You are on page 1of 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. STRES
2.1.1. Pengertian Stres
Stres menurut Hans Selye (1950) adalah respon tubuh yang sifatnya non
spesifik tehadap setiap tuntutan beban atasnya. Misalnya bagaimana respon tubuh
seseorang jika mengalami beban pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup
mengatasinya artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, maka ia
dikatakan tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila ternyata ia mengalami
gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi
dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut mengalami
distres (Hawari, 2011).
Menurut Mason secara jelas menggambarkan stres dengan mengutip
beberapa cara berbeda istilah stres digunakan (Greenberg, 2004):
1. Stimulus. Didefinisikan segabai stresor.
2. Respon. Didefinisikan sebagai reaksi terhadap stres.
3. Seluruh spektrum faktor yang saling berinteraksi, definisi menurut
Lazarus.
4. The stimulus-response interaction (interaksi stimulus-respon).
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata dampak stres ini tidak hanya
mengenai gangguan fungsional hingga kelainan organ tubuh, tetapi juga
berdampak pada bidang kejiwaan (psikologik/psikiatrik) misalnya kecemasan atau
depresi. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak bisa lepas dari stres, namun
permasalahannya adalah bagaimana harus hidup beradaptasi dengan stres tanpa
harus mengalami distres.
Tidak semua bentuk stres itu mempunyai konotasi negatif, cukup banyak
yang bersifat positif, misalnya promosi jabatan. Jabatan yang lebih tinggi
membutuhkan tanggung jawab yang lebih berat merupakan tantangan bagi yang
bersangkutan. Dan, bila ia sanggup menjalankan tugas jabatan yang baru ini

Universitas Sumatera Utara


dengan baik tanpa ada keluhan baik fisik maupun mental serta merasa senang,
maka ia dikatakan tidak mengalami stres, melainkan disebut eustres.
Berbagai macam permasalahan kehidupan pada sebagian orang dapat
merupakan beban atau tekanan mental yang disebut sebagai stresor psikososial.
Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan
perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga orang tersebut terpaksa
mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya.
Dari sekian banyak jenis stresor psikososial yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, para pakar memberikan beberapa contoh antara lain perkawinan;
problem orang tua, termasuk karena kondisi tatanan sosial, ekonomi, dan kualitas
dari anak yang diasuhnya; hubungan interpersonal (antar pribadi); pekerjaan;
lingkungan hidup; keuangan; hukum; perkembangan; penyakit fisik atau cedera;
faktor keluarga; dan trauma. Stresor psikososial sepeti yang dicontohkan di atas
ternyata erat hubungannya dengan 6 penyebab kematian utama di Amerika
Serikat, yaitu penyakit jantung koroner, kanker, paru-paru, kecelakaan, dan bunuh
diri (Hawari, 2011).

2.1.2. Tahapan Stres


Stres dimulai dengan adanya situasi kehidupan yang mengetuk seseorang
(baik secara lembut atau tiba-tiba) keluar dari keseimbangan. Kemudian orang
tersebut terdorong ke ketidakseimbangan dan butuh membetulkan dirinya sendiri.
Bagaimanapun, situasi yang sama dipresentasikan pada orang yang berbeda dapat
menunjukkan reaksi yang berbeda. Hal ini dikarenakan orang lain akan
menginterpretasikan situasi tersebut secara berbeda. Hal ini diistilahkan dengan
cognitive appraisal (penilaian kognitif), yang selanjutnya dapat dikontrol oleh
penerima stresor (Wade & Travis, 2007).
Hans Selye (1907 – 1928) dalam bukunya The Stress of Life (1956)
menggambarkan respons tubuh terhadap segala jenis stresor eksternal sebagai
sindrom adaptasi umum (general adaptation syndrome), yaitu serangkaian reaksi
fisiologis yang terjadi dalam 3 tahapan (Wade & Travis, 2007):

