Professional Documents
Culture Documents
Berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Undang-Undang, Tata urutan peraturan perundang-
undangan RI yaitu :
1) UUD 1945;
2) Tap MPR;
3) Undang-Undang
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu);
5) Peraturan Pemerintah (PP)
6) Keppres;
7) Peraturan Daerah;
Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.
1. UUD 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Hukum Dasar tertulis Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan berfungsi sebagai sumber hukum
tertinggi. Menurut. L.J. van Apeldom, Undang-Undang Dasar adalah bagian
tertulis dari suatu konstitusi. Sementara itu E.C.S. Wade menyatakan,
bahwa Undang-Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka
dan tugas-tugas pokok dan badan-badan pemerintahan suatu negara dan
menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. Miriam
Budiardjo, menyatakan bahwa UndangUndang Dasar memuat ketentuan-
ketentuan mengenai organisasi negara, hak-hak asasi manusia, prosedur
mengubah UUD dan memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari
Undang-Undang Dasar.
Dalam tata peraturan perundang-undangan di negara Indonesia, menurut
Miriam Budiardjo ( 1981: 106-107) Undang-Undang Dasar 1945
mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan undang-
undang lainnya, hal ini dikarenakan
a) UUD dibentuk menurut suatu cara istimewa yang berbeda dengan
pembentukan UU biasa
b) UUD dibuat secara istimewa untuk itu dianggap sesuatu yang luhur.
c) UUD adalah piagam yang menyatakan cita-cita bangsa Indonesia dan
merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa
2. Ketetapan MPR
3. Undang-Undang
Undang-undang merupakan peraturan perundang-undangan untuk
melaksanakan UUD 1945. Yang berwenang membuat UU adalah DPR
bersama Presiden. Adapun kriteria agar suatu masalah diatur dengan UU
antara lain :
a) UU dibentuk atas perintah ketentuan UUD 1945,
b) UU dibentuk atas perintah Ketetapan MPR,
c) UU dibentuk atas perintah ketentuan UU terdahulu,
d) UU dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah UU yang
sudah ada,
e) UU dibentuk karena berkaitan dengan hak sasai manusia,
f) UU dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang
banyak.
6. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden merupakan peraturan perundang-undangan yang
dibentuk Presiden berdasarkan pasal 4 UUD 1945. Dilihat dari sifatnya
Presiden dapat membuat dua macam keputusan yaitu yang bersifat
pengaturan dan yang bersifat penetapan. Yang termasuk jenis peraturan
perundang-undangan adalah keputusan presiden yang bersfat pengaturan
atau yang dikenal dengan Peraturan Presiden .
Peraturan menteri dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (selanjutnya saya sebut sebagai UU No. 12/2011) tidak diatur dalam ketentuan Pasal ayat (1). Namun
demikian, jenis peraturan tersebut keberadaannya diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011, yang menegaskan:
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup
peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,
Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-
Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.” (cetak tebal oleh penjawab)
Walaupun ketentuan di atas tidak menyebut secara tegas jenis peraturan perundang-undangan berupa “Peraturan
Menteri”, namun frase “…peraturan yang ditetapkan oleh… menteri…” di atas, mencerminkan keberadaan
Peraturan Menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Peraturan Menteri
setelah berlakunya UU No. 12/2011 tetap diakui keberadaannya.
Persoalan selanjutnya, bagaimanakah kekuatan mengikat Peraturan Menteri tersebut? Pasal 8 ayat (2) UU No.
12/2011 menegaskan:
“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.” (cetak tebal oleh penjawab)
Dari ketentuan di atas, terdapat dua syarat agar peraturan-peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
UU No. 12/2011 memiliki kekuatan mengikat sebagai peraturan perundang-undangan, yaitu:
Dalam doktrin, hanya dikenal dua macam peraturan perundang-undangan dilihat dasar kewenangan
pembentukannya, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar:
A. Hamid S. Attamimmi (1990, hlm. 352), menegaskan Atribusi kewenangan perundang-undangan diartikan
penciptaan wewenang (baru)oleh konstitusi/grondwet atau oleh pembentuk undang-undang (wetgever) yang
diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang dibentuk baruuntuk itu.
Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan atribusian dalam UUD 1945, berupa Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan Peraturan Daerah (Perda). Dalam UU No.
