You are on page 1of 26

Presentasi Kasus

Disusun Oleh
Erina Imronikha
1102011089

Konsulen Pembimbing
dr. Ilham Priharto sp. THT

Kepaniteraan Departemen Neurologi


RS dr. Dradjat Prawiranegara Serang
September 2015

1
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Merlina
Umur : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Kampung Suka Damai Serang
Pekerjaan : Pegawai
Tanggal masuk RS : 8 Desember 2015

ANAMNESA
Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 8 Desember 2015 pada poli THT pukul 10.15

Keluhan utama : Hidung terasa tersumbat sejak 3 bulan SMRS


Keluhan Tambahan : Nyeri atau terasa tertekan pada kedua pipi
Terasa berbau agak busuk ketika bernafas
Terasa ada yang mengalir pada tenggorokan
Batuk berdahak hijau
Demam dan sakit kepala
Nyeri pada rahang saat mengunyah

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang ke RSUD dr Draat Prawiranegara dengan keluhan hidung terasa
tersumbat sejak 3 bulan SMRS. Hidung tersumbat disertai dengan nyeri atau terasa tertekan
pada kedua pipi. Pasien mengeluh terasa agak bau busuk ketika bernapas dan ingus kental
berwarna kehijauan. Pasien juga mengatakan terdapat sesuatu yang mengalir pada
tenggorokannya. Pasien mengeluh batuk berdahak warna hijau sejak 2 bulan lalu. Pasien
mengatakan terkadang terdapat rasa nyeri pada rahang atas saat mengunyah yang menyebar
ke gigi dan gusi. Pasien terkadang mengalami demam dan sakit kepala.
Pasien mengatakan dulu sempat mempunyai gigi atas berlubang namun sudah dicabut
dan sebelah gigi yang berlubang terdapat gigi karies. Pasien menyangkal nyeri pada atas alis,
daerah diantara kedua mata maupun belakang mata. Pasien juga menyangkal riwayat trauma
maupun menghirup bahan kimia.
2
Riwayat penyakit dahulu :
 Menderita penyakit seperti ini (-)
 Obstruksi: Tumor, polip, septum deviasi (-)

 ISPA (-)

 Tonsilitis (-)

 Asma (-)

 Alergi (-)

 Gigi atas berlubang (+) sudah pernah dicabut

 Trauma (-)

 Hipertensi (-)

 Diabetes Mellitus (-)

Riwayat penyakit keluarga :


 Tidak ada keluarga yang pernah menderita penyakit seperti ini (-)
 Obstruksi: Tumor, polip, septum deviasi (-)

 ISPA (-)

 Tonsilitis (-)

 Asma (-)

 Alergi (-)

 Gigi atas berlubang (-)

 Trauma (-)

 Hipertensi (+) Bapak

 Diabetes Mellitus (-)

Riwayat alergi:
Pasien mengaku tidak alergi terhadap makanan, debu ataupun obat-obatan

Riwayat pengobatan sebelumnya :

3
Sebelum datang ke poli, pasien pernah berobat dengan membeli obat diwarung namun tidak
membaik

PEMERIKSAAN FISIK
Tanda Vital
Keadaan umum : baik
Kesadaran : komposmentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x per menit
Suhu : 36,50C
RR : 20x per menit

Status Lokalis

 Telinga
o Pemeriksaan rutin umum telinga

Bagian Dextra Sinistra


Auricula Bentuk normal, benjolan (-), Bentuk normal, benjolan (-),
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
Preauricula Tragus pain (-), fistula (-), abses Tragus pain (-), fistula (-).
(-) Abses (-)
Retroauricula Nyeri tekan (-), edema (-), Nyeri tekan (-), edema (-),
hiperemis (-) hiperemis (-)
Mastoid Nyeri tekan (-), edema (-), Nyeri tekan (-), edema (-),
hiperemis (-) hiperemis (-)
CAE Discharge (-), serumen (-), Discharge (-), serumen (-),
hiperemis (-), edema (-), corpus hiperemis (-), edema (-),
alienum (-) corpus alienum (-)
Membran timpani
-Perforasi (-) (-)
-Cone of light (+) arah jam 5 (+), arah jam 7
-Warna Putih abu-abu Putih abu-abu
-Bentuk Normal Normal

