Professional Documents
Culture Documents
DI SUSUN OLEH :
RAUDATUL JANNAH
NIM : 032001D15093
2.1.1. Definisi
Gastritis adalah inflamasi dari mukosa lambung (Mansjoer dkk, 2011), sedangkan
menurut (Wijaya dan Yessie, 2013) Gastritis adalah peradangan lokal atau menyebar pada
mukosa lambung, yang berkembang bila mekanisme protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri
atau bahan iritan lain.
Gastritis adalah suatu peradangan permukaan mukosa lambung yang bersifat akut,
dengan kerusakan “Erosive” karena hanya pada bagian mukosa (Inaya, 2014).
Gastritis merupakan suatu peradangan mukosa lambung yang bersifat akut, kronik difus
atau lokal, dengan karakteristik anoreksia, perasaan penuh di perut (begah), tidak nyaman pada
epigastrium, mual, dan muntah (Ardiansyah, 2010).
Dari beberapa pengertian diatas dapat di simpulkan Gastritis adalah suatu peradangan
mukosa lambung yang dapat bersifat akut, kronik, diffus atau lokal dengan kerusakan “ Erosive”
karena permukaan hanya pada bagian mukosa.
Lambung terletak di bagian superior kiri rongga abdomen. Posisi organ ini agak
miring/menyilang dari kiri ke kanan di bawah diafragma, berbentuk tabung seperti huruf j
dengan kapasitas normal dua liter. Secara anatomis, lambung terdiri dari fundus, korpus, antrum
pilorikum (pylorus), kurvatura mayor, kurvatura minor, spinker cardia (mengalirkan makanan
masuk ke lambung dan mencegah reflukter pylorus (mencegah aliran balik isi duodenum ke
lambung).
Struktur lambung memiliki beberapa lapisan. Susunan lapisan dari dalam keluar, terdiri
dari:
2) Tunika mukosa, terdiri dari tiga lapis otot polos yaitu lapisan longitudinal (bagian luar), lapisan
sirkuler (bagian tengah), dan lapisan obliq (bagian dalam). Lapisan yang beragam ini
memungkinkan makanan di pecah menjadi partikel yang lebih kecil di samping mengaduk,
mencampur, dan mengalirkan makanan masuk ke duodenum.
3) Submukosa, merupakan lapisan yang menghubungkan mukosa (selaput lendir) dengan lapisan
mukularis serta mengandung jaringan areolar longgar, fleksus saraf, pembuluh darah, dan saluran
limfe.
4) Mukosa (lapisan dalam), terdiri dari rugae (dinding organ yang berlipat-lipat) sehingga
lambung dapat berdistensi (mengembung). Di dalam mukosa ini terdapat tiga kelenjar, yaitu:
(a) Kelenjar kardia yang berfungsi untuk mensekresi mucus (lendir yang dihasilkan mukosa).
(b) Kelenjar fundus yang memiliki sel utama, yaitu sel zimogenik (sel kepala untuk mensekresi
pepsinogen menjadi pepsin), sel parietal (mensekresi HCI dan faktor intrinsik), dan sel leher
mukosa (mensekresi barier mucus dan melindungi lapisan lambung terhadap kerusakan oleh HCI
atau autodigesti).
(c) Kelenjar gastric yang mengandung sel G dan terdapat di daerah pylorus. Sel G memproduksi
HCI, pepsinogen, dan substansi lain, serta mengeksresikan enzim dan elektrolit (ion Na, kalium,
dan klorida).
b. Fisiologi
1) Menampung makanan, memnghancurkan, menghaluskan makanan dengan gerakan peristaltic
lambung dan getah lambung, serta mengosongkan lambung. Fungsi menampung dari organ ini
dipengaruhi pleh nervus vagus dan dirangsang oleh gastrin. Gerakan peristaltic diatur oleh
konduktivitas listrik intrinsic, sedangkan pengosongan lambung dipengaruhi oleh faktor saraf
dan hormonal (cholecystokinin).
