Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
Kotler (1997) dan Tjiptono (2004), menjelaskan karakteristik dari pelayanan sebagai berikut :
a. Intangibility (tidak berwujud), yaitu suatu pelayanan mempunyai sifat tidak berwujud, tidak dapat
dirasakan atau dinikmati, tidak dapat dilihat, didengar dan dicium sebelum dibeli oleh konsumen. Misalnya
: pasien dalam suatu rumah sakit akan merasakan bagaimana pelayanan keperawatan yang
diterimanya setelah menjadi pasien rumah sakit tersebut.
b. Inseparibility (tidak dapat dipisahkan), yaitu pelayanan yang dihasilkan dan dirasakan pada waktu
bersamaan dan apabila dikehendaki oleh seseorang untuk diserahkan kepada pihak lainnya, dia
akan tetap merupakan bagian dari pelayanan tersebut. Dengan kata lain, pelayanan dapat diproduksi
dan dikonsumsi/dirasakan secara bersamaan. Misalnya : pelayanan keperawatan yang diberikan
pada pasien dapat langsung dirasakan kualitas pelayanannya.
c. Variability (bervariasi), yaitu pelayanan bersifat sangat bervariasi karena merupakan non
standardized dan senantiasa mengalami perubahan tergantung dari siapa pemberi pelayanan,
penerima pelayanan dan kondisi di mana serta kapan pelayanan tersebut diberikan. Misalnya :
pelayanan yang diberikan kepada pasien di ruang rawat inap kelas VIP berbeda dengan kelas tiga.
d. Perishability (tidak tahan lama), dimana pelayanan itu merupakan komoditas yang tidak tahan lama
dan tidak dapat disimpan. Misalnya : jam tertentu tanpa ada pasien di ruang perawatan, maka
pelayanan yang biasanya terjadi akan hilang begitu saja karena tidak dapat disimpan untuk
dipergunakan lain waktu.
Definisi pelayanan kesehatan menurut Depkes RI (2009) adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau
secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.
a. Struktur, sarana fisik, perlengkapan, dan perangkat organisasi dan manajemen mulai dari keuangan,
SDM, dan sumber daya lainnya
b. Proses, semua kegiatan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan mulai dari dokter, perawat,
apoteker dan professional lainnya dalam berinteraksi dan berkomuniksi dengan klien.
c. Output, hasil akhir kegiatan dan pelayanan professional yang telah diberikan kepada klien dalam
meningkatkan derajat kesehatan dan kepuasan klien
Berdasarkan kebijakan Depkes RI (1998), mutu pelayanan keperawatan adalah pelayanan kepada pasien yang
berdasarkan standar keahlian untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien, sehingga pasien dapat memperoleh
kepuasan dan akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan kepada rumah sakit, serta dapat menghasilkan
keunggulan kompetitif melalui pelayanan yang bermutu, efisien, inovatif dan menghasilkan customer
responsiveness.
Standar praktek keperawatan telah disahkan oleh MENKES Rl dalam Surat Keputusan Nomor :
660/Menkes/SK/IX/1987. Kemudian diperbaharui dan disahkan berdasarkan SK DIRJEN YANMED Rl No :
00.03.2.6.7637, tanggal 18 Agustus 1993. Kemudian pada tahun 1996,DPP PPNI menyusun standar profesi
keperawatan SK No: 03/DPP /SKI/1996 yang terdiri dari standar pelayanan keperawatan, praktek keperawatan,
standar pendidikan keperawatan dan standar pendidikan keperawatan berkelanjutan.
Mutu pelayanan keperawatan dapat merupakan suatu pelayanan keperawatan yang komprehensif meliputi bio-
psiko-sosio-spiritual yang diberikan oleh perawat profesional kepada pasien (individu, keluarga maupun
masyarakat) baik sakit maupun sehat, dimana perawatan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien
dan standar pelayanan. Namun pada dasarnya, definisi mutu pelayanan keperawatan itu dapat berbeda-beda
tergantung dari sudut pandang mana mutu tersebut dilihat. (Rakhmawati, 2009)
Berbagai sudut pandang mengenai definisi mutu pelayanan keperawatan tersebut diantaranya yaitu:
Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat dikatakan bahwa mutu pelayanan keperawatan didefinisikan
oleh pasien (individu, keluarga, masyarakat) sebagai pelaksanaan pelayanan keperawatan yang sesuai
dengan kebutuhannya yang berlandaskan rasa empati, penghargaan, ketanggapan, dan keramahan dari perawat
serta kemampuan perawat dalam memberikan pelayanan. Selain itu melalui pelayanan keperawatan tersebut,
juga dapat menghasilkan peningkatan derajat kesehatan pasien.
Mutu berdasarkan sudut pandang perawat sering diartikan dengan memberikan pelayanan keperawatan
sesuai yang dibutuhkan pasien agar menjadi mandiri atau terbebas dari sakitnya (Meishenheimer, 1989).
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Wijono (2000), bahwa mutu pelayanan berarti bebas melakukan segala
sesuatu secara profesional untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien dan masyarakat sesuai dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang maju, mutu pelayanan yang baik dan memenuhi standar yang baik.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perawat sebagai tenaga profesional yang memberikan pelayanan
keperawatan terhadap pasien mendefinisikan mutu pelayanan keperawatannya sebagai kemampuan
melakukan asuhan keperawatan yang profesional terhadap pasien (individu, keluarga, masyarakat) dan
sesuai standar keperawatan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mutu pelayanan difokuskan pada pengaturan staf, pasien dan masyarakat yang baik dengan menjalankan supervisi,
manajemen keuangan dan logistik dengan baik serta alokasi sumber daya yang tepat (Wijono, 2000).
