You are on page 1of 20

Everything But Arms (EBA) sebagai Instrumen Uni Eropa dalam

Menangani Konflik di Afrika

Dimas Fauzi
10/299695/SP/24197

Abstraksi

Everything But Arms (EBA) merupakan salah satu strategi jangka panjang yang diterapkan
oleh UE untuk mengatasi konflik di kawasan Afrika. EBA merupakan preferential trade
agreement (PTA) antara Uni Eropa (UE) dengan negara least developed countries (LDCs)
yang memberikan akses pasar kepada seluruh produk, kecuali senjata dan amunisi. Paper ini
akan menjawab sebuah pertanyaan penelitian, yaitu bagaimana Everything But Arms (EBA)
digunakan sebagai instrumen pencegahan konflik di kawasan Afrika oleh Uni Eropa?
Jawaban akan diberikan dengan menggunakan dua konsep sebagai basis analisis, yaitu
konsep neoliberalisme dan konsep resosialisasi. EBA setidaknya akan mampu untuk
menyelesaikan dua faktor umum penyebab konflik di Afrika, yaitu ekonomi dan
pemerintahan. Meskipun demikian, dalam hal pelarangan perdagangan senjata, EBA dinilai
kurang efektif untuk membatasi peredaran dan perdagangan senjata di kawasan Afrika karena
adanya prinsip nonresiprokal.

Keywords: Everything But Arms (EBA), Uni Eropa (UE), Least Developed Countries (LDCs),
neoliberalisme, resosialisasi, kekuatan normatif Uni Eropa.

1. Pendahuluan
Konflik merupakan fenomena sosial yang telah terjadi sejak awal peradaban manusia.
Dalam hal ini, Afrika menjadi salah satu kawasan yang paling rentan dibanding dengan
kawasan lain. Konflik yang terjadi di Afrika terjadi tidak hanya di dalam lingkup satu negara,
melainkan juga antarnegara. Secara umum, konflik di Afrika disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti pertentangan antaretnis, perebutan sumber daya, perebutan kekuasaan, dan
perebutan wilayah. Konflik di Afrika cenderung berakhir pada kekerasan yang kemudian
menimbulkan tragedi kemanusiaan, seperti genosida dan ethnic cleansing. Sebagai
dampaknya, proses pembangunan di kawasan Afrika menjadi terhambat. Berbagai aktor telah
terlibat dalam upaya penyelsaian dan manajemen konlik di Afrika, seperti negara, organisasi

1
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
internasional, dan Non-Governmental Organizations (NGOs). Yang menjadi perhatian bagi
para aktor tersebut tidak hanya mengenai upaya penyelesaian konflik, tetapi juga pencegahan
dan rekonstruksi pascakonflik.
Uni Eropa (UE) merupakan salah satu aktor yang aktif dalam politik internasional. Tidak
hanya dengan negara intrakawasan, UE juga memiliki peran aktif dalam berbagai isu dengan
negara luar kawasan. Peran aktif UE ini dapat dilihat dari berbagai kerangka kerjasama
dengan aktor di luar kawasan, seperti Afrika, Asia, Amerika, dan Timur Tengah. Dalam
kaitannya dengan isu keamanan di kawasan Afrika, Uni Eropa menjadi salah satu aktor yang
aktif terlibat dalam upaya pencegahan, penanganan, dan rekonstruksi konflik. Secara umum,
peran aktif UE dalam pencegahan dan manajemen konflik dapat dilihat dari kerangka
kebijakan yang dibuat, seperti Communication on Conflict Prevention yang disetujui tahun
2001. Kebijakan pencegahan dan manajemen konflik UE ini menekankan pada perlunya
kerjasama dengan aktor lain dalam upaya penanganan konflik. Secara umum, strategi UE
dalam hal pencegahan konflik dibagi ke dalam dua kategori, yaitu strategi jangka panjang dan
strategi jangka pendek (Vanheusden, 2011, p.3). Strategi jangka panjang lebih menekankan
pada penyelesaian permasalahan yang menjadi pemicu konflik, sedangkan strategi jangka
pendek lebih menekankan pada respons terhadap konflik yang sedang atau akan terjadi
(Vanheusden, 2011; Perez, 2005).
Salah satu strategi jangka panjang yang diterapkan oleh UE dalam menangani konflik di
Afrika adalah melalui instrumen ekonomi. Dalam hal ini, UE telah menerapkan berbagai
kerangka kebijakan yang mendukung proses pembangunan di Afrika, seperti melalui
pemberian bantuan pembangunan dan pembukaan akses pasar. Salah satu kebijakan Uni
Eropa yang membuka akses pasar adalah Everything But Arms (EBA). EBA merupakan
bagian dari Generalised System of Preferences (GSP) yang mulai berlaku sejak tahun 2001
hingga sekarang. Melalui EBA, UE memberikan preferensi perdagangan kepada negara-
negara yang tergolong sebagai Least Developed Countries (LDCs). Melalui EBA, produk-
produk dari negara LDCs bisa memasuki pasar Eropa tanpa atau dengan penurunan tarif
dagang. Pada dasarnya, seluruh produk dari negara LDCs bisa memasuki pasar UE, kecuali
persenjataan. Hal ini karena perdagangan senjata di Afrika dinilai sebagai salah satu
penyebab terjadinya konflik di kawasan tersebut.
EBA kemudian dinilai sebagai salah satu instrumen yang digunakan oleh UE dalam hal
pencegahan konflik di negara LDCs, termasuk Afrika. Hal ini kemudian memunculkan
sebuah pertanyaan, yaitu bagaimana Everything But Arms (EBA) digunakan sebagai
instrumen pencegahan konflik di kawasan Afrika oleh Uni Eropa? Argumen awal yang

2
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
diajukan oleh penulis adalah Uni Eropa berusaha untuk menyelesaikan konflik di Afrika
dengan meningkatkan kapabilitas ekonomi negara-negara Afrika melalui pembukaan akses
pasar. Peningkatan kapabilitas ekonomi negara-negara Afrika melalui perdagangan tergolong
sebagai strategi jangka panjang yang diterapkan oleh Uni Eropa untuk mengatasi konflik di
kawasan tersebut. Strategi jangka panjang UE tersebut dapat bertujuan untuk mengentaskan
dua faktor utama penyebab konflik di Afrika, yaitu faktor ekonomi dan faktor pemerintahan.
Selain itu, pengecualian persenjataan sebagai komoditas yang boleh diperdagangkan dinilai
kurang relevan dengan prinsip nonresiprokal karena arus perdagangan senjata justru berasal
dari beberapa negara UE ke negara Afrika. Meskipun demikian, perbaikan sistem ekonomi
dan pemerintahan yang ditawarkan melalui EBA akan mampu untuk mengurangi potensi
konflik dan menekan tingkat distribusi serta perdagangan senjata secara ilegal di Afrika.