Universitas Sumatera Utara


1. Fase alaram (the alarm phase): fase saat tubuh menggerakkan sistem saraf
simpatetik untuk menghadapi ancaman langsung. Pelepasan hormon adrenal
yaitu epinephrine dan norepinephrin terjadi saat munculnya emosi kuat.
Hormon-hormon ini menghasilkan lonjakan energi, ketegangan otot-otot,
berkurangnya sensitivitas terhadap rasa sakit, berhentinya kerja sistem
pencernaan, dan meningkatnya tekanan darah. Oleh Walter Cannon (1929)
menggambarkan perubahan-perubahan ini sebagai respons “fight-or-flight”
(melawan atau melarikan diri).
2. Fase penolakan (the resistance phase): saat tubuh berusaha menolak atau
mengatasi stresor yang tidak dapat dihindari. Selama fase ini, respon
fisiologis yang terjadi pada fase alaram terus berlangsung, namun respon-
respon tersebut membuat tubuh lebih rentan terhadap stresor-stresor lain.
3. Fase kelelahan (the exhaustion phase): saat stres yang berkelanjutan
menguras energi tubuh, meningkatkan kerentanan terhadap masalah fisik
pada akhirnya akan memunculkan penyakit. Reaksi yang sama, yang
memampukan tubuh merespons tantangan secara efektif pada fase alaram,
akan merugikan apabila berlangsung secara terus menerus.

2.1.3. Efek Stres terhadap Psikologis dan Fisiologis


Menurut The American Institute of Stress (2012), efek stres dapat
mempengaruhi psikologis dan fisiologis tubuh seseorang.
a. Pengaruh pada psikologis:
1) Meningkatnya kecemasan, kekhawatiran, rasa bersalah, dan gugup
2) Meningkatnya kemarahan, frustasi, permusuhan
3) Depresi, suasana hati sering berubah
4) Meningkat atau menurunnya rasa lapar
5) Insomnia, mimpi buruk, mimpi yang mengganggu
6) Sulit berkonsentrasi, pikiran yang bercampur aduk
7) Kesulitan mengolah informasi baru
8) Pelupa, disorganisasi, kebingungan
9) Kesulitan mengambil keputusan

Universitas Sumatera Utara


10) Sering menangis atau pikiran bunuh diri
11) Merasa kesepian dan tidak berharga
12) Meningkatnya frustasi, mudah tersinggung, dan kegelisahan
13) Perilaku obsesif atau kompulsif
14) Menurunnya efikasi kerja atau produktivitas
15) Gangguan dalam berkomunikasi dan berbagi
16) Penarikan diri dari sosial dan isolasi
17) Kelelahan, lemas, capek yang menetap
18) Lebih sering menggunakan obat-obatan, dan lain-lain.

b. Pengaruh pada fisiologis tubuh:


1) Sistem saraf
Ketika stres, fisik dan psikologis akan mengubah sumber energi ke posisi
persiapan menghadapi ancaman, dikenal dengan respon “fight or flight”
(melawan atau lari). Saraf simpatis akan merangsang kelenjar adrenal
untuk melepaskan adrenalin dan kortisol. Hormon-hormon ini akan
menyebabkan jantung berdetak lebih kencang, meningkatkan tekanan
darah, mengubah proses pencernaan dan kadar glukosa dalam darah.
2) Sistem muskuloskeletal
Pada keadaan stres, tonus otot meningkat. Kontraksi otot dapat memicu
sakit kepala, migrain, dan berbagai kondisi muskuloskeletal lainnya.
3) Sistem pernafasan
Stres dapat menyebabkan bernafas lebih berat dan lebih cepat atau
hiperventilasi. Hal ini dapat memicu serangan panik lebih cepat pada
beberapa orang.
4) Sistem kardiovaskular
Stres akut menyebabkan peningkatan denyut jantung dan kontraksi lebih
kuat dari otot jantung. Pembuluh darah yang menuju otot besar dan
jantung dilatasi untuk meningkatkan suplai darah. Episode berulang dari
stres akut dapat menyebabkan inflamasi pada arteri koroner sehingga
menjadi serangan jantung.