o Pemeriksaan rutin khusus telinga : tidak dilakukan

 Hidung
o Pemeriksaan rutin umum hidung

Dextra Sinistra
Bentuk Normal Normal

4
Sekret Mukopurulen Mukopurulen
terakumulasi pada terakumulasi pada
meatus media di meatus media di
sekitar ostium sinus sekitar ostium sinus
maxillaris, maxillaris,
foetor ex nasi (+) foetor ex nasi (+)
Mukosa cavum nasi Hiperemis (+) di Hiperemis (+) di
meatus media di meatus media di
sekitar ostium sinus sekitar ostium sinus
maxillaris maxillaris
edema (-) edema (-)
Konka media Hiperemis (+) Hiperemis (+)
edema (+) edema (+)
Konka inferior Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Edema (+) edema (+)
Meatus media Hiperemis (+) di Hiperemis (+) di
sekitar ostium sinus sekitar ostium sinus
maxillaris maxillaris Sekret
Sekret mukopurulen mukopurulen (+)
(+)
Meatus inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
sekret (-) sekret (-)
Septum Deviasi (-) Deviasi (-)
Massa (-) (-)

o Pemeriksaan sinus paranasal


 Proyeksi nyeri sinus paranasal

Dextra Sinistra
Infraorbita Nyeri Tekan (+) Nyeri Tekan (+)
Nyeri Ketuk (+) Nyeri Ketuk (+)
Glabela Nyeri Tekan (-) Nyeri Tekan (-)
Nyeri Ketuk (-) Nyeri Ketuk (-)
Supraorbita Nyeri Tekan (-) Nyeri Tekan (-)
Nyeri Ketuk (-) Nyeri Ketuk (-)

 Tenggorok
o Pemeriksaan rutin umum tenggorok
 Orofaring
~ Oral : dapat membuka mulut dengan baik
~ Mukosa bukal : merah muda
5
~ Ginggiva : merah muda
~ Gigi geligi : karies di gigi M2 superior dextra (+)
gangrene radix di M2 superior
dextra(+)
gigi M1 superior sinistra sudah dicabut
karies gigi pada M2 superior sinistra
gigi inferior M1 dextra berlubang
~ Lidah 2/3 anterior : merah muda
~ Arkus faring : simetris, merah muda
~ Palatum durum : merah muda
~ Palatum mole : merah muda

 Tonsil

Dextra Sinistra
Ukuran T1 T1
Kripta Tidak melebar Tidak melebar
Permukaan Rata Rata
Warna Merah muda Merah muda
Detritus (-) (-)
Fixative (-) (-)
Peritonsil Abses (-) Abses (-)
Pilar anterior Merah muda Merah muda

Dinding posterior orofaring:


Post nasal drip (+), sekret mukopurulen (+), granulasi (-), hiperemis (+)
disekitar sekret mukopurulen.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : Hemoglobin, Hematokrit, Trombosit, Leukosit, Glukosa Darah
Foto Rontgen Sinus Paranasal Waters
Kultur sensitivitas bakteri

DIAGNOSIS SEMENTARA
Sinusitis maxillaris subakut bilateral et causa odontogenik

DIAGNOSIS PASTI
Belum dapat dipastikan

PENATALAKSANAAN
a. Irigasi sinus maxillaris
b. Medika mentosa
i. Antibiotik adekuat ; Levofloxacin 1x1 tab
ii. Simptomatik: anti inflamasi (Mukostein; Rebamipide 2x1 tab),
dekongestan (Rhinos Sr; pseudoephredrine HCL + Loratadin 2x1 tab

6
c. Operasi ( jika terjadi kerusakan mukoperiosteum yang irreversible pada sinus
maxillaries, ditandai dengan irigasi sinus yang tidak berhasil)

d. Konsul ke dokter gigi

EDUKASI
1. Hindari makanan dan minuman yang dingin, pedas dan berminyak
2. Jangan sering mengucek hidung
3. Jangan terlalu sering berenang
4. Jika memiliki alergi usahakan hindari paparan dari alergen tersebut.

