Professional Documents
Culture Documents
Dalam Bahasa Arab kata Qadha’ bisa bermakna hukum dan penunaian.
فهقعلْ َاَقلوواَهج ه
ب َبوقعود َووققتههه
Mengerjakan kewajiban setelah lewat waktunya
1. Orang Sakit
ضاَّ َأوقو َوعلوىى َوسفومر َفوهعيَدةة َهمقن َأوييَاَّمم َأأوخور َ َوووعولى َاَليَهذيون
أوييَاَّضماَّ َومقعأدووداَت َفوومقن َوكاَّون َهمقنأكقم َومهري ض
طيَووع َوخقيضراَ َفوهأوو َوخقيةر َلوأه َووأوقن َتو أ
َ ْ صوأمواَ َوخقيةر َلوأكقم يأهطيأقونوأه َفهقديوةة َ و
طوعاَّأم َهمقسهكيمن ْ َ َفوومقن َتو و
إهقن َأكقنتأقم َتوقعلوأموون
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu
ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan Maka Itulah
yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. (Al-Baqarah 184.)
Ulama sepakat bahwa jenis safar yang membolehkan seorang muslim untuk
tidak puasa ialah perjalanan yang membolehkan untuk meng-qashar sholat,
yang mana dalam pendapat madzhab Syafi’i adalah perjalanan yang
menempuh jarak 84 km (16 farsakh) , sementara menurut Hanafiah adalah
perjalanan yang ditepuh selama 3 hari, dan menurut Jumhur ulama (mayoritas
ulama) adalah perjalanan yang menempuh waktu seharian penuh.
1. Batal Puasa
Orang-orang yang batal puasanya baik disengaja ataupun tidak disengaja
wajib mengqadha’ puasanya di hari lain di luar Ramadhan.
Jumhur ulama sepakat bahwa bila tertundanya karena udzur syar'i seperti
nifas, menyusui, hamil, sakit parah yang berkelanjutan, maka boleh dan tidak
ada pembebanan lain selain membayar qadha'nya.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah boleh puasa sunnah syawwal
dulu tanpa qadha?
Para ulama Hanafiah mengatakan boleh, Dasar landasan pendapat ini bahwa
kewajiban puasa qadha' bersifat tarakhi (ِ)تراَخي. Maksudnya boleh ditunda atau
diakhirkan, hingga sampai menjelang masuknya bulan Ramadhan tahun
berikutnya.
Ibu Hamil dan Menyusui yang Meninggalkan Puasa, Qadha atau Fidyah?
Para ulama fiqih semuanya sepakat bagi wanita hamil ataupun menyusui yang
kesulitan atau berat untuk berpuasa, boleh berbuka atau tidak puasa
Ramadhan dengan berlandaskan kepada dalil berikut:
َوعن َاَلحبلى،إن َا َعز َوجلْ َوضع َعن َاَلمساَّفر َاَلصوم َوشطر َاَلصلة
واَلمرضع َاَلصوم
Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan
shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa. (HR. Ahmad)
Tapi mereka berbeda pendapat tentang konsekuensi yang harus dibayar
setelah mereka meninggalkan puasanya, apakah harus qadha’ puasa mereka
atau membayar fidyah, ataukah keduanya?
Dalam Madzhab Maliki dibedakan antara wanita hamil dan menyusui dengan
perincian sebagai berikut:
3. Wanita menyusui yang bayinya terindikasi lemah tapi sang ibu masih
bisa berpuasa dan memproduksi asi, maka sang ibu boleh tidak
berpuasa dengan konsekuensi bayar qadha’ dan fidyah.
Sementara dalam Madzhab Syafi’i dan Hambali, sedikit memiliki kemiripan
dengan Malikiyah, hanya saja ulama dalam madzhab ini berpendapat bahwa
jika ibu yang hamil kuat berpuasa meski kondisi janinnya dikhawatirkan lemah
tetap boleh tidak puasa namun konsekuensinya adalah qadha’ dan fidyah.
Fidyah adalah makanan yang diberikan kepada fakir miskin. Maka bentuk
fidyah itu pada
dasarnya adalah makanan, yang dalam hal ini menurut para ulama adalah
makanan yang merupakan bahan mentah dan menjadi makanan pokok dari
suatu masyarakat.