Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. STRES
2.1.1. Pengertian Stres
Stres menurut Hans Selye (1950) adalah respon tubuh yang sifatnya non
spesifik tehadap setiap tuntutan beban atasnya. Misalnya bagaimana respon tubuh
seseorang jika mengalami beban pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup
mengatasinya artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, maka ia
dikatakan tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila ternyata ia mengalami
gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi
dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut mengalami
distres (Hawari, 2011).
Menurut Mason secara jelas menggambarkan stres dengan mengutip
beberapa cara berbeda istilah stres digunakan (Greenberg, 2004):
1. Stimulus. Didefinisikan segabai stresor.
2. Respon. Didefinisikan sebagai reaksi terhadap stres.
3. Seluruh spektrum faktor yang saling berinteraksi, definisi menurut
Lazarus.
4. The stimulus-response interaction (interaksi stimulus-respon).
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata dampak stres ini tidak hanya
mengenai gangguan fungsional hingga kelainan organ tubuh, tetapi juga
berdampak pada bidang kejiwaan (psikologik/psikiatrik) misalnya kecemasan atau
depresi. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak bisa lepas dari stres, namun
permasalahannya adalah bagaimana harus hidup beradaptasi dengan stres tanpa
harus mengalami distres.
Tidak semua bentuk stres itu mempunyai konotasi negatif, cukup banyak
yang bersifat positif, misalnya promosi jabatan. Jabatan yang lebih tinggi
membutuhkan tanggung jawab yang lebih berat merupakan tantangan bagi yang
bersangkutan. Dan, bila ia sanggup menjalankan tugas jabatan yang baru ini
Stres yang dialami orang tua atau parenting stress diartikan oleh Richard
Abidin (1995) sebagai kecemasan atau ketegangan berlebihan yang secara khusus
berkaitan dengan peran orang tua dan interaksi orang tua dengan anak. Dalam
modelnya, stresor yang dialami oleh orang tua berpengauh dengan perilaku orang
tua yang selanjutnya akan berdampak pada adaptasi psikososial dari anak. Stresor
yang dihadapi antara lain stigma masyarakat, biaya perawatan, dan harus
bernegosiasi dengan sistematis kerja yang bermacam-macam (Hung et al, 2010).
Faktor-faktor yang meningkatkan resiko stres pada orang tua banyak
dikemukakan. Gerstein et al (2009) mengemukakan terdapat tiga faktor yang
khususnya menonjol dan dapat disesuaikan yaitu: kesehatan psikolohgis orang
tua, pasangan yang suportif atau mesra, dan hubungan positif orang tua-anak.
Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa semakin parah gangguan
psikomotorik anak, maka semakin rendah kesehatan mental orang tua, antara lain
dalam Arnaud et al (2008), Hung et al (2010), Seltzer (2009), dan Mobarak
(2000). Faktor lain yang sangat berperan adalah status sosioekonomi rendah
dalam penelitian Hung et al (2010), Arnaud et al (2008), dan Eisenhower et al
(2009); tingkat edukasi orang tua (Eisenhower et al, 2009), agama (Hung et al,
2010), kehilangan kontrol diri, dukungan pasangan dan sosial, dan latar belakang
budaya (Eisenhower et al, 2009; Gupta & Singhal, 2005). Dari penemuan-
penemuan tersebut menunjukkan bahwa stres psikososial lebih berdampak
signifikan terhadap tingkat stres daripada gangguan fungsional pada anak itu
sendiri (Hung et al, 2010).
Parenting stress dialami hampir oleh semua orang tua dengan anak cacat,
dan sebagian dengan anak normal. Tingkat stres yang tinggi dijumpai pada 70%
ibu dan 40% ayah dengan anak cacat parah (Gupta & Singhal, 2005). Padahal,
orang tua dari anak dengan keterbatasan memainkan peranan penting dalam
kesuksesan rehabilitasi anak mereka (Hung et al, 2010). Perhatian besar yang
2.3. Tunagrahita
2.3.1. Definisi Tunagrahita
Tuna grahita merupakan kata lain dari retardasi mental (mental
retardation) atau Intellectual Disability. “Tuna” berarti merugi dan “grahita”
berarti pikiran. American Association on Intellectual and Developmental
Disabilities (2013) mendefinisikan retardasi mental sebagai kecacatan yang
ditandai dengan keterbatasan signifikan baik dalam fungsi intelektual dan perilaku
adaptif (kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar) yang dimulai
sebelum umur 18 tahun.
2.4. Tunadaksa
2.4.1. Definisi Tunadaksa
Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau kurang,
dan “daksa” yang berarti tubuh. Menurut Depdikbud (1996), istilah tunadaksa
maksudnya sama dengan istilah yang berkembang seperti cacat tubuh, tuna tubuh,
tuna raga, cacat anggota badan, cacat orthopedic, crippled, dan orthopedically
c. Spina bifida
Spina bifida adalah kelainan kongenital pada tulang vertebra yang
membentuk kolumna spinalis akibat kegagalan menutup sempurna
selama proses perkembangan. Kelainan dapat terjadi dari kepala sampai
d. Poliomielitis
Poliomielitis adalah suatu infeksi pada sumsum tulang belakang
yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan
sifatnya menetap. Pada poliomielitis yang paralitik, berdasarkan sel-sel
mototrik yang rusak kelumpuhan anak polio dapat dibedakan menjadi
(Simoes, 2007):
i. Tipe spinal, yaitu kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada,
tangan, dan kaki;
ii. Tipe bulbair, yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau
lebih saraf tepi ditandai dengan adanya gangguan pernafasan;
iii. Polioennsefalitis (peradangan pada jaringan otak) yang biasanya
disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan
terkadang kejang;
iv. Poliomielitis dengan ganguan ventilasi, akibat dari
ketidakmampuan beberapa komponen yang bekerja untuk
ventilasi (mekanisme bernafas) sehingga menyebabkan hipoksia
(kurangnya oksigen ke jaringan) dan hiperkapnia (jumlah karbon
dioksida yang terlalu banyak di darah).