12/2011 juga dikenal satu jenis peraturan perundang-undangan atribusian di luar UUD 1945, yaitu Peraturan
Presiden (Perpres), yang pada masa lalu dikenal sebagai Keputusan Presiden yang bersifat mengatur yang dasarnya
adalah Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
Sementara itu, delegasi dalam bidang perundang-undangan ialah pemindahan/ penyerahankewenangan untuk
membentuk peraturan dari pemegang kewenangan asal yang memberdelegasi (delegans) kepada yang menerima
delegasi (delegataris) dengan tanggungjawab pelaksanaan kewenangan tersebut pada delegataris sendiri, sedangkan
tanggungjawab delegans terbatas sekali (A. Hamid S. Attamimmi: 1990, hlm. 347).
Contohnya dari peraturan perundang-undangan delegasi, misalnya tergambar dalam Pasal 19 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, yang menegaskan bahwa: ”Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesiasebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.”
Peraturan menteri yang dibentuk atas dasar perintah dari undang-undang tersebut dikategorikan sebagai peraturan
perundang-undangan atas dasar delegasi (delegated legislation). Dengan demikian, secara umum peraturan
perundang-undangan delegasi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar perintah peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kembali pada persoalan keberadaan dan kekuatan mengikat peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal
8 ayat (1) UU No. 12/2011, termasuk Peraturan Menteri, Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011 tidak hanya mengatur
keberadaan peraturan perundang-undangan atas dasar delegasi (peraturan yang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi). Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011 juga menegaskan adanya peraturan
perundang-undangan “yang dibentuk atas dasar kewenangan”.
Istilah “kewenangan” dalam ketentuan tersebut, tentu saja bukan kewenangan membentuk peraturan melainkan
kewenangan pada ranah lain. Misalnya, Menteri melaksanakan kewenangan atas urusan pemerintahan tertentu yang
merupakan kekuasaan Presiden. Artinya, apabila Menteri membentuk Peraturan Menteri tanpa adanya “perintah dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”, Peraturan Menteri tersebut tetap dikategorikan sebagai peraturan
perundang-undangan. Padahal dalam doktrin tidak dikenal jenis peraturan perundang-undangan demikian.
Hal ini perlu dikaji lebih lanjut dari perspektif Ilmu Perundang-undangan terutama dalam kaitannya peraturan
perundang-undangan sebagai norma hukum yang bersifat hierarkis dimana norma hukum yang lebih rendah mencari
validitasnya pada norma hukum yang lebih tinggi sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen atau yang disebut oleh
Joseph Raz sebagai chain of validity (dalam Jimly Asshiddiqqie & M. Ali Safa’at: 2006, hlm. 157).
Dalam undang-undang sebelumnya (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004), tidak dikenal peraturan perundang-
undangan yang dibentuk atas dasar kewenangan, termasuk dalam hal peraturan menteri. Peraturan Menteri yang
dibentuk tanpa adanya pendelegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebelum berlaku UU No.
12/2011, dikenal secara teoritik sebagai peraturan kebijakan (beleidregels).Yaitu suatu keputusan pejabat
administrasi negara yang bersifat mengatur dan secara tidak langsung bersifat mengikat umum, namun bukan
peraturan perundang-undangan (Bagir Manan dan Kuntana Magnar: 1997, hlm. 169).
Karena bukan peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan tidak dapat diuji oleh Mahkamah Agung yang
memiliki kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Dengan adanya ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011, maka tidak lagi perbedaan antara Peraturan Menteri
yang merupakan peraturan perundang-undangan dengan Peraturan Menteri yang merupakan Aturan Kebijakan.
Kedudukan Peraturan Menteri yang telah dibentuk sebelum berlakunya UU No. 12/2011, tetap berlaku sepanjang
tidak dicabut atau dibatalkan. Namun demikian, menurut saya, terdapat dua jenis kedudukan Peraturan Menteri yang
dibentuk sebelum berlakunya UU No. 12/2011. Pertama, Peraturan Menteri yang dibentuk atas dasar perintah
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan.
Kedua, Peraturan Menteri yang dibentuk bukan atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
(atas dasar kewenangan), berkualifikasi sebagai Aturan Kebijakan. Hal ini disebabkan UU No. 12/2011 berlaku
sejak tanggal diundangkan (vide Pasal 104 UU No. 12/2011 2011), sehingga adanya Peraturan Menteri yang
dibentuk sebelum tanggal diundangkannya UU No. 12/2011 masih tunduk berdasarkan ketentuan undang-undang
yang lama (UU No.10/2004). Konsekuensinya, hanya Peraturan Menteri kategori pertama di atas, yang dapat
dijadikan objek pengujian Mahkamah Agung.
