You are on page 1of 25

Makna Peraturan Perundang-undangan Nasional

Peraturan perundangan-undangan berbeda dengan Undang-Undang,


karena Undang-Undang hanya merupakan salah satu bagian dari
peraturan perundang-undangan. Peraturan Peundang-Undangan itu sendiri
adalah semua pertauran tertulis yang dibentuk dengan cara-cara tertentu
oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis.

Menurut Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-Undangan, dinyatakan bahwa Peraturan
Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur
yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, fungsi peraturan perundang-


undangan, antara lain sebagai berikut:
a) sebagai norma hukum bagi warga negara karena beisi peraturan untuk
membatasi tingkah laku manusia sebagai warga negara yang harus ditaati,
dipatuhi, dan dilaksanakan. Bagi mereka yang melanggar diberi sanksi
atau hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga terjamin rasa
keadilan dan kebenaran.
b) Menentukan aturan-aturan yang menjadi pedoman dalam menjalankan
hubungan antar sesama manusia sebabagi warga negara dan warga
masyarakat
c) untuk mengatur kehidupan manusia sebagai warga negara agar
kehidupannya sejahtera. aman, rukun, dan harmonis;
d) untuk menciptakan suasana aman, tertib, tenteram dan kehidupan yang
harmonis rasa.
e) untuk memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi warga negara.
f) untuk memberikan perlindungan atas hak asasi manusia.

Untuk memahami perundang-undangan yang berlaku, kita harus


memahami susunan tata urutan perundang-undangan. Ini disebabkan
susunan tata urutan perundangan-undangan mengajar prinsip-prinsip:
a) Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat
dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah atau berada di bawahnya.
b) Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau
memiliki dasar hukum dari peraturan perundangan-undangan tingkat lebih
tinggi.
c) Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
d) Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau
diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
paling tidak dengan yang sederajat.
e) Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi
yang sama, perturan yang terbaru harus diberlakukan walaupun tidak
dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama dicabut.
f) Peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Adapun azas-azas dalam pembentukan peraturan perundangan sesuai


Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 adalah sebagai berikut :
a. Kejelasan tujuan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-
undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat , adalah setiap jenis
peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.
peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi
hukum apabila dibuat oleh lembaga yang tidak berwewenang
c. Kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan, adalah bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan
d. Dapat dilaksanakan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan
perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis,
sosiologis, maupun yuridis
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, adalah bahwa setiap peraturan
perundang undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara
f. Kejelasan rumusan, adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan
harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-
undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang
jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Keterbukaan, adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai
kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
pembentukan.

Terkait materi yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan


menurut Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 juga harus mencerminkan
asas :
a. Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat.
b. Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
d. Kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat
dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat
di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
f. Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa materi muatan peraturan perundang-
undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
g. Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara.
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat
hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i. Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu,
masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara

B. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Dalam kajia hukum, tata urutan peraturan perundang-undangan disusun


berdasarkan pandangan bahwa sistem hukum merupakan sistem hierarki
dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus
berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi. Hal ini sesuai Teori
Stufenbau (Stufen Theory) atau yang dipopulerkan oleh ahli ilmu hukum
yang bernama Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum
merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma
hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang
lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus
berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm).
Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya
tidak kongkrit (abstrak) .Contoh norma hukum paling dasar abstrak adalah
Pancasila.

Bagaimana susunan tata urutan perundang-undangan di Indonesia?


Berdasarkan Tap MPRS NO. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum
DPR-GR mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata
urutan perundang-undangan Republik Indonesia. Tata urutan peraturan
perundang-undangan RI yaitu
1) UUD 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) Undang-Undang;
4) Peraturan Pemerintah (PP);
5) Keputusan Presiden;
6) Peraturan Pelaksana yang terdiri dari : Peraturan Menteri dan Instruksi
Menteri.
Catatan: Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.

Berdasarkan Tap MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Undang-Undang, Tata urutan peraturan perundang-
undangan RI yaitu :
1) UUD 1945;
2) Tap MPR;
3) Undang-Undang
4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu);
5) Peraturan Pemerintah (PP)
6) Keppres;
7) Peraturan Daerah;
Ketentuan dalam Tap MPR ini sudah tidak berlaku.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan., Jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia adalah sebagai
berikut :
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perppu);
3) Peraturan Pemerintah;
4) Peraturan Presiden;
5) Peraturan Daerah.
Catatan: Ketentuan dalam Undang-Undang ini sudah tidak berlaku.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan Republik Indonesia adalah sebagai berikut:
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Ketetapan MPR;
3) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perppu);
4) Peraturan Pemerintah (PP)
5) Peraturan Presiden;
6) Peraturan Daerah Provinsi;
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Lalu, aturan mana terkait Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan


di Indonesia yang saat ini berlaku? Tentunya aturan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011. Ketentuan ini sesuai asas dan prinsip hukum
bahwa peraturan atau Undang-Undang terbaru yang mengatur persoalan
yang sama menggantikan peraturan atau Undang-Undang yang ada
sebelumnya. Hal ini dipertegas dalam Pasal 102 dimana berbunyi : “Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang- Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku”.