PROGNOSIS

Ad Vitam :Ad Bonam

Ad Fungsionam :Dubia ad Bonam

Ad Sanationam : Ad Bonam

7
Anatomi Sinus Paranasal

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3 – 4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus etmoid dan maksila telah ada sejak anak lahir, sedangkan sinus frontalis
berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8 – 10 tahun dan berasal dari bagian
posterosuperior rongga hidung. Sinus – sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada
usia antara 15 – 18 tahun.2
Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral rongga
udara hidung; jumlah, ukuran, bentuk, dan simetri bervariasi. Sinus – sinus ini membentuk
rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama sesuai : sinus maksilaris, sfenoidalis,
frontalis, dan etmoidalis. Yang terakhir biasanya berupa kelompok – kelompok sel etmoidalis
anterior dan posterior yang saling berhubungan, masing – masing kelompok bermuara ke
dalam hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami
modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga
hidung. Pada orang sehat, rongga terutama berisi udara.2

Pembagian sinus paranasalis :11


a. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6 – 8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai
ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding

8
anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding
lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah
prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilaris. Inervasi mukosa sinus
melalui cabang dari nervus maksilaris.
b. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus,
berasal dari sel – sel resessus frontal atau dari sel – sel infundibulum etmoid. Ukuran sinus
frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya
bersekat – sekat dan tepi sinus berlekuk – lekuk. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang
relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus
frontal. Resessus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.
Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri supratrochlear yang berasal
dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari arteri carotis interna. Inervasi
mukosa disuplai oleh cabang supraorbital dan supratrochlear cabang dari nervus frontalis
yang berasal dari nervus trigeminus.
c. Sinus Etmoid
Pada orang dewasa sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4,5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di
bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga – rongga, terdiri dari
sel – sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os
etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Sel – sel ini jumlahnya
bervariasi antara 4 – 17 sel (rata – rata 9 sel).
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel
– sel sinus etmoid anterior biasanya kecil – kecil dan banyak, letaknya dibawah perlekatan
konka media, sedangkan sel – sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih
sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media. Di bagian
terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resessus frontal, yang
berhubungan dengan sinus frontal. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis
berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat
tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.

9
Suplai darah berasal dari cabang nasal dari arteri sphenopalatina. Inervasi mukosa
berasal dari divisi oftalmika dan maksilaris nervus trigeminus.
d. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm
tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 – 7,5 ml.
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmikus, sedangkan arteri oftalmikus berasal
dari arteri karotis interna. Yang penting ialah arteri sphenopalatina dan ujung dari arteri
palatina mayor.
Bagian depan dan atas dari rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus
etmoid anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus
oftalmikus (nervus V – 1). Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapatkan persarafan
sensoris dari nervus maksilla melalui ganglion sphenopalatina. Ganglion sphenopalatina
disamping memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor/ otonom
pada mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut – serabut sensoris dari nervus maksila
(nervus V – 2), serabut parasimpatis dari nervus petrosis superfisialis mayor, dan serabut –
serabut simpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sphenopalatina terletak di
belakang dan sedikit diatas dari ujung posterior konka media

Fungsi Sinus Paranasal 11


Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain :
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk mamanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih
1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus
b. Sebagai panahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa
serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan
tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan
berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini tidak dianggap bermakana.
d. Membantu resonansi udara

10
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi udara dan mempengaruhi
kualitas udara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
misalnya pada waktu bersin dan beringus.
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dalam udara.