Universitas Sumatera Utara


5) Sistem endokrin
Kelenjar adrenal menghasilkan kortisol dan epinefrin yang sering disebut
“hormon stres”. Ketika kortisol dan epinefrin dilepaskan, hepar
menghasilkan lebih banyak glukosa untuk energi pada respon stres.
6) Sistem pencernaan
Lambung menjadi tidak nyaman yang dapat memicu mual dan muntah,
bahkan nyeri. Pada usus dapat terjadi gangguan penyerapan dan
peristaltik sehingga menimbulkan konstipasi atau diare.
7) Sistem reproduksi
Pada pria, stres dapat mengganggu produksi testosteron, produksi
sperma, dan impoten. Pada wanita, stres dapat menyebabkan siklus
menstruasi tidak teratur atau nyeri. Stres juga dapat menurunkan
keinginan seksual.

2.2. Parenting Stress


2.2.1. Definisi Parenting Stress
Menurut L. G. Anthony et al (2005), parenting stress atau stres pada orang
tua adalah stres yang timbul ketika orang tua mengalami kesulitan dalam
memenuhi tuntutan menjadi orang tua yang mempengaruhi perilaku,
kesejahteraan, dan penyesuaian diri terhadap anak. Menurut Deater Deckard
(2004), parenting stress adalah bentuk proses yang mengakibatkan reaksi
psikologis dan fisiologis yang tidak baik yang berasal dari keharusan untuk
memenuhi kewajiban sebagai orang tua. Menurut Abidin (1992), stressor pada
parenting stress adalah multidimensi berdasarkan sumber dan jenisnya. Terdapat
3 sumber utama, yaitu karakteristik orang tua, karakteristik anak, dan faktor
kontekstual.
Terdapat empat teori utama telah diajukan oleh McCleary (2002)
mengenai parenting stress dalam keluarga dengan anak berkebutuhan khusus
(Theule, 2010), yaitu:

Universitas Sumatera Utara


a. Parent-Child Interactive Stress Model (Model Stres Interaktif Orang tua-
Anak) oleh Mash dan Johnston (1990) menyatakan bahwa karakteristik
anak adalah kontributor utama dalam stres orang tua-anak, tapi faktor
lingkungan juga mempunyai pengaruh langsung terhadap stres. Pada
model ini, pengaruh stresor anak dan lingkungan dimediasi oleh
karakteristik orang tua yaitu pengetahuan, persepsi dan ikatan dengan
anak, kepribadian, perilaku, dan kesehatan.
b. Webster-Stratton (1990) menyatakan bahwa stresor di luar keluarga
(extrafamilial), stresor dalam pribadi orang tua (interpersonal), dan stresor
anak mempengaruhi pengasuhan (parenting). Stresor di luar keluarga
antara lain pengangguran dan status ekonomi rendah. Stresor interpersonal
antara lain tekanan dalam pernikahan dan perceraian. Stresor anak yang
paling berpengaruh adalah gangguan perilaku.
c. Lazarus dan Folkman (1984) mengajukan teori mengenai stres, penilaian,
dan cara mengatasi sebagai poin awal, sebagaimana faktor pengetahuan
sebagai pusat teori ini. Pengetahuan dan penilaian orang tua terhadap
kebutuhan atau perilaku anak didasari atas nilai-nilai, kepercayaan,
komitmen yang dianut oleh orang tua, juga oleh keuangan dan dukungan
sosial.
d. Abidin (1976, 1995) adalah pembuat alat pengukuran stres pada orang tua
yaitu Parenting Stress Index (PSI; 1983/1995). Teori ini adalah yang
terlama namun paling sering dianut dalam berbagai literatur. Abidin
mengajukan bahwa parenting stress berasal dari faktor orang tua, faktor
anak, dan faktor situasi. Faktor orang tua adalah rasa keterikatan,
kemampuan, dan depresi. Faktor anak adalah kemampuan adaptasi,
penerimaan, tuntunan, suasana hati atau mood, hiperaktivitas, dan menjadi
penguat orang tua. Dan faktor situasi sebagai pembatas (dampak terhadap
peran kehidupan lain orang tua), kesehatan, dukungan sosial/isolasi, dan
hubungan dengan pasangan. Dalam teori ini, stres pada orang tua
diusulkan pada pengaruh negatif dalam pengasuhan orang tua (perilaku)
yang selanjutnya mempengaruhi kualitas anak kedepannya.