Sehingga dengan adanya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 ini


menggantikan Undang-undang yang lama yaitu Undang-undang Nomor 10
tahun 2004 dan peraturan yang ada sebelumnya.

Penjelasan lebih lanjut mengenai urutan perundangan-undangan ini adalah


sebagai berikut:

1. UUD 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Hukum Dasar tertulis Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan berfungsi sebagai sumber hukum
tertinggi. Menurut. L.J. van Apeldom, Undang-Undang Dasar adalah bagian
tertulis dari suatu konstitusi. Sementara itu E.C.S. Wade menyatakan,
bahwa Undang-Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka
dan tugas-tugas pokok dan badan-badan pemerintahan suatu negara dan
menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. Miriam
Budiardjo, menyatakan bahwa UndangUndang Dasar memuat ketentuan-
ketentuan mengenai organisasi negara, hak-hak asasi manusia, prosedur
mengubah UUD dan memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari
Undang-Undang Dasar.
Dalam tata peraturan perundang-undangan di negara Indonesia, menurut
Miriam Budiardjo ( 1981: 106-107) Undang-Undang Dasar 1945
mempunyai kedudukan yang istimewa dibandingkan dengan undang-
undang lainnya, hal ini dikarenakan
a) UUD dibentuk menurut suatu cara istimewa yang berbeda dengan
pembentukan UU biasa
b) UUD dibuat secara istimewa untuk itu dianggap sesuatu yang luhur.
c) UUD adalah piagam yang menyatakan cita-cita bangsa Indonesia dan
merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa

2. Ketetapan MPR

Ketetapan MPR adalah ketetapan yang dikeluarkan MPR sebagai


konsekuensi dari tugas, kedudukan dan kewenangan MPR sesuai UUD
1945.

Adapun yang dimaksud Ketetapan MPR yang menjadi sumber hukum


menurut penjelasan UU No 12 tahun 2011 adalah adalah Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003
tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,
tanggal 7 Agustus 2003.

3. Undang-Undang
Undang-undang merupakan peraturan perundang-undangan untuk
melaksanakan UUD 1945. Yang berwenang membuat UU adalah DPR
bersama Presiden. Adapun kriteria agar suatu masalah diatur dengan UU
antara lain :
a) UU dibentuk atas perintah ketentuan UUD 1945,
b) UU dibentuk atas perintah Ketetapan MPR,
c) UU dibentuk atas perintah ketentuan UU terdahulu,
d) UU dibentuk dalam rangka mencabut, mengubah dan menambah UU yang
sudah ada,
e) UU dibentuk karena berkaitan dengan hak sasai manusia,
f) UU dibentuk karena berkaitan dengan kewajiban atau kepentingan orang
banyak.

Adapun materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang


berisi:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)


Peraturan Pemerintah pengannti Undang-Undang (PERPU) dibentuk oleh
presiden tanpa terlebih dahulu rnendapat persetujuan DPR. Hal ini
dikarenakan PERPU dibuat dalam keadaan "darurat" dalam arti persoalan
yang muncul harus segera ditindaklanjuti. Namun demikian pada akhirnya
PERPU tersebut harus diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan.
ladi bukan berarti presiden dapat seenaknya mengeluarkan PERPPU,
karena pada akhirnya harus diajukan kepada DPR pada persidangan
berikutnya. Sebagai lembaga legislatif DPR dapat menerima atau menolak
PERPPU yang diajukan Presiden tersebut, konsekwensinya kalau
PERPPU tersebut ditolak, harus dicabut, dengan kata lain harus dinyakan
tidak berlaku lagi

Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama


dengan materi muatan Undang-Undang, yakni:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

5. Peraturan Pemerintah (PP)


Untuk melaksanakan suatu undang-undang, maka dikeluarkanlah
Peraturan Pemerintah. Jadi peraturan pemerintah tersebut merupakan
bentuk pelaksanaan dari suatu undang-undang. Itulah sebabnya materi
muatan Peraturan Pemerintah (PP) berisi materi untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya.