SINUSITIS

A. DEFINISI
Sinusitis adalah peradangan pada mukosa sinus paranasalis. Sinusitis diberi nama
sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut pansunusitis. Sinus
paranasal adalah suatu celah, rongga, atau kanal antara tulang di sekitar rongga
hidung. Sinus paranasal terdiri dari empat sinus yaitu sinus maksilaris (terletak di
pipi), sinus etmoidalis (kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi), dan sinus
sfenoidalis (terletak di belakang dahi). Sinusitis bisa terjadi pada masing-masing sinus
tersebut tetapi yang paling sering terkena adalah sinus maksilaris. Hal ini disebabkan

11
sinus maksila adalah sinus yang terbesar dan dasarnya mempunyai hubungan dengan
dasar akar gigi, sehingga dapat berasal dari infeksi gigi.

B. ETIOLOGI
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung,
kelainan anatomi seperti deviasi septum nasi atau hipertrofi konka nasi, sumbatan
kompleks ostiomeatal (KOM) infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga
perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan
rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi
lateral. Faktor lain yang juga dapat berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara
dingin dan kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama akan menyebabkan
perubahan mukosa dan merusak silia.

Faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian sinusitis (Brook, 2015):


Anatomi : abnormalitas daerah ostiomeatal (misalnya septum deviasi, konka bulosa, sel
Haller), Rinistis alergi, Sensitifitas aspirin, Asma, Polip nasal, Rinitis non-alergi
(misalnya rinitis vasomotor, rinitis medikamentosa, penyalahgunaan kokain), Komplikasi
dari pembersihan mukosiliar, Intubasi nasotrakeal, Intubasi nasogatrik, Hormonal
(misalnya pubertas, kehamilan, kontrasepsi oral), Obtruksi oleh tumor, Gangguan
imunologi (misalnya imunodefisiensi variabel umum, defisiensi immunoglobulin A/IgA,
defisiensi IgG, AIDS) dll.

12
C. EPIDEMIOLOGI
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek sehari-hari,
bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh
dunia. Sinusitis menyerang 1 dari 7 orang dewasa di United States, dengan lebih dari
30 juta individu yang didiagnosis tiap tahunnya. Individu dengan riwayat alergi atau
asma berisiko tinggi terjadinya rhinosinusitis.Prevalensi sinusitis tertinggi pada usia
dewasa 18-75 tahun dan kemudian anak-anak berusia 15 tahun. Pada anak-anak
berusia 5-10 tahun. Infeksi saluran pernafasan dihubungkan dengan sinusitis akut.
Sinusitis jarang pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun karena sinus belum
berkembang dengan baik sebelum usia tersebut.Sinusitis maksila paling sering terjadi
daripada sinusitis paranasal lainnya karena : 1. Ukuran: Sinus paranasal yang terbesar.
2. Posisi ostium: Posisi ostium sinus maksila lebih tinggi daripada dasarnya sehingga
aliran sekret / drainasenya hanya tergantung dari gerakan silia. 3. Letak ostium : Letak
ostium sinus maksila berada pada meatus nasi medius di sekitar hiatus semilunaris
yang sempit sehingga mudah tersumbat. 4. Letak dasar :Letak dasar sinus maksila
berbatasan langsung dengan dasar akar gigi (prosesus alveolaris) sehingga infeksi gigi
dapat menyebabkan sinusitis maksila.

D. KLASIFIKASI
Secara klinis sinusitis dibagia atas:
a. Akut : berlangsung hingga 4 minggu
b. Subakut : berlangsung hingga 12 minggu
c. Kronik : berlangsung hingga lebih dari 12 minggu dan dapat berlanjut dalam hitungan
bulan atau tahun
d. Berulang : terdapat beberapa serangan dalam satu tahun

Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis :


a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis
b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan
sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar)

E. MANIFESTASI KLINIS
1. SINUSITIS AKUT
a. Gejala Subyektif

13
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama
pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.
b. Gejala subyektif
terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu, serta gejala lokal yaitu hidung
tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring (post nasal
drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus
yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain.