2. Kerangka Konseptual: Neoliberalisme dan Resosialisasi


Dalam paper ini, penulis akan menggunakan dua konsep, yaitu neoliberalisme dan
resosialisasi. Konsep pertama yang akan adalah neoliberalisme. Pada dasarnya,
neoliberalisme merupakan bagian dari perspektif liberalisme yang menekankan pada hak
individu (Turner, 2008; Lee & McBride, 2007). Dalam hal ekonomi, kebebasan individu ini
dimanifestasikan ke dalam bentuk pasar bebas di mana setiap orang memiliki kesempatan
yang sama untuk terlibat dalam aktifitas ekonomi. Melalui mekanisme pasar dan kebabasan
individu inilah sumber daya akan dengan sendirinya teralokasikan kepada masyarakat
(Turner, 2008). Salah satu hal yang membedakan perspektif liberalisme dengan
neoliberalisme adalah eksistensi negara dalam mekanisme pasar. Ketika kaum liberal percaya
bahwa negara seharusnya tidak memiliki peran dalam pasar, kaum neoliberal masih
memandang perlunya peran negara, yaitu untuk menjamin terpenuhinya kebebasan individu.
Dengan kata lain, negara masih memiliki peran, terutama dalam merancang kebijakan
ekonomi (Turner, 2008, p.55) dengan berbasis pada pemenuhan hak-hak individu.
Lebih lanjut, Turner (2008, pp. 4-5) mengidentifikasi empat neoliberalisme yang
kemudian akan digunakan sebagai salah satu basis analisa dalam paper ini. Adapun keempat
prinsip tersebut adalah: 1) pentingnya peran pasar untuk mengalokasikan sumber daya, 2)
komitmen terhadap Rechtsstaat (rule of law-state),1 3) minimnya intervensi negara, dan 4)
hak atas kepemilikan pribadi. Melalui keempat prinsip neoliberal tersebut, EBA dinilai
sebagai sebuah instrumen yang digunakan oleh Uni Eropa untuk mengurangi potensi konflik

1
Turner (2008, p. 4) lebih lanjut menjelaskan Rechtsstaat sebagai salah satu instrumen hukum yang mengatur
hubungan antar otoritas untuk menghindari konflik kepentingan. Dalam hal ini, negara memiliki tanggung
jawab untuk menjamin terciptanya kohesi dan stabilitas sosial melalui penjaminan hak-hak individu.

3
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
di Afrika melalui pembukaan akses pasar. Dalam hal ini, Uni Eropa percaya bahwa
mekanisme pasar merupakan cara yang efektif untuk mengalokasikan sumber daya kepada
masyarakat Afrika. Dengan demikian, masyarakat Afrika akan mampu untuk meningkatkan
taraf ekonominya sehingga konflik cenderung dapat dihindari, mengingat salah satu
penyebab konflik di Afrika dikarenakan oleh masalah ekonomi, seperti kemiskinan.
Konsep kedua yang akan digunakan dalam paper ini adalah konsep resosialisasi. Konsep
resosialisasi merupakan konsep dalam ilmu sosiologi yang menganalisa mengenai proses
penyerapan nilai dan norma suatu masyarakat ke dalam diri seorang individu. Melalui
resosialisasi, seseorang merubah kepribadiannya sesuai dengan ketentuan atau standar yang
diterapkan oleh sebuah institusi (Stolley, 2005, p.68). Resosialisasi muncul ketika seseorang
berada di sebuah situasi atau tempat tertentu yang mengharuskannya untuk mengikuti
ketentuan yang ada. Erving Goffman menyebut tempat atau situasi terjadinya proses
resosialisasi sebagai total institution. Lebih lanjut, proses resosialisasi memiliki dua tahap,
yaitu 1) melepaskan kepribadian awal dan 2) kepribadian baru dibentuk melalui tindakan dan
tingkah laku baru sesuai dengan lingkungan di mana orang tersebut berada (Stolley, 2005,
p.68). Konsep resosialisasi ini kemudian akan diadopsi untuk melihat konteks hubungan
internasional, yaitu penerapan EBA sebagai instrumen UE untuk menangani konflik di
Afrika. Dalam hal ini, total institution merujuk pada EBA yang menjadi tempat resosialisasi
nilai dan norma Uni Eropa. Negara-negara LDCs yang berada di Afrika berperan sebagai
individu-individu yang merubah ‘kepribadiannya’ sesuai dengan nilai dan norma yang dianut
serta menjadi standar UE.

3. Konflik di Afrika: Penyebab, Dampak, dan Upaya Penyelesaian


Perkembangan konflik ini dapat dilihat dari cakupan isu, kawasan, dan aktor yang terlibat
didalamnya. Konflik dapat terjadi dikarenakan oleh berbagai alasan, seperti kemiskinan,
perebutan wilayah, perebutan kekuasaan, dll. Konflik yang terjadi saat ini tidak hanya berada
di dalam lingkup satu negara, tetapi juga antar negara. Dalam hal ini, Bowd & Chikwanha
(2010, pp. xi-xii) mengidentifikasi empat karakteristik utama yang menyebabkan konflik
antarnegara, yaitu 1) perebutan kekuasaan untuk mendapatkan kendali atas sebuah negara, 2)
pemisahan teritori yang dilakukan oleh kelompok etnis tertentu, 3) failed states, dan 4)
kemiskinan. Lebih lanjut, konflik juga melibatkan berbagai aktor di dalamnya yang tidak
terbatas pada negara, melainkan juga aktor nonnegara, seperti organisasi teroris, kelompok
etnis, dan bahkan individu.

4
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
Konflik yang terjadi di Afrika memiliki sejarah yang cukup panjang. Jika ditarik garis
lurus, konflik di Afrika telah terjadi sejak berakhirnya masa kolonialisme negara-negara
Eropa di kawasan tersebut, yaitu tahun 1960an. Namun, konflik di Afrika telah menemui era
baru ketika Perang Dingin berakhir sekitar tahun 1990an. Sejak saat itu, jumlah dan intensitas
konflik di Afrika mengalami eskalasi dibanding masa sebelumnya dengan melibatkan
beberapa dimensi, yaitu lokal, regional, internasional, dan transnasional (Mateos, 2010, p.26).
Artinya, konflik di Afrika setelah Perang Dingin tidak hanya terjadi dalam satu lingkup
negara, melainkan juga lintas batas negara serta melibatkan aktor transnasional. Greene
(2006, p. 4) menyebut konflik di Afrika setelah era 1990an sebagai “new war” yang merujuk
pada “a combination of transnational and civil conflicts involving state break-down and a
variety armed groups perpetrating terrible violence on civilians”. Konsep “new war” ini
kemudian mampu memberi gambaran bahwa konflik bersenjata di Afrika merupakan sebuah
masalah yang rumit, baik dari segi faktor, aktor, maupun dampak yang ditimbulkannya.
Jika dilihat dari segi faktor penyebab, konflik di Afrika disebabkan oleh berbagai hal,
termasuk faktor yang disebutkan oleh Bowd & Chikwanha (2010). Michailof et al. (2002)
mengidentifikasi faktor penyebab konflik di Afrika dan membaginya ke dalam dua kategori,
yaitu long-term causes dan short-term causes. Faktor jangka panjang atau long-term causes
yang melatarbelakangi konflik di Afrika adalah sejarah, perubahan demografi, kemiskinan,
tingginya tingkat buta huruf, pengangguran, dan penguasaan sumber daya alam (Michailof et
al., 2002, p.3). Sedangkan short-term causes terdiri dari exclusionary policies dan
diskriminasi, mismanajemen ekonomi, penurunan kualitas pemerintahan. Dalam hal
pemerintahan, Michailof et al. (2002, p. 4) menambahkan dua faktor yang mampu
meningkatkan potensi konflik, yaitu ketidakstabilan kondisi subregional dan mudahnya akses
untuk mendapatkan senjata. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis memandang bahwa
faktor utama yang menyebabkan konflik di Afrika adalah faktor ekonomi dan buruknya
legitimasi pemerintah. Ekonomi dan pemerintahan dianggap penting karena kedua faktor
tersebut merupakan permasalahan yang dapat diperbaiki dan telah mencakup sebagian besar
faktor yang telah dijelaskan oleh beberapa akademisi. Sedangkan untuk faktor sejarah sebagai
pemicu konflik dapat diminimalisir, salah satunya melalui kerangka kerjasama dan juga
peningkatan kualitas sumber daya manusia di Afrika. Untuk itu, faktor ekonomi dan
pemerintahan menjadi penting untuk menjamin terlaksananya kerjasama antarnegara dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Terlepas dari faktor penyebabnya, konflik tentunya memberikan dampak tertentu, baik
yang sifatnya positif maupun negatif. Konflik dinilai memberikan dampak positif ketika