Adapun kriteria untuk dikeluarkannya Peraturan pemerintah adalah


sebagai berikut :
a) PP tidak dapat dibentuk tanpa adanya UU induknya,
b) PP tidak dapat mencantumkan sanksi pidana. jika UU induknya tidak
mencantumkan sanksi pidana,
c) PP tidak dapat memperluas atau mengurangi ketentuan UU induknya.
d) PP dapat dibentuk meskipun UU yang bersangkutan tidak menyebut -
secara tegas, asal PP tersebut untuk melaksanakan UU,

6. Peraturan Presiden
Peraturan Presiden merupakan peraturan perundang-undangan yang
dibentuk Presiden berdasarkan pasal 4 UUD 1945. Dilihat dari sifatnya
Presiden dapat membuat dua macam keputusan yaitu yang bersifat
pengaturan dan yang bersifat penetapan. Yang termasuk jenis peraturan
perundang-undangan adalah keputusan presiden yang bersfat pengaturan
atau yang dikenal dengan Peraturan Presiden .

Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan


oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan
Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan.

7. Peraturan Daerah (Perda)


Peraturan Daerah adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah daerah
Propinsi dan daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota. Masuknya
Peraturan Daerah dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang-
undangan yang lebuh tinggi. Selain itu Peraturan daerah inijuga dibuat
dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah. Dengan demikian kalau
Peraturan Daerah terse but dibuat sesuai kebutuhan daerah, dimungkinkan
Perda yang berlaku di suatu daerah KabupatenlKota belum tentu
diberlakukan di daerah kabupaten/ kota lain.
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.
Pertanyaan :
Kedudukan Peraturan Menteri dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-
undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah
Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian apakah Peraturan Menteri
sudah tidak dapat dijadikan dasar hukum? Bagaimana sebenarnya kedudukan Peraturan Menteri
setelah UU ini dikeluarkan, baik Peraturan Menteri yang dikeluarkan sebelum dan setelah
Undang-Undang ini dikeluarkan?
Jawaban :

Peraturan menteri dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (selanjutnya saya sebut sebagai UU No. 12/2011) tidak diatur dalam ketentuan Pasal ayat (1). Namun
demikian, jenis peraturan tersebut keberadaannya diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12/2011, yang menegaskan:

“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup
peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,
Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-
Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.” (cetak tebal oleh penjawab)

Walaupun ketentuan di atas tidak menyebut secara tegas jenis peraturan perundang-undangan berupa “Peraturan
Menteri”, namun frase “…peraturan yang ditetapkan oleh… menteri…” di atas, mencerminkan keberadaan
Peraturan Menteri sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Peraturan Menteri
setelah berlakunya UU No. 12/2011 tetap diakui keberadaannya.

Persoalan selanjutnya, bagaimanakah kekuatan mengikat Peraturan Menteri tersebut? Pasal 8 ayat (2) UU No.
12/2011 menegaskan:

“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.” (cetak tebal oleh penjawab)
Dari ketentuan di atas, terdapat dua syarat agar peraturan-peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
UU No. 12/2011 memiliki kekuatan mengikat sebagai peraturan perundang-undangan, yaitu:

1. diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; atau

2. dibentuk berdasarkan kewenangan.

Dalam doktrin, hanya dikenal dua macam peraturan perundang-undangan dilihat dasar kewenangan
pembentukannya, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar:

1. atribusi pembentukan peraturan perundang-undangan; dan

2. delegasi pembentukan peraturan perundan-undangan

A. Hamid S. Attamimmi (1990, hlm. 352), menegaskan Atribusi kewenangan perundang-undangan diartikan
penciptaan wewenang (baru)oleh konstitusi/grondwet atau oleh pembentuk undang-undang (wetgever) yang
diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang dibentuk baruuntuk itu.

Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan atribusian dalam UUD 1945, berupa Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan Peraturan Daerah (Perda). Dalam UU No.
12/2011 juga dikenal satu jenis peraturan perundang-undangan atribusian di luar UUD 1945, yaitu Peraturan
Presiden (Perpres), yang pada masa lalu dikenal sebagai Keputusan Presiden yang bersifat mengatur yang dasarnya
adalah Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.

Sementara itu, delegasi dalam bidang perundang-undangan ialah pemindahan/ penyerahankewenangan untuk
membentuk peraturan dari pemegang kewenangan asal yang memberdelegasi (delegans) kepada yang menerima
delegasi (delegataris) dengan tanggungjawab pelaksanaan kewenangan tersebut pada delegataris sendiri, sedangkan
tanggungjawab delegans terbatas sekali (A. Hamid S. Attamimmi: 1990, hlm. 347).

