You are on page 1of 23

CHOLANGITIS

A. Definisi
Kolangitis adalah peradangan akut dinding saluran empedu, hampir selalu disebabkan infeksi bakteri
pada lumen steril.
Kolangitis Sklerotik Primer adalah peradangan saluran empedu di dalam dan di luar hati, yang pada
akhirnya membentuk jaringan parut dan menyebabkan penyumbatan.

B. Etiologi
> terjadi akibat obstruksi saluran empedu, terutama koledokolitiasis, dan penyebab jarang seperti
tumor, kateter, indwelling stents, pancreatitis akut, dan striktur ringan. Bakteri (E. coli, klebsiella,
clostridium, bacteroides, enterobacter, streptococcus grup D) kemungkinan besar masuk ke sfingter
oddi. Sebagian pula, kolangitis parasit, misal, fasciola hepatica, skistosomiasis, dll
> Pada kolangitis sklerotik primer, pembentukan jaringan parut akan mempersempit dan akhirnya
menyumbat saluran, menyebabkan sirosis.
Penyebabnya tidak diketahui, tapi tampaknya berhubungan dengan kelainan sistem kekebalan
C. Manifestasi klinik
Penyakit ini biasanya dimulai secara bertahap dengan kelelahan yang amat sangat, gatal-gatal dan
jaudince. Bisa terjadi serangan nyeri perut bagian atas dan demam karena terjadinya peradangan
pada saluran empedu, tetapi sangat jarang. 
Terdapat pembesaran hati dan limpa, atau gejala-gejala sirosis.
Bisa juga terjadi hipertensi portal, asites dan kegagalan hati, yang bisa berakibat fatal.
Tanda dan gejala kolangitis sclerosing primer meliputi: 
1. Sakit perut.
2. Menggigil
3. Diare
4. Kelelahan
5. Demam
6. Gatal
7. Berat badan turun
8. Menguning dari mata dan kulit (kuning)

D. Diagnosis
>Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan kolangiopankreatografi endoskopik
retrograd atau kolangiografi perkutaneus.
Pada kolangiopankreatografi endoskopik retrograd, rontgen dilakukan setelah penyuntikan bahan
radiopak ke dalam salluran empedu melalui suatu endoskopi.
Pada kolangiografi perkutaneus, foto rontgen diambil setelah penyuntikan langsung zat radioopak ke
dalam saluran empedu.
Mungkin diperlukan pemeriksaan mikroskopik dari jaringan hati yang diperoleh melalui biopsi, untuk
memperkuat diagnosis.
E. Komplikasi
Infeksi berulang dari saluran empedu (kolangitis bakterialis) merupakan komplikasi dari penyakit ini
dan membutuhkan pengobatan antibiotik.
Kanker saluran empedu (kolangiokarsinoma) terjadi pada 10-15% penderita.Tumor ini tumbuh lambat
dan pengobatannya berupa prosedur endoskopik untuk memasukkan suatu alat ke dalam saluran
empedu, guna membuka saluran yang tersumbat.Kadang perlu dilakukan pembedahan.

F. Pengobatan
Obat-obatan seperti kortikosteroid, azatioprin, penisilamin dan metotreksat tidak terbukti efektif dan
menyebabkan efek samping yang berat. Efektivitas ursodiol juga masih belum jelas. Kolangitis
sklerotik primer mungkin memerlukan pencangkokan hati, yang merupakan satu-satunya pengobatan
yang diketahui untuk penyakit ini. 
Penyempitan saluran bisa dilebarkan melalui prosedur endoskopik atau pembedahan.
G. Perawatan
Pengobatan untuk sclerosing primer fokus pada pengurangan kolangitis tanda-tanda dan gejala
dari penyakit. Sclerosing Kolangitis Primer berlangsung perlahan, tetapi biasanya berakhir dengan
kegagalan hati dan kebutuhan untuk transplantasi hati. Rata-rata waktu dari diagnosa pertama untuk
transplantasi hati adalah 12 sampai 18 tahun.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Moderate Cholangitis

Definisi

Kolangitis akut adalah infeksi bakterial yang akut dari saluran empedu yang tersumbat baik
secara parsiil atau total; sumbatan dapat disebabkan oleh penyebab dari dalam lumen
saluran empedu misalnya batu koledokus, askaris yang memasuki duktus koledokus atau dari luar
lumen misalnya karsinoma caput pankreas yang menekan duktus koledokus, atau dari dinding
saluran empedu misalnya kolangio-karsinoma atau striktur saluran empedu.

Etiologi

Cholangitis dapat disebabkan oleh berbagai keadaan patologis yang semuanya akan berakhir
dengan stasis aliran cairan empedu dan akhirnya terjadi infeksi oleh bakteri akibat adanya
multiplikasi yang meningkat pada sistem bilier. Berbagai jenis etiologi dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Tabel 1. : Etiologi Kholangitis

Choledocholithiasis
Striktur sistem bilier
Neoplasma pada sistem bilier
Komplikasi iatrogenik akibat manipulasi "CBD" (Common Bile Duct)
Parasit : cacing Ascaris, Clonorchis sinensis
Pankreatitis kronis
Pseudokista atau tumor pankreas
Stenosis ampulla
Kista Choledochus kongenital atau penyakit Caroli
Sindroma Mirizzi atau Varian Sindroma Mirizzi
Diverticulum Duodenum

Batu saluran empedu adalah penyebab terbanyak (hampir 90%), yang kemudian disusul
oleh striktur sistem bilier dan tumor pada sistem bilier. Di negara-negara Asia Tenggara dan Cina
cacing tidak jarang ditemukan sebagai penyebab, walaupun jenis cacing yang ditemukan berbeda-
beda.
Patofisiologi

Faktor utama dalam patogenesis dari cholangitis akut adalah obstruksi saluran bilier,
peningkatan tekanan intraluminal, dan infeksi saluran empedu. Saluran bilier yang terkolonisasi
oleh bakteri namun tidak mengalami pada umumnya tidak akan menimbulkan cholangitis. Saat ini
dipercaya bahwa obstruksi saluran bilier menurunkan pertahanan antibakteri dari inang. Walaupun
mekanisme sejatinya masih belum jelas, dipercaya bahwa bakteria memperoleh akses menuju
saluran bilier secara retrograd melalui duodenum atau melalui darah dari vena porta. Sebagai
hasilnya, infeksi akan naik menuju ductus hepaticus, menimbulkan infeksi yang serius.
Peningkatan tekanan bilier akan mendorong infeksi menuju kanalikuli bilier, vena hepatica, dan
saluran limfatik perihepatik, yang akan menimbulkan bacteriemia (25%-40%). Infeksi dapat
bersifat supuratif pada saluran bilier.