5
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
konflik tersebut membawa perubahan kepada masyarakat, seperti perbuahan rezim otoriter
menjadi demokratis maupun konflik yang membawa kemerdekaan kepada sebuah negara.
Dalam kaitannya dengan konflik di Afrika, konflik yang terjadi sebagian besar cenderung
memberikan dampak negatif, terutama konflik yang terjadi di negara-negara LDCs, seperti
Somalia, Kongo, Sudan, dan Nigeria. Secara umum, dampak konflik di Afrika meliputi aspek
sosial dan ekonomi (AFDB, 2008; Aremu, 2010). Beberapa dampak sosial-ekonomi yang
ditimbulkan oleh konflik di Afrika, antara lain permasalahan rekonstruksi pascakonflik,
pengangguran, korban jiwa, pengungsi, dan kemiskinan (Aremu, 2010, pp.554-56). Jumlah
korban meninggal dalam konflik di Afrika sulit untuk diperhitungkan karena korban tersebut
bukan hanya berasal dari kombatan, tetapi juga warga sipil. Salah satu hasil perhitungan pada
pertengahan tahun 2008, konflik yang terjadi Republik Demokratis Kongo memakan korban
jiwa sekitar 5,4 juta jiwa dan merupakan konflik paling mematikan setelah Perang Dunia II
(AFDB, 2008, p.12). Selain itu, konflik di Afrika juga memberikan dampak sosial lain berupa
pengungsi yang biasanya melewati batas negara untuk mencari suaka atau hak asylum.
Diperkirakan pengungsi Afrika berjumlah 15 juta jiwa dan 3,5 juta di antaranya merupakan
pengungsi transnasional (Marshall, 2006, p.2).
Lebih lanjut, konflik di Afrika juga memberikan dampak berupa kerusakan fasilitas
maupun infrastruktur yang telah dibangun. Proses rekonstruksi pascakonflik kemudian
mengalami kendala karena kondisi perekonomian juga terkena dampak yang signifikan.
Salah satu dampak ekonomi yang paling dirasakan adalah peningkatan jumlah kemisikinan.
Pada tahun 1996, tingkat kemiskinan di Afrika mencapai angka 58% atau lebih dari setengah
warga Afrika pada masa itu hidup di bawah garis kemiskinan (Cuhan-Pole et al., 2013,
p.14).2 Kondisi ini diperparah oleh dampak sosial yang belum terselesaikan. Oleh karena itu,
sebagai konsekuensinya, proses pembangunan di Afrika menjadi terhambat dan kualitas
sumber daya manusia di negara-negara Afrika cenderung lebih rendah dibanding dengan
kawasan lain. Berdasarkan hasil temuan dari UNDP tahun 2005, dari 32 negara dengan
tingkat HDI yang rendah, 22 di antaranya mengalami konflik (Wordofa, 2010, p.90). Hal ini
setidaknya menunjukkan bahwa rendahnya tingkat HDI mampu menjadi indikator potensi
konflik di suatu negara.
Untuk menangani konflik yang terjadi di Afrika, berbagai upaya telah dilakukan oleh
berbagai pihak, mulai dari aktor negara hingga nonnegara. Dalam upaya penanganan konflik
di Afrika, Uni Eropa (UE) menjadi salah satu negara yang berperan aktif. Strategi yang

2
Persentase tersebut merupakan jumlah penduduk yang hidup dengan USD 1,25 atau kurang perhari.

6
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
diterapkan oleh UE dalam menangani konflik pada dasarnya dibagi menjadi dua kategori,
yaitu strategi jangka pendek dan strategi jangka panjang (Vanheusden, 2011; Perez, 2005).
Kebijakan penanganan konflik UE merupakan bagian dari kebijakan eksternal yang juga
mendasari kebijakan keamanan dan pertahanan (European Security and Defense
Policy/ESDP).3 Melalui kerangka kebijakan tersebut, UE memiliki kemampuan untuk
mengambil kebijakan terkait dengan pencegahan konflik dan manajemen krisis (Vanheusden,
2011, p.3). Oleh karena itu, sejak tahun 1990an, UE mulai mengambil peran aktif dalam
menangani konflik yang terjadi di sekitar kawasan, seperti di kawasan Balkan, Mediterania,
dan Afrika. Berdasarkan strategi keamanan UE, A Secure Europe in a Better World tahun
2003, terdapat lima ancaman yang dihadapi oleh UE, yaitu terorisme, proliferasi senjata
pemusnal massal, kejahatan terorganisir, konflik regional, dan failed states (Vanheusden,
2011, p.6). Konflik yang terjadi di Afrika kemudian dinilai sebagai ancaman terhadap
keamanan Eropa sehingga UE perlu untuk turut terlibat aktif dalam penanganan konflik.
Beberapa tindakan telah dilakukan oleh UE dalam menangani konflik di Afrika, seperti
pemberian sanksi, bantuan pembangunan, dan pembukaan akses pasar. Di samping itu, UE
dan negara-negara Afrika juga telah menyepakati “Africa-EU Joint Strategy” pada Lisbon
Summit 2007. Pada pertemuan tersebut, kedua kawasan merancang action plan 2008-2010
dalam bidang perdamaian dan keamanan, pemerintahan demokratis, HAM, perdagangan, dan
integrasi regional (Grasa & Mateos, 2010, p.24). Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh UE
cenderung menggunakan instrumen ekonomi maupun politik, bukan militer. Oleh karena itu,
upaya yang dilakukan oleh UE dinilai mampu untuk menuntaskan akar permasalahan konflik
di Afrika melalui strategi jangka panjang, salah satunya adalah instrumen ekonomi.

4. Everything But Arms (EBA)


Everything But Arms (EBA) merupakan bagian integral dari kebijakan Generalised
System of Preferences (GSP).4 EBA memberikan preferensi perdagangan kepada negara-
negara Least Developed Countries (LDCs) melalui penurunan tarif, kuota, dan hambatan
dagang lainnya. EBA mulai diterapkan sejak 5 Maret 2001 dan masih berlaku hingga saat ini.
Jika dilihat dari segi sejarah, hubungan perdagangan antara negara-negara LDCs dan UE
cukup signifikan, terutama pada era 1980an. Namun, pada era 1990an, volume perdagangan
antara LDCs dan UE mulai menurun, terutama terkait dengan eskalasi konflik di beberapa

3
Kebijakan ESDP masih mendapat pertentangan dari berbagai negara sehingga kebijakan terkait pertahanan
dan keamanan sebagian besar masih berada di dalam kedaulatan masing-masing negara.
4
Terhitung sejak 1 Januari 2014, mekanisme GSP digantikan dengan GSP+. Dalam skema GSP+, aturan terkait
EBA tidak mengalami perubahan.