2) Menghasilkan getah cerna lambung yang mengandung pepsin (berfungsi memecah albumin dan
pepton menjadi asam amino) serta HCI (yang berfungsi mengasamkan makanan, zat antiseptic,
dan desinfektan, dan mengubah pepesinogen menjadi pepsin, serta merangsang pengeluaran
empedu di usus dan mengatur katup spinker pylorus).
3) Memproduksi renin.
4) Mensintesis dan mensekresi gastrin. Gastrin berperan penting dalam merangsang sekresi asam
dan pepsin, faktor intrinsik yang membantu absobsi vitamin B12, enzim pankreas, peningkatan
aliran darah, serta menghambat pengosongan lambung untuk mencampur seluruh isi lambung
sebelum masuk ke duodenum.
Gerakan lambung terdiri dari gerakan mencampur dan gerakan peristaltik. Derajat
kontraksi pylorus dapat dihambat/ditingkatkan oleh pengaruh sinyal saraf dan hormonal dari
lambung dan duodenum. Hormon yang berpengaruh pada peristaltik adalah gastrin dan
cholesistokinin kinase (Ardiansyah, 2012).
2.1.3. Etiologi
Menurut Muttaqin dan Sari (2011), mengatakan Etiologi dari gastritis ini adalah sebagai
berikut:
6. Setres fisik yang disebabkan oleh luka bakar sepsis, trauma, pembedahan, gagal pernapasan,
gagal ginjal, kerusakan susunan saraf pusat, dan refluks usus-lambung.
7. Iskemia, hal ini berhubungan dengan akibat penurunan aliran darah ke lambung.
8. Trauma langsung lambung, berhubungan dengan keseimbangan antara agresi dan mekanisme
pertahanan untuk menjaga integritas mukosa, yang menimbulkan respons peradangan pada
mukosa lambung.
Menurut Rendy dan Margareth (2012) penyebab dari gastritis di bagi menjadi dua
yaitu:
1. Gastritis akut
a. Pemakaian sering obat-obatan NSAID seperti aspirin yang tanpa pelindung selaput enterik
b. Peminum alcohol
c. Perokok berat
2. Gatritis kronik
2.1.4. Patofisiologi
Lambung adalah sebuah kantong otot yang kosong, terletak dibagian kiri atas perut tepat
dibawah tulang iga. Lambung orang dewasa memiliki panjang berkisar antara 10 inci dan dapat
mengembang untuk menampung makanan atau minuman sebanyak 1 galon. Bila lambung dalam
keadaan kosong, maka ia akan melipat mirip seperti sebuah akordion. Ketika lambung mulai
terisi dan dan mengembang, lipatan-lipatan tersebut secara bertahap membuka.
Ketika terjadi proses gastritis perjalanannya adalah sebagai berikut ini lambung yang
terkena paparan baik oleh bakteri, obat-obatan anti nyeri yang berlebihan, infeksi bakteri atau
virus, maka hal tersebut akan merusak epitel-epitel sawar pada lambung. Ketika asam berdifusi
ke mukosa, dengan keadaan epitel sawar yang dihancurkan tadi akan terjadi penghancuran sel
mukosa. Dengan sel mukosa yang hancur ini mengakibatkan fungsi dari mukosa tidak berfungsi
yang akhirnya asam tidak bisa di control sehingga terjadi peningkatan asam hidroklorida di
lambung dan ketika mengenal di dinding lambung akan menimbulkan nyeri lambung (perih)
karena dinding lambung yang inflamasi tersebut, masalah keperawatan yang muncul adalah nyeri
akut.
Dalam penghancuran sel mukosa tadi oleh asam maka mengakibatkan peningkatan
histamine sehingga meningkatkan permeabilitas terhadap protein meningkat kemudian plasma
bocor ke intestinum terjadi edema dan akhirnya plasma bocor ke dalam lambung sehingga terjadi
perdarahan (Sarif, 2012).
2.1.5. Klasifikasi
Menurut Sharif (2012), Gastritis dibagi menjadi 2 jenis yaitu:
1. Gastritis akut
Gastritis akut adalah proses peradangan jangan pendek dengan konsumsi agen kimia atau
makanan mengganggu dan merusak mucosa gastrik.
