You are on page 1of 14

LAPORAN PENDAHULUAN

PERTUSIS PADA ANAK

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di Cina
disebut batuk seratus hari. Uraian pertama epidemi penyakit ini ditulis pada tahun 1578 di
Paris. Kuman penyebab baru diketahui pada tahun 1908 oleh Bodet dan Gengou. Pertusis
merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Bordetella pertussis, merupakan
penyakit infeksi saluran napas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti
anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun. Orang
yang tinggal di rumah yang sama dengan penderita pertusis lebih mungkin terjangkit.
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kematian dan kesakitan pada anak terutama di
negara berkembang. World Health Organization) WHO memperkirakan + 600.000 kematian
disebabkan pertusis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan
kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas
penyakit ini mulai menurun. Imunisasi amat mengurangi risiko terinfeksi, tetapi infeksi ulang
dapat terjadi. Jika diderita bayi penyakit ini merupakan penyakit yang gawat dengan
kematian 15% sampai 30%. Pada anak-anak penyakit ini jarang menyebabkan kematian,
tetapi pengobatan terhadap penyakit ini sulit dan memakan waktu lama (8 minggu) sehingga
pengobatan terhadap pertusis memerlukan biaya yang cukup tinggi.
Di Amerika Serikat, sebanyak 71% kasus pertusis diderita oleh anak usia kurang dari 5 tahun
dan 38% pada usia kurang dari 6 bulan. Sebanyak 1,3% kasus fatal pada bayi usia kurang dari
1 bulan dan 0,3% fatal pada bayi yang berumur 2 sampai 11 bulan.
Data yang diambil dari profil kesehatan Jawa Barat 1993, jumlah kasus pertusis tahun 1990
adalah 4.970 kasus dengan CFR (case fatality rate) 0,2%, menurun menjadi 2.752 kasus pada
tahun 4.970 kasus dengan CFR 0%, kemudian menurun lagi menjadi 1.379 kasus dengan
CFR 0% pada tahun 1992.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat
mengenai penyakit pertusis pada anak. Diharapkan melalui penyuluhan dan makalah ini,
orang tua dapat mengerti dan memahami hal-hal mengenai penyakit pertusis dan
pencegahanya pada anak masing-masing.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari makalah ini adalah untuk melakukan penyuluhan ini agar masyarakat :
1. Mengetahui penyebab penyakit pertusis.
2. Mengerti dan memahami cara penularan penyakit pertusis.
3. Mengerti dan memahami tanda dan gejala penyakit pertusis.
4. Mengerti dan memahami pencegahan penularan penyakit pertusis.

1.3 Manfaat
Bisa lebih mengetahui dan memahami bagaimana gangguan pertusis terjadi, bagaimana cara
mengobati serta bagaimana menyusun Asuhan Keperawatannya.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh Bordetella Pertusis (arif
mansjoer,2000).
Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang diuraikan dengan baik pada tahun
1500.(nelson,2000)
Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh bordetella pertusis
terutama terjadi pada anak-anak usia 4 tahun yang tidak diimunisasi.(american academy of
pediatric, 2006)
Pertusis biasa disebut batuk rejan. Pertusis disebut juga sebagai Tussis Quinta, Whooping
cough atau Batuk Rejan adalah suatu infeksi akut saluran nafas, yang dapat mengenai setiap
penjamu yang rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-anak yang ditandai oleh batuk
spasmodic yang lama yang berakhir pada batuk-batuk dengan suara keras ( ‘whoop’ ) dan
disertai dengan muntah.