a. Sinusitis Maksilaris
Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang sering
terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak
ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksila
hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi
(prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4)
ostium sinus maksila terletak di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang
sempit sehingga mudah tersumbat .
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan
daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan
kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan
depan telinga.
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala mendadak,
misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang
tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang
berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada.

b. Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis
(lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering
menimbulkan selulitis orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta
dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius,
kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan.
Nyeri alih di pelipis, post nasal drip dan sumbatan hidung
c. Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus
etmoidalis anterior. Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri
14
berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah
hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan
mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
d. Sinusitis Sfenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di
belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi
bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala
infeksi sinus lainnya.
Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid anterior)
terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat
periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan atau
seperti meraba beludru. Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan
kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas,
pada sinusitis ethmoid jarang timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi.

2. SINUSITIS SUBAKUT
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang akutnya
(demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda.
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada
rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan
transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau gelap.

3. SINUSITIS KRONIS
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya
sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor
penyebab dan faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa
hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi
imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis
apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.

a. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :

15
Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca
nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit
tersumbat.
Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan tuba
eustachius.
Ada nyeri atau sakit kepala.
Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau
bronkhiektasis atau asma bronkhial.
Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.

b. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat
pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental,
purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor
atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di
nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan etmoiditis
kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris. Etmoiditis
kronis ini dapat menyertai poliposis hidung kronis.
Secara umum gejala sinusitis dapat berupa demam, kelemahan, kelelahan, batuk
dan hidung tersumbat.bisa terjadi adanya drainase lendir di belakang
tenggorokan/post nasal drip (National Institute of Allergy and Infectious Diseases,
2014).

F. PATOFISIOLOGI
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran
klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.
Bila terinfeksi organ yang membentuk komplek osteo meatal KOM mengalami
oedem, sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan
silia tidak dapat bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini
menimbulkan tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi atau penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah
16
keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh
tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan
menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan
berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan terapi
antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi hipoksia dan
bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan perubahan kronik
dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.

G. DIA
GN
OSI
S

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang (Mangunkusumo, 2010).
1. Anamnesis, yaitu dengan cara menanyakan riwayat dan perjalanan penyakit apakah
sudah berlangsung selama lebih dari 12 minggu serta didapatkan 2 gejala mayor atau
1 gejala mayor dengan 2 gejala minor (Benninger, 2008).
Penegakan diagnosis sinusitis secara umum:
a. Kriteria Mayor : Sekret nasal yang purulen, Drenase faring yang purulen, Purulent
Post Nasaldrip, Batuk, Foto rontgen (Water’sradiograph atau air fluid level)
Penebalan lebih 50% dari antrum, Coronal CT Scan : Penebalan atau opaksifikasi
dari mukosa sinus.

17
b. Kriteria Minor : Sakit kepala, Edem periorbital, Nyeri di wajah, Sakit gigi, Nyeri
telinga Sakit tenggorok, Nafas berbau, Bersin-bersin bertambah sering, Demam,
Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil dan bakteri, Ultrasound.

Kemungkinan terjadinya sinusitis jika :


Gejala dan tanda : 2 mayor, 1 minor dan ≥ 2 kriteria minor
(Pletcher SD, Golderg AN , 2003)

2. Pemeriksaan fisik, dengan rinoskopi anterior dan posterior. Tanda khas ialah adanya
pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di
meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid) (Mangunkusumo, 2010).
Meatus medius sering dapat diinspeksi dengan baik setelah pemberian dekongestan
(Shah, 2008). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis (Mangunkusumo,
2010).
a. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada
sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus
atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan
sinusitis sfenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut
tidak ditemukan polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka
kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai.
b. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
c. Posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5 menit
dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet
hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan
rapat, jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar pus dari hidung.
3. Pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga
tampak lebih suram dibanding sisi yang normal. Pemeriksaan transiluminasi untuk
sinus maksila dan sinus frontal. Transiluminasi menggunakan angka sebagai
parameternya. Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi
sinusitis (sinus penuh dengan cairan).