Contohnya dari peraturan perundang-undangan delegasi, misalnya tergambar dalam Pasal 19 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, yang menegaskan bahwa: ”Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga Negara Indonesiasebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.”

Peraturan menteri yang dibentuk atas dasar perintah dari undang-undang tersebut dikategorikan sebagai peraturan
perundang-undangan atas dasar delegasi (delegated legislation). Dengan demikian, secara umum peraturan
perundang-undangan delegasi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk atas dasar perintah peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Kembali pada persoalan keberadaan dan kekuatan mengikat peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal
8 ayat (1) UU No. 12/2011, termasuk Peraturan Menteri, Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011 tidak hanya mengatur
keberadaan peraturan perundang-undangan atas dasar delegasi (peraturan yang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi). Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011 juga menegaskan adanya peraturan
perundang-undangan “yang dibentuk atas dasar kewenangan”.

Istilah “kewenangan” dalam ketentuan tersebut, tentu saja bukan kewenangan membentuk peraturan melainkan
kewenangan pada ranah lain. Misalnya, Menteri melaksanakan kewenangan atas urusan pemerintahan tertentu yang
merupakan kekuasaan Presiden. Artinya, apabila Menteri membentuk Peraturan Menteri tanpa adanya “perintah dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”, Peraturan Menteri tersebut tetap dikategorikan sebagai peraturan
perundang-undangan. Padahal dalam doktrin tidak dikenal jenis peraturan perundang-undangan demikian.

Hal ini perlu dikaji lebih lanjut dari perspektif Ilmu Perundang-undangan terutama dalam kaitannya peraturan
perundang-undangan sebagai norma hukum yang bersifat hierarkis dimana norma hukum yang lebih rendah mencari
validitasnya pada norma hukum yang lebih tinggi sebagaimana dikemukakan Hans Kelsen atau yang disebut oleh
Joseph Raz sebagai chain of validity (dalam Jimly Asshiddiqqie & M. Ali Safa’at: 2006, hlm. 157).

Dalam undang-undang sebelumnya (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004), tidak dikenal peraturan perundang-
undangan yang dibentuk atas dasar kewenangan, termasuk dalam hal peraturan menteri. Peraturan Menteri yang
dibentuk tanpa adanya pendelegasian dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebelum berlaku UU No.
12/2011, dikenal secara teoritik sebagai peraturan kebijakan (beleidregels).Yaitu suatu keputusan pejabat
administrasi negara yang bersifat mengatur dan secara tidak langsung bersifat mengikat umum, namun bukan
peraturan perundang-undangan (Bagir Manan dan Kuntana Magnar: 1997, hlm. 169).

Karena bukan peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan tidak dapat diuji oleh Mahkamah Agung yang
memiliki kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Dengan adanya ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011, maka tidak lagi perbedaan antara Peraturan Menteri
yang merupakan peraturan perundang-undangan dengan Peraturan Menteri yang merupakan Aturan Kebijakan.

Kedudukan Peraturan Menteri yang telah dibentuk sebelum berlakunya UU No. 12/2011, tetap berlaku sepanjang
tidak dicabut atau dibatalkan. Namun demikian, menurut saya, terdapat dua jenis kedudukan Peraturan Menteri yang
dibentuk sebelum berlakunya UU No. 12/2011. Pertama, Peraturan Menteri yang dibentuk atas dasar perintah
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, berkualifikasi sebagai peraturan perundang-undangan.

Kedua, Peraturan Menteri yang dibentuk bukan atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
(atas dasar kewenangan), berkualifikasi sebagai Aturan Kebijakan. Hal ini disebabkan UU No. 12/2011 berlaku
sejak tanggal diundangkan (vide Pasal 104 UU No. 12/2011 2011), sehingga adanya Peraturan Menteri yang
dibentuk sebelum tanggal diundangkannya UU No. 12/2011 masih tunduk berdasarkan ketentuan undang-undang
yang lama (UU No.10/2004). Konsekuensinya, hanya Peraturan Menteri kategori pertama di atas, yang dapat
dijadikan objek pengujian Mahkamah Agung.