2. Gastritis kronis
Gastritis kronis dibagi dalam tipe A dan B. gastritis tipe A mampu menghasilkan imun sendiri,
tipe ini dikaitkan dengan atropi dari kelenjar lambung dan penurunan mucosa. Penurunan pada
sekresi gastrik mempengaruhi produksi antibody. Anemia Pernisiosa berkembang dengan proses
ini. Sedangkan gastritis tipe B lebih lazim, tipe ini dikaitkan dengan infeksi bakteri helocobakter
pylori, yang menimbulkan ulkus pada dinding lambung.
Menurut Sujamsuhhidajat dan Jong (2005), manifestasi gastritis terbagi menjadi 2 yaitu:
d. Dengan endoskopi terlihat mukosa lambung hyperemia dan udem, mungkin juga ditemukan
perdarahan aktif.
c. Anemia pernisiosa
d. Karsinoma lambung
a. Keluhan dapat bervariasi, kadang tidak ada keluhan tertentu sebelumnya dan sebagiab besar
hanya mengeluh nyeri epigastrium yang tidak hebat
c. Anoreksia
(2) Pendarahan
(3) Vomitus
(4) Hematemisis
b. Anoreksia
e. Keluhan-keluhan anemia
2.1.7. Komplikasi
Jika diibaratkan tidak terawat gastritis akan dapat mengakibatkan Peptic Ulcers dan
mengakibatkan resiko kanker lambung, terutama jika terjadi penipisan secara terus menerus pada
dinding lambung dan perubahan pada sel-sel dinding lambung.
Sedangkan menurut Wijaya dan Yessie (2013), Komplikasi gastritis adalah: Perdarahan
saluran cerna, Ulkus, Perforasi (jarang terjadi).
Selain itu juga menurut Mansjoer dkk (2001) komplikasi gastritis yaitu:
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) berupa hematemesis dan melena, dapat berakhir
sebagai syok hemoragik. Khusus untuk perdarahan SCBA, perlu dibedakan dengan tukak peptik.
Gambaran kelinis yang diperlihatkan hampir sama. Namun pada tukak peptik penyebab
utamanya adalah infeksi Helicobacteri pylori, sebab 100% pada tukak duodenum dan 60-90%
pada tukak lambung. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan sebagai sitoprotektor, berupa
sukralfat dan prostaglandin.
Perdarahan saluran cerna bagian atas, ulkus, perforasi, dan anemia karena gangguan absorpsi
vitamin B12.
2. Pemeriksaan serum vitamin B12, yang bertujuan untuk mengetahui adanya defisiensi B12.
3. Analis feses, yang bertujuan untuk mengetahui adanya darah dalam feses.
7. Endoscopy, biopsy dan pemeriksaan urine biasanya dilakukan bilaa ada kecurigaan
berkembangnya ulkus peptikum.
8. Sitologi bertujuan untuk mengetahui adanya keganasan sel lambung (Adriansyah, 2012).
2.1.9. Penatalaksanaan
1. Gastritis Akut
b. Bila pasien mampu makan melalui mulut, diet mengandung gizi dianjur kan.
d. Bila gastritis diakibatkan oleh mencerna makanan yang sangat asam atau alkali, pengobatan
terdiri dari pengenceran dan penetralisiran agen penyebab.
Terapi pendukung mencakup intubasi, analgesik dan sedatif, antasida, serta cairan
intravena. Endoskopi fiberoptik mungkin diperlukan. Pembedahan darurat mungkin diperlukan
untuk mengangkat gangren atau jaringan perforasi.
2. Gastritis Kronis
b. Meningkatkan istirahat.
c. Mengurangi setres.
2.2.1. Pengkajian
a. Biodata
Pada biodata, bisa diperoleh data tentang nama, umur, jenis kelamin tempat tinggal
pekerjaan, pendidikan, dan status perkawinan.
b. Keluhan Utama
Selama mengumpulkan riwayat, perawat menanyakan tentang tanda dan gejala pada
pasien. Kaji, apakah pasien mengalami nyeri ulu hati, tidak dapat makan, mual, atau muntah?
Kaji, apakah gejala terjadi pada waktu-waktu tertentu saja, seperti sebelum atau sesudah
makan, setelah mencerna makanan pedas atau pengiritasi, atau setelah mencerna obat tertentu
atau alkohol?