Saluran bilier pada keadaan normal bersifat steril. Keberadaan batu pada kandung empedu
(cholecystolithiasis) atau pada ductus choledochus (choledocholithiasis) meningkatkan insidensi
bactibilia. Organisme paling umum yang dapat diisolasi dalam empedu adalah Escherischia coli
(27%), Spesies Klebsiella (16%), Spesies Enterococcus (15%), Spesies Streptococcus (8%),
Spesies Enterobacter (7%), dan spesies Pseudomonas aeruginosa (7%). Organisme yang
ditemukan pada kultur darah sama dengan yang ditemukan dalam empedu. Patogen tersering
yang dapat diisolasi dalam kultur darah adalah E coli (59%), spesies Klebsiella (16%),
Pseudomonas aeruginosa (5%) dan spesies Enterococcus (4%). Sebagai tambahan, infeksi
polimikrobial sering ditemukan pada kultur empedu (30-87%) namun lebih jarang terdapat pada
kultur darah (6-16%).
Saluran empedu hepatik bersifat steril, dan empedu pada saluran empedu tetap steril
karena terdapat aliran empedu yang kontinu dan keberadaan substansi antibakteri seberti
immunoglobulin. Hambatan mekanik terhadap aliran empedu memfasilitasi kontaminasi bakteri.
Kontaminasi bakteri dari saluran bilier saja tidak menimbulkan cholangitis secara klinis; kombinasi
dari kontaminasi bakteri signifikan dan obstruksi bilier diperlukan bagi terbentuknya cholangitis.
Tekanan bilier normal berkisar antara 7 sampai 14 cm. Pada keadaan bactibilia dan
tekanan bilier yang normal, darah vena hepatica dan nodus limfatikus perihepatik bersifat steril,
namun apabila terdapat obstruksi parsial atau total, tekanan intrabilier akan meningkat sampai
18-29 cm H2O, dan organisme akan muncul secara cepat pada darah dan limfa. Demam dan
menggigil yang timbul pada cholangitis merupakan hasil dari bacteremia sistemik yang
ditimbulkan oleh refluks cholangiovenososus dan cholangiolimfatik.
Penyebab tersering dari obstruksi bilier adalah choledocholithiasis, striktur jinak, striktur
anastomosis bilier-enterik, dan cholangiocarcinoma atau karsinoma periampuler. Sebelum tahun
1980-an batu choledocholithiasis merupakan 80% penyebab kasus cholangitis yang tercatat.
B. Penatalaksanaan diet sesuai permasalahan gizi

1. Jenis diet : Diet rendah lemak dan tinggi protein, diberikan kepada pasien moderate
cholangitis yang telah menjalani operasi pengangkatan kandung empedu. dimana jumlah lemak
yang diberikan rendah untuk mengurangi kontraksi kandung empedu,serta tinggi protein untuk
mempercepat proses penyembuhan luka operasi, Protein yang diberikan mempunyai nilai biologis
tinggi sehingga lebih mudah untukdiserap. Ada tiga jenis diet rendah lemak yang diberikan yaitu :

a. Diet Rendah Lemak I


Diberikan kepada pasien cholecystitis (radang kantong empedu) akut dan cholelithiasis (batu
empedu) dengan kolik akut.
b. Diet Rendah Lemak II
Diberikan secara berangsur bila keadaan akut sudah dapat diatasi dan perasaan mual sudah
berkurang atau kepada pasien penyakit kantong empedu kronis yang terlalu gemuk.
c. Diet Rendah Lemak III
Diberikan kepada pasien penyakit kantong empedu yang tidak gemuk dan cukup mempunyai
nafsu makan. Menurut keadaan penderita, makanan diberikan dalam bentuk lunak atau biasa.
2. Tujuan Diet :
1) Memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi pasien
2) Mempercepat proses penyembuhan luka pasca operasi.
3) Meningkatkan status gizi kurang menjadi normal.
3. Syarat diet :
1) Energi diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien.
2) Protein yag diberikan tinggi yaitu 15% gr/kg BB untuk membantu proses penyembuhan luka pasca
operasi.
3) Lemak diberikan rendah yaitu 20% dari total kebutuhan energi digunakan sebagai sumber energi.
4) Karbohidrat diberikan cukup yaitu 65% dari total energi dan digunakan sebagai sumber energi.
5) Vitamin dan Mineral cukup sesuai kebutuhan normal.
6) Serat tinggi terutama dalam bentuk pektin yang dapat mengikat kelebihan asam empedu didalam
saluran cerna seperti jeruk, pepaya, pisang, apel dan lain – lain.
7) Menghindari makanan yang terlalu berlemak, gorengan, dan makanan yang menimbulkan gas.
8) Bentuk makanan lunak.
9) Di berikan dalam porsi kecil

BAGIAN ILMU PENYAKIT BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN 2010 BAB I