Universitas Sumatera Utara


2.2.2. Faktor-faktor Parenting Stress

Stres yang dialami orang tua atau parenting stress diartikan oleh Richard
Abidin (1995) sebagai kecemasan atau ketegangan berlebihan yang secara khusus
berkaitan dengan peran orang tua dan interaksi orang tua dengan anak. Dalam
modelnya, stresor yang dialami oleh orang tua berpengauh dengan perilaku orang
tua yang selanjutnya akan berdampak pada adaptasi psikososial dari anak. Stresor
yang dihadapi antara lain stigma masyarakat, biaya perawatan, dan harus
bernegosiasi dengan sistematis kerja yang bermacam-macam (Hung et al, 2010).
Faktor-faktor yang meningkatkan resiko stres pada orang tua banyak
dikemukakan. Gerstein et al (2009) mengemukakan terdapat tiga faktor yang
khususnya menonjol dan dapat disesuaikan yaitu: kesehatan psikolohgis orang
tua, pasangan yang suportif atau mesra, dan hubungan positif orang tua-anak.
Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa semakin parah gangguan
psikomotorik anak, maka semakin rendah kesehatan mental orang tua, antara lain
dalam Arnaud et al (2008), Hung et al (2010), Seltzer (2009), dan Mobarak
(2000). Faktor lain yang sangat berperan adalah status sosioekonomi rendah
dalam penelitian Hung et al (2010), Arnaud et al (2008), dan Eisenhower et al
(2009); tingkat edukasi orang tua (Eisenhower et al, 2009), agama (Hung et al,
2010), kehilangan kontrol diri, dukungan pasangan dan sosial, dan latar belakang
budaya (Eisenhower et al, 2009; Gupta & Singhal, 2005). Dari penemuan-
penemuan tersebut menunjukkan bahwa stres psikososial lebih berdampak
signifikan terhadap tingkat stres daripada gangguan fungsional pada anak itu
sendiri (Hung et al, 2010).

2.2.3. Efek Parenting Stress terhadap Orang Tua

Parenting stress dialami hampir oleh semua orang tua dengan anak cacat,
dan sebagian dengan anak normal. Tingkat stres yang tinggi dijumpai pada 70%
ibu dan 40% ayah dengan anak cacat parah (Gupta & Singhal, 2005). Padahal,
orang tua dari anak dengan keterbatasan memainkan peranan penting dalam
kesuksesan rehabilitasi anak mereka (Hung et al, 2010). Perhatian besar yang