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologik
Foto Polos
Dibuat dengan posisi waters, PA dan lateral. Akan tampak perselubungan atau
penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus yang sakit.

18
Biasanya foto tersebut hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti
sinus maksila dan frontal (Mangunkusumo, 2010). Sinuskopi dilakukan dengan
pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior dan
dengan alat endoskopi bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya.
Tindakan selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. MRI hanya
dilakukan jika ada kecurigaan komplikasi pada orbita dan intrakranial (Shah,
2008).
- Posisi water dengan dagu dan hidung menempel pada film. Sangat berguna
pada pemeriksaan sinus maksilaris
- Posisi caldwell (anteroposterior) dengan hidung dan dahi yang menempel
pada film. Berguna untuk sinus frontal dan ethmoid
- Foto lateral berguna untuk sinus sphenoid

Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa :


a. Penebalan mukosa,
b. Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
c. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat
pada foto waters.

CT-Scan
CT Scan adalah pilihan untuk sinusitis kronik, tapi tidak untuk sinusitis akut.
Kelebihan: mampu memberi gambaran sinus pada rinosinusitis kronis yang
gejalanya tidak sesuai dengan pemeriksaan klinis. Dapat melihat sinus
secara bilateral.
Kelemahan : sulit membedakan rinosinusitis dengan infeksi virus saluran
pernafasan bagian atas, kecuali jika sudah timbul komplikasi.
Visualisasi optimal didapatkan dengan coronal scans (Shah, 2008).
Indikasi : pasien yang disertai komplikasi sinusitis (Neurologic symptoms,
diplopia, pembengkakan periorbital atau facial dengan atau erythema
disertai penyakit yang berat, nyeri mid-head) dan untuk
menyingkirkan sinusitis sphenoidalis.

Abnormalitas gambaran CT scan :


a. Air-fluid levels = proses akut
b. Opacification = sekresi, polyps, dll. (Ethmoids seharusnya sedikit lebih gelap
dari orbita)

19
c. Mukosa yang menebal (cek dinding lateral maksila): chronic inflammation
d. Maxillary sinus retention cysts
· Sangat sering ditemukan
· Tidak berbahaya kecuali jika simptomatik
e. Frontal sinus mucocele
· Obstruksi duktus nasofrontal (head injury?)
· Cenderung menjadi masalah yang serius.

Air fluid level

Penebalan mukosa

Posisi Water’s

Posisi Lateral

20
Anteroposterior (caldwell)

Gambaran sinusitis maksilaris akut

b. Pemeriksaan mikrobiologik

21
Sebaiknya diambil sekret dari meatus medius atau meatus superior. Mungkin
ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal di hidung atau
kuman patogen, seperti pneumococcus, streptococcus, staphylococcus dan
haemophylus influensa. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau jamur.
c. Naso-endoskopi (kaku maupun fleksibel)
Sangat penting dalam evaluasi rinosinusitis. Pada acute bacterial rhinosinusitis
(ABRS), naso-endoskopi bermanfaat untuk konfirmasi diagnosis sekaligus
mendapatkan sekret dari meatus media untuk dikultur (Shah, 2008). Untuk
mengurangi kontaminasi dari hidung, kultur dari meatus media dapat dilakukan
melalui aspirasi sinus maksila yang merupakan gold standard untuk diagnosis
ABRS (Benninger, 2008).
d. Sinoskopi sinus maksilaris
Dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam sinus, apakah ada sekret, polip,
jaringan granulasi, massatumor atau kista dan bagaimana keadaan mukosa dan
apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis akibat perlengketan akan
menyebabkan osteum tertutup sehingga drenase menjadi terganggu.