2.2 Etiologi
Bordetella pertusis merupakan satu-satunya penyebab pertusis epidemik dan merupakan
penyebab biasa pertusis sporadis. B. Pertusis merupakan penyebab pertusis kadang-
kadang,merupakan kurang dari 5% isolat spesies bordetella diamerika serikat. B.
Parapertusis sangat menambah kasus pertusis total didaerah lain seperti denmark,republik
ceko, slovakia, dan republik rusia. B. Pertusis dan B. Parapertusis merupakan patogen
manusia tersendiri(eksklusif) (dan beberapa primata). B. Bronchiseptica merupakan patogen
binatang yang lazim. Kadang kadang laporan kasus pada manusia melibatkan stiap tempat
ditubuh dan khas terjadi pada penderita terganggu imun atau anak muda yang terpajan secara
tidak biasa pada binatang. Batuk yang tidak sembuh dapat disebabkan oleh mycoplasma.
virus parainfluenza atau influenza, enterovirus, virus sinsitial respiratori, atau adeno virus.
Tidak ada yang merupakan penyebab pertusis yang penting.
2.3 Patofisiologi
Bordella merupakan kokobasili gram negatif yang sangat kecil yang tumbuh secara aerobik
pada agar darah tepung atau media sintetik keseluruhan dengan faktor pertumbuhan dengan
faktor tikotinamid, asam amino untuk energi dan arang atau resin siklodekstrin untuk
menyerap bahan-bahan berbahaya.
Bordella pertusis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak darinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan
aerosol, hemaglutinin felamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan Fim3),
dan protein permukaan nonfibria 69kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk
perlekatan terhadap sel epitel bersilia saluran pernafasan. Sitotoksin trakhea, adenilat siklase,
dan TP tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakhea, faktor
demonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara dominan, menyebabkan cedera epitel lokal
yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. TP terbukti
mempunyai banyak aktivitas biologis (misal, sensitivitas histamin, sekresi insulin, disfungsi
leukosit). Beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan
limfositisis segera pada binatang percobaan dengan pengembalian limfosit agar tetap dalam
sirkulasi darah. TP tampak memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam
patogenesis.

2.4 Manifestasi Klinis


Masa tunas rata-rata pertusis adalah 7-14 hari dan
Gejala-gejala sistemis pada umumnya terbagi dalam 3 stadium :
1. Stadium Kataralis ( 1-2 minggu atau lebih )
Tanda / gejala :
- Gejala infeksi saluran nafas bagian atas dengan timbulnya rinore.
- Batuk dan panas yang ringan.
- Anoreksia.
- Batuk timbul mula-mula malam, siang dan menjadi semakin berat.
- Sekret banyak dan kental.
- Konjungtiva kemerahan.
Pada stadium ini biasanya tidak dipikirkan diagnosis pertusis karena sering tidak dapat
dibedakan dengan penyakit influenza.
2. Stadium Spasmodik ( 2-4 minggu atau lebih )
Tanda / gejala :
- Batuk hebat di tandai dengan whoop ( tarikan nafas panjang dan dalam, berbunyi
melengking ).
- Batuk 5-10 kali per hari atau 10-20 kali per hari.
- Selama serangan muka menjadi merah atau sianosis, mata tampak menonjol, lidah
menjulur keluar.
- Tampak gelisah dan berkeringat.
- Dapat terjadi perdarahan subkonjungtiva dan epistsksis.
- Akhir serangan sering kali memuntahkan lendir atau sputum kental.
- Pada serangan batuk, nampak pelebaran pambuluh darah muka dan leher.
- Selama serangan, dapat sampai keluar kencing.
- Sesudah serangan, anak terbaring kelelahan dan sesak nafas.
Pada bayi dibawah umur 3 bulan, paroksimalitas dapat disertai atau berakhir dengan apnea
dan juga dapat terjadi aspiksia yang berakibat fatal.

3. Stadium Konvalesensi ( 2 minggu )


Tanda / gejala :
- Berhentinya whoop dan muntah-muntah.
- Puncak serangan paroksimal berangsur-angsur menurun.
- Batuk masih menetap untuk beberapa waktu dan akan hilang sekitar 2-3 minggu.
- Ronki difus pada stadium spasmodik mulai menghilang.
- Infeksi semacam “commond cold“ dapat menimbulkan serangan.