Selanjutnya, kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk setelah berlakunya UU No. 12/2011, baik yang dibentuk
atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun yang dibentuk atas dasar kewenangan
di bidang urusan pemerintahan tertentu yang ada pada menteri, berkualifikasi sebagai peraturan perundang-
undangan. Dengan demikian, Peraturan Menteri tersebut memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat umum
dan dapat dijadikan objek pengujian pada Mahkamah Agung, apabila dianggap bertentangan dengan undang-
undang. Sekedar menegaskan kembali, kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk tanpa delegasi/ atas
kewenangan di bidang administrasi negara perlu dikaji lebih lanjut.
Dasar Hukum:
Sebetulnya, niatan saya hendak membagikan beberapa materi hukum secara sistematis
dan komprehensif. Akan tetapi, berhubung terbatasnya waktu dan belum tepatnya
jadwal yang telah direncanakan, saya akan membagikan materi yang penting-penting
terlebih dahulu. Seperti pentingnya penggunaan istilah Amendemen dan Hierarki
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dan Perubahannya ini. Adapun
alasan saya menjadikan materi dalam postingan ini sebagai salah satu -yang penting-
karena kami (mungkin juga Anda) akan ditanya mengenai hal ini. Seperti,
bagaimanakah kedudukan konstitusi, bagaimanakah kedudukan undang-undang, dsb.
Khususnya bagi saya selaku mahasiswa hukum, saya -dkk- sering ditanya mengenai tata
urut peraturan perundang-undangan. Adapun urgensinya terletak pada asas hukum
yang berlaku yakni, peraturan -hukum- yang berada dibawah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan -hukum- yang berada diatasnya (Lex Superior Derogat Legi
Inferiori). Untuk memenuhi pemahaman kita mengenai hal ini, maka saya merasa perlu
untuk membagikan hal ini kepada pembaca sekalian. Kurang lebihnya, saya memohon
saran dan kritik yang konstruktif.
MATERI
Dimanakah kita dapat menemukan hukum? Dimanakah kita dapat menggali hukum?
Bagaimanakah hukum dapat memiliki kekuatan hukum mengikat? Bagaimanakah
hukum dapat memiliki kekuatan memaksa? Rasa-rasanya pertanyaan tersebut
merupakan pertanyaan alamiah yang akan diajukan oleh segenap orang yang hendak
memaknai hukum sebagai sebuah peraturan. Secara jujur, kita tak dapat memaknai
hukum sebagai suatu aturan yang dipatuhi tanpa memahami alasan dari kepatuhan
kita. Apabila kita mau belajar dan memahami, maka kita akan mengetahui dengan
gembira karena kita telah menemukan esensi dari segala hal, termasuk hukum itu
sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang penulis cantumkan sebelumnya merupakan jalan
bagi kita untuk sampai pada apa yang dinamakan dengan Sumber Hukum. Penulis tidak
akan -tidak berniat- untuk membahas mengenai materi Sumber Hukum, karena itu
sudah direncanakan masuk pada pembahasan lain. Adapun masuknya materi tersebut
karena tidak lain bahwa Peraturan Perundangan-undangan merupakan salah satu
sumber hukum, baik secara positif (di Indonesia) maupun universal (di negara hukum).
Sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukum. Alga
membagi sumber hukum menjadi dua, yakni sumber hukum Materil dan sumber
hukum Formil. Sumber hukum materil merupakan tempat darimana materi hukum itu
diambil. Berkaitan dengan muatan atau isi yang menjadi objek studi penting sosiologi
hukum. Sedangkan sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber darimana
suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Berkaitan dengan bentuk atau cara yang
menyebabkan peraturan hukum itu berlaku formal. Undang-undang sendiri merupakan
salah satu contoh sumber hukum formil, karena dilihat dari bentuk dan cara terjadinya
merupakan ketetapan penguasa (Legislatif dan Eksekutif) yang memperoleh sebutan
"undang-undang".