Selanjutnya, kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk setelah berlakunya UU No. 12/2011, baik yang dibentuk
atas dasar perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun yang dibentuk atas dasar kewenangan
di bidang urusan pemerintahan tertentu yang ada pada menteri, berkualifikasi sebagai peraturan perundang-
undangan. Dengan demikian, Peraturan Menteri tersebut memiliki kekuatan hukum yang bersifat mengikat umum
dan dapat dijadikan objek pengujian pada Mahkamah Agung, apabila dianggap bertentangan dengan undang-
undang. Sekedar menegaskan kembali, kedudukan Peraturan Menteri yang dibentuk tanpa delegasi/ atas
kewenangan di bidang administrasi negara perlu dikaji lebih lanjut.

Sekian dan semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


PENGANTAR

Sebetulnya, niatan saya hendak membagikan beberapa materi hukum secara sistematis
dan komprehensif. Akan tetapi, berhubung terbatasnya waktu dan belum tepatnya
jadwal yang telah direncanakan, saya akan membagikan materi yang penting-penting
terlebih dahulu. Seperti pentingnya penggunaan istilah Amendemen dan Hierarki
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia dan Perubahannya ini. Adapun
alasan saya menjadikan materi dalam postingan ini sebagai salah satu -yang penting-
karena kami (mungkin juga Anda) akan ditanya mengenai hal ini. Seperti,
bagaimanakah kedudukan konstitusi, bagaimanakah kedudukan undang-undang, dsb.
Khususnya bagi saya selaku mahasiswa hukum, saya -dkk- sering ditanya mengenai tata
urut peraturan perundang-undangan. Adapun urgensinya terletak pada asas hukum
yang berlaku yakni, peraturan -hukum- yang berada dibawah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan -hukum- yang berada diatasnya (Lex Superior Derogat Legi
Inferiori). Untuk memenuhi pemahaman kita mengenai hal ini, maka saya merasa perlu
untuk membagikan hal ini kepada pembaca sekalian. Kurang lebihnya, saya memohon
saran dan kritik yang konstruktif.

MATERI

Dimanakah kita dapat menemukan hukum? Dimanakah kita dapat menggali hukum?
Bagaimanakah hukum dapat memiliki kekuatan hukum mengikat? Bagaimanakah
hukum dapat memiliki kekuatan memaksa? Rasa-rasanya pertanyaan tersebut
merupakan pertanyaan alamiah yang akan diajukan oleh segenap orang yang hendak
memaknai hukum sebagai sebuah peraturan. Secara jujur, kita tak dapat memaknai
hukum sebagai suatu aturan yang dipatuhi tanpa memahami alasan dari kepatuhan
kita. Apabila kita mau belajar dan memahami, maka kita akan mengetahui dengan
gembira karena kita telah menemukan esensi dari segala hal, termasuk hukum itu
sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang penulis cantumkan sebelumnya merupakan jalan
bagi kita untuk sampai pada apa yang dinamakan dengan Sumber Hukum. Penulis tidak
akan -tidak berniat- untuk membahas mengenai materi Sumber Hukum, karena itu
sudah direncanakan masuk pada pembahasan lain. Adapun masuknya materi tersebut
karena tidak lain bahwa Peraturan Perundangan-undangan merupakan salah satu
sumber hukum, baik secara positif (di Indonesia) maupun universal (di negara hukum).

Sumber hukum adalah tempat kita dapat menemukan atau menggali hukum. Alga
membagi sumber hukum menjadi dua, yakni sumber hukum Materil dan sumber
hukum Formil. Sumber hukum materil merupakan tempat darimana materi hukum itu
diambil. Berkaitan dengan muatan atau isi yang menjadi objek studi penting sosiologi
hukum. Sedangkan sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber darimana
suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Berkaitan dengan bentuk atau cara yang
menyebabkan peraturan hukum itu berlaku formal. Undang-undang sendiri merupakan
salah satu contoh sumber hukum formil, karena dilihat dari bentuk dan cara terjadinya
merupakan ketetapan penguasa (Legislatif dan Eksekutif) yang memperoleh sebutan
"undang-undang".
Bahasan tidak akan meluas hingga pengertian Undang-undang, Proses pembuatan
undang-undang ataupun hal ihwal lainnya. Disini, pembahasan akan berlanjut kepada
hierarki peraturan perundang-undangan itu sendiri. Di dalam sistem perundang-
undangan dikenal adanya hierarchie (urutan). Tata urutannya berjenjang dan sesuai
tingkatannya. Ada peraturan yang lebih tinggi dan ada peraturan yang lebih rendah
(misalnya: Grondwet, Wet, A.M.v.B, Ordonnantie, Regeringsverordening, UUD, UU,
PP, dll). Tata urutan peraturan tersebut tidak menghendaki adanya konflik atau
pertentangan satu sama lain. Tidak lain diadakannya hierarki itu sendiri, karena
memang tujuannya tidak dikehendakinya suatu ketidakpastian hukum, dimana setiap
aturan memiliki porsinya, memiliki kekuatannya. Adapun dalam prosesnya, peraturan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi;
mengenai aturan yang sama. Apabila terjadi konflik, munculnya dua aturan mengenai
hal yang sama, maka peraturan yang lebih tinggi mengalahkan peraturan yang lebih
rendah. Hakikatnya, peraturan yang rendah tersebut tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi. Hal ini dikenal dengan asas hukum Lex Superior Derogat
Legi Inferiori.

Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3, UUD'45) tentulah -harus- memiliki
peraturan perundang-undangannya. Dalam perkembangannya, aturan perundang-
undangan tersebut masuk dalam beberap fase. Hal itu tidaklah terlepas dari sejarah
Indonesia itu sendiri. Rupanya, sejarah memang menentukan hukum suatu negara,
suatu bangsa. Maknanya, sejarah disini memberikan pengetahuan bahwa pentingnya
kita untuk menelisik lebih dalam kedalam suatu peraturan yang diberlakukan
dimasanya (hukum positif pada saat itu). Mengapa penulis menyinggung hal ini, karena
untuk masuk kedalam fase-fase perubahan hierarki peraturan perundang-undangan,
mau tidak mau kita harus membuka kembali sejarah. Sejauh ini, perubahan tata urutan
perundang-undangan, berkaitan dengan perubahan rezim kepemimpinan. Diantaranya
masa orde lama (Surat Presiden Tanggal 20 Agustus 1959), masa transisi orde lama-
orde baru (TAP MPRS No. XX/MPRS/1966), masa transisi reformasi (TAP MPR No.
III/MPR/2000), masa reformasi (UU No. 10 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2011).
Adapun untuk penjabarannya akan dijelaskan dibawah ini.

A. Berdasarkan Surat Presiden No.3639/Hk/59 Tanggal 26 November 1959

Pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 dalam kurun waktu 5 juli 1959
sampai dengan 1966 atau masa orde lama, Presiden Soekarno dalam suratnya kepada
ketua DPR No. 2262/HK/59 Tanggal 20 Agustus 1959 yang selanjutnya dijelaskan
dengan surat Presiden No.3639/HK/59 Tanggal 26 November 1959, menyebutkan
bentuk-bentuk peraturan negara setelah Undang-Udang Dasar adalah:
1. Undang-Undang
2. Peraturan pemerintah
3. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu)
4. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959
5. Peraturan presiden didasarkan pada Pasal 4 ayat 1 UUD 1945, untuk
melaksanakan penetapan Presiden
6. Peraturan pemerintah untuk melaksanakan peraturan presiden (ini lain
daripada peraturan pemerintah ex Pasal 5 ayat 2 UUD 1945)
7. Keputusan presiden untuk melaksanakan pengangkatan
8. Peraturan/keputusan Menteri.

Di sini tidak dicantumkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai bentuk


peraturan perundang-undangan karena menganggap Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat merupakan perwujudan dari Undang-Undang Dasar.

B. Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.


XX/MPRS/1966

Pada saat berakhirnya masa pemerintahan Orde lama dan memasuki masa Orde Baru,
Presiden Soekarno menyurati Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR)
untuk perubahan tata urutan peraturan perundang-undangan. Kemudian,
dikembangkan oleh DPR-GR dan hasilnya di awal Orde Baru dengan dikeluarkannya
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia disingkat TAP
MPRSNo.XX/MPRS/1966. Dalam lampiran II (pokok Pikiran IIA) TAP MPRS tersebut
disebutkan Bentuk dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 :
1. Undang-undang Dasar 1945 peraturan perundang-undangan yang tertinggi,
yang pelaksanaannya dengan ketetepan MPR, atau keputusan presiden
2. Ketetapan MPR. Menurut TAP MPR No. I/MPR/1973 tentang Tata Tertib MPR,
bentuk keputusan MPR ada dua macam, yaitu TAP MPR yang memuat garis-
garis besar dalam bidang legislatif yang dilaksanakan dengan undang-undang
dan TAP MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif yang
dilaksanakan dengan keputusan presiden.
3. Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk
melaksanakan UUD atau TAP MPR. Dalam kepentingan yang memaksa, presiden
berhak menetapkan peraturan sebagai pengganti undang-undang. Peraturan ini
harus mendapat persetujuan DPR. (Pasal 22 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945)
4. Peraturan Pemerintah yang memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan
undang-undang
5. Keputusan Presiden. Ini merupakan keputusan yang bersifat khusus (einmalig)
untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan UUD, TAP MPR dalam bidang
eksekutif atau peraturan pemerintah
6. Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti:
 Peraturan Menteri;
 Instruksi Menteri;
 Dan lain-lain-nya.

