You are on page 1of 3

MOTIVASI SAYA JADI JURNALIS

Jika ditanya ingin jadi apa kamu besok? Sudah barang tentu akan dijawab dengan
berbagai jawaban. Dulu sewaktu saya masih duduk di sekolah menengah pertama, saya
bercita-cita ingin menjadi guru. Saya mengagumi sosok guru bukan karena keluarga
saya mempunyai latar belakang sebagai guru. Dari sosok guru itulah saya belajar
tentang banyak hal. Namun, kekaguman saya terhadap guru sedikit demi sedikit
memudar ketika saya duduk di kelas 9 SMP. Ketika itu guru saya suka mencela habis-
habisan ketika teman saya keliru dalam menjawab pertanyaan. Bahkan beberapa teman
saya mendapat umpatan dan julukan darinya. Terkadang saya merasa kasihan dan
prihatin kepada teman saya yang kerap diperlakukan tidak semestinya.

Beda tingkat sekolah beda lagi cita-cita yang saya inginkan. Kali ini saya tertarik dalam
dunia tulis menulis. Nampaknya kali ini dewi fortuna berpihak pada saya. Dari seratus
murid yang mendaftar sebagai anggota redaksi majalah sekolah, saya dan sembilan
teman saya lolos seleksi. Itu tandanya kami yang akan memegang majalah selama
setahun mendatang. Tidak hanya itu, kami memberikan media baru bagi guru dan siswa
berupa koran dinding harian yang tahun-tahun sebelumnya belum ada untuk
pemberitaan kegiatan tahunan sekolah kami yang dinamai PONSEL (Pekan Olahraga
dan Seni Pelajar). Kalau tidak salah saat itu bertepatan dengan diraihnya dua
penghargaan bergengsi oleh Jawa Pos. Salah satunya adalah dua desain halaman terbaik
se-Asia. Alasan tersebut yang menjadi inspirasi desain dari koran dinding kami, selain
itu Jawa Pos juga telah menjadi ‘makanan’ kami selama 6 tahun nyantri di Pondok
Pesantren Al-Ishlah. Dan sampai saat ini koran dinding tersebut masih diteruskan oleh
adik-adik kami. Bangga.

Cita-cita saya untuk menjadi wartawan belum pudar. Cita-cita tersebut saya bawa
sampai saat ini. Saat pertama kali menyandang status sebagai mahasiswa, tepatnya saat
OSPEK tahun 2013 lalu, saya sudah dikenalkan dengan Lembaga Pers Mahasiswa.
Tanpa berpikir panjang ketika LPM tersebut membuka pendaftaran anggota saya
langsung mengambil keputusan untuk mendaftarkan diri menjadi anggota. Di LPM API
(Asia Pers Independen) saya belajar banyak hal. Di LPM pula saya belajar mengelola
buletin hingga majalah.

Di lembaga ini juga yang mengajarkan saya berfikir kritis terhadap birokrasi kampus.
Saya cukup menikmati perjalanan cita-cita saya di LPM API, sebuah lembaga yang saya
anggap sebagai rumah kedua sekaligus tempat yang menempa ilmu yang tidak saya
dapatkan di bangku perkuliahan.

Tidak sampai disitu, mental dan keahlian saya kembali ditantang. Tepatnya pada
pertengahan tahun 2014 saya diajak paman saya untuk bergabung untuk membuat
majalah yang difokuskan untuk pemberitaan pendidikan dan anak usia dini. Dari sini
juga saya belajar bagaimana alur pembuatan berita hingga menjadi majalah namun
dengan cakupan yang luas dari LPM di kampus. Kegiatan yang menyita banyak waktu
di LPM dan Majalah Cendekia tersebut membuat saya sedikit molor untuk
menyelesaikan kuliah. Akan tetapi saya tidak pernah menyesal karena waktu tersebut
saya gunakan bukan untuk hal yang sia-sia. Saya belajar sebagai langkah awal untuk
mewujudkan cita-cita saya sebagai seorang wartawan.

Pengalaman-pengalaman tersebut mengajarkan saya tentang sebuah profesionalitas dan


langkah untuk menjadi jurnalis hebat. Pernah saya bertemu dengan Ma’mun Affany,
seorang penulis jebolan Pondok Gontor yang telah menelurkan banyak karya
diantaranya Adzan Subuh Menghempas Cinta, 29 Juz Harga Wanita hingga
Kehormatan di Balik Kerudung yang diangkat menjadi film layar lebar. Ia bertanya
pada saya, “apa bedanya seorang wartawan dan guru?”. Pertanyaan tersebut
mengingatkan kembali pada cita-cita saya sewaktu SMP. Mungkin pertanyaan tersebut
mudah untuk dijawab bagi sebagian orang, namun saya tidak bisa menjawab dengan
benar dan tepat. Lalu ia bercerita sedikit tentang perjalanan seorang ulama dan juga
seorang guru, ia adalah Buya Hamka. Ia lebih memilih menceritakan Buya Hamka
ketimbang yang lainnya karena kami sama-sama pernah nyantri. Dari cerita beliau saya
mulai memahami bahwa guru dan wartawan tidaklah berbeda. Bahkan menurut saya
kedua profesi tersebut mempunyai kesamaan yaitu mendidik. Jika guru mendidik
muridnya maka wartawan bertugas mendidik dan mencerdaskan masyarakat lewat
tulisannya. Wartawan pula lah yang melakukan fungsinya sebagai penyambung lidah
rakyat, menjangkau yang tak terjangkau dan dari yang tidak tahu menjadi tahu.

Dari banyaknya pilihan hidup, mengapa saya ingin menjadi wartawan? Saya akan
menjawab bahwa saya memilih menjadi wartawan adalah karena cinta, saya menyukai
dunia tulis menulis, dan saya suka tantangan. Dan dua falsafah hidup yang saya
pegang sampai cita-cita saya terwujud yakni: pertama, carilah pekerjaan yang kamu
cintai, dan kamu tidak akan pernah lagi bekerja satu hari pun sepanjang hayat. Yang
kedua saya dapatkan dari petuah salah satu pimpinan Pondok Modern Gontor, KH.
Imam Zarkasyi, “andai kata muridku tinggal satu, akan tetap ku ajar. Yang satu itu
sama dengan seribu, jika yang satu pun itu tidak ada, aku akan mengajar dunia dengan
pena”.

You might also like