Professional Documents
Culture Documents
Pada rinitis alergi, sejumlah sel inflamasi, termasuk sel mast, sel T-positif-CD4, sel B,
makrofag dan eusinofil akan menginfiltrasi dinding mukosa hidung melalui paparan alergen
yang bermolekul ringan dan mudah terdorong (sebagian besar diantaranya merupakan
partikel hasil ekskresi dan sekresi tungau debu rumah, residu dari tubuh kecoak, bulu
binatang, jamur dan serbuk sari). Fase awal dari respon imun terhadap mediator-mediator
partikel alergen dan pelepasan sitokin selanjutnya akan menjadi pemicu (trigger) bagi respon
inflamasi seluler dalam 4-8 jam berikutnya (respon inflamasi fase lambat) dimana hal
tersebut menyebabkan munculnya gejala rekuren (biasanya berupa kongesti nasal).
Tabel 6. Perbandingan keparahan penyakit dan kadar vitamin D pre dan post terapi
Grup penelitian TNSS Vitamin D (21 pasien)
Pre tatalaksana 10,6±2,65 18±5,61
Post tatalaksana 2,76±1,6 23,91±9,73
Perbedaan 7,84 5,91
TNSS = Skor total gejala nasal
Infiltasi dari sel inflamasi didasari baik dalam bentuk musiman maupun tahunan, meskipun
besarnya perubahan sel terkadang dapat membantu membedakan rhinitis alergi tersebut
adalah jenis musiman atau tahunan.
Infiltrasi sel T mukosa hidung kebanyakan diantaranya merupakan sel T helper (Th) 2
alami dan akan melepaskan sitokin (diantaranya interleukin [IL]-3, IL-4, IL-5, dan IL-13)
yang akan menyebabkan pelepasan immunoglobulin E (IgE) oleh plasma sel. Produksi IgE,
sebagai gantinya, akan memicu pelepasan dari mediator-mediator, seperti histamin dan
leukotrien, dimana mediator tersebut akan menyebabkan dilatasi arteriol, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, rasa gatal, rinore (hidung berair), peningkatan sekresi mukus
dan kontraksi otot halus.
Pada penelitian kami, pasien rhinitis alergi menunjukkan terjadinya defisiensi vitamin
D hal ini berdasarkan indikasi kadar rata-rata vitamin D responden sebelum terapi adalah
18.03 ± 5.61 ng/ml. Hasil tersebut menunjukkan pentingnya pengukuran kadar vitamin D
pada pasien rhinitis alergi. Terdapat penelitian-penelitian lain yang mendukung fakta ini
seperti yang dipaparkan oleh Arshi dkk. Prevalensi defisiensi vitamin D berat secara
signifikan lebih tinggi pada orang dengan rinitias alergi daripada orang normal. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Moradzadeh dkk. prevalensi dari defisiensi vitamin D berat
secara signifikan lebih besar pada pasien dengan rhinitis alergi daripada populasi orang
normal (30% vs. 5.1%; P = 0.03) hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar
serum vitamin D dan status rhinitis alergi. Hasil ini mengindikasikan bahwa terdapat
perbedaan yang tidak tampak pada metabolisme vitamin D atau sensitifitas pasien alergi
seperti yang di hipotesiskan oleh Wjst dan Hyppönen.
Pada penelitian ini, penulis memberikan suplementasi kepada pasien rhinitis alergi
yang memiliki defisiensi kadar serum vitamin D dengan memberikan suplemen vitamin D
oral (chole-calciferol-1000 IU) dan pasien-pasien tersebut dipantau serta dievaluasi keadaan
klinisnya terkait dengan rhinitis alergi. Terdapat perbaikan pada total skor gejala nasal dan
kadar serum vitamin D pada pasien seperti yang telah disimpulkan pada penelitian ini. Ketika
perbaikan keadaan klinis dibandingkan pada grup kontrol yang tidak diberikan suplementasi
vitamin D, mereka menunjukkan perbedaan sebesar 6.34 dalam skor TNSS dimana angka ini
lebih rendah daripada grup penelitian yang menunjukkan perbedaan sebesar 7.84 dalam skor
TNSS. Ketika kedua grup dibandingkan secara statistik menggunakan uji Mann-Whitney U,
P = 0.0001, didapatkan perbedaan yang cukup signifikan antara grup penelitian dan grup
kontrol.
Sebagai database per internet medis, tidak terdapat penelitian yang sama seperti
penelitian ini sebelumnya. Penelitian dan hasil ini lebih penting daripada penelitian lain yang
telah disebutkan di atas yang juga menunjukkan hubungan antara rhinitis alergi dengan
vitamin D karena mereka tidak membandingkan kadar pre dan post terapi serta hubungannya
dengan gejala klinis.
Perbaikan pada status alergi dapat disebabkan oleh efek imunomodulator vitamin D
pada sistem imun: Vitamin D mengatur aktifitas dari berbagai sel imun, termasuk monosit, sel
dendritik, limfosit T dan B, sebaik fungsi imun dari sel epithelial. Selanjutnya, beberapa sel
imun mengekspresikan enzim aktivasi vitamin D yang memfasilitasi konversi lokal dari
vitamin D inaktif menjadi calcitrol melalui efek parakrin dan autokrin.
Kadar serum 25(OH) D rendah pada individu dan vitamin D akan memicu mediasi sel
imun alergi seperti sel-T dan fungsi imun sebagai pembentuk sel dan penghalang untuk
melawan alergi seperti sel epitel, salah satunya diperkirakan bahwa vitamin D memainkan
peran dalam pembentukan alergi. Ilmuan pertama yang menghipotesis hubungan antara
intake nutrisi dari vitamin D dan alergi adalah Wjst and Dold pada1999.