Kaji riwayat keluarga yang mengonsumsi alkohol, mengidap gastritis, kelebihan diet, atau
diet sembarangan. Riwayat diet, ditambah jenis diet yang baru dimakan selama 72 jam, juga
akan membantu dalam melakukan diagnosis.
e. Pemeriksaan Fisik
3. Kardiovaskuler: hipotensi, takikardia, disritmia, nadi perifer lemah, pengisian kapiler lambat
(vasokontriksi), warna kulit pucat, sianosis, dan kuliit/ membrane mukosa berkeringat (status
shock, nyeri akut).
4. Persarafan: sakit kepala, kelemahan, tingkat kesadaran dapat terganggu,
disorientasi/bingung,dan nyeri epigastrium.
5. Pencernaan: anoreksia, mual, muntah oleh karena luka duodenal, nyeri pada ulu hati, tidak
toleran terhadap makanan (cokelat dan makanan pedas), dan membrane mukosa kering.
f. Faktor Pencetus
2. Kondisi psikologis.
4. Integritas ego, yaitu faktor stress akut, kronis, dan perasaan tidak berdaya (Adriansyah, 2012).
Diagnosa keperawatan menurut Muttaqin dan Sari (2011), yang dapat ditegakkan
berdasarkan tinjauan teori pada:
a. Gastritis Akut
2) Risiko ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak
adekuatan intake nutrisi sekunder akibat nyeri, ketidak nyamanan lambung dan intestinal.
3) Risiko ketidak seimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan keluarnya cairan dari
muntah yang berlebihan.
2. Risiko ketidak seimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan keluarnya cairan dari
muntah yang berlebihan.
3. Ketidak seimbangan nutrisi berhubungan dengan intake tidak adekuat sekunder akibat mual,
muntah, dan anoreksia.
2.2.3. Intervensi
Intervensi
1) Instirahat secara fisiologis akan menurunkan oksigen yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan meta bolisme basal.
2) Meningkatkan intake oksigen sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dari iskemia intestinal.
5) Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan dan dukungan psikologis dapat
membantu menurunkan nyeri.
b. Risiko ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidak
adekuatan intake nutrisi sekunder akibat nyeri, ketidak nyamanan lambung dan intestinal.
Intervensi
2) Mulai dengan makanan kecil dan tingkatkan sesuai dengan toleransi. Catat tanda kepenuhan
gaster, regurgitasi, dan diare.
3) Berikan diet nutrisi seimbang (misalnya: semi kental atau makanan halus) atau makanan selang
(contoh: makanan dihancurkan atau sediaan yang dijual) sesuai indikasi.
4) Fasilitasi pasien memperoleh diet sesuai indikasi dan anjurkan menghindari paparan dari agen
iritan.
1) Dengan mengetahui tingkat pengetahuan tersebut, perawat dapat lebih terarah dalam
memberikan pendidikan kesehatan yang sesuai dengan pengetahuan pasien secara efektif dan
efisien.
3) Macam-macam jenis makanan dapat dibuat untuk tambahan atau batasan faktor tertentu, seperti
lemak dan gula atau memberikan makanan yang disediakan pasien.
4) Konsumsi minuman yang mengandung kafein perlu dihindari karena kafein adalah stimulant
system saraf pusat yang dapat meningkatkan aktifitas lambung serta sekresi pepsin. Konsumsi
alcohol harus dihentikan, demikian juga dengan rokok karena nikotin akan mengurangi sekresi
bikarbonat pankreas sehingga akan menghambat netralisasi asam lambung dalam duodenum.
5) Pemberian rutin tiga kali sehari ditunjang dengan pemberian reseptor penghambat H2 memiliki
arti peningkatan efisiensi. Hal lain dengan pemberian diet makanan secara rutin akan
memberikan kondisi normal terhadap fungsi gastrointestinal.
6) Nutrisi secara intravena dapat membantu memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh
pasien untuk mempertahankan kebutuhan nutrisi harian.
c. Risiko ketidak seimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan keluarnya cairan dari
muntah yang berlebihan.
Intervensi
1) Monitor status cairan (turgor kulit, membran mukosa, dan urine output).