Bahasan tidak akan meluas hingga pengertian Undang-undang, Proses pembuatan
undang-undang ataupun hal ihwal lainnya. Disini, pembahasan akan berlanjut kepada
hierarki peraturan perundang-undangan itu sendiri. Di dalam sistem perundang-
undangan dikenal adanya hierarchie (urutan). Tata urutannya berjenjang dan sesuai
tingkatannya. Ada peraturan yang lebih tinggi dan ada peraturan yang lebih rendah
(misalnya: Grondwet, Wet, A.M.v.B, Ordonnantie, Regeringsverordening, UUD, UU,
PP, dll). Tata urutan peraturan tersebut tidak menghendaki adanya konflik atau
pertentangan satu sama lain. Tidak lain diadakannya hierarki itu sendiri, karena
memang tujuannya tidak dikehendakinya suatu ketidakpastian hukum, dimana setiap
aturan memiliki porsinya, memiliki kekuatannya. Adapun dalam prosesnya, peraturan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi;
mengenai aturan yang sama. Apabila terjadi konflik, munculnya dua aturan mengenai
hal yang sama, maka peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih
rendah. Hakikatnya, peraturan yang rendah tersebut tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi. Hal ini dikenal dengan asas hukum Lex Superior Derogat
Legi Inferiori.
Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3, UUD'45) tentulah -harus- memiliki
peraturan perundang-undangannya. Dalam perkembangannya, aturan perundang-
undangan tersebut masuk dalam beberap fase. Hal itu tidaklah terlepas dari sejarah
Indonesia itu sendiri. Rupanya, sejarah memang menentukan hukum suatu negara,
suatu bangsa. Maknanya, sejarah disini memberikan pengetahuan bahwa pentingnya
kita untuk menelisik lebih dalam kedalam suatu peraturan yang diberlakukan
dimasanya (hukum positif pada saat itu). Mengapa penulis menyinggung hal ini, karena
untuk masuk kedalam fase-fase perubahan hierarki peraturan perundang-undangan,
mau tidak mau kita harus membuka kembali sejarah. Sejauh ini, perubahan tata urutan
perundang-undangan, berkaitan dengan perubahan rezim kepemimpinan. Diantaranya
masa orde lama (Surat Presiden Tanggal 20 Agustus 1959), masa transisi orde lama-
orde baru (TAP MPRS No. XX/MPRS/1966), masa transisi reformasi (TAP MPR No.
III/MPR/2000), masa reformasi (UU No. 10 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2011).
Adapun untuk penjabarannya akan dijelaskan dibawah ini.
Pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 dalam kurun waktu 5 juli 1959
sampai dengan 1966 atau masa orde lama, Presiden Soekarno dalam suratnya kepada
ketua DPR No. 2262/HK/59 Tanggal 20 Agustus 1959 yang selanjutnya dijelaskan
dengan surat Presiden No.3639/HK/59 Tanggal 26 November 1959, menyebutkan
bentuk-bentuk peraturan negara setelah Undang-Udang Dasar adalah:
1. Undang-Undang
2. Peraturan pemerintah
3. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu)
4. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959
5. Peraturan presiden didasarkan pada Pasal 4 ayat 1 UUD 1945, untuk
melaksanakan penetapan Presiden
6. Peraturan pemerintah untuk melaksanakan peraturan presiden (ini lain
daripada peraturan pemerintah ex Pasal 5 ayat 2 UUD 1945)
7. Keputusan presiden untuk melaksanakan pengangkatan
8. Peraturan/keputusan Menteri.
Pada saat berakhirnya masa pemerintahan Orde lama dan memasuki masa Orde Baru,
Presiden Soekarno menyurati Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR)
untuk perubahan tata urutan peraturan perundang-undangan. Kemudian,
dikembangkan oleh DPR-GR dan hasilnya di awal Orde Baru dengan dikeluarkannya
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia disingkat TAP
MPRSNo.XX/MPRS/1966. Dalam lampiran II (pokok Pikiran IIA) TAP MPRS tersebut
disebutkan Bentuk dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 :
1. Undang-undang Dasar 1945 peraturan perundang-undangan yang tertinggi,
yang pelaksanaannya dengan ketetepan MPR, atau keputusan presiden
2. Ketetapan MPR. Menurut TAP MPR No. I/MPR/1973 tentang Tata Tertib MPR,
bentuk keputusan MPR ada dua macam, yaitu TAP MPR yang memuat garis-
garis besar dalam bidang legislatif yang dilaksanakan dengan undang-undang
dan TAP MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif yang
dilaksanakan dengan keputusan presiden.
3. Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk
melaksanakan UUD atau TAP MPR. Dalam kepentingan yang memaksa, presiden
berhak menetapkan peraturan sebagai pengganti undang-undang. Peraturan ini
harus mendapat persetujuan DPR. (Pasal 22 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945)
4. Peraturan Pemerintah yang memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan
undang-undang
5. Keputusan Presiden. Ini merupakan keputusan yang bersifat khusus (einmalig)
untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan UUD, TAP MPR dalam bidang
eksekutif atau peraturan pemerintah
6. Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti:
Peraturan Menteri;
Instruksi Menteri;
Dan lain-lain-nya.
Menurut Ass Tambunan dalam bukunya yang berjudul MPR, Perkembangan dan
Pertumbuhannya, Suatu Pengamatan dan Analisis, mengatakan bahwa bentuk/ jenis
peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam TAP MPRS No.XX/MPRS/1966
diilhami oleh tulisan Mohammad Yamin dalam bukunya yang berjudul : Naskah
Persiapan Undang-undang Dasar, Mohammad Yamin mengatakan bahwa bentuk-
bentuk peraturan Negara adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
3. Putusan MPR
4. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit 5 Juli1959
5. Peraturan Presiden, peraturan tertulis untuk mengatur kekuasaan presiden
berdasarkan pasal 4 ayat (1) UUD 1945
6. Keputusan Presiden, peraturan tertulis untuk menjalankan Peraturan Presiden
atau Undang-Undang di bidang pengangkatan/pemberhentian personalia
7. Surat keputusan presiden, penentuan tugas pegawai
8. Undang-Undang
9. Peraturan pemerintah untuk melaksanakan Penetapan Presiden
10. Peraturan pemerintah untuk pengganti Undang-Undang
11. Peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang
12. Peraturan dan keputusan penguasa Perang
13. Peraturan dan keputusan Pemerintah Daerah
14. Peraturan tata tertib dewan dan peraturan/keputusan dewan. Yang di maksud
dengan Dewan misalnya MPR, DPR, Dewan Menteri, DPA, dan Dewan
Perancang Nasional.
15. Peraturan dan keputusan Menteri, yang di terbitkan atas tanggungan seorang
atau bersama Menteri.
Dari hal tersebut di atas, seperti yang disebutkan oleh Mohammad Yamin,
menempatkan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan MPR) berada
diurutan ketiga setelah UUD 1945 dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dari inilah awal
mulanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dimasukkan kedalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang kemudian dicantumkan kedalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.XX/MPRS/1966.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memuat tentang ketentuan baru, yakni
masuknya kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hierarki dalam
peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa hirarki
peraturan perundang-undangan terdiri dari:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
4. Peraturan pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Propinsi dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten.
1. UUD RI 1945
2. TAP MPRS
3. UU/Perpu
4. PP
5. Keputusan Presiden
► Peraturan Menteri
► instruksi Menteri
► dan lain-lainnya
3. Undang-Undang;
5. Peraturan Pemerintah;
6. Keputusan presiden;
7. Peraturan Daerah.
UU Nomor 10 Tahun 2004
3. Peraturan pemerintah;
4. Peraturan presiden;
5. Peraturan Daerah.
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
• Pada hakikatnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) sama dan sederajat
dengan Undang-Undang, hanya syarat pembentukannya yang berbeda.
ditetapkan oleh :
d. Mahkamah Agung,
e. Mahkamah Konstitusi,
g. Komisi Yudisial,
h. Bank Indonesia,
i. Menteri,
j. Badan,
k. Lembaga,
l. Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang,
n. Gubernur,
p. Bupati/Walikota,
q. Kepala Desa atau yang setingkat”.
• “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.
• Menteri selain sebagai pejabat publik adalah pejabat administrasi negara, serta melaksanakan
hak dan kewajiban atau wewenang departemennya berhak membuat aturan-aturan.
• Wewenang mengatur ini dapat bersumber dari atribusi, delegasi, mandat, atau dasar kebebasan
bertindak (freiesermessen, discretion, discretionary power),
• Berdasarkan aneka ragam sumber wewenang mengatur tersebut, pengertian mengatur tidak
hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan,tapi juga termasuk Peraturan Kebijakan
(beleidsregel) dan berbagai bentuk keputusan yang bersifat umum lainnya.
• Kumpulan dari aneka ragam ini di Belanda dinamakan "besluiten van algemene strekking."