Universitas Sumatera Utara


dibutuhkan oleh anak dengan keterbatasan dalam jangka waktu yang lama, akan
berdampak pada kesehatan psikologis dari orang tua (Seltzer et al, 2009). Masalah
psikologis yang dialami orang tua antara lain depresi, distres emosional (Hung et
al, 2010).
Efek psikologis yang sering muncul adalah perasaan sedih dan putus asa
yang berkepanjangan, berkurangnya nafsu makan dan kesenangan, lesu, dan juga
pikiran untuk bunuh diri. Tanda-tanda tersebut sering bersamaan dengan
kecemasan, bentuk psikopatologis lain, dan perilaku antisosial seperti penggunaan
obat-obatan dan alkohol. Distres emosional pada orang tua dapat berkontribusi
pada distres emosi dan psikiatri anak dan bisa berdampak pada kemampuan
keluarga mengatasi penyakit tersebut (Deckard, 2004).
Menurut Swartz (2005), terbentuknya tanda-tanda stres pada orang tua
akan menurunkan ketanggapan dan sensitivitas terhadap isyarat anak sehingga
akan memperburuk kondisi anak dan mengganggu hasil dari terapi pada anak.
Parenting stress tidak hanya berdampak pada hubungan orang tua-anak saja,
namun juga pada kesehatan orang tua itu sendiri. Stres berdampak pada fungsi
fisiologis tubuh orang tua, dari penuaan dan gangguan pada produksi hormon
kortisol (Seltzer et al, 2009) dan meningkatkan angka perselisihan antara orang
tua yang berujung perpisahan atau perceraian yang dilaporkan lebih sering terjadi
pada keluarga dengan keterbatasan yang parah (Risdal & Singer (2004) dalam
Gerstein, et al (2009)).

2.3. Tunagrahita
2.3.1. Definisi Tunagrahita
Tuna grahita merupakan kata lain dari retardasi mental (mental
retardation) atau Intellectual Disability. “Tuna” berarti merugi dan “grahita”
berarti pikiran. American Association on Intellectual and Developmental
Disabilities (2013) mendefinisikan retardasi mental sebagai kecacatan yang
ditandai dengan keterbatasan signifikan baik dalam fungsi intelektual dan perilaku
adaptif (kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar) yang dimulai
sebelum umur 18 tahun.

Universitas Sumatera Utara


Fungsi intelektual didapatkan dengan test fungsi kecerdasan dan hasilnya
dinyatakan sebagai suatu taraf kecerdasan atau IQ (Intelegence Quotient)
(Soetjiningsih, 1995).
𝑀𝑒𝑛𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑔𝑒
𝐼𝑄 = × 100%
𝐶ℎ𝑟𝑜𝑛𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖𝑐𝑎𝑙 𝐴𝑔𝑒

Mental Age : umur mental yang didapat dari test


Chronological Age : umur berdasarkan perhitungan tanggal lahir

Fungsi intelektual di bawah normal yaitu apabila IQ di bawah 70. Anak


tersebut tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa karena cara berpikir yang
terlalu sederhana, daya tangkap dan daya ingat lemah, dan pengertian bahasa dan
perhitungan sangat lemah (Martin & Volkmar, 2007).
Perilaku adaptif sosial adalah kemampuan seseorang untuk mandiri,
menyesuaikan diri, dan mempunyai tanggung jawab sosial yang sesuai dengan
kelompok umur dan budayanya. Penderita retardasi mental memiliki gangguan
perilaku adaptif paling sedikit 2 dari area berikut: komunikasi, self-care, home
living, kemampuan sosial/interpesonal, menggunakan sumber komunikasi, self-
direction, kemampuan fungsi akademik, pekerjaan, kesehatan, dan keselamatan
(Martin & Volkmar, 2007).

2.3.2. Klasifikasi Tunagrahita


The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi
keempat (DSM-IV) klasifikasikan dalam empat derajat dari retardasi mental, yaitu
(Shapiro & Batshaw, 2007):
a. Mild mental retardation
Dimiliki sekitar 85% dari populasi retardasi mental di Amerika. Nilai
IQ berkisar antara 50-55 sampai ≈ 70.
b. Moderate mental retardation
Dimiliki sekitar 10% dari populasi retardasi mental di Amerika. Nilai
IQ berkisar antara 35-40 sampai 50-55.

