubahan
pola biasa dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran
(Doenges,1993).
Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi (Doenges,1993).
Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, rumah (Doenges,1993).
Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang dipeluk
dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat dalam memberikan
motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya pelaksanaan ibadah (Mediana,1998).
2. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak
merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang dimasukkan
melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium
dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina (Whaley & Wong,1996).
2. Diagnosa Keperawatan
Data yang diperoleh perlu dianalisa terlebih dahulu sebelum mengemukkan diagnosa
keperawatan, sehingga dapat diperoleh diagnosa keperawatan yang spesifik. Diagnosa
keperawatan yang mungkin muncul pada pasien atresia ani yaitu:
2. Intervensi Keperawatan
Intervensi :
Intervensi :
4. Yakinkan lubang bagian belakang kantong berperekat lebih besar sekitar 1/8 dari ukuran
stoma.
Intervensi :
1. Pertahankan teknik septik dan aseptik secaa ketat pada prosedur medis atau
perawatan.
2. Amati lokasi invasif terhadap tanda-tanda infeksi.
d. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukkan sekret berlebih
(Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah mempertahakan efektif jalan nafas, mengeluarkan sekret
tanpa bantuan dengan kriteria hasil : bunyi nafas bersih, menunjukkan perilaku perbaikan
jalan nafas misalnya, batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi :
3. Berikan posisi semi fowler dan Bantu pasien untuk batuk efektif
dan latihan nafas dalam.
Intervensi :
5. Libatkan orang tua, misal membawa makanan dari rumah, membujuk anak untuk
makan.
Intervensi :
5. Jelaskan kebutuhan terapi IV, NGT, pengukuran tanda – tanda vital dan
pengkajian.
Intervensi :
Intervensi :
Intervensi :
1. Kaji persepsi pasien tentang stoma.
2. Motivasi pasien untuk megungkapkan perasaannya.
Intervensi :
Seperti tahap lainnya dalam proses keperawatan fase pelaksanaan terdiri dari : validasi
rencana keperawatan, dokumentasi rencana keperawatan dan melakukan tindakan
keperawatan.
Suatu tindakan untuk memberikan kebenaran. Tujuan validasi data adalah menekan
serendah mungkin terjadinya kesalahpahaman, salah persepsi. Karena adanya potensi
manusia berbuat salah dalam proses penilaian.
2. Dokumentasi rencana keperawatan
Agar rencana perawatan dapat berarti bagi semua pihak, maka harus mempunyai
landasan kuat, dan bermanfaat secara optimal. Perawat hendaknya mengadakan
pertemuan dengan tim kesehatan lain untuk membahas data, masalah, tujuan serta
rencana tindakan.
3. Tindakan keperawatan
6. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu kegiatan yang terus menerus dengan melibatkan klien, perawat dan
anggota tim kesehatan lainnya. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan keehatan dan
strategi evaluasi. Tujuan dari evaluasi adalah menilai apakah tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak.