You are on page 1of 11

DINAMIKA KELEMBAGAAN MASYARAKAT

LAHAN MARGINAL
Oleh: Kedi Suradisastra

Ahli Peneliti Utama Sosiologi dan Kelembagaan Pertanian, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian

PENDAHULUAN

Keberhasilan proses alih teknologi atau diseminasi inovasi pertanian tidak hanya ditentukan
oleh motivasi, keterampilan dan pengetahuan petani sebagai stakeholder pembangunan
sektor, namun dipengaruhi pula oleh tata peraturan dan norma yang berkembang melalui
kelembagaan lokal. Upaya menyadarkan petani bahwa adopsi inovasi pertanian akan selalu
memberikan keuntungan bagi mereka tidaklah cukup. Upaya meningkatkan perhatian dan
motivasi berusaha akan lebih memberikan hasil bila disertai tindakan yang sejalan dengan
norma dan lembaga kemasyarakatan lokal (community-based action). Dalam hal ini
pemanfaatan kelembagaan lokal akan sangat efektif sebagaimana dinyatakan oleh Bromley
(1993) “local institutions permit us to carry on our daily lives with minimum repetition and
costly negotiations”. Pernyataan ini bermakna bahwa kelembagaan lokal merupakan salah satu
dasar pijakan bagi seseorang dalam menyesuaikan sikap dan tindakannya.

Dengan memahami pentingnya sikap di atas, diperlukan reorientasi peran penyuluh dan
petugas lapang dalam proses adopsi inovasi melalui kontak langsung dengan masyarakat
lokal. Sebagai bagian dari proses adopsi, kehadiran komunikator yang menguasai masalah
kelembagaan setempat akan sangat membantu. Proses diseminasi harus memperhitungkan
faktor sosial dan status ekonomi petani dalam upaya meyakinkan manfaat suatu inovasi baru.
Keputusan seseorang untuk mengadopsi inovasi bukanlah suatu keputusan mendadak atau
instantaneous act, melainkan suatu proses yang melewati kurun waktu, tindakan dan berbagai
keputusan (Suradisastra, 1987). Berkaitan dengan upaya pembangunan sektor pertanian,
makalah ini berupaya mengungkap arah perubahan sistem nilai dan kelembagaan masyarakat
dalam menghadapi tantangan peningkatan produktivitas lahan marginal.

KONSEP DAN FUNGSI KELEMBAGAAN

Pemahaman terhadap konsep lembaga atau kelembagaan (institusi) sejauh ini lebih terpaku
pada organisasi, baik organisasi formal maupun organisasi non-formal. Konvensi Uphoff
(1992) dan Fowler (1992) menyatakan bahwa suatu lembaga dapat berbentuk organisasi, atau
sebaliknya. Perkawinan adalah suatu lembaga atau institusi, tetapi bukan suatu organisasi. Di
sisi lain suatu rumah tangga adalah suatu organisasi dengan pembagian peran, tetapi bukan
suatu institusi. Suatu lembaga dapat berbentuk organisasi seperti pemerintah, bank, partai,
perusahaan dan lain-lain. Institusi dapat juga berupa tata peraturan seperti hukum atau
undang-undang, sistem perpajakan, tata kesopanan, adat-istiadat, dan lain-lain.

Eksistensi suatu lembaga ditentukan oleh kemampuannya dalam melayani tuntutan sosial
masyarakat setempat dalam kurun waktu yang sangat beragam. Tidak jarang terjadi
keberadaan suatu lembaga tiba-tiba hilang, atau digantikan oleh lembaga baru yang lebih
mampu melayani kebutuhan stakeholder setempat. Suatu lembaga atau organisasi mampu
bertahan dalam dinamika masyarakat bila tetap memiliki fungsi yang dibutuhkan.

