You are on page 1of 5

Definisi Qadha’

Dalam Bahasa Arab kata Qadha’ bisa bermakna hukum dan penunaian.

Sementara secara istilah, para ulama mendefinisikan qadha’ sebagai:

‫فهقعلْ َاَقلوواَهج ه‬
‫ب َبوقعود َووققتههه‬
Mengerjakan kewajiban setelah lewat waktunya

Siapa Saja yang Diwajibkan Mengqadha’ puasanya?

1. Orang Sakit

‫ضاَّ َأوقو َوعلوىى َوسفومر َفوهعيَدةة َهمقن َأوييَاَّمم َأأوخور َ َوووعولى َاَليَهذيون‬
‫أوييَاَّضماَّ َومقعأدووداَت َفوومقن َوكاَّون َهمقنأكقم َومهري ض‬
‫طيَووع َوخقيضراَ َفوهأوو َوخقيةر َلوأه َووأوقن َتو أ‬
َ ْ ‫صوأمواَ َوخقيةر َلوأكقم‬ ‫يأهطيأقونوأه َفهقديوةة َ و‬
‫طوعاَّأم َهمقسهكيمن ْ َ َفوومقن َتو و‬
‫إهقن َأكقنتأقم َتوقعلوأموون‬
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu
ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan Maka Itulah
yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. (Al-Baqarah 184.)

‫ا َأوهجأد َهبيِ َقأيَوضة َوعولى‬‫ا َوعقنأه َأونيَأه َقواَّول َيواَّ َورأسوول َ و يَ ه‬


‫ضى َ و يَ أ‬‫عقن َوحقموزوة َقبهن َوعقممرو َاَلوقسلوهمييِ َهر و‬
‫ا َفوومقن َأووخوذ‬
‫صةة َهمون َ و يَ ه‬ ‫ا َ َههويِ َأرقخ و‬ ‫يِ َأجنواَّةح؟ٌ َفوقواَّول َورأسوأل َ و يَ ه‬
َ‫صيواَّهم َهفيِ َواَليَسفوهر َفوهوقلْ َوعلو ي‬
‫واَل ي‬
‫ب َأوقن َيو أ‬
‫صووم َفوول َأجنواَّوح َوعلوقيهه‬ َ‫بههواَّ َفووحوسةن َووومقن َأووح ي‬
Dari Hamzah bin Amru Al-Aslami radhiyallahuanhu, dia bertanya, ”Ya
Rasulallah, Saya mampu dan kuat berpuasa dalam perjalanan, apakah saya
berdosa?”. Beliau menjawab, ”Itu adalah keringanan dari Allah. Siapa yang
mengambilnya, maka hal itu baik. Namun siapa yang ingin untuk terus
berpuasa, tidak ada salah atasnya.” (HR. Muslim)

Ulama sepakat bahwa jenis safar yang membolehkan seorang muslim untuk
tidak puasa ialah perjalanan yang membolehkan untuk meng-qashar sholat,
yang mana dalam pendapat madzhab Syafi’i adalah perjalanan yang
menempuh jarak 84 km (16 farsakh) , sementara menurut Hanafiah adalah
perjalanan yang ditepuh selama 3 hari, dan menurut Jumhur ulama (mayoritas
ulama) adalah perjalanan yang menempuh waktu seharian penuh.

Selebihnya, ulama juga menambahkan satu syarat untuk perjalanan yang


membolehkan seorang muslim tidak berpuasa, yaitu ia melakukan perjalanan
sejak sebelum fajar. Maka Sebagai gantinya, ia diwajibkan berpuasa dibulan
lain selain Ramadhan selama hari yang ia tinggalkan karena perjalanan
tersebut. meski demikian, bagi yang melakukan perjalanan dimulai dari siang
hari tetap boleh membatalkan puasanya.

1. Wanita Haid dan Nifas


Dalam sebuah riwayat, muadzah pernah bertanya kepada sayyidah aisyah
tentang puasa wanita haid, maka aisyah berkata:

‫صلوهة‬ ‫ل َنأقؤومأر َبهقو و‬


َ‫ضاَّهء َاَل ي‬ ‫صقوهم َوو و‬
َ‫ضاَّهء َاَل ي‬ ‫صيبأنواَّ َوذله و‬
‫ك َفونأقؤومأر َبهقو و‬ ‫وكاَّون َيأ ه‬
“Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk mengqodho puasa dan
kami tidak diperintahkan untuk mengqodho’ shalat.”(HR. Muslim)

Keadaan ini membolehkan orang yang berpuasa membatalkan puasanya dan


mewajibkan mereka mengqadha’ puasanya di hari yang lain. contoh: di siang
hari ketika ramadhan, seorang ibu harus meminum obat untuk bayinya yang
disusui.