H. DIAGNOSIS BANDING
Gejala Sinusitis Rinitis Alergi ISPA
Nyeri wajah + +/- -
≥10 hari sampai Tidak pasti, kambuh
Waktu tahunan, biasanya bila terdapat pajanan 10-14 hari
hilang timbul alergen
Kental, purulen, Kental/encer, bening
Sekret berwarna putih-kuning- Encer, serosa, bening atau putih-kuning-
hijau hijau
Ada, karena sekret
Post nasal drip Jarang Jarang
yang sangat kental
Demam ++ + ++
Batuk ++ - +/-
+ (bertambah ketika
menunduk, nyeri
spesifik sesuai sinus
Sakit kepala - +/-
yang meradang,
biasanya timbul pagi
hari)
+ (pada sinusitis
Sakit gigi - -
maxillaris)

22
Nafas berbau + - -

I. TATALAKSANA
Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan
mencegah perubahan akut menjadi kronik (Mangunkusumo, 2010). Jenis terapi dibagi
menjadi 2 pilihan, yaitu secara medikamentosa dan pembedahan.
a. Medikamentosa
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM (komplek osteo meatal) sehingga
drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan
terapi pilihan pada sinusitis bakterial akut. Antibiotik yang dipilih adalah yang berspektrum
lebar, yaitu golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman resisten terhadap amoksisilin,
maka diberikan amoksisilin-klavulanat atau sefalosporin generasi ke-2. Antibiotik diberikan
selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang (Mangunkusumo, 2010 and Hilger,
1989). Jika penderita tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam, maka dilakukan reevaluasi
dan mengganti antibiotik yang sesuai.
Pengobatan secara medikamentosa menunjukkan hasil yang lebih memuaskan jika
diberikan sesuai dengan hasil kultur. Gold standard untuk kultur sinus adalah pungsi sinus
maksilaris, namun hal ini harus dilakukan pada pasien tertentu dan dilakukan dengan hati-hati
karena dapat menyebabkan komplikasi minor seperti nyeri dan perdarahan. Kultur sinus
sangat penting dalam memilih jenis obat pada rinosinusitis kronik karena organisme
patogennya berbeda dengan ABRS. Antibiotik yang biasanya diberikan pada rinosinusitis
kronik adalah yang sesuai untuk kuman gram negatif (S. aureus) dan anaerob.
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti
analgetik, mukolitik seperti guaifenesin, steroid oral/ topikal, pencucian rongga hidung
(irigasi) dengan NaCl atau pemanasan (diatermi) (Mangunkusumo, 2010 and Hilger, 1989).
Untuk pasien dengan riwayat alergi dapat ditangani dengan cara menghindarkan faktor
pencetus, pemberian steroid topikal, dan imunoterapi. Antihistamin generasi ke-2 diberikan
bila ada alergi berat (Mangunkusumo, 2010).

b. Pembedahan
Kegagalan penyembuhan dalam suatu terapi aktif, menunjukkan oraganisme resisten
terhadap antibiotik atau antibiotik tersebut gagal mencapai lokulasi infeksi. Oleh sebab itu,
konka inferior semakin membengkak dan menjadi suatu indikasi irigasi antrum segera.
Dibuat jalur insersi trokar pada irigasi antrum maksilaris di bawah konka inferior.

23
Tatalaksana pembedahan yang dilakukan ada beberapa cara, antara lain : bedah sinus
endoskopi fungsional dan operasi sinus terbuka, seperti operasi Caldwell-Luc, etmoidektomi
eksternal, trepinasi sinus frontal dan irigasi sinus.
1. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/ FESS) merupakan operasi terkini untuk
sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak
membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang
irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur
(Mangunkusumo, 2010).
2. Operasi Caldwell-Luc
Operasi dengan metode Caldwell-Luc dilakukan pada kelainan sinus maksilaris. Indikasi
operasi dengan metode ini yaitu jika terlihat manifestasi klinis seperti mukokel sinus
maksilaris, polip antrokoanal, misetoma, atau benda asing yang tidak dapat dijangkau
melalui endoskopi intranasal.
3. Etmoidektomi Eksternal
Etmoidektomi eksternal telah banyak digantikan oleh bedah endoskopi. Meskipun begitu,
masih ada keuntungan dalam menggunakan metode operasi ini. Misalnya, biopsi dapat
dilakukan secara eksternal pada lesi sinus etmoid atau frontal. Manfaat lain dari metode
ini yaitu dapat memperbaiki komplikasi orbita dari sinusitis etmoid akut atau frontal
dengan cepat dan aman.
4. Trepinasi Sinus Frontal
Metode operasi ini bermanfaat untuk infeksi akut ketika endoskopi nasal sulit dilakukan
akibat perdarahan mukosa hidung. Operasi ini aman dan dekompresi pus pada sinus
frontalis cepat dilakukan.
5. Irigasi Sinus
Irigasi sinus bermanfaat sebagai diagnostik sekaligus terapi. Irigasi sinus dilakukan pada
sinusitis maksilaris akut yang tidak dapat ditangani dengan pengobatan konservatif dan
juga dijadikan sebagai prosedur tambahan untuk drainase eksternal pada komplikasi
orbita yang akut. Pungsi antrum biasanya dilakukan pada meatus inferior hidung.