2.5 Komplikasi
1. Alat Pernafasan
Bronchitis, atelektasis yang disebabkan sumbatan mucus, emfissema, bronkiektasis dan
bronkopneumonia yang disebabkan infeksi sekunder, misalnya karena streptokokkus
hemolitik, pneumukokkus, stafilokokkus, dll.
2. Saluran Pencernaan
Muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolaps rectum atau hernia, ulkus
pada ujung lidah dan stomatitis.
3. Sistem Saraf Pusat
Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah-muntah.
Kejang berat bisa terjadi karena penyebab anoksia. Kadang-kadang terdapat kongesti dan
edema otak, serta dapat pula terjadi perdarahan otak

2.6 Pemeriksaan Laboratorium


a. Laboratorium : LED dan leukosit meningkat.
Pada stadium kataralis dan permulaan stadium plasmodik jumlah leukosit meningkat antara
15.000 - 45.000 per mm3 dengan limfositosis. Diagnosis dapat diperkuat dengan mengisolasi
kuman dari sekresi jalan nafas yang dikeluarkan pada waktu batuk.
b. Foto thorax, CT Scan.
c. Periksa sputum.

2.7 Penatalaksanan Medis


1. Antibiotik
a. Eritromisin dengan dosis 50 mg / kg BB / hari dibagi dalam 4 dosis. Obat ini
menghilangkan B. Pertussis dari nasofaring dalam 2-7 hari ( rata-rata 3-6 hari ) dan dengan
demikian memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi. Eritromisin juga menggugurkan
atau menyembuhkan pertussis bila diberikan dalam stadium kataral, mecegah dan
menyembuhkan pneumonia dan oleh karena itu sangat penting dalam pengobatan pertusis
khususnya pada bayi muda.
b. Ampisilin dengan dosis 100 mg / kg BB / hari, dibagi dalam 4 dosis.
c. Lain-lain : Rovamisin, kotrimoksazol, klorampenikol dan tetrasiklin.
2. Ekspektoran dan mukolitik.
3. Kodein diberikan bila terdapat batuk-batuk yang hebat sekali.
4. Luminal sebagai sedative

2.8 Penatalaksanaan Keperawatan


1. Pembersihan jalan nafas.
2. Pemberian oksigen terutama pada serangan batuk yang hebat yang disertai sianosis.
3. Pemberian makanan dan obat.
Hindari makanan yang sulit ditelan dan makanan bentuk cair.
4. Pemberian terapi suportif.
a. Dengan memberikan lingkungan perawatan yang tenang,atasi dehidrasi berikan nutrisi.
b. Bila pasien muntah-muntah sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit secara parenteral

2.9 Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan secara aktif dan secarapasif:
a. Secara aktif
1. Dengan pemberian imunisasi DTP dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan(DTP tidak
boleh dibrikan sebelum umur 6 minggu)dengan jarak 4-8 minggu. DTP-1 deberikan pada
umur 2 bulan,DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTp-3 pada umur 6 bulan. Ulangan DTP
selanjutnya diberikan 1 tahun setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan,DTP-5 pada saat
masuk sekolah umur 5 tahun. Pada umur 5 tahun harus diberikan penguat ulangan DTP.
Untuk meningkatkan cakupan imunisasi ulangan,vaksinasi DTP diberika pada awal sekolah
dasar dalam program bulan imunisasi anak sekolah(BIAS).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa vaksinasi pertusis sudah dapat diberikan pada umur 1
bulan dengan hasil yang baik sedangkan waktu epidemi dapat diberikan lebih awal lagi pada
umur 2-4 minggu.
Kontra indikasi pemberian vaksin pertusis :
1. Panas yang lebih dari 38 derajat celcius
2. Riwayat kejang
3. Reaksi berlebihan setelah imunisasi DTP sebelumnya, misalnya suhu tinggi dengan
kejang, penurunan kesadaran, syok atau reaksi anafilaktik lainnya.
2. Perawat sebagai edukator
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat khususnya kepada orang tua yang mempunyai
bayi tentang bahaya pertusis dan manfaat imunisasi bagi bayi.
b. Secara pasif
Secara pasif pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan kemopropilaksis. Ternyata
eritromisin dapat mencegah terjadinya pertussis untuk sementara waktu.
2.10 Manajemen Diet
a. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake zat besi (Fe)
b. Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
c. Berikan substansi gula
d. Makanan yang mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi seperti sayuran
BAB III
ASKEP PERTUSIS