PENDAHULUAN Cholangitis akut merupakan infeksi bakteri dari sistem duktus bilier,
yang bervariasi tingkat keparahannya dari ringan dan dapat sembuh sendiri sampai
berat dan dapat mengancam nyawa. Pertama kali dikemukakan pada tahun 1877 oleh
Charcot, ia mempostulatkan bahwa penyakit ini berhubungan dengan proses patologi
berupa obstruksi bilier dan infeksi bakteri. Cholangitis merupakan salah satu komplikasi
dari batu pada ductus choledochus. Penyakit ini perlu diwaspadai karena insidensi batu
empedu di Asia Tenggara cukup tinggi, serta kecenderungan penyakit ini untuk terjadi
pada pasien berusia lanjut, yang biasanya memiliki penyakit penyerta yang lain yang
dapat memperburuk kondisi dan mempersulit terapi. Penting bagi dokter umum untuk
mengetahui penyakit ini, agar dapat menegakkan diagnosis secara tepat, melakukan
penanganan pertama, memberikan penjelasan yang baik kepada pasien, dan merujuk
secara tepat. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Kolangitis akut merupakan
superimposa infeksi bakteri yang terjadi pada obstruksi saluran bilier, terutama yang
ditimbulkan oleh batu empedu, namun dapat pula ditimbulkan oleh neoplasma ataupun
striktur. Patofisiologi Faktor utama dalam patogenesis dari cholangitis akut adalah
obstruksi saluran bilier, peningkatan tekanan intraluminal, dan infeksi saluran empedu.
Saluran bilier yang terkolonisasi oleh bakteri namun tidak mengalami pada umumnya
tidak akan menimbulkan cholangitis. Saat ini dipercaya bahwa obstruksi saluran bilier
menurunkan pertahanan antibakteri dari inang. Walaupun mekanisme sejatinya masih
belum jelas, dipercaya bahwa bakteria memperoleh akses menuju saluran bilier secara
retrograd melalui duodenum atau melalui darah dari vena porta. Sebagai hasilnya,
infeksi akan naik menuju ductus hepaticus, menimbulkan infeksi yang serius.
Peningkatan tekanan bilier akan mendorong infeksi menuju kanalikuli bilier, vena
hepatica, dan saluran limfatik perihepatik, yang akan menimbulkan bacteriemia (25%-
40%). Infeksi dapat bersifat supuratif pada saluran bilier. Saluran bilier pada keadaan
normal bersifat steril. Keberadaan batu pada kandung empedu (cholecystolithiasis) atau
pada ductus choledochus (choledocholithiasis) meningkatkan insidensi bactibilia.
Organisme paling umum yang dapat diisolasi dalam empedu adalah Escherischia coli
(27%), Spesies Klebsiella (16%), Spesies Enterococcus (15%), Spesies Streptococcus
(8%), Spesies Enterobacter (7%), dan spesies Pseudomonas aeruginosa (7%).
Organisme yang ditemukan pada kultur darah sama dengan yang ditemukan dalam
empedu. Patogen tersering yang dapat diisolasi dalam kultur darah adalah E coli (59%),
spesies Klebsiella (16%), Pseudomonas aeruginosa (5%) dan spesies Enterococcus
(4%). Sebagai tambahan, infeksi polimikrobial sering ditemukan pada kultur empedu
(30-87%) namun lebih jarang terdapat pada kultur darah (6-16%). Saluran empedu
hepatik bersifat steril, dan empedu pada saluran empedu tetap steril karena terdapat
aliran empedu yang kontinu dan keberadaan substansi antibakteri seberti
immunoglobulin. Hambatan mekanik terhadap aliran empedu memfasilitasi kontaminasi
bakteri. Kontaminasi bakteri dari saluran bilier saja tidak menimbulkan cholangitis secara
klinis; kombinasi dari kontaminasi bakteri signifikan dan obstruksi bilier diperlukan bagi
terbentuknya cholangitis. Tekanan bilier normal berkisar antara 7 sampai 14 cm. Pada
keadaan bactibilia dan tekanan bilier yang normal, darah vena hepatica dan nodus
limfatikus perihepatik bersifat steril, namun apabila terdapat obstruksi parsial atau total,
tekanan intrabilier akan meningkat sampai 18-29 cm H2O, dan organisme akan muncul
secara cepat pada darah dan limfa. Demam dan menggigil yang timbul pada cholangitis
merupakan hasil dari bacteremia sistemik yang ditimbulkan oleh refluks
cholangiovenososus dan cholangiolimfatik. Penyebab tersering dari obstruksi bilier
adalah choledocholithiasis, striktur jinak, striktur anastomosis bilier-enterik, dan
cholangiocarcinoma atau karsinoma periampuler. Sebelum tahun 1980-an batu
choledocholithiasis merupakan 80% penyebab kasus cholangitis yang tercatat. Insidensi
Di Amerika Serikat, Cholangitis cukup jarang terjadi. Biasanya terjadi bersamaan
dengan penyakit lain yang menimbulkan obstruksi bilier dan bactibilia (misal: setelah
prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami cholangitis). Resiko tersebut meningkat
apabila cairan pewarna diinjeksikan secara retrograd. Insidensi Internasional cholangitis
adalah sebagai berikut. Cholangitis pyogenik rekuren, kadangkala disebut sebagai
cholangiohepatitis Oriental, endemik di Asia Tenggara. Kejadian ini ditandai oleh infeksi
saluran bilier berulang, pembentukan batu empedu intrahepatik dan ekstrahepatik,
abses hepar, dan dilatasi dan striktur dari saluran empedu intra dan ekstrahepatik.
Mortalitas/Morbiditas Mortalitas dari cholangitis tinggi karena predisposisinya pada
penderita dengan penyakit penyerta yang lain. Pada zaman dahulu, tingkat
mortalitasnya mencapai 100%. Dengan ditemukannya Endoscopic retrograde
cholangiography, sphincterotomy terapeutik secara endoskopik, ekstraksi batu dan
stenting bilier, tingkat mortalitas telah menurun sampai kira-kira 5-10%. Pasien-pasien
dengan karakteristik berikut berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang
lebih tinggi: o Hipotensi o Gagal ginjal akut o Abses hepar o Sirosis o Inflammatory
bowel disease o Striktur karena malignansi o Radiologic cholangitis – post percutaneus
transhepatic cholangiography o Jenis kelamin perempuan o Usia lebih tua dari 50 tahu o
Kegagalan merespon terhadap terapi antibiotik dan konservatif. Usia lanjut, masalah
medis penyerta, dan keterlambatan dekompresi bilier meningkatkan tingkat kematian
operatif yang timbul (17-40%). Tingkat mortalitas dari pembedahan elektif setelah
stabilisasi keadaan pasien lebih rendah secara signifikan (kira-kira 3%). Pada masa lalu,
cholangitis suppurativa diduga meningkatkan morbiditas; namun, studi prospektif tidak
menunjukkan bahwa dugaan tersebut benar. Cholangitis seringkali terjadi secara
sekunder karena batu empedu yang mengobstruksi ductus choledochus, oleh karena itu
memiliki faktor resiko yang sama dengan cholelithiasis. Prevalensi batu empedu tertinggi
terdapat pada orang-orang berkulit terang keturunan Eropa utara, juga pada populasi
Hispanik, Suku-suku asli amerika, dan Indian Pima. Sebagai tambahan, populasi Asia
tertentu dan penduduk negara dimana insidensi parasit intestinal tinggi juga memiliki
resiko yang lebih tinggi. Orang Asia lebih mungkin memiliki batu primer karena infeksi
bilier kronis, parasit, stasis bilier, dan striktur bilier. Cholangitis pyogenik Rekuren jarang
terjadi di Amerika Serikat. Orang kulit hitam dengan penyakit sickle cell anemia memiliki
resiko yang lebih tinggi. Walaupun batu empedu lebih sering terjadi pada wanita
daripada pada pria, rasio pria-wanita sama pada cholangitis. Pasien berusia lanjut
dengan batu empedu asimtomatik lebih mungkin mengalami komplikasi serius dan
cholangitis. Cholangitis pada pasien tua yang datang dengan sepsis dan perubahan
status mental harus selalu dipikirkan, pasien tua lebih rentan terhadap batu kandung
empedu dan batu saluran empedu, dan oleh karena itu, cholangitis. Usia median
presentasi cholangitis adalah antara usia 50-60 tahun. Pemeriksaan klinis Riwayat Pada
tahun 1877, Charcot menjelaskan cholangitis sebagai “triad” yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik berupa: nyeri kuadran kanan atas, demam, dan Jaundice. Pentad
Reynolds menambahkan perubahan status mental dan sepsis pada triad tersebut.
Terdapat berbagai spektrum cholangitis, mulai dari gejala yang ringan sampai sepsis.
Apabila terdapat shock septik, diagnosis cholangitis mungkin dapat tidak terduga.
Pikirkan cholangitis pada setiap pasien yang nampak septik, terutama pada pasien-
pasien tua, mengalami jaundice, atau yang mengalami nyeri abdomen. Riwayat nyeri
abdomen atau gejala kolik bilier dapat merupakan petunjuk bagi penegakkan diagnosis.
Triad Charcot terdiri dari demam, nyeri abdomen kanan atas, dan Jaudice. Dilaporkan
terjadi pada 50%-70% pasien dengan cholangitis. Namun, penelitian yang dilakukan
baru-baru ini mengemukakan bahwa gejala tersebut terjadi pada 15%-20% pasien.
Demam terjadi pada kira-kira 90% kasus. Nyeri abdomen dan jaundice diduga terjadi
pada 70% dan 60% pasien. Pasien datang dengan perubahan status mental pada 10-
20% kasus dan hipotensi terjadi pada 30% kasus. Tanda-tanda tersebut , digabungkan
dengan triad Charcot, membentuk pentad Reynolds. Banyak pasien yang datang
dengan ascending cholangitis tidak memiliki gejala-gejala klasik tersebut. Sebagian
besar pasien mengeluhkan nyeri pada abdomen kuadran lateral atas; namun sebagian
pasien (misal: pasien lansia) terlalu sakit untuk melokalisasi sumber infeksi. Gejala-
gejala lain yang dapat terjadi meliputi: Jaundice, demam, menggigil dan kekakuan
(rigors), nyeri abdomen, pruritus, tinja yang acholis atau hypocholis, dan malaise.
Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu. Contohnya riwayat dari keadaan-
keadaan berikut dapat meningkatkan resiko cholangitis: o Batu kandung empedu atau
batu saluran empedu o Pasca cholecystectomy o Manipulasi endoscopik atau ERCP,
cholangiogram o Riwayat cholangitis sebelumnya o Riwayat HIV atau AIDS: cholangitis
yang berhubungan dengan AIDS memiliki ciri edema bilier ekstrahepatik, ulserasi, dan
obstruksi bilier. Etiologinya masih belum jelas namun dapat berhubungan dengan
cytomegalovirus atau infeksi Cryptosporidium. Penanganannya akan dijelaskan di
bawah, dekompresi biasanya tidak diperlukan. Pemeriksaan Fisik Pada umumnya,
pasien dengan cholangitis nampak sakit cukup berat dan cukup sering datang dalam
keadaan shock septik tanpa sumber infeksi yang jelas. Pemeriksaan fisik dapat
ditemukan keadaan sebagai berikut: o Demam (90%) walaupun pasien tua dapat tidak
mengalami demam o Nyeri abdomen kuadran lateral atas (65%) o Hepatomegali ringan
o Jaundice (60%) o Perubahan status mental (10-20%) o Sepsis o Hipotensi (30%) o
Takikardia o Peritonitis (jarang terjadi, dan apabila terjadi, harus dicari diagnosis
alternatif yang lain) Penyebab Pada negara-negara barat, Choledocholithiasis
merupakan penyebab utama cholangitis akut, diikuti oleh ERCP dan tumor. Setiap
kondisi yang menimbulkan stasis atau obstruksi saluran bilier pada ductus choledochus,
termasuk striktur jinak atau ganas, infeksi parasit, ataupun kompresi ekstrinsik yang
ditimbulkan oleh pancreas, dapat menimbulkan infeksi bakteri dan cholangitis. Obstruksi
parsial memiliki tingkat infeksi yang lebih tinggi daripada infeksi komplit. Batu saluran
empedu merupakan predisposisi bagi cholangitis. Kira-kira 10-15% pasien dengan
cholecystitis memiliki choledocholithiasis, kira-kira 1% pasien pasca cholecystectomy
memiliki choledocholithiasis yang tersisa. Sebagian besar choledocholithiasis bersifat
simtomatik, sementara sebagian dapat bersifat asimtomatik selama bertahun-tahun.
Tumor yang bersifat obstruktif dapat menyebabkan cholangitis. Obstruksi parsial
berhubungan dengan peningkatan tingkat infeksi dibandingkan dengan obstruksi
neoplastik total. Tumor-tumor yang dapat menyebabkan cholangitis adalah: o Kanker
pancreas o Cholangiocarcinoma o Kanker ampulla vateri o Tumor porta hepatis atau
metastasis Penyebab lain yang dapat menimbulkan cholangitis adalah: o Striktur atau
stenosis o Manipulasi CBD secara endoskopik o Choledochocele o Sclerosing
cholangitis (dari sklerosis bilier) o AIDS cholangiopathy o Infeksi cacing Ascaris
lumbricoides. Diagnosis Diferential o Cholecystitis dan kolik Bilier o Penyakit Divertikuler
o Hepatitis o Iskemia mesenterika o Pancreatitis o Shock Septik Diagnosis lain yang
perlu dipertimbangkan: o Sirosis o Liver Failure o Abses hepar o Appendicitis accuta o
Ulcus pepticum yang mengalami perforasi o Pyelonephritis o Diverticulitis colon kanan
Pemeriksaan Penunjang Uji Laboratorium Pemeriksaan darah rutin: Leukositosis: Pada
pasien dengan cholangitis, 79% memiliki sel darah putih melebihi 10.000/mL, dangan
angka rata-rata 13.600. Pasien sepsis dapat leukopenik. Pemeriksaan elektrolit dengan
fungsi ginjal dapat dilakukan. Pemeriksaan kadar kalsium darah diperlukan untuk
memeriksa kemungkinan pancreatitis, yang dapat menimbulkan hipokalsemia, dicurigai.
Tes fungsi liver kemungkinan besar konsisten dengan keadaan cholestasis,
hiperbilirubinemia terdapat pada 88-100% pasien dan peningkatan kadar alkali fosfatase
pada 78% pasien. SGOT dan SGPT biasanya sedikit meningkat. PTT dan aPTT
biasanya tidak meningkat kecuali bila terdapat sepsis yang menimbulkan Koagulasi
intravaskuler diseminata (DIC) atau apabila terdapat sirosis pada pasien tersebut.
Pemeriksaan koagulasi tersebut diperlukan apabila pasien memerlukan intervensi
operatif. Golongan darah, screening darah dan crossmatch biasanya dilakukan apabila
pasien memerlukan cadangan darah untuk operasi. Kadar C-reactive protein dan LED
pada umumnya meningkat. Kultur darah (2 set): antara 20% dan 30% kultur darah
memberikan hasil yang positif, banyak diantaranya menunjukkan infeksi polimikrobial
Hasil urinalisis biasanya normal Lipase: keterlibatan ductus choledochus bagian bawah
dapat menimbulkan pancreatitis dan peningkatan kadar lipase. Sepertida dari pasien
mengalami sedikit peningkatan pada kadar lipase. Peningkatan enzim pankreas
menunjukkan bahwa batu saluran empedu menimbulkan cholangitis, dengan ataupun
tanpa gallstone pancreatitis (pancreatitis yang disebabkan oleh batu empedu). Kultur
empedu: kultur empedu dilakukan apabila pasien mengalami drainase bilier oleh
interventional radiology atau endoscopy. Studi Pencitraan Studi pencitraan penting
untuk mengkonfirmasi keberadaan dan penyebab obstruksi bilier dan untuk
menyingkirkan kondisi yang lain. Ultrasonografi dan CT scan merupakan pemeriksaan
yang paling sering dilakukan. Ultrasonografi sangat baik untuk melihat batu empedu dan
cholecystitis. Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik untuk memeriksa kandung
empedu dan menilai dilatasi saluran bilier, namun pemeriksaan ini sering melewatkan
batu yang terdapat pada ductus biliaris distal. Ultrasonografi transabdominal merupakan
pemeriksaan awal pilihan. Ultrasonografi dapat membedakan obstruksi intrahepatik dari
obstruksi ekstrahepatik dan memperlihatkan dilatasi ductus. Pada sebuah penelitian,
hanya 13% choledocholithiasis dapat diamati pada USG, namun dilatasi CBD terdapat
pada 64% kasus. Keuntungan USG adalah dapat dilakukan secara cepat di UGD
(dengan USG portabel), kemampuan untuk melihan struktur lain (aorta, pancreas, liver),
kemampuan untuk mengidentifikasi komplikasi (misal perforasi, empyema, abscess) dan
tidak terdapatnya resiko radiasi Kerugian dari USG adalah hasil pemeriksaan yang
bergantung pada kemampuan operator dan pasien (kadar lemak pasien dll), tidak
mampu untuk melihat ductus cysticus, dan penurunan sensitivitas bagi batu saluran
empedu distal. Hasil USG yang normal tidak dapat menyingkirkan diagnosis cholangitis.
Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) merupakan pemeriksaan
yang bersifat diagnostik dan terapeutik, dan merupakan kriteria standar bagi pencitraan
sistem bilier. ERCP hanya dilakukan bagi pasien yang memerlukan intervensi terapeutik.
Pasien dengan kecurigaan klinis yang tinggi bagi cholangitis sebaiknya segera
dilakukan ERCP. ERCP memiliki tingkat keberhasilan yang besar (98%) dan dianggap
lebih aman daripada intervensi bedah dan percutaneus. Penggunaan ERCP sebagai
alat diagnostik memiliki tingkat komplikasi sebesar 1,38% dan tingkat mortalitas sebesar
0,21%. Komplikasi utama dari ERCP terapeutik sebesar 5,4% dan tingkat mortalitasnya
sebesar 0,49%. Komplikasinya meliputi pancreatitis, perdarahan, dan perforasi.
Pemeriksaan CT bersifat tambahan dan dapat menggantikan USG. CT helical atau
spiral dapat meningkatkan pencitraan saluran bilier. CT cholangiography
mempergunakan zat kontras yang diambil oleh hepatosit dan disekresi menuju saluran
bilier. Hal ini meningkatkan kemampuan untuk memvisualisasikan batu radioluscent dan
meningkatkan tingkat deteksi dari patologi bilier lain. Ductuc intrahepatik dan
ekstrahepatik dan inflamasi saluran bilier dapat terlihat pada CT scan. Batu empedu
tidak dapat terlihat dengan baik pada CT Scan biasa, Keuntungan dari CT adalah:
Kemampuan untuk melihat proses patologis lain yang merupakan penyebab ataupun