Menurut Ass Tambunan dalam bukunya yang berjudul MPR, Perkembangan dan
Pertumbuhannya, Suatu Pengamatan dan Analisis, mengatakan bahwa bentuk/ jenis
peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam TAP MPRS No.XX/MPRS/1966
diilhami oleh tulisan Mohammad Yamin dalam bukunya yang berjudul : Naskah
Persiapan Undang-undang Dasar, Mohammad Yamin mengatakan bahwa bentuk-
bentuk peraturan Negara adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
3. Putusan MPR
4. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit 5 Juli1959
5. Peraturan Presiden, peraturan tertulis untuk mengatur kekuasaan presiden
berdasarkan pasal 4 ayat (1) UUD 1945
6. Keputusan Presiden, peraturan tertulis untuk menjalankan Peraturan Presiden
atau Undang-Undang di bidang pengangkatan/pemberhentian personalia
7. Surat keputusan presiden, penentuan tugas pegawai
8. Undang-Undang
9. Peraturan pemerintah untuk melaksanakan Penetapan Presiden
10. Peraturan pemerintah untuk pengganti Undang-Undang
11. Peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang
12. Peraturan dan keputusan penguasa Perang
13. Peraturan dan keputusan Pemerintah Daerah
14. Peraturan tata tertib dewan dan peraturan/keputusan dewan. Yang di maksud
dengan Dewan misalnya MPR, DPR, Dewan Menteri, DPA, dan Dewan
Perancang Nasional.
15. Peraturan dan keputusan Menteri, yang di terbitkan atas tanggungan seorang
atau bersama Menteri.

Dari hal tersebut di atas, seperti yang disebutkan oleh Mohammad Yamin,
menempatkan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan MPR) berada
diurutan ketiga setelah UUD 1945 dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dari inilah awal
mulanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dimasukkan kedalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang kemudian dicantumkan kedalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.XX/MPRS/1966.

C. Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.III/MPR/


2000
Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No III/MPR/2000 yang
menyebutkan tata urutan peraturan perundang-undangan menempatkan kedudukan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat berada diurutan kedua setelah UUD 1945.
Ketetapan tersebut merupakan perubahan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara No.XX/MPRS/1966. Dikatakan bahwa sumber hukum dasar
nasional adalah Pancasila.

D. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan tidak lagi menempatkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada
Pasal 7 dinyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”, serta
kemudian juga dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4), tetapi harus dikatakan
bahwa status hukum tetaplah tidak jelas. Adanya ketidakpastian terhadap eksistensi
ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang masih berlaku tersebut keberadaannya tidak lagi diakui pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat cenderung
mengabaikan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku tersebut
baik dalam proses pembentukan undang-undang maupun dalam perumusan kebijakan
negara. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 telah mengandung kesalahan yang
sangat mendasar. Akibat kesalahan ini maka Ketetapan MPR RI No I/MPR/2003
menjadi tidak jelas statusnya. Di masa dulu, pelanggaran terhadap ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat bisa mengakibatkan jatuhnya memorandum DPR yang
berujung pada impeachment, tetapi pasca amandemen UUD 1945 langkah politik
semacam itu tidak bisa lagi digunakan. Sebab, Pasal 7A UUD 1945 menyatakan bahwa
impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bisa dilakukan apabila
Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
melakukan perbuatan tercela, dan atau apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Padahal ada 11 (sebelas) Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang sangat penting dan krusial jika diabaikan, apalagi
dilanggar. Disana ada TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, TAP
MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,
Pembagian, dan Pemamfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, Serta
Perimbangan Keungan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI, TAP MPR No
VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, TAP MPR No IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, TAP MPR No
VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, dan TAP-TAP MPR lainnya yang
sangat penting dan strategis. Tapi semuanya tidak ada sanksi dan konsekuensi apapun
baik secara hukum, politik, maupun manakala dilanggar. Seperti halnya Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi yang tidak jadi dibentuk sehingga pelanggaran HAM
seperti Kasus 1965, Tanjung Priok, Lampung, Kasus Orang Hilang, dan sebagainya
kehilangan modus dan instrumennya untuk menyelesaikannya. Sebab, modus dan
instrument yang sangat bijak seperti yang diamanatkan oleh TAP MPR No
V/MPR/2000 diabaikan.

Pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan, keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat menjadi tidak jelas. Karena dalam undang-undang ini posisi Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat dikeluarkan dari hirarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Nasib Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berjumlah 139 buah
menjadi tidak jelas status hukumnya. Namun, kondisi ini berakhir setelah DPR dan
Pemerintah telah sepakat memasukkan kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Hal ini terungkap dalam
Rapat Panitia Khusus revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Sehingga dari
rapat tersebut, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dibahas kembali dalam sidang
DPR sehingga direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam undang-undang terbaru hasil
revisi ini Ketetapan MPR (S) kembali dicantumkan dalam tata urut peraturan
perundangan Indonesia.

E. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memuat tentang ketentuan baru, yakni
masuknya kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hierarki dalam
peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa hirarki
peraturan perundang-undangan terdiri dari:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
4. Peraturan pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Propinsi dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten.

Dari pasal di atas, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat menduduki posisinya


yang benar dalam sistem hukum di Indonesia dan kembali menjadi sumber hukum
formal dan material. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat harus kembali
menjadi rujukan atau salah satu rujukan selain UUD 1945 bukan hanya dalam
pembentukan perundang-undangan di Indonesia, melainkan juga dalam pembentukan
kebijakan-kebijakan publik lainnya. DPR dan Pemerintah (Presiden) mutlak harus
memperhatikan ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih
berlaku, bahkan merujuk kepadanya dalam pembentukan undang-undang dan
peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Saya pelajar, kita pemelajar. Mari kita sama-sama belajar!


Terima kasih atas kunjungannya, kritik dan saran yang konstuktif amat berarti,
Salam keadilan,
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan

TAP MPRS No. XX/MPRS/1966

1. UUD RI 1945

2. TAP MPRS

3. UU/Perpu

4. PP

5. Keputusan Presiden

6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti:

► Peraturan Menteri

► instruksi Menteri

► dan lain-lainnya

TAP MPR Nomor IIl/MPR/2000

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik lndonesia;

3. Undang-Undang;

4. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang;

5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan presiden;

7. Peraturan Daerah.
UU Nomor 10 Tahun 2004

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang/peraturan pemerintah pengganti Undang-undang;

3. Peraturan pemerintah;

4. Peraturan presiden;

5. Peraturan Daerah.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik lndonesia;

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Presiden;

6. Peraturan Daerah Provinsi;

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

penjelasan pasal 22 UUD 1945

• Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) setingkat Undang-Undang


dan berfungsi sebagai Undang-Undang darurat (emergency law).

• Pada hakikatnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) sama dan sederajat
dengan Undang-Undang, hanya syarat pembentukannya yang berbeda.

• Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dibentuk oleh Presiden untuk


antisipasi keadaan yang "genting dan memaksa” Jadi ada unsur paksaan keadaan terhadap yang
harus segera diantisipasi, tetapi masih dalam koridor hukum
penjelasan Pasal 8 ayat (1)

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang

ditetapkan oleh :

a. Majelis Permusyawaratan Rakyat,

b. Dewan Perwakilan Rakyat,

c. Dewan Perwakilan Daerah,

d. Mahkamah Agung,

e. Mahkamah Konstitusi,

f. Badan Pemeriksa Keuangan,

g. Komisi Yudisial,

h. Bank Indonesia,

i. Menteri,

j. Badan,

k. Lembaga,

l. Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang,

m. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,

n. Gubernur,

o. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,

p. Bupati/Walikota,
q. Kepala Desa atau yang setingkat”.

penjelasan Pasal 8 ayat (2)

• “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.

Bagir Manan dikutip oleh Ni'matul Huda

• Dalam sistem ketatanegaraan di manapun, wewenang menteri membuat peraturan


(administratif) diakui dan mempunyai sifat peraturan perundang-undangan.

• Menteri selain sebagai pejabat publik adalah pejabat administrasi negara, serta melaksanakan
hak dan kewajiban atau wewenang departemennya berhak membuat aturan-aturan.

• Wewenang mengatur ini dapat bersumber dari atribusi, delegasi, mandat, atau dasar kebebasan
bertindak (freiesermessen, discretion, discretionary power),

• Berdasarkan aneka ragam sumber wewenang mengatur tersebut, pengertian mengatur tidak
hanya terbatas pada peraturan perundang-undangan,tapi juga termasuk Peraturan Kebijakan
(beleidsregel) dan berbagai bentuk keputusan yang bersifat umum lainnya.

• Kumpulan dari aneka ragam ini di Belanda dinamakan "besluiten van algemene strekking."

You might also like