Fungsi organisasi dan lembaga lokal antara lain adalah: (a) Mengorganisir dan memobilisasi
sumberdaya; (b) Membimbing stakeholder pembangunan dalam membuka akses ke
sumberdaya produksi; (c) Membantu meningkatkan sustainability pemanfaatan sumberdaya
alam; (d) Menyiapkan infrastruktur sosial di tingkat lokal; (e) Mempengaruhi lembaga-
lembaga politis; (f) Membantu menjalin hubungan antara petani, penyuluh dan peneliti lapang;
(g) Meningkatkan akses ke sumber informasi; (h) Meningkatkan kohesi sosial; (i) Membantu
mengembangkan sikap dan tindakan koperatif, dll.

Dalam konteks kelembagaan, pemahaman terminologi “lokal” diinterpretasikan sebagai


sesuatu yang memiliki karakteristik tersendiri yang berkaitan dengan kondisi setempat.
Terminologi “lokal” meliputi dasar-dasar untuk melakukan tindak kolektif, energi untuk
melakukan konsensus, koordinasi tanggung jawab, serta menghimpun, menganalisis dan
mengkaji informasi. Hal-hal ini tidak terjadi secara otomatis, namun memerlukan kehadiran
institusi yang bersifat spesifik lokasi. Sebagai contoh adalah lembaga candoli di wilayah
Priangan Timur (Jawa Barat) yang berfungsi sebagai penentu waktu panen. Lembaga candoli
bersifat lokal (Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Sumedang) dan eksistensinya (pernah) dibutuhkan
karena penguasaannya akan informasi terkait perkembangan fisik padi di lahan sawah di
lokasi-lokasi tersebut.

Dalam konteks sektor, fungsi lembaga dan kelembagaan lokal yang sangat signifikan
ditunjukkan oleh lembaga subak sebagai bagian budaya Bali. Subak merupakan suatu lembaga
terstruktur lintas aspek yang berbentuk organisasi formal di berbagai hierarki administrasi dari
tingkat tempek (kelompok tani) sampai ke tingkat organisasi dinas pendapatan pemerintah
kabupaten (sedahan agung) dengan melibatkan norma adat dan keagamaan. Subak
merupakan suatu gambaran lengkap interaksi positif antara aspek politis pemerintahan,
norma, adat, keagamaan serta aspek teknis dan teknologi pertanian (Suradisastra, 2001).
Kegiatan bertani yang melibatkan berbagai aspek inter-sektor seperti demikian meningkatkan
kohesi sosial di lingkungan masyarakat petani Bali sehingga upaya diseminasi inovasi dapat
dilaksanakan secara lebih lancar. Setiap segmen kegiatan usahatani padi sawah di Bali selalu
disertai ritual tertentu sebagai bagian dari norma sosial dan rambu-rambu keagamaan.
LAHAN MARGINAL DAN INSTITUSI LOKAL

Terminologi lahan marginal sering diasosiasikan dengan lahan kering dan lahan tadah hujan.
Secara sosio-historis, lahan kering dan lahan tadah hujan di wilayah tropis terjadi secara
gradual karena meningkatnya kegiatan ladang berpindah, terutama di daerah dimana hak
ulayat tidak didefinisikan dengan jelas sehingga tidak ada konsensus dan kontrol terhadap
penggunaan sumberdaya. Kegiatan bersawah umumnya dilakukan di sekitar lembah dimana
sumber air berada dan air tersedia (hampir) sepanjang tahun. Lereng-lereng gunung
umumnya ditanami tanaman palawija atau tanaman keras dengan input rendah. Upaya
konservasi lahan (terasering) jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan. Tekanan populasi
dan meningkatnya komersialisasi produk tertentu (kopi, lada) turut meningkatkan beban lahan
dan menguras kesuburan dengan cepat. Tradisi mengambil kayu bakar dan pakan ternak dari
hutan sekitar turut pula menyumbang degradasi lahan.

