You are on page 1of 4

Increassing Livelihood Opportunity of Community in Rural Area through

Renewable Energy Development

The conflict between traditional fossil-fueled electrical generator and novel, dispersed, clean
power resource is more than a conflict over technology, it is including a battle over values and
cultural attitudes concerning social welfare, profits, the natural world, and many else (Sovacool,
2009; Wustenhagen, Wolsink, & Burer, 2007). This condition is also similar with Indonesia who
want to increase their renewable energy percentage by 23% by 2025 and 31% by 2050 in its energy
mix (GoI, 2017), but also want to increase their electrification ratio to 100% by 2025 (ESDM,
2015). To increase the electrification ratio and the demand of electricity, Indonesia still uses coal
as main source for power plant. The fossil fuel generator is mainly determined by the price of the
fuel itself (Tidball, Bluestein, Rodriguez, & Knoke, 2010) while the renewable energy is
determined by technological learning. It possible for Indonesia with its coal reserve, but, for a long
time, the dependence will be expensive. Meanwhile, the number of renewable energy power plants
are increase, but with minimal growth (Kementrian ESDM, 2016).
These ambitious targets from Government of Indonesia (GoI) is not easy to achieve, particularly
with growing demand of energy who related with economic activity and population (DEN, 2016).
There are various strategies and approaches in several cities in Indonesia in fulfill the demand of
energy (Sagala, Lubis, Ameridyani, & Prambudia, 2015; Tarigan, Samsura, Sagala, &
Wimbardana, 2017). In several remote areas in Indonesia, the main problem is electrification rate
due to limited energy infrastructure to distribute it. However, renewable energy could increase the
electricity access in remote areas as it is more suitable for off-grid on small scale (Pegels, 2010).
Barriers for renewable energy development such as technology, cost competitiveness, pricing, and
policy (Foster et al., 2017; Verbruggen et al., 2010) are factors that influence the impact and
sustainability.
The geological and geographical condition of Indonesia which in form of an island country is the
barrier and challenge for Indonesia energy fulfillment and equity in access energy. Many small
islands in Indonesia are not connected to main grid. To address this issue, government of Indonesia
have tried to use micro-grid approach. One of the prioritize program for renewable energy
development of Indonesia is Sumba Iconic Island (SII) project that started in 2010. This program
has a target of 100% renewable energy-dependent by 2025 with 95% electrification.
Sumba Island is located in eastern Indonesia, within the province of Nusa Tenggara Timur. Sumba
is known as one of the most of vulnerable areas in Indonesia even in South East Asia.
Predominantly, Sumbanese’s economy is agriculture and livestock (Bajgain, 2011). Sumba Island
has been a subject of interest of many development agencies and national government alike in
recent times, mainly because of humanitarian issues caused by climate change effect as well as the
socio-economic repercussion caused by them, in the form of poverty, prolonged droughts, floods,
and other disaster. In 2014, there was a recorded of 111, 779 “pres-pros-poverty” families within
Sumba (Bappeda NTT, 2013).
One of the biggest concern in Sumba Island is the electrification ratio, only 24, 55% despite all
readily available renewable energy resources (Hivos, 2011). Centralized energy distribution is
deemed to be expensive and somewhat inaccessible for rural communities in remote area. This
situation also similar with Sumba Island which is not connected with main grid of National Electric
Company (Perusahaan Listrik Negara-PLN) due to its poor economy, thus avoiding the risk of bad
investment (PLN, 2015). Moreover, most PLN power plants use fossil based resources such as
kerosene, diesel, and petrol. Most of these resources are imported from other areas in Indonesia,
mainly from Java. Over time, this situation could increase the cost for electricity in Sumba. Sumba
Iconic Island project tried to address these issues with renewable energy as their main energy
resources.
Hivos International (international non-government organizations) collaborate with GoI and
various International Organization to bring renewable energy to all of Sumba by 2020 through
Sumba Iconic island project. Sumba have potency for renewable energy development (Table 1).
They have tried different approach’s in fulfilling their demand energy through
decentralized/distributed system. Distributed energy system are becoming a real trend as an
alternative to the traditional energy grid that is more reliable and environmental friendly (Alanne
& Saari, 2006)
SII which implemented in every district in Sumba Island namely, West Sumba, South West sumba,
East Sumba and Central Sumba. The study will be focusing in one of the district, East Sumba as a
study case. East Sumba chooses a case study due to several factors such as the number of
beneficiary for SII project and the various renewable energy that has been used.
The objective of this study is to identify and analyze the impact and barrier of renewable energy
development in Sumba in social-economic of community. To achieve the objective, we break
down the objective into two purposes as follows:
1. Identification of the impact in community level after implementation of Sumba Iconic Island
project in livelihood activity.
2. Analyze the barrier of renewable energy development on Sumba Iconic Island Project in order
to maximize the benefit for community.
This study will give analysis clear of the relation between renewable energy developments in
remote areas to community livelihood even it impacts to social-economic aspect. The results of
study are expected to give clear strategies for government and private sector in implementing
renewable energy project for communities particularly for communities in remote area who not
connected with main grid in optimize the benefit for socio-economic of communities.
Meningkatkan Peluang Mata Pencaharian Komunitas di Daerah Pedesaan melalui
Pengembangan Energi Terbarukan