komplikasi dari cholangitis (misal: tumor ampulla, cairan pericholecystic, abses hepar).
Diagnosis diferential juga kadang dapat terlihat (misal: diverticulitis kolon kanan,
nekrosis papilla, sebagian bukti pyelonephritis, iskemia mesenterium, dan appendix
yang ruptur. Deteksi patologi bilier dengan CT cholangiography lewat pendekatan
ERCP. Kerugian dari CT meliputi kemampuan pencitraan batu empedu yang buruk,
reaksi alergi terhadap kontras, paparan terhadap radiasi, dan kurangnya kemampuan
untuk memvisualisasikan saluran bilier dengan kadar bilirubin serum yang meningkat.
Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) merupakan studi noninvasif
yang semakin sering dipergunakan untuk diagnosis batu bilier dan patologi bilier lain.
MRCP akurat untuk mendeteksi choledocholithiasis, neoplasma, striktur, dan dilatasi
sistem bilier. Keterbatasan MRCP meliputi ketidakmampuan untuk melakukan tes
diagnostik invasif seperti pengambilan sample empedu, uji sitologis, pengambilan batu,
ataupun stenting. Pemeriksaan MRCP memiliki keterbatasan dalam melihat batu
dengan ukuran kecil (<6mm> Kontraindikasi absolutnya sama dengan MRI tradisional,
termasuk keberadaan alat pacu jantung (pacemaker), klip aneurisma serebral, implan
okuler atau cochlear, dan benda asing pada okuler. Kontraindikasi relatif meliputi
terdapatnya prosthesa katup jantung, neurostimulator, prosthese logam dan implan
pada penis. Resiko MRCP pada kehamilan masih belum diketahui. Pada umumnya, foto
polos abdomen tidak banyak membantu pada diagnosis cholangitis akut. Ileus dapat
diamati pada kasus tersebut. Antara 10-30% batu empedu memiliki cincin kalsium,
sebagai akibatnya bersifat radioopak. Foto abdomen dapat menunjukkan udara dalam
saluran bilier setelah manipulasi endoscopik apabila pasien mengalami cholecystitis
emphysematosa, cholangitis, ataupun fistula cholecystic-enteric. Udara dalam dinding
kandung empedu mengindikasikan cholecystitis emphysematosa. Pemeriksaan lain
Scintigrafi bilier (hepatic 2,6-dimethyliminodiacetic acid [HIDA] dan diisopropyl
iminodiacetic acid [DISIDA]). Scan HIDA dan DISIDA merupakan uji fungsional dari
kandung empedu. Obstruksi CBD menimbulkan nonvisualisasi dari usus kecil. Scan
HIDA pada obstruksi total dari saluran bilier tidak memperlihatkan saluran bilier.
Keuntungannya adalah kemampuan untuk menilai fungsi empedu dan hasilnya dapat
positif dapat muncul sebelum pembesaran ductus dapat dilihap melalui USG.
Kerugiannya adalah apabila terdapat kadar bilirubin yang tinggi (>4,4) dapat
menurunkan sensitifitas pemeriksaan ini. Keadaan baru makan atau tidak makan
selama 24 jam juga dapat mempengaruhi pemeriksaan ini, selain itu pencitraan
anatomis bagi struktur-struktur lain selain saluran bilier tidak memungkinkan.
Pemeriksaan ini memerlukan waktu beberapa jam, sehingga tidak direkomendasikan
pada pasien kritis atau pada pasien yang tidak stabil. Penanganan Leukositosis,
hiperbilirubinemia, dan peningkatan fosfatase alkali dan transaminase cukup sering
terjadi, dan apabila terjadi, mendukung diagnosis klinis dari cholangitis. USG berguna
apabila pasien belum pernah didiagnosa dengan batu empedu, karena USG dapat
memperlihatkan batu kandung empedu, memperlihatkan ductus yang berdilatasi, dan
dapat menentukan lokasi obstruksi. Tes diagnostik definitif adalah ERCP. Pada kasus
dimana ERCP tidak dapat dilakukan, PTC diindikasikan. ERCP dan PTC akan
menunjukkan tingkat obstruksi, namun penyebabnya tidak dapat ditentukan dengan
cara ini. ERCP dan PTC dapat memungkinkan kultur empedu, memungkinkan
pengangkatan batu (apabila ada), dan drainase saluran empedu dengan kateter drain
atau stent. Pengobatan pertama pada pasien dengan cholangitis meliputi antibiotik
intravena dan resuscitasi cairan. Antibiotik cephalosporin (misal cefazolin, cefoxitin)
merupakan obat pilihan pada kasus-kasus ringan sampai sedang. Apabila kasusnya
berat atau memburuk secara progresif, obat-obatan aminoglikosida ditambah
clindamycin ataupun metronidazole sebaiknya ditambahkan pada regimen pengobatan.
Pasien tersebut mungkin memerlukan pemantauan di ICU dan dukungan vassopressor.
Sebagian besar pasien akan merespon terhadap tindakan ini. Namun, saluran empedu
yang mengalami obstruksi harus didrainase sesegera mungkin setelah pasien stabil.
Sekitar 15% pasien tidak akan merespon terhadap terapi antibiotik intravena dan
resusitasi cairan, dan dekompresi bilier darurat mungkin diperlukan. Dekompresi bilier
dapat diakukan melalui endoskopi, melalui rute transhepatic percutaneus, ataupun
secara bedah. Pemilihan prosedur tersebut sebaiknnya berdasarkan pada tingkat dan
sigat obstruksi bilier. Pasien dengan choledocholithiasis atau keganasan periampuler
paling baik ditangani menggunakan pendekatan endoskopik, dengan sphincterotomy
dan pengangkatan batu, atau dengan penempatan stent bilier secara endoskopi. Pada
pasien dengan obstruksi yang lebih proksimal atau terletah pada perihiler, atau
penyakitnya disebabkan striktur pada anastomosis enterik-bilier, atau apabila usaha
melalui jalur endoskopi mengalami kegagalan, drainase transhepatik perkutaneus
dipergunakan. Apabila ERCP atau PTC tidak memungkinkan, operasi darurat dan
dekompresi ductus choledochus dengan T tube mungkin diperlukan untuk
menyelamatkan nyawa. Namun perlu diingat bahwa mortalitas pasien yang diobati
dengan terapi bedah lebih tinggi daripada pasien yang berhasil diobati dengan
endoskopi. Secara keseluruhan tingkat kematian pada pasien dengan cholangitis
karena batu empedu sebesar 2% dan kematian pada pasien dengan toxic cholangitis
adalah sebesar 5%. Terapi operasi definitif sebaiknya ditunda sampa cholangitis selesai
ditangani dan diagnosis yang tepat ditegakkan. Pasien dengan stent yang terpasang
dan mengalami cholangitis biasanya memerlukan uji pencitraan berulang dang
penggantian stent dengan guidewire. Intervensi segera (misal: sphincterotomy
endoscopik, PTC, atau operasi dekompresi) diperlukan pada 10% pasien dengan
cholangitis akut. 90% sisanya pada akhirnya akan diobati dengan pembedahan elektif
atau sphincterotomy endoskopik setelah terapi antibiotik dan evaluasi diagnostik yang
seksama. Cholangitis akut berhubungan dengan tingkat mortalitas total sebesar 5%.
Saat terdapat gagal ginjal, gangguan jantung, abses hepar dan keganasan, tingkat
mortalitas dan morbiditasnya jauh lebih tinggi. Pengobatan Lain Extracorporeal shock-
wave lihotripsy (ESWL) pertama kali dipergunakan untuk menghancurkan batu ginjal.
Teknik ini telah dikembangkan untuk pengobatan batu empedu, baik pada kandung
empedu maupun pada saluran empedu. Pengobatan ini sering dikombinasikan dengan
prosedur endoskopik untuk memudahkan lewatnya batu yang telah terfragmentasi atau
pengobatan oral yang dapat melarutkan fragmen tersebut. Kadang kala, batu dapat
dilarutkan dengan mempergunakan berbagai bahan kimia yang dimasukkan langsung
pada slauran bilier, BAB III KESIMPULAN Pasien-pasien dengan gejala nyeri abdomen
kuadran kanan atas, jaundice, demam patut dicurigai menderita Cholangitis, terutama
apabila mempunyai riwayat batu empedu. Karena penyakit ini berhubungan dengan
obstruksi saluran bilier. Pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan darah
rutin, fungsi hati (SGOT & SGPT), alkali fosfatase, dan bilirubin serum, dan kultur bakteri
dari sampel darah. Studi pencitraan yang dapat membantu adalah USG, ERCP, PTC,
CT scan Helical dengan kontras, dan MRCP. Penanganan pertama adalah antibiotik
intravena dan resusitasi cairan untuk stabilisasi pasien, kadangkala diperlukan
dekompresi darurat pada kasus-kasus berat. Pada pasien yang dapat distabilisasi
dengan antibiotik dan cairan IV, terapi elektif untuk dekompresi dapat dilakukan
kemudian. Terapi dapat dilakukan secara endoskopik, dengan PTC, ataupun dengan
pembedahan. DAFTAR PUSTAKA http://emedicine.medscape.com/article/774245-
overview FC Brunicardi, DK Andersen et al., 2007. Schwartz Principle’s of Surgery, 8th
Ed. Mc Graww Hill Companies. CM Townsend, RD Beauchamp et al., 2004. Sabiston
Textbook of Surgery, Biological basis of modern surgical practice, 17th Ed, Elsevier-
Saunders CT Albanese, JT Anderson et al., 2006. Current surgery diagnosis and
treatment. Mc Graww Hill Companies