3.1 Pengkajian
1. Identitas pasien : TN ”A”
2. Keluhan utama
Antara lain : Batuk terus menerus, batuk berat, kering dan keras, sulit makan atau anorexia,
muntah-muntah, suhu meninggi, gelisah, gangguan pada waktu bernafas serta berkeringat
terus menerus.
3. Riwayat penyakit
- Riwayat 1 – 2 minggu gejala infeksi saluran nafas bagian atas (ISPA) (bagian kataral).
- Memburuknya batuk pada episode spasmodik diikuti dengan muntah (pada tahap
paroksismal).
- Frekuensi batuk meningkat sampai beberapa kali dalam 1 jam.
- Batuk diikuti dengan muntah dengan mukus kental.
- Derajat distres penafasan selama spasme, terutama perubahan warna selama spasme
(wajah marah terang atau sianotik).
a. Riwayat penyakit sekarang, kapan dirasakan, bagaiman sifat keluhan, berapa lama
keluhan dirasakan dan tindakan apa saja yang sudah dilakukan untuk mengatasinya.
b. Riwayat penyakit dahulu, apaka dulu pernah mengalami hal yang serupa.
c. Riwayat penyakit keluarga, apakah ada keluarga yang menderita penyakit yag sama,
penyakit epilepsi atau penyakit susunan saraf pusat.
4. Pemeriksaan fisik
- Inspeksi
Muka pasien menjadi merah, mata tampak menonjol keluar, wajah cemas, gelisah.
- Palpasi
Suhu tubuh meningkat, ekspansi toraks.
- Perkusi
Resonan atau hiperresonan.
- Auskultasi
Terdengar ronki luas dan krepitasi kasar.
5. Data penunjang
a. Laboratorium : LED dan leukosit meningkat.
b. Foto thorax, CT Scan.
c. Periksa sputum.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Pola pernafasan tidak efektif berhubungan dengan proses inflamasi.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret.
3. Pertukaran gas, kerusakan berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan
nafas)
4. Nutrisi, perubahan kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual/muntah.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidaknyamanan ditandai dengan batuk
berlebih dimalam hari.
6. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan gastrik
berlebihan : muntah.

3.3 Intervensi Keperawatan


1. Pola pernafasan tidak efektif berhubungan dengan proses inflamasi.
Kriteria hasil : menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman
dalam rentang normal dan paru jelas/bersih
Intervensi :
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada. catat upaya pernafasan
termasuk penggunaan otot bantu/pelebaran nasal
Rasional : kecepatan biasanya meningkat. Dispneadan terjadi peningkatan kerja
napas, kedalaman pernapasan bervariasi tergantung derajat gagal napas.
2. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas adventisius, seperti krekels, mengi,
geseka, pleural.
Rasional : bunyi napas menurun/tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder
terhadap perdarahan, bekuan atau kolaps jalan napas kecil (atelektasis). Ronki dan mengi
menyertai obstruksi jalan napas/kegagalan pernapasan.
3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun tempat tidur dan
embulasi sesegera mungkin.
Rasional : Duduk tinggi kemungkinan ekspansi paru dan ambulasi meningkatkan
pengisiian udara segmen paru berbeda sehingga memperbaiki difusi gas.
4. Observasi pola batuk dan karakter sekret
Rasional : Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering/iritasi. Sputum
berdarah dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan atau anti koagulan berlebihan
5. Bantu pasien dalam nafas dalam dan latihan batuk
Rasional : Perasaan takut dan ansietas berat berhubungan dengan
ketidakmampuan bernapas /terjadinya hipoksemia dan dapat secara aktual meningkatkan
konsumsi oksigen.
6. Berikan oksigen tambahan
Rasional : memaksimalkan bernapas dan menurunkan kerja napas
7. Bantu fisioterapi dada
Rasional : memudahkan upaya pernapasan dalam dan meningkatkan drainase
sekret dari segmen paru kedalam bronkus, dimana dapat lebih mempercepat pembuangan
dengan batuk / penghisapan.