7
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
negara LDCs Afrika setelah Perang Dingin. Kondisi ini kemudian membaik pada awal
2000an yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah ekspor dari negara LDCs ke pasar UE
sebesar 35% (Brenton, 2003, p.3). Dengan melihat potensi ini, UE kemudian menginisiasi
preferensi perdagangan kepada negara-negara LDCs melalui skema EBA. EBA menjadi salah
satu instrumen yang digunakan oleh UE untuk meningkatkan perekonomian dan membatasi
perdagangan senjata di negara-negara LDCs. Oleh karena itu, EBA dinilai sebagai salah satu
strategi jangka panjang UE dalam menangani konflik di negara-negara luar kawasan,
termasuk Afrika.
EBA hanya ditujukan kepada negara LDCs dengan memberikan konsesi perdagangan
berupa duty-free atas seluruh produk kecuali persenjataan dan amunisi (Schneider, 2012,
p.303). Meskipun demikian, pada awal implementasi EBA, masih terdapat tiga produk
pertanian yang belum diliberalisasi secara penuh, yaitu pisang, gula, dan beras. 5 Selain itu,
cakupan negara yang mendapat konsesi dari EBA tidak terbatas pada teritori tertentu,
melainkan mengacu pada kategorisasi LDCs yang diberikan oleh PBB (lihat UN, 2008). Saat
ini terdapat 49 negara yang mendapat preferensi dagang UE melalui EBA dengan sekitar
7.200 konsesi tarif (Townsend, 2008, p.10). Kebijakan preferensi ini bersifat nonresiprokal
sehingga negara beneficiaries tidak memiliki kewajiban untuk memberikan konsesi yang
setimpal kepada Uni Eropa sebagai bentuk timbal balik (Commission, 2004).
Pengecualian senjata dan amunisi dalam skema EBA dinilai sebagai salah satu upaya UE
dalam mengurangi peredaran senjata di kawasan Afrika, terutama perdagangan ilegal.
Peradaran senjata di Afrika, terutama small arms and light weapons (SALW) telah
menimbulkan korban jiwa yang cukup banyak. Michael Renner memperkirakan dalam 50
tahun terakhir telah terjadi 5.994.000 kematian akibat SALW dengan rata-rata kematian
30.000 pertahun setelah Perang Dingin (Edeko, 2011, p.57). Dari segi jumlah, terdapat sekitar
640 juta SALW yang beredar di seluruh dunia di mana 100 juta di antaranya beredar di
Afrika (Che, 2007, p.9). Tidak mengherankan jika SALW mampu menjadi salah satu
penyebab terjadinya konflik bersenjata di Afrika (Schroeder & Lamb, 2006). Lemahnya
sistem hukum di beberapa negara Afrika kemudian dinilai sebagai faktor yang mendorong
perkembangan perdagangan SALW di Afrika (Anon., 2013). Meskipun demikian, jika
merujuk pada ketentuan EBA, pengurangan peredaran senjata di kawasan Afrika melalui
skema EBA nampaknya kurang efektif. Hal ini karena perdagangan senjata di kawasan
Afrika lebih didominasi oleh import yang dilakukan oleh negara-negara Afrika terhadap

5
Secara bertahap ketiga produk tersebut diliberalisasi dan pada 1 Oktober 2009 tarif atas impor gula UE
mengalami penurunan sehingga mengarah pada liberalisasi gula (UNCTAD, 2008, p.ix).

8
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
senjata dari negara lain, termasuk beberapa negara Eropa seperti Inggris, Jerman, dan
Perancis. Selain itu, beberapa negara Afrika ternyata telah memiliki kemampuan untuk
memproduksi senjata SALW sehingga tingkat peredaran atau perdagangan senjata SALW
antarnegara Afrika cukup tinggi. Oleh karena itu, EBA yang hanya membuka pasar UE
kepada negara LDCs dinilai kurang mampu untuk mengurangi peredaran senjata.
Sebagai bagian dari kebijakan GSP Uni Eropa, EBA memiliki tujuan untuk menciptakan
pembangunan berkelanjutan di negara target atau yang biasa disebut sebagai beneficiaries.
Dalam memberikan konsesi kepada negara beneficiaries, Uni Eropa memberikan beberapa
ketentuan insentif yang menjadi landasan pemberian status beneficiaries, yaitu pemenuhan
prinsip sustainable development dan good governance yang ditunjukkan melalui kepatuhan
dan ratifikasi kepada konvensi inernasional.6 Ketika sebuah negara melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan maupun prinsip yang diterangkan dalam Council Regulation, maka negara
tersebut akan, untuk sementara, ditanggguhkan statusnya sebagai negara beneficiaries.7
Selain itu, negara yang mengajukan diri sebagai negara beneficiaries juga harus memenuhi
persyaratan insentif yang diajukan oleh Uni Eropa tersebut. Dengan demikian, ketentuan-
ketentuan tersebut merupakan ketentuan integral yang berlaku bagi negara beneficiaries
maupun negara calon dalam skema GSP, GSP +, dan EBA (Gasiorek et al., n.d., p.8).
Lebih lanjut, dalam skema EBA, tidak ada skema graduation dalam hal sektor produk
seperti dalam GSP. Negara beneficiaries dalam EBA ini akan terus mendapat konsesinya
selama PBB tidak merubah statusnya sebagai negara LDCs. Oleh karena itu, terdapat
setidaknya dua kondisi yang membuat negara beneficiaries EBA kehilangan statusnya, yaitu
1) PBB menghapuskan status negara LDC terhadap negara beneficiaries EBA dan 2) negara
beneficiaries melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
Council Regulation. Ketika kondisi pertama terjadi kepada sebuah negara beneficiaries EBA,
maka negara tersebut akan diberikan waktu selama tiga tahun untuk menyesuaikan diri dan
selama periode transisi ini negara tersebut masih mendapatkan konsesi EBA (Commission,
2013). Di sisi lain, ketika sebuah negara beneficiaries melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan Council Regulation, maka statusnya sebagai negara beneficiaries akan
ditangguhkan sementara hingga negara tersebut kembali mematuhi peraturan dan syarat yang
diajukan oleh Uni Eropa. Jika dilihat, kebijakan EBA ini cukup menarik karena di saat
kebijakan GSP selalu mengalami perubahan dan perbaikan dari waktu ke waktu, kebijakan
6
Lihat Section 2 Article 8 Council Regulation (EC) No 732/2008 dan Annex III untuk daftar konvensi
internasional yang harus dipatuhi.
7
Lihat Chapter III Section 1 Council Regulation (EC) No 732/2008 untuk ketentuan terkait temporary
withdrawal.

9
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
EBA tidak mengalami perubahan sejak pertama kali diberlakukan tahun 2001.8 Hal ini sedikit
banyak menunjukkan bahwa kebijakan EBA memiliki mekanisme yang cukup jelas.