Make Google view image button visible again: https://goo.gl/DYGbub

Pengertian Cholangitis
Cholangitis adalah infeksi yang terjadi pada saluran empedu (saluran yang dilewati oleh
cairan empedu dari hati menuju kandung empedu dan usus). Cairan empedu yang
diproduksi oleh hati dibutuhkan tubuh untuk membantu proses pencernaan.
Pada keadaan normal, cairan empedu bersifat steril. Akan tetapi, ketika terjadi penyumbatan
pada saluran empedu, maka tumpukan cairan empedu tadi akan berisiko menimbulkan
infeksi.

Cholangitis merupakan infeksi bakteri dari sistem duktus bilier, yang bervariasi tingkat
keparahannya dari ringan dan dapat sembuh sendiri sampai berat dan dapat mengancam
nyawa.

Pertama kali dikemukakan pada tahun 1877 oleh Charcot, ia mempostulatkan bahwa penyakit
ini berhubungan dengan proses patologi berupa obstruksi bilier dan infeksi bakteri.
Cholangitis merupakan salah satu komplikasi dari batu pada ductus choledochus. Penyakit ini
perlu diwaspadai karena insidensi batu empedu di Asia Tenggara cukup tinggi, serta
kecenderungan penyakit ini untuk terjadi pada pasien berusia lanjut, yang biasanya memiliki
penyakit penyerta yang lain yang dapat memperburuk kondisi dan mempersulit terapi.

Obstruksi juga dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran empedu, yang membawa
empedu dari hepar kekandung empedu dan usus. Bakteri yang sering dikultur pada empedu
adalah Eschericia Coli, Klebsiella, Pseudomonas, Proteus, Enterococcus, Clostridium
perfiringens, Bacteroides fragilis. Bakteri anaerob yang dikultur hanya sekitar 15% kasus.

Patofisiologi kolangitis sekarang ini dimengerti sebagai akibat kombinasi 2 faktor, yaitu
cairan empedu yang terinfeksi dan obstruksi biliaris. Peningkatan tekanan intraduktal yang
terjadi menyebabkan refluks bakteri ke dalam vena hepatik dan sistem limfatik perihepatik
yang menyebabkan bakterimia.

Pada tahun 1959, Reynolds dan Dargon menggambarkan keadaan yang berat pada penyakit
ini dengan menambahkan komponen syok sepsis dan gangguan kesadaran.

Gejala Cholangitis
Seseorang yang menderita cholangitis biasanya akan mengalami gejala-gejala berupa:

 Nyeri pada perut atas bagian tengah atau kanan.


 Warna tinja cokelat tua (warna tanah liat).
 Warna urine menjadi gelap.
 Mual.
 Muntah.
 Demam.
 Badan menggigil.
 Kulit menguning (penyakit kuning) yang dapat hilang timbul.

Bentuk nyeri akibat cholangitis bervariasi, ada yang terasa tajam, tumpul, atau menyerupai
kram. Selain pada perut bagian tengah atau kanan, kadang-kadang nyeri bisa terasa sampai
punggung dan bagian bawah tulang belikat kanan.

Cholangitis bisa diderita oleh siapa saja, baik laki-laki atau perempuan. Sebagian besar kasus
terjadi pada usia 50-60 tahun. Pada kondisi yang parah, cholangitis berisiko menyebabkan
kematian jika diabaikan atau tidak ditangani secara benar. Tingkat kematian akibat
cholangitis dilaporkan berkisar antara 13-88 persen.
Penyebab Cholangitis
Sebagian besar kasus cholangitis disebabkan oleh infeksi bakteri. Saluran empedu yang
tersumbat, misalnya diakibatkan oleh batu empedu atau tumor, bisa menyebabkan bakteri
berkembang biak di dalamnya dan menyerang saluran empedu.

Selain pada seseorang yang mengalami penyumbatan saluran empedu, risiko terkena
cholangitis juga bisa terjadi pada:

 Pemilik riwayat batu empedu.


 Penderita sclerosing cholangitis.
 Penderita penyempitan saluran empedu.
 Penderita HIV/AIDS.
 Seseorang yang mengunjungi wilayah rawan infeksi parasit.

Komplikasi Cholangitis
Infeksi yang terjadi di dalam saluran empedu bisa saja menyebar ke hati dan menyebabkan
disfungsi pada organ tersebut. Selain itu, komplikasi lain yang mungkin saja terjadi akibat
cholangitis akut adalah:

 Cedera ginjal akut.