2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret.
Kriteria hasil : mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih.
Intervensi:
1. Auskultasi bunyi napas. Catat adanya bunyi napas. Misalnya mengi, kreket, ronkhi.
Rasional : beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas
dan dapat dimanifestasikan adanya bunyi napas adventisisus. Mis, bronkitis
2. Pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi/ekspirasi
Rasional : takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada
penerimaan atau selama stres/adanya proses infeksi akut.
3. Catat adanya dispnea, misalnya, gelisah, ansietas, distres pernafasan.
Rasional : disfungsi pernafasan adalah variabel yang tergantung pada tahap
proses kronis selain proses akut yang menimbulkan perawatan dirumah sakit.
4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman. Mis, peninggian kepala tempat tidur, duduk pada
sandaran tempat tidur.
Rasional : peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan
dengan menggunakan gravitasi. Pasien akan mencari posisi yang nyaman untuk bernapas.
5. Pertahankan polusi lingkungan minimum. Mis, debu, asap, dan bulu bantal yang
berhubungan dengan kondisi individu.
Rasional : debu, asap jika masuk paru-paru memproteksi terhadap benda asing
yang masuk sehinggan akan mengakibatkan sulit ekspirasi.
6. Bantu latihan napas abdomen atau bibir.
Rasional : memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol
dispnea.
3. Pertukaran gas, kerusakan berhubunga dengan gangguan suplai oksigen (obstruksi
jalan nafas)
Kriteria hasil : menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat
dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distres pernafasan.
Intervensi:
1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesoris.
Rasional : berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan.
2. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk
bernafas.
Rasional : pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan
latihan napas untuk menurunkan kolabs jalan napas, dispnea, dan kerja napas.
3. Dorong mengeluarkan sputum; penghisapan bila diindikasikan.
Rasional : kental, tebal dan banyaknya sekresi adalah sumber utama gangguan
pertukaran gas pada jalan napas kecil.
4. Auskultasi bunyi napas, catat area penurunan aliran udara dan bunyi tambahan.
Rasional : bunyi napas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau
konsolidasi. Adanya mengi mengindikasikan spasme bronkus atau tertahannya sekret.
5. Awasi tingkat kesadaran/status mental. Selidiki adanya perubahan.
Rsional : gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.
6. Evaluasi tingkat toleransi aktivitas.
Rasional : selama distres pernapasan berat/akut pasien secara total tak mampu
melakukan aktivitas sehari-hari karena hipoksemia dan dispnea.

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,


mual/muntah.
Kriteria hasil : menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat.
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini.
Rasional : pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena dispnea,
produksi sputum dan obat.
2. Berikan perawatan oral sering, buang sekret.
Rasional : rasa tak enak, bau dan penampilan adalah pencegah utama terhadap napsu makan
dan dapat membuat mual dan muntah dengan peningkatan kesulitan napas.
3. Hindari makanan penghasil gas dan karbohidrat.
Rasional : dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu napas
abdomen dan gerakan diafragma dan dapat meningkatkan dispnea.
4. Hindari makanan yang sangat dingin atau sangat panas.
Rasional : suhu ekstrim dapat mencetuskan / meningkatkan spasme batuk
5. Konsultasi dengan ahli gizi untuk memberikan makanan yang mudah cerna, secara
nutrisi seimbang. Mis, nutrisi tambahan oral/selang, nutrisi parenteral.
Rasional : metode makan dan kebutuhan akan kalori didasarkan pada
situasi/kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi maksimal dengan upaya minimal
pasien/penggunaan energi.
6. Kaji pemeriksaan laboratorium. Mis, albumin serum, profil asam amino, besi, glukosa.
Rasional : mengefaluasi/mengatasi kekurangan dan mengawasi keefektifan terapi
nutrisi.
7. Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
Rasional : menurunkan dispnea dan meningkatkan energi untuk makan.