Universitas Sumatera Utara


c. Severe mental retardation
Dimiliki sekitar 3-4% dari populasi retardasi mental di Amerika.
Nilai IQ berkisar 20-25 sampai 35-40.
d. Profound mental retardation
Dimiliki hanya 1-2% dari populasi retardasi mental di Amerika. Nilai
IQ berkisar < 20-25.
e. Mental retardation, severity unspecified
Ditegakkan saat ada dugaan kuat retardasi mental namun kecerdasan
seseorang tersebut tidak dapat diukur menggunakan tes standar.

Menurut Budhiman (1991) dalam Soetjiningsih (1995), retardasi ditinjau


dari gejalanya dibagi menjadi:
1. Tipe klinik
Retardasi tipe klinik mudah dideteksi sejak dini karena kelainan fisik dan
mental cukup berat. Penyebab tersering kelainan organik. Anak tersebut
membutuhkan perawatan terus-menerus dan dapat terjadi pada kelas sosial
tinggi ataupun rendah. Orang tua dari anak retardasi mental tipe ini cepat
mencari pertolongan oleh karena mereka melihat sendiri kelainan pada
anaknya.
2. Tipe sosiobudaya
Tipe ini diketahui biasanya setelah anak masuk sekolah dan ternyata tidak
dapat mengikuti pelajaran. Penampilan seperti anak normal, sehingga disebut
juga retardasi mental 6 jam. Hal ini dikarenakan begitu mereka keluar
sekolah, mereka dapat bermain seperti anak-anak normal lainnya. Tipe ini
umumnya berasal dari golongan sosio ekonomi rendah. Para orang tua dari
anak tipe ini tidak melihat adanya kelainan pada anaknya dan mengetahuinya
setelah diberi tahu oleh guru atau psikolog karena beberapa kali tidak naik
kelas. Pada umumnya anak tipe ini mempunyai taraf IQ golongan borderline
dan retardasi mental ringan.

Universitas Sumatera Utara


Gejala dari retardasi mental dalam Soetjiningsih (1995) dibagi menjadi:
1. Retardasi tipe ringan
Bagian terbesar dari retardasi mental, berkisar 80%, termasuk dalam tipe
sosial budaya. Golongan ini termasuk mampu didik dan mampu latih, artinya
dapat diajar baca tulis sampai kelas 4 – 6 SD dan bisa dilatih keterampilan
tertentu. Tetapi umumnya kurang mampu menghadapi stres sehingga tetap
membutuhkan bimbingan dari keluarganya.
2. Retardasi mental sedang
Kelompok ini berkisar 12% dari seluruh penderita retardai mental. Mereka
mampu latih tetapi tidak mampu didik. Taraf kemampuan intelektualnya
hanya dapat sampai kelas 2 SD, tetapi dapat dilatih menguasai suatu
keterampilan tertentu. Mereka juga perlu dilatih bagaimana cara mengurus
diri dan pengawasan jika mengalami stres.
3. Retardasi mental berat
Kelompok ini berkisar 7% dan tipe klinik. Diagnosis mudah ditegakkan
secara dini, karena adanya kelainan fisik juga keterlambatan motorik dan
bahasa yang sejak awal dapat diamati oleh orang tua. Mereka dapat dilatih
higiene dasar saja dan kemampuan berbicara yang sederhana, tidak dapat
dilatih keterampilan kerja, dan memerlukan pengawasan dan bimbingan
seumur hidup.
4. Retardasi mental sangat berat
Kelompok ini berkisar 1% dan termasuk dalam tipe klinik. Diagnosis mudah
dibuat karena gejala mental dan fisik sangat jelas. Kemampuan berbahasanya
sangat minimal. Mereka sangat tergantung pada orang di sekitarnya.