Contoh proses pemiskinan lahan yang menarik ditunjukkan oleh pola usahatani tradisional di
lembah Baliem, pegunungan Jayawijaya, Papua. Lahan basah di lembah dekat sungai
dimanfaatkan sebagai usahatani mina-ubi (wen hipere). Tanaman ubi ditanam pada guludan
dan diantara guludan dibuat selokan untuk memelihara ikan. Sedangkan di lereng-lereng
diterapkan kegiatan usahatani ubi tanpa konservasi (wen wanggawi). Kondisi ini telah
berlangsung ribuan tahun dan pemahaman masyarakat akan pentingnya teknologi konservasi
tidak berkembang karena lahan ulayat masih sangat luas dibandingkan dengan populasi
setempat. Kelembagaan lokal yang tumbuh juga lebih bersifat pranata (sistem) kepemimpinan
yang menekankan pendekatan top-down dalam proses diseminasidan penyaluran informasi.

Seiring dengan peningkatan populasi, semakin meningkat pula kebutuhan pangan, sedangkan
produktivitas lahan semakin menurun, terutama di lahan kering dan lahan tadah hujan yang
semakin terdegradasi. Untuk tetap bertahan hidup dalam kondisi marginal yang semakin
memburuk, komunitas setempat mengembangkan berbagai upaya yang sering
diimplementasikan dalam bentuk kelembagaan sosial yang berfungsi teknis (lembaga tekno-
sosial). Kondisi lahan di NTT yang didominasi oleh tanah liat (clay) secara teknis sulit diolah
dengan bajak atau alsintan. Tradisi penggembalaan ternak sapi secara komunal dimanfaatkan
untuk mengatasi masalah pengolahan lahan dengan menggunakan kawanan sapi untuk
menginjak-injak lahan sehingga tanah menjadi lunak dan siap ditanami.

Tradisi ini disebut rencak dan merupakan suatu implementasi kelembagaan tekno-sosial yang
mampu mengatasi masalah tertentu.

Di pantai selatan Papua (Kabupaten Merauke) pernah dikenal kelembagaan sambanim-


pakasanim sebagai dewan suku yang memusyawarahkan waktu, luas dan pola tanaman
pangan untuk memenuhi kebutuhan stakeholder setempat. Namun peran kelembagaan ini
memudar setelah introduksi lembaga tanam serempak dilakukan.

Guna mengurangi resiko kegagalan usahatani, upaya diversifikasi dilakukan dengan


memelihara ternak. Salah satu bentuk kelembagaan yang berorientasi sosial-ekonomi dalam
pemeliharaan ternak adalah kelembagaan kredit pinjam ternak babi dalam bentuk epawaa
(bagi hasil in-natura) dan iyoobai (bagi hasil dengan nilai uang) di Kabupaten Paniai, Papua.
Kelembagaan kredit ternak in-natura lain yang diterima masyarakat dikembangkan oleh
pemerintah Hindia Belanda dalam bentuk Sumba kontrak bagi ternak sapi program pemerintah
jajahan.

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa suatu institusi akan bertahan selama kehadirannya
dibutuhkan oleh komunitas sosial setempat. Bertahannya kelembagaan subak dan rencak
serta lenyapnya lembaga sambanim-pakasanim menunjukkan posisi dan peran kelembagaan
tersebut dalam tatanan sosial masyarakat setempat.

PELUANG PEMANFAATAN KELEMBAGAAN

Kompleksitas interaksi biofisik, teknologi dan budaya lokal di Indonesia menghasilkan pola-
pola fenomenal dan spesifik lokasi. Perkembangan sektor pertanian di Indonesia sesuai dengan
teori perkembangan negara-negara di daerah tropis dari Huntington (1980) dimana
kebudayaan bertani di negara tropis bersifat intrusif, yaitu lebih merupakan budaya yang
diintroduksikan dengan perubahan minor dalam aspek tertentu. Secara implisit teori ini
mengemukakan bahwa kegiatan pertanian modern bukan merupakan usaha asli petani
setempat, namun lebih berupa kegiatan hasil penyesuaian dengan tradisi lokal yang telah
berlangsung berabad-abad.

Sifat intrusif berlaku juga bagi dinamika kelembagaan lokal yang terdapat di suatu daerah.
Sejalan dengan budaya bertani tradisional yang bersifat survival agriculture atau land-to-
mouth agriculture, perkembangan kelembagaan lokal juga berjalan ke arah social survivability
dan social stability yang mendukung tujuan dan kegiatan produktif masyarakat petani. Sejauh
ini hampir tidak terdapat kelembagaan tradisional yang mengembangkan orientasi komersil
dalam kegiatan produktif untuk bertahan hidup. Dalam paradigma land-to-mouth existence,
kegiatan pertanian didukung oleh lembaga-lembaga pengaturan bercocok tanam, lembaga
mobilisasi tenaga dan massa, serta lembaga pengatur norma dan perilaku sosial sesuai dengan
tingkat evolusi sosial setempat. Contoh lembaga-lembaga lokal dan peluang pemanfaatannya
dalam proses pembangunan disajikan dalam tabel dibawah ini.
Lembaga-lembaga di atas memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan dan
strategi pertanian setempat. Dalam kondisi ini, introduksi lembaga baru yang berorientasi
ekonomi seperti lembaga pasar dan pemasaran, koperasi, lembaga perkreditan dan lembaga
lainnya harus mencari celah dan waktu yang tepat agar bisa diterima oleh masyarakat dan
norma setempat. Introduksi inovasi (baik berupa teknologi maupun introduksi kelembagaan
baru) yang dilakukan tanpa mempertimbangkan fungsi kelembagaan lokal, norma dan budaya
masyarakat serta kebiasaan fisik seringkali mengalami kegagalan, atau memerlukan waktu
lama untuk diadopsi. Inovasi cangkul pada masyarakat etnis Dani di lembah Baliem
memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menggantikan budaya mengolah lahan dengan
tugal. Contoh klasik lain adalah upaya introduksi pupuk pada awal intensifikasi padi awal tahun
1960-an yang memperoleh sambutan dingin dari petani dan kelembagaan lokal di Jawa.

Memahami sejarah perkembangan sektor pertanian dan kegiatan bertani sering dilupakan
karena upaya ini lebih banyak dinilai sebagai sesuatu yang membuang waktu dan biaya.
Padahal pemahaman terhadap fungsi dan bentuk kelembagaan lokal berikut pemahaman pola
evolusi kelembagaan lokal sangat membantu dalam menentukan celah masuk atau entry point
inovasi kelembagaan. Kekurang pedulian terhadap pentingnya menemukan entry point
kelembagaan bisa menimbulkan kebingungan dalam rekayasa kelembagaan yang sesuai
dengan tujuan produksi pertanian. Keadaan ini diperparah lagi dengan upaya mengejar waktu
agar suatu program dapat menunjukkan hasilnya dalam waktu singkat. Evolusi kelembagaan
yang mendukung pertumbuhan sektor memerlukan waktu lama sehingga dibutuhkan suatu
program pembangunan sektor yang bersifat longitudinal (multi years) dan konsisten dalam
upaya mencapai tujuannya. Sebagai gambaran adalah kasus upaya evolusi kelembagaan
produksi pertanian melalui program SUP (Sistem Usaha Pertanian), SUTPA (Sistem Usaha
Pertanian Berbasis Padi), Corporate Farming, Sistem dan Usahatani Agribisnis, P3T (Program
Pengembangan Pertanian Terpadu), dan akhirnya program Prima Tani. Perubahan program ini
terjadi hanya dalam kurun waktu kurang dari 15 tahun, sedangkan perubahan norma dan
kelembagaan memerlukan waktu beberapa dekade sebelum stakeholder pembangunan
pertanian benar-benar memahaminya.

Perubahan sosial dalam sektor pertanian terjadi karena tuntutan kebutuhan masyarakat
sebagai stakeholder pembangunan pertanian. Di sisi teknis, kebutuhan masyarakat petani
sangat erat kaitannya dengan ekologi mikro lahan yang dimilikinya. Di sisi lain, kebijakan
pemerintah membawa misi percepatan peningkatan produktivitas sektor. Ketiga faktor ini
menimbulkan suatu interaksi tekno-sosial di lingkungan masyarakat petani karena kehadiran
kepemilikan dan sifat lahan, batasan etika dan norma, serta kebijakan pembangunan nasional.