5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidaknyamanan ditandai dengan batuk


berlebih dimalam hari.
Kriteria hasil : melaporkan atau menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas
yang dapat diukur dengan tak adanya dipsnea, kelemahan berlebihan, dan tanda vital dalam
rentang normal.
Intervensi:
1. evaluasi respon pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dipsnea, peningkatan
kelemahan/kelelahan dan perubahan tanda vital selama dan setelah aktivitas.
Rasional : menetapkan kemampuan atau kebutuhan pasien dan memudahkan
pilihan intervensi.
2. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi.
Dorong penggunaan manajemen stres dan pengalih yang tepat.
Rasional : menurunkan stres dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat.
3. Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan
aktivitas dan istirahat.
Rasional : tirah baring dipertahankan selama fase akutuntuk menurunkan
kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan. Pembatasan aktivitas
ditentukan dengan respon individual pasien terhadap aktivitas dan perbaikan kegagalan
pernapasan.
4. Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat dan atau tidur.
Rasional : pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di kursi, atau
menunduk ke depan meja atau bantal.
5. Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan aktivitas
selama fase penyembuhan.
Rasional : meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplay dan
kebutuhan oksigen.

6. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan


berlebihan : muntah.
Kriteria hasil : mendemonstrasikan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil,
turgor kulit, membran mukosa lembab.
Intervensi :
1. Dapatkan riwayat pasien/orang terdekat sehubungan dengan lamanya/ intensitas dari
gejala seperti muntah yang berlebihan.
Rasional : membantu dalam memperkirakan kekurangan volume total. Tanda dan
gejala mungkin sudah ada dalam waktu sebelumnya.
2. Kaji nadi periferpengisisan kapiler turgor kulit dan membran mukosa.
Rasional : merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau volume sirkulasi yang
adekuat.
3. Catat laporan mual/muntah
Rasional : adanya gejala ini menurunkan masukan oral.
4. Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan.
Rasional : pada adanya penurunan masukan /banyak kehilangan, pengurangan
parenteral dapat memperbaiki/mencegah kekurangan.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh bordetella pertusis
terutama terjadi pada anak-anak usia 4 tahun yang tidak diimunisasi.(american academy of
pediatric,2006) Pertusis sering dikenal dengan sebutan batuk rejan atau batuk anjing.
Pertusis biasanya disebabkan oleh Bordetella Pertusis (Hemophilus Pertusis). Bordetella
Pertusis adalah suatu kuman tidak bergerak, gram negative, dan didapatkan dengan cara
melakukan pengambilan usapan pada daerah nasofaring pasien pertusis.

4.2 Saran
Bayi sangat rentan terhadap infeksi pertusis, oleh karena itu dianjurkan pemberian vaksin
DTP pada usia 2, 4, dan 6 bulan sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi untuk
mencegah infeksi yang berat. Vaksin booster dianjurkan pada usia 4 tahun dan 15 tahun
karena imunisasi dasar pertusis tidak memberi kekebalan permanen. Selain itu bila ada
kontak erat dengan penderita pertusis perlu diberikan profilaksis eritromisin dan isolirkan
penderita, jika tidak mungkin memutus kontak, maka perlu diberi eritromisin profilaksis
hingga batuk berhenti.

DAFTAR PUSTAKA

Behram, klieman & Nelson. 2000. ”Ilmu kesehatan anak”. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
Wilson,Hockenberry.” Wong’s, nursing care of infants and children jilid 2”.Canada: Evolve
Marlyn E. Doenges,dkk.2000.”Rencana Asuhan Keperawatan”. Jakarta : EGC
Hadinegoro Sri Rejeki.2011.”Panduan Imunisasi Anak Edisi1”. Jakarta : IKD
dr T.H Rampengan,Dsak.1997.”Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak Cetakan Ke III”.Jakarta :
EGC

You might also like