Konflik antara generator listrik berbahan bakar fosil tradisional dan sumber daya energi baru,
tersebar, bersih lebih dari sekedar konflik teknologi, itu termasuk pertempuran atas nilai-nilai dan
sikap budaya mengenai kesejahteraan sosial, keuntungan, dunia alam, dan banyak lagi (Sovacool,
2009; Wustenhagen, Wolsink, & Burer, 2007). Kondisi ini juga mirip dengan Indonesia yang ingin
meningkatkan persentase energi terbarukan mereka sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada
tahun 2050 dalam bauran energinya (Pemerintah Indonesia, 2017), tetapi juga ingin meningkatkan
rasio elektrifikasi mereka menjadi 100% pada tahun 2025 (ESDM, 2015). Untuk meningkatkan
rasio elektrifikasi dan permintaan listrik, Indonesia masih menggunakan batubara sebagai sumber
utama pembangkit listrik. Generator bahan bakar fosil terutama ditentukan oleh harga bahan bakar
itu sendiri (Tidball, Bluestein, Rodriguez, & Knoke, 2010) sementara energi terbarukan ditentukan
oleh pembelajaran teknologi. Ini mungkin bagi Indonesia dengan cadangan batu bara, tetapi, untuk
waktu yang lama, ketergantungannya akan mahal. Sementara itu, jumlah pembangkit listrik energi
terbarukan meningkat, tetapi dengan pertumbuhan minimal (Kementrian ESDM, 2016).
Target ambisius dari Pemerintah Indonesia ini tidak mudah dicapai, terutama dengan
meningkatnya permintaan energi yang terkait dengan aktivitas ekonomi dan populasi (DEN,
2016). Ada berbagai strategi dan pendekatan di beberapa kota di Indonesia dalam memenuhi
permintaan energi (Sagala, Lubis, Ameridyani, & Prambudia, 2015; Tarigan, Samsura, Sagala, &
Wimbardana, 2017). Di beberapa daerah terpencil di Indonesia, masalah utamanya adalah tingkat
elektrifikasi karena terbatasnya infrastruktur energi untuk mendistribusikannya. Namun, energi
terbarukan dapat meningkatkan akses listrik di daerah terpencil karena lebih cocok untuk off-grid
dalam skala kecil (Pegels, 2010). Hambatan untuk pengembangan energi terbarukan seperti
teknologi, daya saing biaya, harga, dan kebijakan (Foster et al., 2017; Verbruggen et al., 2010)
adalah faktor yang mempengaruhi dampak dan keberlanjutan.
Kondisi geologis dan geografis Indonesia yang berupa negara kepulauan merupakan penghalang
dan tantangan bagi pemenuhan energi dan pemerataan energi akses di Indonesia. Banyak pulau-
pulau kecil di Indonesia tidak terhubung ke jaringan utama. Untuk mengatasi masalah ini,
pemerintah Indonesia telah mencoba menggunakan pendekatan mikro-grid. Salah satu program
memprioritaskan pengembangan energi terbarukan di Indonesia adalah proyek Pulau Sumba
Iconic (SII) yang dimulai pada tahun 2010. Program ini memiliki target 100% energi terbarukan
yang bergantung pada tahun 2025 dengan 95% elektrifikasi.
Pulau Sumba terletak di Indonesia bagian timur, di provinsi Nusa Tenggara Timur. Sumba dikenal
sebagai salah satu daerah paling rentan di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Secara dominan,
ekonomi Sumba adalah pertanian dan peternakan (Bajgain, 2011). Pulau Sumba telah menjadi
subjek yang menarik bagi banyak lembaga pembangunan dan pemerintah nasional dalam beberapa
waktu terakhir, terutama karena masalah kemanusiaan yang disebabkan oleh efek perubahan iklim