J. KOMPLIKASI
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.
Komplikasinya berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi lain yang dapat
dijumpai pada sinusitis kronik yaitu osteomielitis, abses subperiostal serta kelainan paru
(Mangunkusumo, 2010).
a. Komplikasi Orbita

24
Komplikasi orbita disebabkan infeksi sinus paranasal yang berdekatan dengan mata
(orbita), paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila
(Mangunkusumo, 2010). Ryan Chandler (1970) membagi komplikasi orbita menjadi
5, yaitu selulitis preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan
trombosis sinus kavernosus.
b. Komplikasi Intrakranial
Komplikasi intrakranial dapat berupa meningitis, abses subdural, abses intraserebri ,
dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi intrakranial lebih umum dijumpai pada
pasien sinusitis kronik dibandingkan sinusitis akut.
c. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal
Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan
biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul
fistula oroantral atau fistula pada pipi (Mangunkusumo, 2010).
d. Kelainan Paru
Kelainan paru akibat komplikasi rinosinusitis yaitu seperti bronkitis kronik dan
bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini
disebut sino-bronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial
yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan (Mangunkusumo, 2010).

K. PROGNOSIS
Karena sifatnya yang menetap, sinusitis kronik yang tidak diobati dapat mengurangi
kualitas hidup dan produktivitas bagi penderita yang terkena. Sinusitis dikaitkan dengan
eksaserbasi asma dan komplikasi serius seperti abses otak dan meningitis, yang dapat
menghasilkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Pengobatan dini dan adekuat
pada sinusitis biasanya menghasilkan hasil yang memuaskan. Bedah sinus endoskopi
fungsional (BSEF/ FESS) dapat mengembalikan fungsi sinus. Sinusitis kronis jarang
mengancam kehidupan, meskipun komplikasi serius dapat terjadi karena dengan orbit dan
rongga tengkorak. Sekitar 75% dari semua infeksi orbital secara langsung berhubungan
dengan sinusitis (Brook, 2015).

25
DAFTAR PUSTAKA
Brook, Itzhak. 2015. Chronic Sinusitis. Diakses melalui
http://emedicine.medscape.com/article/232791-overview#a6 pukul 19.00 tanggal 11
Desember 2015

Higler, Peter A. 1997. BOIES : Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. Jakarta : EGC

Junqueira . 2007. Histologi dasar teks dan atlas. Edisi 10 . Jakarta : EGC

Mangunkusumo E, Soetjipto D. 2007. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. Jakarta : FKUI

Pletcher SD, Golderg AN , 2003 . The diagnosis and treatment of sinusistis . Vol 3 No.9 .
Page 495-505

Singh, Ameet. 2013. Paranasal Sinus Anatomy. Diakses melalui


http://emedicine.medscape.com/article/1899145-overview pada pukul 18.11 tanggal 11
Desember 2015

Vartanian, A John. 2014. CT Scan of the Paranasal Sinuses. Diakses melalui


http://emedicine.medscape.com/article/875244-overview pada pukul 19.15 tanggal 11
Desember 2015

26

You might also like