5. Analisa EBA sebagai Instrumen Pencegahan Konflik di Afrika


Pada bagian ini, penulis akan melakukan analisa isu EBA sebagai instrumen pencegahan
konflik di Afrika oleh UE dengan menggunakan dua konsep, yaitu neloberalisme dan
resosialisasi. Perlu dipahami bahwa UE menggunakan instrumen ekonomi dalam menangani
konflik di berbagai kawasan, salah satunya adalah kawasan Afrika. Adanya pola hubungan
saling ketergantungan dalam hal perdagangan membuat kedua kawasan ini cenderung
kooperatif dalam menjalin hubungan dagang. Peningkatan hubungan dagang antara UE
dengan negara-negara LDCs, khususnya di Afrika, akan memberikan dampak berupa
interdependensi. Adanya interdependensi ini kemudian mampu menjadi salah satu cara untuk
menyelesaikan konflik secara damai (Humphreys, 2011, p.142). Lebih lanjut, analisa akan
dibagi menjadi dua subbab:

5.1 Pendekatan Ekonomi: Neoliberalisme


Konflik yang terjadi di Afrika memiliki berbagai latar belakang yang berbeda sesuai
dengan konteks dari konflik tersebut. Secara umum, seperti yang telah dijelaskan pada
subbab sebelumnya, faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang dinilai sebagai pemicu
konflik di kawasan Afrika. Turner (2008) mengidentifikasi empat karakter neoliberal, yaitu
1) pentingnya peran pasar untuk mengalokasikan sumber daya, 2) komitmen terhadap
Rechtsstaat (rule of law-state), 3) minimnya intervensi negara, dan 4) hak atas kepemilikan
pribadi. Keempat karakter inilah yang kemudian akan digunakan untuk menganalisa
pandangan UE terhadap perbaikan ekonomi di Afrika sebagai upaya pencegahan konflik.
Pertama, menurut pandangan kaum neoliberal, pasar dinilai sebagai cara yang paling efektif
untuk mengalokasikan sumber daya kepada seluruh masyarakat. Berdasarkan asumsi ini, UE
membuka akses pasarnya terhadap produk dari negara-negara LDCs di sebagian besar pos
tarif (Commission, 2013). Untuk beberapa pos tarif, seperti gula dan pisang, reduksi tarif
akan dikurangi secara bertahap guna menyesuaikan kondisi domestik di UE. Pembukaan
akses pasar ini mampu meningkatkan arus perdagangan dari negara-negara LDCs di Afrika
ke pasar UE. Sebagian besar komoditi ekspor dari negara LDCs Afrika adalah produk

8
Ketentuan GSP mengalami perubahan beberapa kali yang salah satunya terkait dengan graduation atas
sektor tertentu. Adapun perubahan terakhir dalam skema GSP ini terjadi pasca pemberlakuan Lisbon Treaty
tahun 2009. perubahan tersebut terutama terkait dengan pengetatan ketentuan negara beneficiaries,
graduation yang kemudian perubahan ini dijadikan skema baru yaitu GSP + yang akan berlaku tahun 2014
(Commission, 2012).

10
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
agrikultur yang totalnya mencapai 93,7% dari total ekspor produk agrikultur seluruh negara
LDCs ke UE pada tahun 2005 (Commission, 2005).9 Dengan membuka akses pasar kepada
negara LDCs Afrika, seluruh masyarakat di negara-negara tersebut idealnya memiliki
kesempatan yang sama untuk terlibat dalam proses pasar, termasuk memanfaatkan sumber
daya yang dimiliki. Sumber daya alam yang ada di Afrika merupakan salah satu komoditas
yang mampu diperdagangkan oleh negara-negara Afrika, mengingat memiliki 12% minyak,
42% emas, 80-90% chorium dan platinum, 60% lahan pertanian, dan juga cadangan timbel
yang banyak dari total cadangan dunia (Anon., 2013, p.8). Dengan menciptakan kondisi
perekonomian yang lebih stabil melalui perdagangan, potensi konflik di Afrika setidaknya
dapat dikurangi (AFDB, 2008; Aremu, 2010; Perez, 2005). Hal ini karena permasalahan
ekonomi yang notabene menjadi salah satu akar konflik di Afrika secara bertahap mampu
diatasi melalui peningkatan hubungan dagang dengan UE.
Kedua, dalam menjalankan perekonomian neoliberal, diperlukan adanya Rechtsstaat (rule
of law-state). Artinya, negara harus menjamin penegakan hukum yang diperlukan untuk
menjamin pelaksanaan mekanisme pasar secara sehat. Melalui penegakan hukum inilah,
tindak kecurangan dalam pasar dapat dicegah, seperti perdagangan gelap, korupsi, dan
kriminalitas. Hal ini kemudian akan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
menjalankan mekanisme pasar. Dalam kaitannya dengan Afrika, EBA memiliki ketentuan
yang mengharuskan negara-negara beneficiaries untuk mematuhi ketentuan-kententuan
dalam hukum internasional, seperti penegakan HAM, di dalam lingkup negaranya. Dengan
adanya ketentuan tersebut, UE berusaha menjamin pemenuhan HAM dan hukum lainnya di
negara-negara LDCs Afrika. Penegakan hukum ini tentunya sangat esensial, bukan hanya
bagi perekonomian negara LDCs, tetapi juga bagi pencegahan konflik. Michailof et al. (2002,
p. 3) memandang salah satu penyebab konflik di Afrika adalah adanya kebijakan exclusion
dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Salah satu contohnya adalah konflik antara
suku Hutu dan Tutsi di Rwanda yang berujung pada genosida. Untuk menghindari konflik
serupa, diperlukan landasan hukum HAM yang salah satunya dapat dilakukan dengan
menaati (meratifikasi) instrumen hukum internasional terkait (Aremu, 2010). Oleh karena itu,
EBA dinilai mampu untuk menjadi salah satu alat penekan bagi UE kepada negara-negara
LDCs untuk meratifikasi instrumen hukum internasional dan menerapkannya di dalam
negerinya.

9
Menurut data dari PBB, jumlah negara Least Developed Countris (LDCs) atau negara miskin adalah 48, dan 33
di antaranya berada di kawasan Afrika (UN, n.d.). Oleh karena itu, Afrika menjadi kawasan yang paling banyak
memperoleh keuntungan dari skema EBA ini.

11
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
Ketiga, dalam menjamin berjalannya mekanisme pasar, kaum neoliberal memandang
bahwa peran negara harus diminimalisir (Turner, 2008). Dalam sistem neoliberal, peran
negara tidak sepenuhnya dihilangkan, melainkan dikurangi hingga pada tingkat minimal.
Peran negara di sini hanyalah sebagai penjamin terlaksananya mekanisme pasar, yaitu dengan
merancang dan mengimplementasikan kebijakan yang mendukung perekonomian. Di sisi UE,
peran negara sangatlah minim karena negara hanya berperan sebagai pelaksana kebijakan
yang telah disepakati pada level UE, seperti liberalisasi pasar kepada negara LDCs melalui
skema EBA. Di sisi negara-negara LDCs Afrika, peran negara adalah untuk mendukung
perkembangan industri dan perdagangan dengan UE. Negara-negara LDCs dapat menerapkan
tingkat suku bunga rendah untuk menstimulus industri melalui bantuan modal,
merestrukturisasi kebijakan ekspor negaranya, dan pilihan kebijakan lainnya yang
mendukung kinerja pasar. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa minimnya peran negara
dalam pasar akan memberikan stimulus kepada industri di negara-negara LDCs untuk
berkembang.
Terakhir adalah penjaminan hak kepemiilkan pribadi. Dalam pandangan liberal dan
neoliberal, hak kepemilikan pribadi merupakan hak esensial yang harus dijamin
pemenuhannya (Lee & McBride, 2007). Hal ini bertujuan untuk menghindari monopoli
negara atas akses terhadap sumber daya. Melalui penjaminan hak kepemilikikan pribadi,
setiap orang mampu untuk memperoleh akses terhadap sumber daya, seperti tanah pertanian,
mendirikan bangunan usaha, dan hak paten. Pemenuhan hak kepemilikan pribadi ini
kemudian akan mampu meminimalisir konflik sumber daya yang bisa berujung pada konflik
terbuka. Pasalnya, tindakan monopoli oleh negara atau elit tertentu atas hak kepemilikan
merupakan hal yangdihindari dalam sistem neoliberal sehingga konflik kepentingan relatif
dapat dihindari. Pada akhirnya, setiap orang akan mampu untuk mengembangkan usahanya
sendiri dan terlibat dalam skema perdagangan bebas EBA.
Melalui penerapan prinsip-prinsip neoliberal, UE berusaha untuk mengentaskan faktor
fundamental dalam konflik di Afrika, yaitu ekonomi. Peningkatan jumlah ekspor setelah
adanya pembukaan akses pasar Eropa memberikan kontribusi, bukan hanya pada
pertumbuhan ekonomi, melainkan juga pada penyerapan tenaga kerja dan kesempatan
pertukaran teknologi. Secara umum, perekonomian negara-negara Afrika telah mulai
mengalami pertumbuhan positif, yaitu sekitar 4,9% antara tahun 2000 dan 2008 (Leke et al.,
2010). Lebih lanjut, ketika negara-negara LDCs tersebut mampu untuk memperoleh tingkat
perekonomian yang lebih baik, maka sektor lain di negaranya dapat dikembangkan lebih
lanjut, seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik lainnya. Hal ini tentunya akan