serta dampak sosial-ekonomi yang disebabkan oleh mereka, dalam bentuk kemiskinan, kekeringan
berkepanjangan, banjir, dan bencana lainnya. Pada tahun 2014, tercatat ada 111, 779 keluarga
“pres-pros-poverty” di Sumba (Bappeda NTT, 2013).
Salah satu perhatian terbesar di Pulau Sumba adalah rasio elektrifikasi, hanya 24, 55% meskipun
semua sumber energi terbarukan siap tersedia (Hivos, 2011). Distribusi energi terpusat dianggap
mahal dan agak sulit diakses oleh masyarakat pedesaan di daerah terpencil. Situasi ini juga mirip
dengan Pulau Sumba yang tidak terhubung dengan jaringan utama Perusahaan Listrik Negara
(PLN) karena ekonomi yang buruk, sehingga menghindari risiko investasi yang buruk (PLN,
2015). Selain itu, sebagian besar pembangkit listrik PLN menggunakan sumber daya berbasis fosil
seperti minyak tanah, solar, dan bensin. Sebagian besar sumber daya ini diimpor dari daerah lain
di Indonesia, terutama dari Jawa. Seiring waktu, situasi ini dapat meningkatkan biaya listrik di
Sumba. Proyek Pulau Ikonik Sumba mencoba untuk mengatasi masalah ini dengan energi
terbarukan sebagai sumber energi utama mereka.
Hivos International (organisasi non-pemerintah internasional) berkolaborasi dengan Pemerintah
Indonesia dan berbagai Organisasi Internasional untuk membawa energi terbarukan ke seluruh
Sumba pada tahun 2020 melalui proyek pulau Sumba Iconic. Sumba memiliki potensi untuk
pengembangan energi terbarukan (Tabel 1). Mereka telah mencoba pendekatan berbeda dalam
memenuhi kebutuhan energi mereka melalui sistem terdesentralisasi / terdistribusi. Sistem energi
terdistribusi menjadi tren nyata sebagai alternatif dari jaringan energi tradisional yang lebih dapat
diandalkan dan ramah lingkungan (Alanne & Saari, 2006).
SII yang dilaksanakan di setiap kabupaten di Pulau Sumba yaitu, Sumba Barat, Sumba Barat Daya,
Sumba Timur dan Sumba Tengah. Studi ini akan berfokus di salah satu kabupaten, Sumba Timur
sebagai studi kasus. Sumba Timur memilih studi kasus karena beberapa faktor seperti jumlah
penerima manfaat untuk proyek SII dan berbagai energi terbarukan yang telah digunakan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis dampak dan penghalang
pengembangan energi terbarukan di Sumba dalam sosial-ekonomi masyarakat. Untuk mencapai
tujuan, kami memecah tujuan menjadi dua tujuan sebagai berikut:
1. Identifikasi dampak di tingkat masyarakat setelah implementasi proyek Pulau Ikonik
Sumba dalam kegiatan mata pencaharian.
2. Menganalisis penghalang pengembangan energi terbarukan di Sumba Iconic Island Project
untuk memaksimalkan manfaat bagi masyarakat.
Studi ini akan memberikan analisis yang jelas tentang hubungan antara perkembangan energi
terbarukan di daerah terpencil dengan mata pencaharian masyarakat bahkan berdampak pada aspek
sosial-ekonomi. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan strategi yang jelas untuk
pemerintah dan sektor swasta dalam melaksanakan proyek energi terbarukan bagi masyarakat
khususnya untuk masyarakat di daerah terpencil yang tidak terhubung dengan jaringan utama
dalam mengoptimalkan manfaat bagi sosial ekonomi masyarakat.

You might also like