STRATEGI PERUBAHAN SOSIAL

Upaya perubahan sosial dan kelembagaan yang diarahkan kepada peningkatan produktivitas
sektor dan orientasi kegiatan hendaknya sejalan dengan perkembangan dan tujuan
kelembagaan lokal di lokasi yang bersangkutan. Faktor-faktor yang layak dipertimbangkan
antara lain adalah: (a) tujuan kelembagaan, (b) peran kepemimpinan, (c) pola komunikasi,
(d) tatanan sosial, (e) strategi pendekatan, dan (f) langkah kegiatan.

a. Tujuan Kelembagaan.

Tujuan kelembagaan (institutional goal) merupakan faktor terpenting yang seyogyanya


dipahami secara mendalam. Tujuan komunal suatu lembaga lokal memiliki daya ikat sosio-
teknis yang besar. Upaya perubahan sosial melalui rekayasa (atau lebih tepat: penyesuaian
struktur) kelembagaan akan lebih mudah terlaksana bila memiliki tujuan yang jelas. Upaya
perubahan sosial melalui rekayasa kelembagaan hendaknya memenuhi prasyarat berikut: (a)
memiliki dampak yang jelas dan dapat dicapai oleh para stakeholder, (b) tersedia sistem
pendukung internal (pengetahuan stakeholder) dan eksternal (infrastruktur fisik dan sosial
lain), dan (c) stakeholder bersedia berpartisipasi. Ketiga elemen ini saling terkait satu sama
lain dan kekurangan salah satu faktor saja akan memperlambat upaya perubahan sosial
setempat. Introduksi lembaga baru yang bersifat koersif dan top-down banyak menemukan
halangan dalam mencapai tujuannya karena lemahnya partisipasi stakeholder dan berbedanya
persepsi tujuan kelembagaan. Sebaliknya introduksi norma tanam serempak mampu dipahami
tujuan dan jelas dampaknya sehingga di beberapa lokasi bahkan menggeser peran lembaga
tata pengaturan kegiatan usahatani tradisional.

b. Peran Kepemimpinan.

Kepemimpinan (leadership) dalam kelembagaan lokal suatu komunitas memainkan peran


signifikan dalam menanamkan nilai dan norma kemasyarakatan setempat. Lembaga
kepemimpinan mampu menentukan arah, dan dalam kebanyakan kondisi bahkan mampu
menghentikan proses dan progres perubahan sosial di wilayahnya. Fungsi utama lembaga
kepemimpinan lokal adalah sebagai mobilisator anggota lembaga organisasi lokal, sebagai
pusat dan penyalur informasi dan berbagai fungsi sosial lainnya.

Dalam kelompok masyarakat yang berada dalam tahap awal evolusi organisasi, lembaga
kepemimpinan umumnya berupa seorang individu sebagai kepala suku dengan berbagai
nama: keret (Arfak), ondoafie (Sarmi), pah-tuaf (Tetun), raja-soa (Maluku) dan lain-lain.
Dalam masyarakat yang telah berevolusi lebih jauh, kepemimpinan cenderung bersifat kolektif
dengan struktur dan pendelegasian kewenangan yang lebih jelas. Etnis Dani di Papua
mengenal lembaga kepemimpinan kolektif otini-tabenak yang memainkan peran penting
dalam mengalirkan informasi dari atas ke bawah (top-down). Lembaga-lembaga
kepemimpinan memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan secara positif dalam berbagai
upaya reformasi kelembagaan sosial untuk mempercepat laju pembangunan sektor.

c. Pola Komunikasi.