12
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
memberikan kontribusi terhadap peningkatan kaualitas sumber daya manusia di negara-
negara LDCs. Untuk sektor-sektor ini, perkembangan mungkin baru dapat dirasakan setelah
beberapa tahun berselang, mengingat peningkatan kualitas sumber daya manusia memerlukan
pembangunan infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya. Adanya peningkatan
perekonomian dana sumber daya manusia pada akhirnya akan mampu meminimalisir konflik
di Afrika dan permasalahan yang muncul akan cenderung diselsaikan dengan cara damai.

5.2 Pendekatan Sosiologi: Konsep Resosialisasi


Selain memberikan konsesi ekonomi, EBA juga mengharuskan negara beneficiaries
untuk menerapkan sistem demokrasi guna mendukung proses pemerintahan yang baik (good
governance). Untuk menganalisa isu ini, penulis menggunakan salah satu konsep dalam
sosiologi, yaitu resosialisasi. Dalam konsep resosialisasi, seorang aktor atau individu
menjalani penyerapan nilai dan norma baru yang berbeda dari nilai dan norma yang telah
sebelumnya diterima. Resosialisasi terjadi pada tempat atau situasi yang disebut sebagai total
institution. Total institution ini memiliki nilai dan norma yang harus diikuti oleh setiap
individu yang ada di dalamnya. Oleh karenanya, resosialisasi hanya bisa berlangsung di
dalam total institution tersebut. Proses resosialisasi ini akan melibatkan dua proses utama,
yaitu 1) melepaskan kepribadian awal dan 2) kepribadian baru dibentuk melalui tindakan dan
tingkah laku baru sesuai dengan lingkungan di mana orang tersebut berada (Stolley, 2005,
p.68).
Analisa dalam paper ini akan mengaplikasikan konsep sosiologi (resosialisasi) ini ke
dalam konteks hubungan internasional. Ketika sosiologi mencoba menganalisa pola interaksi
di dalam masyarakat, maka dalam hubungan internasional, interaksi dilakukan oleh negara di
dalam lingkungan masyarakat internasional. Dengan kata lain, negara merepresentasikan
individu dan sistem internasional merepresentasikan masyarakat. Sedangkan EBA
merepresentasikan total institution sebagai tempat resosialisasi terjadi. Norma yang harus
diikuti oleh negara-negara LDCs ketika menggunakan skema EBA berasal dari norma dalam
UE. Norma-norma tersebut tercantum dalam Maastricht Treaty atau Treaty of the European
Union dan menjadi basis pengambilan kebijakan UE, termasuk dalam menjalin hubungan
dengan negara lain. Dalam beberapa analisa hubungan internasional, kemampuan UE dalam
menyebarkan nilai yang dianutnya dikenal sebagai “kekuatan normatif Uni Eropa” (Manners,
2002; Panebianco & Rossi, 2004; Ciambra, 2008). Manners (2002, p.242) mengidentifikasi
lima basis utama dari kekuatan normatif UE, yaitu peace (perdamaian), liberty, demokrasi,
rule of law (aturan hukum), dan fundamental freedoms. Selain itu, Manners (2002, p. 242)

13
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
juga mengidentifikasi empat kekuatan normatif UE yang sifatnya minor, yaitu solidaritas
sosial, antidiskriminasi, pembangunan berkelanjutan, dan good governance. Secara umum,
keseluruhan kekuatan normatif UE inilah yang akan selalu dijadikan basis tindakan UE dan
menyebarkannya ke kawasan lain melalui external actions.
Dalam proses resosialisasi, seorang individu atau aktor akan melewati dua tahapan.
Tahapan yang pertama adalah melepaskan kepribadian awal. Hal ini berarti bahwa seorang
individu harus meninggalkan kepribadian lama yang tidak sesuai dengan nilai dan norma
baru dalam total institution yang ia ikuti. Dalam konteks EBA, negara-negara LDCs
diharuskan untuk meninggalkan praktek-praktek yang tidak sesuai dengan norma yang dianut
oleh UE. Misalnya, beberapa negara LDCs Afrika yang mengalami konflik seringkali
melakukan pelanggaran HAM terhadap masyarakatnya. Pelanggaran HAM tersebut
seringkali terstruktur dan dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa. Kasus seperti ini terjadi
pada konflik Rwanda di mana suku Hutu dan Tutsi seolah saling membalas dendam masa
lalu, yaitu terkait dengan tindak diskriminasi terhadap suku lain saat salah satu suku
berkuasa. Tindakan diskriminasi yang bertentangan dengan salah satu norma UE ini haruslah
dihilangkan dengan menerapkan sistem penegakan hukum serta pemerintahan yang lebih
baik. Selain itu, di beberapa negara lain seperti Somalia, permasalahan yang dihadapi adalah
sistem pemerintahan yang buruk. Somalia kemudian dikategorikan sebagai failed state karena
ketidakmampuan negara untuk menjalankan fungsi pemerintahannya. Dengan menjadi negara
beneficiaries dalam EBA, Somalia harus merombak pemerintahannya dengan menerapkan
sistem demokrasi dan prinsip good governance. Beberapa contoh tersebut merupakan
gambaran mengenai pelepasan kepribadian lama yang tidak sesuai dengan nilai dan norma
baru dalam sebuah total institusion.
Setelah melepaskan kepribadian lamanya, seorang individu akan memasuki fase kedua,
yaitu pembentukan kepribadian baru melalui tindakan dan tingkah laku yang sesuai dengan
niai dan norma dalam total institution. Negara-negara LDCs yang mendapat konsesi EBA
tidak hanya diharuskan untuk meninggalkan praktik-praktik yang bertentangan dengan norma
UE, melainkan juga diharuskan untuk menerapkan norma-norma UE. Untuk dapat
menjalankan perekonomian neoliberal, negara-negara LDCs harus menerapkan sistem
demokrasi yang menjunjung perlindungan terhadap hak kebebasan, penegakan aturan hukum,
antidiskriminasi, dan norma lainnya yang akan menciptakan sebuah pemerintahan yang
bertanggung jawab (good governance). Pemenuhan norma-norma UE tersebut menjadi syarat
diberikannya status sebagai negara beneficiaries kepada negara-negara LDCs. Terdapat satu
contoh negara LDCs non-Afrika yang sempat ditolak untuk menjadi negara beneficiary