 Disfungsi ginjal.
 Disfungsi sistem pernapasan.
 Disfungsi sistem kardiovaskular.
 Disfungsi sistem saraf.
 Disfungsi sistem hematologis.
 Syok septic.

Diagnosis Cholangitis
Pemeriksaan awal akan dimulai dengan mengidentifikasi gejala yang diderita, riwayat medis
pribadi dan keluarga. Kemudian dokter akan melakukan pemeriksaan fisik untuk melihat
apakah ada tanda-tanda kelainan seperti: jaundice (muncul warna kekuningan pada kulit dan
bagian putih di mata) serta bagian atas perut yang teraba lunak.

Untuk memastikan kecurigaan, dokter biasanya akan merekomendasikan pemeriksaan


lanjutan. Beberapa contoh pemeriksaan lanjutan tersebut di antaranya:

 MRI scan.
 CT scan.
 USG abdomen (perut).
 Pemeriksaan X-ray yang dipadukan dengan endoskopi atau ERCP(endoscopic retrograde
cholangiopancreatography).
 Pemeriksaan X-ray yang dipadukan dengan penyuntikan cairan pewarna khusus secara
langsung ke dalam saluran empedu atau PTC(percutaneous transhepatic cholangiography).

Jika diperlukan, dokter juga kemungkinan akan merekomendasikan tes dan kultur darah guna
melihat tanda-tanda infeksi sekaligus mengukur fungsi hati.
Pengobatan Cholangitis
Jika Anda merasakan gejala-gejala cholangitis, segera temui dokter untuk menjalani
pemeriksaan. Makin cepat kondisi ini terdiagnosis dan diobati, maka peluang sembuh
menjadi makin tinggi. Jangan menganggap remeh gejala cholangitis karena kondisi ini bisa
menyebabkan kematian.

Sebagian besar kasus cholangitis ditangani oleh dokter melalui pemberian obat-obatan
antibiotik untuk membunuh bakteri penyebab infeksi. Jika cara ini tidak berhasil dilakukan,
maka dokter akan merekomendasikan operasi.

Dokter biasanya akan menunggu kondisi pasien stabil terlebih dahulu sebelum melakukan
operasi. Namun pada pasien cholangitis yang gejalanya memburuk secara cepat atau pada
pasien yang kondisinya sangat buruk, biasanya akan langsung dilakukan prosedur operasi.

DAFTAR PUSTAKA
 Burkitt G, Quick C, Gatt D. Management of gallstone disease in essensial surgery, second
edition, New York ; Churchill Livingstone, 1996, P : 215-220.
 Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, dkk. Cholangitis in Schwartz Principles of Surgery,
Eight edition, New York ; McGraw-Hill, 2000, p : 1203-1213.
 CM Townsend, RD Beauchamp et al., 2004. Sabiston Textbook of Surgery, Biological basis
of modern surgical practice, 17th Ed, Elsevier-Saunders.
 Cameron L, John, Terapi bedah Mutakhir, Edisi 4, Binarupa Aksaram Jakarta, 1997, hal :
476-479.
 CT Albanese, JT Anderson et al., 2006. Current surgery diagnosis and treatment. Mc Graww
Hill Companies.
 Debas, T. Haile, Gastrointestinal Surgery, Pathophysiology and Management, p : 208-203.
 De Jong, Wim, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1997 hal : 776-778.
 FC Brunicardi, DK Andersen et al., 2007. Schwartz Principle’s of Surgery, 8th Ed. Mc
Graww Hill Companies.
 Luhulima, JW, dr, Prof, Abdomen, Anatomi II, Bagian Antomi FKUH, Makassar, 2001. hal
: 28-29.
 Northon A, Jeffery, Balinger, Randal R, Chang EA, et al, Surgery Basic Science and
Clinical Evidence, Part I, New York, Sprinset Comp, 2000, p : 568-574.
 Sabiston C, Davidm Textbook of Surgery, WB. Sauders company, 1968, p : 1154 – 1161.

1. Definisi
 Kolangitis (radang saluran empedu) adanya radang pada saluran empedu
 Kolangitis adalah peradangan akut pada dinding saluran empedu hampir selalu disebabkan
infeksi bakteri pada lumen steril
 Kolangitis akut adalah infeksi bakterial yang akut dari saluran empedu yang tersumbat baik
secara parsial atau total
 Kolangitis akut merupakan infeksi bakterial yang terjadi pada obstruksi saluran billier
terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu
 Tingkat keparahan kolangitis akut dapat diklaasifikasikan menjadi 3 kelas yaitu kelas 1
(mild,ringan), kelas 2 (moderate,sedang), kelas 3 (severe,berat) atas dasar dua faktor klinis
timbulnya disfungsi organ dan respon terhadap perawatan medis awal

2. Tanda dan gejala


 Hampir selalu pada pasien kolangitis akut didapatkan ikterus dan disertai demam kadang
kadang menggigil
 Sering kali didapatkan nyeri hebat di epigastrium atau perut kanan atas karena adanya batu
koledokus
 Mual, muntah, diare, berat bdan menurun

3. Penyebab
 Kolangitis dapat disebabkan oleh berbagai keadaan patologis yang semuanya akan berakhir
dengan statis aliran empedu dan akhirnya terjadi infeksi
 Choledocholitiasis
 Striktur bilier sistem
 Neoplasma pada sistem bilier
 Parasit cacing Ascaris
 Pankreatitis kronis
 Tumor pankreas
 HIV/AIDS

4. Pohon masalah
Nyeri
Gangguan pemenuhan
nutrisi

dehidrasi
Mual
muntah

Makanan
tertahan di
lambung

Penurunan
peristaltik
usus
Iritatif
saluran
cerna

Nyeri kuadran
kanan atas

Peningkatan
suhu tubuh
Hipertermi

Kenaikan
SGOT &
SGPT

Ganggu
an pola
tidur

Distensi kandung
kemih

inflamasi

Iritasi lumen

Obstruksi

Batu empedu
Cholangitis

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Uji laboratorium
Pemeriksaan darah rutin : leukosit  pada pasien dengan cholangitis 79% memiliki sel darah
putih melebihi 10.000/ml dengan angka rata rata 13.600. pasien sepsis dapat leukopenik.
b. Ultrasonografi
Menunjukkan pelebaran saluran empedu. Ultrasonografi dapat membedakan kolestasi
extrahepati dan intrahepati dengan ketepattan 96% pada saluran empedu yang melebar.
c. CT-Scan
Dapat mendeteksi batu saluran empedu sedikit lebih banyak dibandingkan dengan
ultrasonografi dan dpat juga menentukan setinggi apa dan penyebab obstruksi.
d. Pemeriksaan fungsi hati
Kemungkinan besar konsisten dengan cholangitis hiperbilirubinemia terdapat SGOP dan
SGPT biasanya sedikit meningkat.

e. Hasil urinalisis biasanya normal


Lipase : keterlibatan ductus choladochus bagian bawah dapat menimbulkan pankreatitis dan
peningkatan kadar lipase.
f. Endoscopi Retrograde Cholangio Pancreography (ERCO)
Merupakan pemeriksaan bersifat diagnostik dan terapeutik dan kriteria standart pemeriksaan
sistem bilier dengan tingkat keberhasilan 98%
g. Foto polos abdomen
h. Pada umumnya tidak banyak membantu pada diagnostik cholangitis akut . foto polos
abdoment dapat menunjukkan udara dalam saluran bilier setelah endoskopi, apabila pasien
mengalami cholestitis, emphysematosa cholangitis ataupun fisula cholangitis ikterik.
6. Penatalaksanaan medis
Setiap pasien dengan ikterus apapun penyebabnya yang disertai demam harus diwaspadai
akan keberadaan cholangitis akut.
i. Pada pasien ini segra dilakukan pemeriksaan USG abdomen. USG adalah tindakan yang
pertama kali dilakukan untuk mengetaui batu empedu. Adanya pelebaran saluran empedu
baik ekstra maupun intra mengkonfirmasi adanya cholangitis akut
ii. Lakukan ERCP untuk mengetahui penyebab obstruksi dan setinggi apa obstruksi tersebut dan
setinggi apa pada saluran empedu
iii. Pemeriksaan laboratorium menunujukkan leukositosi , peningkatan yang menyolok dan
fosfatase alkali GGT nilirubin, biasanya meningkat. Sebagian kecil normal atau sedikit
meningkat, SGOT?SGPT dapat meningkat
iv. Tindakan utama adalah melancarkan aliran bilier untuk mengatasi infeksi serta untuk
memperbaiki fungsi hati
v. Pemilihan antibiotika secara tepat.