Pola komunikasi dalam suatu kelembagaan lokal berkaitan dengan tingkat kohesi atau daya
ikat sosial. Pola komunikasi juga merupakan indikator tingkat partisipasi stakeholder
kelembagaan tersebut. Masyarakat dengan kohesi sosial tinggi memiliki tingkat kesetaraan
sosial yang tinggi, atau sebaliknya. Namun demikian pola komunikasi suatu kelembagaan
bersifat spesifik lokasi, tergantung pada bentuk dan struktur kelembagaan tersebut. Pada
masyarakat dengan kohesi sosial rendah dan lembaga kepemimpinan tunggal, pola
komunikasi yang tumbuh umumnya berupa pola rantai satu arah atau dua arah. Sedangkan
pada komunitas denhgan kesetaraan sosial tinggi serta memiliki organisasi kelembagaan
dengan struktur lebih rumit memiliki pola komunikasi yang beragam (pola roda, lingkaran,
multi-arah). Para petugas penyuluh sebagai change agent seyogyanya dibekali dengan
pemahaman dan keterampilan komunikasi dalam berbagai hierarki kelembagaan.

d. Tatanan Sosial.

Tatanan sosial (social setting) memiliki potensi sebagai entry point pertama bagi seorang
diseminator dalam menyampaikan gagasan awal terkait perubahan kelembagaan. Kohesi
sosial dan social interplay (hubungan sosial) merupakan dua diantara beragam elemen tatanan
sosial yang memiliki pengaruh dalam memilih strategi pendekatan kelembagaan. Kelompok
masyarakat yang memiliki daya ikat sosial tinggi pada umumnya membuka kesempatan besar
bagi anggotanya untuk melakukan kontak dan hubungan sosial. Masyarakat petani yang
sangat terikat dengan kohesifitas ekosistem dan kohesifitas sosial memiliki social interplay
yang relatif tinggi dan hal ini dimanifestasikan dalam bentuk komunikasi setara multi-arah
(horisontal multilateral) secara baik. Kondisi seperti ini hendaknya dimanfaatkan dalam
berbagai program pembangunan dengan misi meningkatkan produktivitas sektor secara lebih
baik melalui inovasi teknologi.

Dalam prosesnya, upaya mencapai tujuan seperti diatas seringkali memanfaatkan kondisi
social interplay melalui penerapan berbagai strategi pendekatan yang disesuaikan dengan
norma sosial dan kelembagaan spesifik lingkungan dimana kegiatan dilaksanakan. Lebih jauh
lagi patut pula dipertimbangkan daya lenting sosial (social resilience) kelompok stakeholder
yang akan menerima perubahan kelembagaan tersebut. Daya lenting sosial seringkali
berperan sebagai salah satu elemen kunci dalam suatu proses perubahan karena calon
penerima perubahan memerlukan waktu dan kelenturan mental sebelum menerima perubahan
yang akan mengubah jalan hidupnya. Kondisi seperti ini akan lebih dipersulit lagi oleh
pertanyaan dalam bentuk apa dan sejauh mana perubahan tertentu harus diterapkan? Apa
yang harus dilakukan terhadap kelompok yang tersisihkan karena tidak mampu menerima dan
menjalankan perubahan tersebut?

e. Strategi Pendekatan.

Dengan memahami pola pikir seperti di atas, strategi pendekatan perubahan sosial
masyarakat pedesaan menghadapi dua pilihan: (a) strategi intrusif, dan (b) strategi introduksi.
Strategi intrusif menerapkan paradigma evolusi sesuai dengan perjalanan evolusi
kelembagaan secara alami dimana inovasi kelembagaan dilakukan sedekat mungkin dengan
bentuk dan struktur kelembagaan lokal yang masih berjalan. Strategi ini memakan waktu
relatif lama dan perubahan terjadi secara bertahap karena kelompok stakeholder diberi cukup
waktu untuk memahami dan melakukan eksperimentasi penerapan inovasi secara gradual.
Sebaliknya, strategi introduksi menerapkan paradigma revolusi dimana kelembagaan lokal
yang ada digantikan secara total dengan lembaga baru dengan struktur yang disesuaikan
dengan tuntutan kebutuhan. Hal ini terjadi dalam era orde baru dimana kelembagaan lokal
(lembaga kepala suku) digantikan secara total oleh lembaga kepemimpinan formal (organisasi
struktural pemerintahan). Dalam beberapa kondisi strategi ini memberikan hasil yang
diharapkan, namun dalam kenyataan ternyata lebih banyak keberhasilan yang bersifat
artifisial karena sifat pendekatan koersif top-down dalam pembentukan lembaga baru
tersebut.

f. Implementasi Lapangan.