14
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
dalam skema EBA, yaitu Myanmar. Pada kasus Myanmar, penangguhan dari skema
preferential trate UE dilakukan sejak tahun 1997 hingga Myanmar melakukan upaya
demokratisasi pada tahun 2010. Pada 2012, berdasarkan usulan ILO, Myanmar kembali
dipertimbangkan sebagai negara beneficiary dalam skema EBA oleh UE. Upaya penagguhan
ini diatur lebih lanjut dalam ketentuan EBA dan UE biasanya juga melakukan upaya penekan
dalam bentuk sanksi embargo kepada negara yang melanggar norma UE, seperti pelanggaran
HAM berat. Pemberian studi kasus negara LDCs di luar Afrika ini setidaknya mampu
memberi gambaran bagaimana UE menggunakan kekuatan normatifnya untuk merubah
perilaku negara lain yang dianggap ‘menyimpang’. Dapat dipahami bahwa negara-negara
LDCs yang mendapat konsesi dalam EBA diharuskan memenuhi seluruh norma UE. Ketika
negara tersebut tidak mematuhi ketentuan UE, maka negara tersebut akan mendapat sanksi
dan juga ditangguhkan statusnya sebagai negara beneficiary dalam skema EBA.
Penerapan norma-norma UE melalui proses resosialisasi akan mampu menyelesaikan
faktor kedua dalam konflik di Afrika, yaitu pemerintahan. Berbagai argumen menilai bahwa
buruknya sistem pemerintahan menjadi salah satu faktor yang menimbulkan konflik di
kawasan Afrika. Korupsi, diskriminasi, perdagangan ilegal, dan pembatasan hak-hak
fundamental telah meningkatkan tekanan terhadap masayarakat sehingga ketika terdapat
momentum, masyarakat akan cenderung untuk melampiaskan tekanan yang diperoleh dengan
cara kekerasan sehingga konflik tidak dapat dihindarkan. Hal ini diperparah dengan adanya
perdagangan senjata SALW, seperti pistol, granat, dan senjata ringan lainnya di kalangan
masyarakat. Dengan berbekal senjata SALW yang dimilikinya, masyarakat yang tertekan
akan cenderung lebih berani untuk meluapkan emosinya. Kondisi yang seperti inilah yang
tidak sesuai dengan norma UE sehingga melalui skema EBA, negara-negara LDCs didorong
untuk meninggalkan praktik yang tidak sesuai dengan norma UE untuk kemudian
menerapkan norma UE. Sebagai timbal baliknya, negara LDCs akan memperoleh akses pasar
UE secara bebas, termasuk beberapa produk yang masih berada pada masa transisi.
Sebagai tambahan, EBA dinilai kurang mampu untuk mengurangi peredaran dan
perdagangan senjata di Afrika. Hal ini karena akses pasar hanya diberikan kepada negara
LDCs untuk memasuki pasar Eropa, atau nonresiprokal. Prinsip nonresiprokal ini membuat
UE tidak memiliki kapabilitas yang cukup untuk membatasi arus perdagangan senjata karena
tidak ada larangan bagi negara-negara UE untuk menjual produk persenjataan ke negara-
negara LDCs di Afrika. Sedangkan negara-negara Afrika mendapat sebagian pasokan
senjatanya dari beberapa negara UE dan jumlah ekspor senjata dari Afrika ke UE tidak
signifikan. Dengan demikian, ketentuan perdagangan kecuali senjata dalam skema EBA

15
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
menjadi kurang relevan untuk membatasi pergerakan senjata di Afrika. Meskipun demikian,
paling tidak, ketika negara-negara LDCs di Afrika sudah menerapkan sistem pemerintahan
yang baik, tingkat distribusi senjata (SALW) ilegal bisa ditekan seminimal mungkin. Secara
tidak langsung, EBA menjadi mampu berkontribusi dalam pengurangan perdagangan dan
peredaran senjata (SALW) di Afrika.
Dengan merujuk pada hasil analisa di atas, dapat dipahami bahwa terdapat pola ‘carrot
and stick’ dalam penerapan skema EBA. Ketika negara LDCs mampu memenuhi norma UE,
maka negara-negara tersebut akan mendapat konsesi ekonomi berupa pembukaan akses pasar
UE. Namun, ketika negara tersebut tidak bisa memenuhi ekspektasi UE, maka UE akan
menangguhkan konsesi EBA dan bahkan menerapkan sanksi berupa embargo. 10 Melalui
pendekatan tersebut, dapat dipahami pula bahwa UE menggunakan EBA sebagai salah satu
strategi jangka panjang atau long-term strategy dalam menangani konflik yang terjadi di
kawasan Afrika. Proses penetrasi norma-norma UE ini bisa dilihat lebih luas lagi. Dalam hal
ini, Manners (2002, pp. 244-45) mengidentifikasi dua cara dalam menyebarkan kekuatan
normatif UE, yaitu contagion dan transference. Contagion terjadi ketika persebaran norma
tidak dilakukan secara sengaja dan terstruktur. Penyebaran ini terjadi salah satunya saat UE
menjadi role model di dunia internasional. Selain itu, transference juga menjadi cara
penyebaran norma UE secara sengaja, biasanya melalui bantuan keuangan, kerjasama
perdagangan, dan kerjasama lainnya. Model penyebaran transference inilah yang dirasa
sesuai dengan analisa pada paper ini, yaitu UE berusaha untuk merubah ‘kepribadian’ negara-
negara LDCs melalui proses resosialisasi norma-norma UE dalam kerangka EBA.

6. Kesimpulan
Everything But Arms (EBA) merupakan salah satu inisiatif dan strategi jangka panjang
yang diterapkan oleh UE untuk mengatasi konflik yang terjadi di Afrika. EBA setidaknya
diharapkan untuk menyelesaikan dua permasalahan umum yang memicu konflik di Afrika,
yaitu ekonomi dan pemerintahan. Dari segi ekonomi, pemberian akses pasar kepada negara-
negara LDCs Afrika akan meningkatkan partisipasi masyarkat Afrika dalam perdagangan
internasional. Hal ini tidak hanya memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi,
melainkan juga penyerapan tenaga kerja dan mendorong pertumbuhan industri di Afrika.
Selain itu, untuk mendukung sistem ekonomi pasar, pemerintah di negara-negara LDCs perlu
untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi perekonomian melalui kerangka kebijakan.
Lebiha lanjut, pemerintah negara-negara LDCs juga diharuskan untuk memperbaiki sistem

10
Penerapan sanksi oleh UE ini didasarkan pada keputusan PBB melalui resolusi yang dikeluarkannya.

16
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
pemerintahannya dengan menerapkan demokrasi, penegakan hukum , dan kebijakan
nondoskriminasi. Perubahan di negara-negara LDCs ini dinilai sebagai salah satu bentuk
resosialisasi yang merujuk pada perubahan ‘kepribadian’ negara LDCs sesuai dengan norma
yang dianut oleh UE. Lebih lanjut, ketentuan pelarangan penjualan senjata dalam EBA dinilai
tidak cukup signifikan dalam membatasi peredaran dan perdagangan senjata (SALW) di
Afrika karena adanya prinsip nonresprokal. Artinya, negara-negara LDCs Afrika masih bisa
memperoleh pasokan senjata dari beberapa negara Eropa dan kawasan lain. Meskipun
demikian, ketika negara-negara LDCs bisa memenuhi norma-norma UE dan mendapat
keuntungan ekonomi dari perdagangan yang dilakukan dengan UE, maka potensi konflik
akan mampu untuk ditekan seiring dengan tuntasnya faktor pemicu konflik di Afrika.