Rasionalisasi
1) Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya produksi urine. Produksi urine <600
ml/hari merupakan tanda-tanda terjadinya syok hipovolemik.
2) Kehilangan cairan dari muntah dapat disertai dengan keluarnya natrium melalui oral yang juga
akan meningkatkan risiko gangguan elektrolit.
3) Hipotensi dapat terjadi pada kondisi hipovolemia. Hal tersebut menunjukkan manifestasi
terlibatnya sistem kardiovaskuler untuk melakukan kompensasi mempertahankan tekanan darah.
5) Jalur yang paten penting untuk pemberian cairan cepat dan memudahkan perawat dalam
melakukan control intake dan output cairan.
Intervensi
1) Monitor respon fisik, seperti kelemahan, perubahan tanda vital, serta gerakan yang berulang-
ulang: catat kesesuaian respons verbal dan nonverbal selama komunikasi.
2) Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengungkapkan dan mengekspresikan rasa takutnya.
3) Catat reaksi dari pasien atau keluarga, berikan kesempatan untuk mendiskusikan perasaan/
konsentrasinya, serta harapan masa depan.
2) Memberikan kesempatan untuk berkonsentrasi, kejelasan dari rasa takut, dan mengurangi cemas
yang berlebihan.
3) Respons dan kecemasan anggota keluarga terhadap apa yang terjadi, dapat disampaikan kepada
perawat.
4) Sejumlah aktivitas atau keterampilan dapat menurunkan tingkat kebosanan yang dapat menjadi
stimulus kecemasan.
Intervensi
1) Kaji kemampuan pasien untuk mengikuti pembelajaran (tingkat kecemasan, kelelahan umum,
pengetahuan pasien sebelumnya, dan suasana yang tepat).
2) Jelaskan tentang proses terjadinya gastritis akut sampai menimbulkan keluhan pada pasien.
Rasionalisasi
1) Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik, emosional, dan lingkungan
yang kondusif.
2) Pengetahuan pasien tentang gastritis dievaluasi sehingga rencana penyuluhan dapat bersifat
individu. Diet diberikan dan disesuaikan dengan jumlah kebutuhan kalori harian, makanan yang
disukai, serta pola makan.
3) Meningkatkan partisipasi pasien dalam program pengobatan dari mencegah klien untuk kontak
kembali dengan agen iritan lambung.
Intervensi
5) Tingkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri
akan berlangsung.
7) Antasida.
Rasionalisasi
1) Perawat mengkaji tingkat nyeri dan kenyamanan pasien setelah penggunaan obat-obatan dan
menghindari zat pengiritasi.
2) Istirahat secara fisiologi akan menurunkan kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan metabolism basal.
3) Distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus internal.
4) Dengan menghindari makanan dari minuman yang mengiritasi mukosa lambung, maka dapat
menurunkan intensitas nyeri.
5) Penegtahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya dan dapat membantu
mengembangkan kepatuhan pasien terhadap rencana terapeutik.
b. Risiko ketidak seimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan keluarnya cairan dari
muntah yang berlebihan.
Intervensi
1) Monitor status cairan (turgor kulit, membrane mukosa, dan keluaran urine).
Rasionalisasi
1) Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya produksi urine. Produksi urine <600
ml/hari merupakan tanda-tanda terjadinya syok hipovolemik.
2) Kehilangan cairan dari muntah dapat disertai dengan keluarnya natrium melalui oral yang juga
akan meningkatkan risiko gangguan elektrolit.
3) Hipotensi dapat terjadi pada kondisi hipovolemia. Hal tersebut menunjukkan manifestasi
terlibatnya sistem kardiovaskuler untuk melakukan kompensasi mempertahankan tekanan darah.
4) Intake cairan dipantau untuk mendeteksi tanda-tanda awal dehidrasi (keluaran urine minimal 30
ml/jam, masukan minimal 1,5 I/hari). Bila makanan dan minuman ditunda, maka biasanya cairan
intravena (3 I/hari) diberikan.
c. Ketidak seimbangan nutrisi berhubungan dengan intake tidak adekuat sekunder akibat mual,
muntah, dan anoreksia.