1. Batal Puasa
Orang-orang yang batal puasanya baik disengaja ataupun tidak disengaja
wajib mengqadha’ puasanya di hari lain di luar Ramadhan.

Kapan Waktu Mengqadha’ Puasa?

Para ulama sepakat secara Ijma’ bahwa orang yang diwajibkan


mengqadha’ puasanya harus melakukannya setelah bulan Ramadhan hingga
sebelum menjelang ramadhan selanjutnya. Serta diharamkan melakukan
qadha puasa di hari-hari yang diharamkan.

Bagaimana Jika Bertemu Ramadhan Selanjutnya Belum Mengqadha’


Puasanya?

Jumhur ulama sepakat bahwa bila tertundanya karena udzur syar'i seperti
nifas, menyusui, hamil, sakit parah yang berkelanjutan, maka boleh dan tidak
ada pembebanan lain selain membayar qadha'nya.

namun bila tanpa udzur syar'i, para ulama berbeda pendapat:

1. Ibnu Qudamah (Hanabilah), Ibnu Hajar Al Haitami (Syafi'iyah) berpendapat


wajib mengqodho' sejumlah hari yang ditinggalkan dan membayar fidyah
(memberi makan satu orang sebanyak satu mud) sesuai dengan jumlah hari
yang ditinggalkan. jadi jika meninggalkan puasa 4 hari dan belum mengqadha
sampai Ramadhan selanjutnya, menurut madzhab ini wajib bayar qadha' 4 hari
dan fidyah 4 hari. (lihat : kitab al mughni li ibni Qudamah 3/154 & tuhfatul
muhtaj li ibni hajar al haitami 3/445)

Sementara beberapa golongan Syafiiyah yang lain berpendapat bahwa selain


membayar qadha' jumlah fidyahnya dihitung sesuai periode tahun yang
ditinggalkan. misalkan meninggalkan puasa 4 hari dan belum qadha hingga
bertemu Ramadhan selanjutnya,

maka, qadha' 4 hari + fidyah 4 x 2 periode ramadhan = 8 hari bayar fidyah

total : 4 qadha + 8 fidyah


(lihat : al fiqhu ala madzahib al arba'ah 3/1735)

2. Ibnu Hummam (Hanafiyah) + Al Muzani (Syafiiyah) : cukup bayar Qadha di


luar ramadhan dan tidak perlu bayar fidyah. (lihat : bidayatul mujtahid 1/240, al
fiqhu ala madzahib al arba'ah 3/1735)

Puasa Sunnah Dulu Atau Qadha dulu?

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah boleh puasa sunnah syawwal
dulu tanpa qadha?

Para ulama Hanafiah mengatakan boleh, Dasar landasan pendapat ini bahwa
kewajiban puasa qadha' bersifat tarakhi (ِ‫)تراَخي‬. Maksudnya boleh ditunda atau
diakhirkan, hingga sampai menjelang masuknya bulan Ramadhan tahun
berikutnya.

Malikiyyah dan Syafi’iyyah mengatakan boleh namun dengan dihukumi


makruh, karena yang harus diutamakan adalah puasa yang sifatnya wajib.

Hanabilah berpendapat dilarang, mereka mendasarkan pendapatnya pada


hadits nabi berikut ini :

‫ل َيأتوقويَبلْ َهمقنأه َوحيَتى َيو أ‬


‫صوومهأ‬ ‫ضاَّون َوشقيِةء َلوقم َيوقق ه‬
‫ضهه َفوإ هنيَأه َ و‬ ‫صاَّوم َتوطوووضعاَّ َوووعلوقيهه َهمقن َوروم و‬
‫ومقن َ و‬
Siapa yang berpuasa sunnah padahal dia punya hutang qadha' puasa
Ramadhan yang belum dikerjakan, maka puasa sunnahnya itu tidak sah
sampai dia bayarkan dulu puasa qadha'nya. (HR. Ahmad)

Orang yang Meninggal Sebelum Sempat Bayar Qadha’ Puasanya, Apakah


dibayarkan oleh Keluarganya?