17
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
Referensi:

AFDB, 2008. Africa Development Report 2008/2009. New York: Oxford University Press
African Development Bank.
Anon., 2013. Economic Report on Africa 2013. Addis Ababa: Economic Commission for
Africa United Nations Economic Commission for Africa.
Anon., 2013. Small Arms Survey 2013: Everyday Dangers. New York: Cambridge University
Press Graduate Institute of International and Development Studies.
Aremu, J.O., 2010. Conflicts in Africa: Meaning, Causes, Impact and Solution. African
Research Review, 4, pp.549-60.
Bowd, R. & Chikwanha, A.B., 2010. Introduction. In Bowd, R. & Chikwanha, A.B., eds. ISS
Monograph 173. Addis Ababa, 2010. Institute for Security Studies.
Brenton, P., 2003. Integrating the Least Developed Countries into the World Trading System:
The Current Impact of EU Preferences under Everything But Arms. World Bank Policy
Research Working Paper 3018.
Che, K.N., 2007. Small Arms and Light Weapons, Africa's True WMDs: The role of SALW
in conflict and insecurity in sub-Saharan Africa. MA Thesis of European University
Center for Peace Studies.
Ciambra, A., 2008. 'Normative Power' Europe: Theory and Practice of EU Norms, The Case
of Macedonia. Jean Monnet Working Papers in Comparative and International Politics
No. 64.
Commission, E., 2004. The European Union's Rules of Origin for the Generalised System of
Preferences. Brussels: European Commission European Commission.
Commission, E., 2005. LDCs. [Online] Available at:
http://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2006/june/tradoc_120307.pdf [Accessed 7 January
2014].
Commission, E., 2012. The EU's New Generalised System of Preferences. [Online] Available
at: http://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2012/december/tradoc_150164.pdf [Accessed 4
January 2014].
Commission, E., 2013. Everything But Arms (EBA): Who Benefits? [Online] Available at:
http://trade.ec.europa.eu/doclib/docs/2013/april/tradoc_150983.pdf [Accessed 4
January 2014].
Cuhan-Pole, P., Christiaensen, L. & Angwafo, M., 2013. Africa's Pulse Vo. 7. The World
Bank.

18
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
Edeko, S.E., 2011. The Proliferation of Small Arms and Light Weapons in Africa: A Case
Study of the Niger Delta in Nigeria. Sacha Journal of Environmental Studies, 1, pp.55-
80.
Gasiorek, M., Gonzalez, J.L., Holmes, P. & Parra, M.M., n.d. Mid-term Evaluation of the
EU's Generalised System of Preferences. Centre for the Analysis of Regional
Integration at Sussex.
Grasa, R. & Mateos, O., 2010. Conflict, Peace and Security in Africa: An Assessment and
New Questions After 50 Years of African Independence. ICIP Working Papers:
2010/08.
Greene, O., 2006. Conflict Prevention, Management and Reduction in Africa: Issues and
Priorities. In J. Buxton, O. Greene & C. Salonius-Pasternak, eds. Conflict Prevention,
Management and Reduction in Africa. Helsinki: Ministry for Foreign Affairs of
Finland. pp.1-36.
Humphreys, M., 2011. Economics and Violent Conflict. In E. McCandless & T. Karbo, eds.
Peace, Conflict, and Development in Africa: A Reader. Switzerland: University for
Peace. pp.140-42.
Lee, S. & McBride, S., 2007. Introduction: Neo-Liberalism, State Power and Global
Governance in the Twenty-First Century. In S. Lee & S. McBride, eds. Neo-Liberalism,
State Power and Global Governance. Dordrecht: Springer. pp.1-24.
Leke, A., Lund, S., Roxburgh, C. & van Wamelen, A., 2010. What's Driving Africa's Growth.
[Online] Available at:
http://www.mckinsey.com/insights/economic_studies/whats_driving_africas_growth
[Accessed 6 January 2014].
Manners, I., 2002. Normative Power Europe: A Contradiction in Terms? Journal on Common
Market Studies, 40, pp.235-58.
Marshall, M.G., 2006. Conflict Trends in Africa, 1946-2004: A Macro-Comparative
Perspective. GWS Group.
Mateos, O., 2010. Beyond Greed and Grievance: Towards a comprehensive approach to
African armed confl icts: Sierra Leone as a Case Study. In Bowd, R. & Chikwanha,
A.B., eds. ISS Monograph 173. Addis Ababa, 2010. Institute for Security Studies.
McIntyre, J., 1966. The Structural-Functional Approach to Family Study. In F.I. Nye & F.M.
Berardo, eds. Emerging Conceptual Framworks in Family Analysis. New York:
Macmillan. pp.52-77.

19
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014
Michailof, S., Kostner, M. & Devictor, X., 2002. Post-Conflict Recovery in Africa: An
Agenda for Africa Region. Africa Region Working Paper Series No. 30.
Panebianco, S. & Rossi, R., 2004. EU attempts to export norms of good governance to the
Mediterranean and Western Balkan countries. Jean Monnet Working Papers in
Comparative and International Politics No. 53.
Perez, J.N., 2005. EU Instruments for Conflict Prevention. FRIDE Working Paper no. 8.
Schneider, F.B., 2012. Human Rights Conditionality in the EU's Generalised System of
Preferenes: Legitimacy, Legallity and Reform. ZEuS 3, pp.301-28.
Schroeder, M. & Lamb, G., 2006. The Illicit Arms Trade in Africa: A Global Enterprise.
African Analyst, (1), pp.69-78.
Stolley, K.S., 2005. The Basics of Sociology. Westport: Greenwood Press.
Townsend, I., 2008. Eu Trade Preferences for Developing Countries: the GSP & 'Everything
But Arms'. House of Commons Library.
Turner, R.S., 2008. Neo-Liberal Ideology: History, Concepts and Policies. Edingurgh:
Edinburgh University Press.
UN, 2008. Handbook on the Least Developed Country Category: Inclusion, Graduation and
Special Support Measures. New York: UN Publishing United Nations.
UNCTAD, 2008. Generalised System of Preferences: Handbook on The Scheme of The
European Community. New York and Geneva: UNCTAD.
UN, n.d. List of Least Developed Countries. [Online] Available at:
http://www.un.org/esa/policy/devplan/profile/ldc_list.pdf [Accessed 6 January 2014].
Vanheusden, E., 2011. Overview of the Conflict Prevention Policy of the EU. MICROCON
Policy Working Paper 16.
Wordofa, D., 2010. Violent Conflict: Key obstacles for sub-Saharan Africa to Acieving the
Millenium Development Goals – Where is the evidence? In Bowd, R. & Chikwanha,
A.B., eds. Monograph 173. Addis Ababa, 2010. Insititute for Security Studies.

20
Paper Akhir Ilmu Sosial Dasar - 2014

You might also like