2.4. Tunadaksa
2.4.1. Definisi Tunadaksa
Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau kurang,
dan “daksa” yang berarti tubuh. Menurut Depdikbud (1996), istilah tunadaksa
maksudnya sama dengan istilah yang berkembang seperti cacat tubuh, tuna tubuh,
tuna raga, cacat anggota badan, cacat orthopedic, crippled, dan orthopedically

Universitas Sumatera Utara


handicapped. Menurut The Individuals with Disabilities Education Act atau IDEA
(2008), orthopedic impairments adalah kelainan ortopedik, dapat disebabkan oleh
kelainan kongenital, penyakit, dan penyebab lain, yang mengganggu proses
pembelajaran anak. Orthopedic dalam Dorland’s Medical Dictionary (2007)
berhubungan dengan sistem muskuloskeletal yang terdiri atas tulang, otot, sendi,
ligamentum, dan jaringan ikat. Kesimpulannya adalah anak tunadaksa dapat
didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem
otot, tulang, dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi,
komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi.

2.4.2. Klasifikasi Tunadaksa


Klasifikasi anak tunadaksa didasari untuk kemudahan dalam pemberian
layanan. Salah satu sistem klasifikasi dilihat dari sistem kelainannya, antara lain
(Hallahan & Kauffman, 2006):
1. Kelainan pada sistem neurologis (neurological impairments)
a. Palsi serebral (Cerebral palsy)
Palsi serebral menurut Mutch L. (1992) adalah sekelompok
gangguan yang tidak progresif, tapi sering berubah, sindrom gangguan
motorik yang bersumber dari lesi atau anomali pada otak yang timbul
pada fase awal perkembangannya. Walaupun lesi inisial dan anomali
pada otak tetap, namun tampilan klinis dapat berubah seiring waktu
dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan dan kematangan dari
sistem saraf pusat (Sankar & Mundkur, 2005). Palsi serebral adalah
masalah umum dengan insiden 2 sampai 2.5 setiap 1000 kelahiran hidup
(Rosen MG. & Dickinson JC., 1992).
Keterbatasan yang dimiliki oleh anak palsi serebral antara lain
retardasi mental (60%) yang sering terjadi pada palsi serebral dengan
spastic hemiplegia, gangguan visual dan pergerakan okular (28%),
gangguan pendengaran (12%), dan epilepsi (35% - 62%). Kemampuan
berbicara terpengaruh oleh karena disfungsi kortikobulbar bilateral dan

Universitas Sumatera Utara


oromotor. Gangguan artikulasi dan berbicara didapati pada 38% anak
palsi serebral.
Klasifikasi palsi serebral terbagi atas topografi dan kelainan
neuromuskular. Klasifikasi topografi dari palsi serebral adalah
monoplegi, mengenai 1 tungkai gerak badan; hemiplegi, mengenai 1
tungkai atas dan 1 tungkai bawah pada sisi yang sama; diplegi, mengenai
2 tungkai atas atau 2 tungkai bawah; dan quadriplegi, mengenai keempat
tungkai gerak tubuh. Namun monoplegi dan triplegi jarang ditemukan.
Menurut kelainan neuromuskular, cerebral palsy dibedakan atas:
(1) spastik, dengan ciri-ciri terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh
ototnya; (2) diskenesia, yang meliputi athetosis (penderita
memperlihatkan gerak yang tidak terkontrok), rigid (kekakuan pada
seluruh tubuh sehingga sulit untuk dibengkokkan, tremor (getaran kecil
yang terus menerus pada mata, tangan, atau kepala); (3) ataksia yaitu
adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan
tangan tidak berfungsi; serta (4) jenis campuran yaitu apabila seorang
anak memiliki kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe di atas (Sankar &
Mundkur, 2005).

b. Penyakit Kejang (Epilepsi)


Seseorang terserang kejang saat terdapat letupan energi listrik
abnormal pada sel-sel otak tertentu. Letupan tersebut menyebar ke sel-sel
terdekat dan dapat menyebabkan kehilangan kesadaran, gerakan
involunter (di luar sadar), atau fenomena sensori abnormal. Efek akibat
kejang tergantung pada lokasi letupan berawal dan seberapa jauh letupan
menyebar (Hallahan & Kauffman, 2006).