Sejumlah ulama dari kalangan Syafi’iyah, Abu Tsaur, Al-Auza’i, serta


madzhab Adz-Dzahiriyah berpendapat bahwa keluarga mayyit wajib
membayarkan qadha’ puasanya, dengan berlandaskan kepada hadist:

‫صاَّوم َوعقنأه َوولهويهأ‬ ‫ت َوووعلوقيهه َ ه‬


‫صيواَّةم َ و‬ ‫ومقن َوماَّ و‬
“Orang yang meninggal dunia dan meninggalkan hutang puasa, maka walinya
harus berpuasa untuk membayarkan hutangnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Akan tetapi, ulama-ulama Fiqih dari madzhab Asy-Syafi’iyah dalam qaul


jadid serta madzhab Al-Hanabilah berpendapat bahwa cukup bagi keluarganya
membayarkan fidyahnya saja. Pendapat serupa juga dikatakan oleh ulama
madzhab Al Hanafiah dan Al malikiyah namun mereka menekankan harus ada
wasiat sebelumnya tentang perihal qadha’ puasa. Dalil yang melatarbelakangi
pendapat jumhur ulama ini adalah hadist berikut:

‫صوأم َأووحةد َوعقن َأووحمد َوولوهكقن َيأ ق‬


‫طهعأم َوعقنأه َوموكاَّون َأكيلْ َيوقومم َأمدد‬ ‫صيليِ َأووحةد َوعقن َأووحمد َوو و‬
‫ل َيو أ‬ ‫و‬
‫ل َيأ و‬
‫طمة‬‫همقن َهحقن و‬
“Janganlah kamu melakukan shalat untuk orang lain, dan jangan pula
melakukan puasa untuk orang lain. Tetapi berilah makan (orang miskin)
sebagai pengganti puasa, satu mud hinthah untuk sehari puasa yang
ditinggalkan.” (HR. An-Nasa’i)

Ibu Hamil dan Menyusui yang Meninggalkan Puasa, Qadha atau Fidyah?

Para ulama fiqih semuanya sepakat bagi wanita hamil ataupun menyusui yang
kesulitan atau berat untuk berpuasa, boleh berbuka atau tidak puasa
Ramadhan dengan berlandaskan kepada dalil berikut:

‫ َوعن َاَلحبلى‬،‫إن َا َعز َوجلْ َوضع َعن َاَلمساَّفر َاَلصوم َوشطر َاَلصلة‬
‫واَلمرضع َاَلصوم‬
Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan
shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa. (HR. Ahmad)
Tapi mereka berbeda pendapat tentang konsekuensi yang harus dibayar
setelah mereka meninggalkan puasanya, apakah harus qadha’ puasa mereka
atau membayar fidyah, ataukah keduanya?

Dalam madzhab Hanafi Ibu Hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan


keadaan salah satunya (janin atau ibunya), maka boleh tidak puasa dan hanya
membayar qadha’ saja tanpa fidyah.

Dalam Madzhab Maliki dibedakan antara wanita hamil dan menyusui dengan
perincian sebagai berikut:

1. Wanita hamil yang dikhawatirkan lemah salah satunya (janin atau


ibunya) maka wajib membatalkan puasa dengan konsekuensi membayar
qadha’

2. Wanita menyusui yang dikhawatirkan lemah keduanya bila ibu berpuasa


maka wajib membatalkan puasa dengan konsekuensi bayar qadha’

3. Wanita menyusui yang bayinya terindikasi lemah tapi sang ibu masih
bisa berpuasa dan memproduksi asi, maka sang ibu boleh tidak
berpuasa dengan konsekuensi bayar qadha’ dan fidyah.
Sementara dalam Madzhab Syafi’i dan Hambali, sedikit memiliki kemiripan
dengan Malikiyah, hanya saja ulama dalam madzhab ini berpendapat bahwa
jika ibu yang hamil kuat berpuasa meski kondisi janinnya dikhawatirkan lemah
tetap boleh tidak puasa namun konsekuensinya adalah qadha’ dan fidyah.

Bentuk Fidyah Seperti Apa?

Fidyah adalah makanan yang diberikan kepada fakir miskin. Maka bentuk
fidyah itu pada

dasarnya adalah makanan, yang dalam hal ini menurut para ulama adalah
makanan yang merupakan bahan mentah dan menjadi makanan pokok dari
suatu masyarakat.

Ukuran Timbangan Fidyah


Para ulama madzhab berbeda-beda dalam hal ini, Madzhab Al-Malikiyah dan
As-Syafi‘iyah menetapkan bahwa ukuran fidyah yang harus dibayarkan kepada
setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud gandum sesuai dengan ukuran
mud Nabi SAW atau setara ¼ sha’. Bila dikonversi kepada ukuran gandum
atau beras maka setara dengan kedua telapak tangan yang disatukan, seperti
ketika orang sedang berdoa dengan menengadahkan kedua tangannya. Bila
diukur dengan ukuran zaman sekarang ini, satu mud itu setara dengan 675
gram atau 0.6 kg beras yang setara dengan ¾ liter beras.

Sementara ulama Hanafiah berpendapat bahwa fidyah ukurannya adalah 1


sha’ atau sama dengan 4 mud, bila dikonversi kepada timbangan sekarang
adalah 2.176 gram atau 2,75 liter. Mirip seperti ukuran beras zakat fitr.

Wallahu a'lam bisshowab

You might also like