Bab II
Konsep asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Cholangitis cukup jarang terjadi, biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit lain yang
menimbulkan obstruksi billier dan bactibilia missal setelah prosedur ERCP, 1-3% pasien
mengalami cholangitis.
b. Keluhan utama pada penderita kolangitis, klien mengeluh nyeri perut kanan atas nyeri tidak
menjalar /menetap, nyeri pada saat menarik nafas dan nyeri seperti ditusuk tusuk
c. Riawayat penyakit
 Riwayat penyakit dahulu
Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu contohnya riwayat dari keadaan berikut
dapat meningkatkan resiko cholangitis
- Batu kandung empedu atau batu saluran empedu
- Pasca cholecystectomy
- Manipula endoskopik atau ERCP cholangiogram
- Riwayat cholangitis sebelumnya
- Riwayat HIV/AIDS: choalngitis yang berhubungan dengan aids memliki cirri edema bilier
ekstrahepatik ulserasi dan obstruksi bilier
 Riwayat penyakit sekarang
Banyak pasien yang dating dengan ascending cholangitis tidak memiliki gejala klasik
tersebut. Sebagian besar pasien mengeluh nyeri abdomen kuadran lateral atas. Gejala lain
yang dapat terjadi meliputi: jaundice, demam, menggigil dan kekakuan, nyeri abdomen tinja
yang acholis.
 Riwayat penyakit keluarga
Perlu dikaji apabila klien mempunyai penyakit keturunan seperti diabetes mellitus, hipertensi,
anemia.
d. Pemeriksaan fisik
a. System pernafasan
Inspeksi : dada tampak, pernafasan dangkal klien tampak gelisah
Palpasi : vocal vremitus teraba merata
Perkusi : sonor
Auskultasi : tidak terdapat suara tambahan (ronchi, wheezing)
b. System kardiovaskuler
Terdapat takikardi dan diaphoresis
c. System neurologi
Tidak terdapat gangguan pada system neurologi
d. Simtem pencernaan
Inspeksi : tampak ad distensi abdomen diperut kanan atas klien mengeluh mual muntah
Auskultasi : peristaltic usus 5-12x / menit flatulensi
Perkusi : adanya pembengkakan di abdomen atas/ kuadran kanan atas nyeri tekan epigastrium
e. System eliminasi
Warna urine lebih pekat dan warna feses seperti tanah liat
f. System integument
Terdapat ikterik/jaundice dengan kulit berkeringat dan gatal
g. System musculoskeletal
Terdapat kelemahan otot karena gangguan produksi ATP
2. Diagnose keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi
3. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan mual muntah
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan iritasi lumen
5. Dehidrasi berhubungan dengan mual muntah
3. Intervensi keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih
Tujuan : setalah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam nyeri berkurang
Criteria hasil
- Keadaan umum normal pasien tampak nyaman
- Nyeri berkurang pasien tampak rileks ditunjukkan dengan skala nyeri 1-3
- Pasien melakukan managemen nyeri saat nyeri kembali dating
- Ttv dalam batas normal
Intervensi
1. BHSP
R/ dengan hubungan saling percaya mempermudah proses keperwatan
2. Observasi, catat lokasi dan skala nyeri dan karakter nyeri
R/ membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi tentang kemajuan /
perbaikan penyakit
3. Anjurkan pasien dalam posisi nyaman
R/ pada posisi fowler rendah menurunkan tekanan intra abdomen
4. Anjurkan managemen nyeri distraksi relaksasi nafas dalam
R/ untuk melakukan koping pasien terhadap nyeri
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesic
R/ untuk mengatasi nyeri
6. Observasi tanda tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
7. Kaji respon pasien
R/ wajah menunjukkan perasaan yang dirasakan klien

2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi


Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam suhu tubuh kembali normal
Criteria hasil :
- Suhu tubuh kembali normal pasien nyaman
- Tanda vital dalam bats normal
- Pasien dapat melakukan tindakan untuk mengurangi suhu tubuh
Intervensi
1. BHSP
R/ dengan hubunga saling percaya mempermudah proses keperawatan
2. Observasi tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
3. Anjurkan menggunakan pakaian tipis dan minum air putih
R/ mrnggunakan pakaian tipis dan minum air putih yang bnaya dapat menurunkan panas
4. Anjurkan untuk melakukan kompres dingin pada daerah dada dan ketiak
R/ kompres dapat membantu menurunkan panas
5. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik
R/ antripiretik unutk menurunkan suhu
6. Kaji respon pasien
R/ wajah dapat menggambarkan apa yang dirasakan klien

3. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan mual muntah


Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam keseimbangan nutrisi
terpenuhi
Criteria hasil :
- Asupan nutrisi kembali seimbang
- Pasien menunjukkan energy yang adekuat
- Ttv dalam batas normal
- Mual muntah berkurang
Intervensi
1. BHSP
R/ dengan hubungan saling percaya mempermudah proses keperawatan
2. Observasi tanda tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
3. Anjurkan untuk makan sedikit tapi sering
R/ untuk mencegah mual muntah
4. Berkolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian program diet
R/ setiap pasien mempunyai diet yang berbeda
5. Monitoring asupan gizi pasien
R/ mengetahui perkembangan nutrisi pasien
6. Kaji respon pasien
R/ menggambarkan apa yang dirasakan pasien

4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan iritasi lumen


Tujuan : setalah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24jam pasien dapat tidur dengan
nyaman
Criteria hasil :
- Klien dapat tidur dengan nyaman
- Ttv dalam batas normal
- Klin tidak pucat
- Kebutuhan tidur terpenuhi
Intervensi
1. BHSP
R/ dengan membina hubungan saling percaya dapat mempermudah proses keperawatan
2. Observasi tanda vital
R/ untuk mengetahui perkembangan pasien
3. Anjurkan untuk mengatur posisi nyaman
R/ dengan posisi nyaman dapat membantu tidur
4. Anjurkan untuk relaksasi nafas dalam
R/ untuk merilekskan tubuh
5. Kaji respon pasien
R/ menggambarkan apa yang dirasa

Daftar pustaka

1. Nursing Diagnostik Nanda Nic Noc 2013


2. Asuhan keperawatan berdasarkan diagnostic medis & nanda 2013
3. Panduan praktis ilmu penyakit dalam 2010 Prof Halim
4. Selecta kedokteran Edisi III jilid I 2012 Arif Mansjaer

You might also like