c. Spina bifida
Spina bifida adalah kelainan kongenital pada tulang vertebra yang
membentuk kolumna spinalis akibat kegagalan menutup sempurna
selama proses perkembangan. Kelainan dapat terjadi dari kepala sampai

Universitas Sumatera Utara


ujung bawah tulang belakang. Karena kolumna spinalis tidak menutup,
spinal cord (serabut saraf di dalam kolumna spinalis) dapat keluar yang
mengakibatkan kerusakan saraf dan kelumpuhan dan/atau kehilangan
sensasi di bawah tempat kerusakan. Spina bifida sering bersamaan
dengan hidrosefalus, yaitu pembesaran kepala karena tekanan berlebihan
cairan serebrosinalis (dapat berakibat retardasi mental); meningitis,
infeksi pada selaput otak dan spinal cord; dan kelainan kongenital
lainnya (Hallahan & Kauffman, 2006).

d. Poliomielitis
Poliomielitis adalah suatu infeksi pada sumsum tulang belakang
yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan
sifatnya menetap. Pada poliomielitis yang paralitik, berdasarkan sel-sel
mototrik yang rusak kelumpuhan anak polio dapat dibedakan menjadi
(Simoes, 2007):
i. Tipe spinal, yaitu kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada,
tangan, dan kaki;
ii. Tipe bulbair, yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau
lebih saraf tepi ditandai dengan adanya gangguan pernafasan;
iii. Polioennsefalitis (peradangan pada jaringan otak) yang biasanya
disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan
terkadang kejang;
iv. Poliomielitis dengan ganguan ventilasi, akibat dari
ketidakmampuan beberapa komponen yang bekerja untuk
ventilasi (mekanisme bernafas) sehingga menyebabkan hipoksia
(kurangnya oksigen ke jaringan) dan hiperkapnia (jumlah karbon
dioksida yang terlalu banyak di darah).

Kelumpuhan pada polio sifatnya layu dan biasanya tidak


menyebabkan gangguan kecerdasan atau alat-alat indra. Akibat penyakit
poliomyelitis adalah atropi otot (pengecilan otot) karena kerusakan sel

Universitas Sumatera Utara


saraf, kekakuan sendi (kontraktur), pemendekkan anggota gerak,
pelengkungan susunan tulang belakang ke satu sisi seperti huruf S
(scholiosis), kelainan telapak kaki yang membengkok ke luar atau ke
dalam, dislokasi sendi (sendi yang keluar dari dudukannya), dan lutut
yang melenting ke belakang (genu recorvatum) (Simoes, 2007).
e. Multipel Sklerosis
Multipel sklerosis adalah penyakit kronis, progresif lambat di
sistem saraf pusat dengan pengerasan pada selaput myelin (selaput yang
melapisi saraf). Penyakit ini umumnya muncul pada usia remaja dan
dewasa. Gejala klinis antara lain gangguan sensoris (terutama
penglihatan), tremor, kelemahan otot, kaku, gangguan berbicara, pusing,
gangguan berjalan, dan gangguan emosi (Hallahan & Kauffman, 2006).

2. Kelainan pada muskuloskeletal (Musculoskeletal Conditions)


a. Distrofi otot (Muscular dystrophy)
Penyakit herediter dengan kelemahan otot yang progresif akibat
degenerasi serat-serat otot. Kelemahan otot bersifat simetris dan
berhubungan dengan genetik.
b. Artritis
Artritis adalah rasa nyeri pada sendi yang dapat disebabkan oleh
berbagai faktor penyakit atau kondisi tertentu. Penyakit yang umum
menyebabkan artritis adalah reumatoid artritis (penyakit autoimun yang
sistemik) dan osteortritis (kerusakan pada tulang rawan sendi dan
merapatnya jarak antara tulang).

Universitas Sumatera Utara

You might also like