Intervensi
1) Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, berat badan dan derajat penurunan berat badan, integritas
mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat mual/muntah, dan diare.
2) Fasilitasi pasien memperoleh diet biasa yang disukai pasien (sesuai indikasi).
3) Pantau intake dan output, anjurkan untuk timbang berat badan secara periodik (seminggu
sekali).
5) Pasilitasi pasien memperoleh diet sesuai indikasi dan anjurkan menghindari paparan dari agen
iritan.
6) Kolaborasi dengan ahli diet untuk menetapkan komposisi dan jenis diet yang tepat.
Rasionalisasi
1) Memvalidasi dan menetapkan derajad masalah untuk menetapkan pilihan intervensi yang tepat.
4) Menurunkan rasa tidak enak karena sisa makanan dan bau obat yang dapat merangsang pusat
muntah.
5) Konsumsi minuman yang mengandung kafein perlu dihindari karena kafein adalah stimulant
system saraf pusat yang dapat meningkatkan aktifitas lambung serta sekresi pepsin. Konsumsi
alcohol harus dihentikan, demikian juga dengan rokok karena nikotin akan mengurangi sekresi
bikarbonat pankreas sehingga akan menghambat netralisasi asam lambung dalam duodenum.
6) Merencanakan diet dengan kandungan nutrisi yang adekuat untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan energy dan kalori sehubungan dengan status hipermetabolik pasien.
7) Meningkatkan rasa nyaman pada gastrointestinal dan meningkatkan keinginan intake nutrisi dan
cairan per oral.
Intervensi
1) Kaji kemampuan pasien untuk mengikui pembelajaran (tingkat kecemasan, kelelahan umum,
pengetahuan pasien sebelumnya, dan suasana yang tepat).
2) Jelaskan tentang proses terjadinya gastritis kronis sampai menimbulkan keluhan pada pasien.
3) Hindari dan beri daftar agen-agen iritan yang menjadi predisposisi timbulnya keluhan.
1) Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik, emosional, dan lingkungan
yang kondusif.
2) Pengetahuan pasien tentang gastritis dievaluasi sehingga rencana penyuluhan dapat bersifat
individu.
3) Pasien diberi daftar agen-agen iritan untuk dihindari (missal kafein, nikotin, bumbu pedas,
pengiritasi atau makanan yang sangat merangsang, dan alkohol).
4) Meningkatkan partisipasi pasien dalam program pengobatan dan mencegah klien untuk kontak
kembali dengan agen iritan lambung.
5) Pasien dengan anemia pernisiosa diberi instruksi tentang kebutuhan terhadap vitamin B12
jangka panjang.
Intervensi
1) Monitor respons fisik, seperti kelemmahan, perubahan tanda vital, dan gerakan yang berulang-
ulang. Catat kesesuaian respons verbal dan nonverbal selama komunikasi.
2) Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengunkapkan dan mengekspresikan rasa takutnya.
4) Anjurkan aktivitas pengalihan perhatian sesuai kemampuan individu, seperti menulis, menonton
TV, dan keterampilan tangan.
Rasionalisasi
2) Memberikan kesempatan untuk berkonsentrasi, kejelasan dari rasa takut, dan mengurangi cemas
yang berlebihan.
3) Respons dan kecemasan anggota keluarga terhadap apa yang terjadi dapat disampaikan kepada
perawat.
4) Sejumlah aktivitas atau keterampilan baik sendiri maupun dibantu selama melakukan rawat inap
dapat menurunkan tingkat kebosanan yang dapat menjadi stimulus kecemasan.
2.2.4. Implementasi
Implementasi adalah melakukan rencana tindakan untuk mengatasi masalah klien yang
mencakup melakukan, membantu atau mengarahkan kinerja aktivitas sehari-hari (Haryanto,
2007).
2.2.5. Evaluasi
Hasil yang diharapkan pada pasien Gastritis Akut setelah mendapat intervensi keperawatan
adalah sebagai berikut:
3. Informasi terpenuhi.
4. Mematuhi program pengobatan dengan memilih makanan dan minuman yang bukan bersifat
iritan, serta menggunakan obat-obatan sesuai resep.