Implementasi strategi perubahan sosial melibatkan seluruh stakeholder institusi di seluruh


hierarki struktural pemerintahan dan lembaga-lembaga terkait. Kelompok ilmuwan bersama
dengan lembaga penyuluhan, lembaga perancang pembangunan daerah dan masyarakat
bersama-sama merancang bentuk dan pola lembaga baru yang diarahkan guna
mengembangkan, mengubah atau mengintroduksi nilai dan norma sosial yang diperlukan.
Upaya perubahan sosial diawali dengan diagnosa situasi lintas sektor dan lintas aspek terhadap
elemen-elemen terkait di suatu wilayah. Dalam tahap ini kelompok perekayasa kelembagaan
(peneliti dan ilmuwan) merupakan aktor utama dalam proses identifikasi dan diagnosa
masalah lapangan. Semakin jauh waktu berjalan dan semakin dekat proses ke fase terakhir,
semakin menurun peran peneliti dan ilmuwan.

Sebaliknya, peran penyuluh semakin meningkat sehingga pada akhirnya keberhasilan proses
rekayasa kelembagaan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi
petugas lapang. Tahap diagnostik dilanjutkan dengan tahap rancang bangun dimana peran
lembaga penyuluhan meningkat secara teknis, dan lembaga perancangan pembangunan
secara politis mulai berperan dalam kegiatan koordinasi dan administratif kewilayahan.
Lembaga-lembaga sektor di tingkat otonom merancang kegiatan uji lapang di lokasi-lokasi
percontohan. Fase selanjutnya adalah tahap uji lapang dimana seluruh komponen
pembangunan kelembagaan mengevaluasi dan memantau proses perubahan sosial di
lingkungan setempat. Pilihan strategi (intrusif atau introduksi) dipilih dan disepakati dalam
fase uji lapang. Fase verifikasi dan implementasi merupakan tahap terahir dimana lembaga
penyuluhan beserta aparatnya memikul tanggung jawab terbesar dalam sosialisasi dan
penyebaran kelembagaan dan norma sosial yang baru.

DAFTAR PUSTAKA

Bromley, D.W. 1993. Common property as metaphor: Systems of knowledge, resources and
the decline of individualism. The Common Property Digest 27, 1-8. IASCP, Winrock and
ICRISAT, Hyderabad.

Cernea, M.M. 1991. Putting People First. Oxford University Press, Oxford 2nd ed.

Cernea, M.M. 1993. Culture and organisation. The social sustainability of induced development.
Sustainable Development 1(2), 18-29.

Curtis, D. 1991. Beyond Government: Organisations for Common Benefit. Macillan Education
Ltd. London.

Fowler, A. 1992. Prioritizing Institutional Development: A New Role for NGO Centres for Study
and Development. Sustainable Agricultrure Programme Gatekeeper Series SA35. IIED,
London.

Huntington, E. 1980. Huntington’s Climatic Theory of Underdevelopment. In I. Vogeler and A.


de Souza (eds.) Dialectics of Third World Development, pp. 55-65. Allanheld Osmun, Montclair.
Knipscheer, H., and Kedi Suradisastra. 1986. Farmer Participation in Indonesian Livestock
Farming Systems by Regular Research Field Hearings (RRFH). Agricultural Administration
22(4): 205-209.

Koentjaraningrat (eds.) 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cet.18. Djambatan,


Jakarta.

Norton, A. 1992. Analysis and action in local institutional development. GAPP Conference on
Participatory Development, 9-10 July 1992, London.

Suradisastra, K. 1987. Farmer’s Perception of Extension Activities in Western Kenya.


Dissertation. Presented to the Faculty of Graduate Scholl, University of Missouri-Columbia.

Suradisastra, K. 2001. Institutional Description of the Balinese Subak. Indonesian Journal of


Agricultural Science.

Uphoff, N. 1992. Local Institutions and Participation for Sustainable Development. Gatekeeper
Series SA31. IIED, London.

You might also like