Pelayanan keperawatan memerlukan manajemen yang baik sehingga manajer keperawatan mempunyai
peranan penting dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dengan melaksanakan fungsi-fungsi
manajemen dengan baik yang memfokuskan pada pengelolaan staf keperawatan dan pasien sebagai individu,
keluarga dan masyarakat. Selain itu pengelolaan pun mencakup pada manajemen keuangan dan logistik.
Meishenheimer (1989) mengemukakan bahwa mutu pelayanan diasumsikan sebagai kemampuan untuk
bertahan, pertimbangan penting mencakup tipe dan kualitas stafnya untuk memberikan pelayanan,
pertanggungjawaban intitusi terhadap perawatan terhadap pasien yang tidak sesuai, dan menganalisis
dampak keuangan terhadap operasional institusi. Sedangkan Wijono (2000) menjelaskan bahwa mutu dapat
berarti memiliki tenaga profesional yang bermutu dan cukup. Selain itu mengharapkan efisiensi dan
kewajaran penyelenggaraan pelayanan, minimal tidak merugikan dipandang dari berbagai aspek seperti tidak
adanya pemborosan tenaga, peralatan, biaya, waktu dan sebagainya.
Badan legislatif dan regulator sebagai pembuat kebijakan baik lokal maupun nasional lebih menekankan pada
mendukung konsep mutu pelayanan sambil menyimpan uang pada program yang spesifik. Dan selain itu
juga menekankan pada institusi-institusi pelayanan keperawatan dan fasilitas pelayanan keperawatan. Badan
akreditasi dan sertifikasi menyamakan kualitas dengan mempunyai seluruh persyaratan administrasi dan
dokumentasi klinik yang lengkap pada periode waktu tertentu dan sesuai dengan standar pada level yang
berlaku. Sertifikat mengindikasikan bahwa institusi pelayanan keperawatan tersebut telah sesuai standar
minimum untuk menjamin keamanan pasien. Sedangkan akreditasi tidak hanya terbatas pada standar
pendirian institusi tetapi juga membuat standar sesuai undang-undang yang berlaku (Meishenheimer , 1989).
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sebagai organisasi profesi mempunyai tanggung jawab dalam
meningkatkan profesi keperawatan. Sehingga untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan, organisasi
profesi tersebut membuat dan memfasilitasi kebijakan regulasi keperawatan yang mencakup sertifikasi, lisensi
dan akreditasi. Dimana regulasi tersebut diperlukan untuk meyakinkan masyarakat bahwa pelayanan keperawatan
yang diberikan telah berdasarkan kaidah suatu profesi dan pemberi pelayanan keperawatan telah memenuhi
standar kompetensi yang telah ditetapkan.
Menurut Departemen Kesehatan RI (1998), mutu pelayanan didefinisikan sebagai suatu hal yang menunjukkan
kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang dapat menimbulkan kepuasan klien sesuai dengan tingkat kepuasan
penduduk, serta pihak lain, pelayanan yang sesuai dengan kode etik dan standard pelayanan yang professional yang
telah ditetapkan.
Tappen (1995) menjelaskan bahwa mutu adalah penyesuaian terhadap keinginan pelanggan dan sesuai
dengan standar yang berlaku serta tercapainya tujuan yang diharapkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mutu
pelayanan kesehatan sesuatu hal yang dapat meningkatkan kepuasan dan kenyamanan klien dengan
menyelenggarakan sebuah pelayanan yang optimal sesuai dengan kode etik dan standard pelayanan professional
yang berlaku serta selalu menerapkan pelayanan yang dinamis berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
a. Wujud nyata (tangibles) adalah wujud Iangsung yang meliputi fasilitas fisik, yang mencakup kemutahiran
peralatan yang digunakan, kondisi sarana, kondisi SDM perusahaan dan keselarasan antara fasilitas fisik
dengan jenis jasa yang diberikan.
b. Kehandalan (reliability) adalah aspek-aspek keandalan system pelayanan yang diberikan oleh pemberi
jasa yang meliputi kesesuaian pelaksanaan pelayanan dengan rencana kepedulian perusahaan kepada
permasalahan yang dialami pasien, keandalan penyampaian jasa sejak awal, ketepatan waktu pelayanan
sesuai dengan janji yang dibenikan,keakuratan penanganan.
c. Ketanggapan (responsiveness) adalah keinginan untuk membantu dan menyediakan jasa yang
dibutuhkan konsumen. Hai ini meliputi kejelasan informasi waktu penyampaian jasa, ketepatan dan
kecepatan dalam pelayanan administrasi, kesediaan pegawai dalam membantu konsumen, keluangan
waktu pegawai dalam menanggapi permintaan pasien dengan cepat.
d. Jaminan (assurance) adalah adanya jaminan bahwa jasa yang ditawarkan memberikan jaminan
keamanan yang meliputi kemampuan SDM, rasa aman selama berurusan dengan karyawan, kesabaran
karyawan, dan dukungan pimpinan terhadap staf. Dimensi kepastian atau jaminan ini merupakan
gabungan dari dimensi :
1. Kompetensi (Competence), artinya keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh para
karyawan untuk melakukan pelayanan
2. Kesopanan (Courtesy), yang meliputi keramahan, perhatian dan sikap para karyawan
3. Kredibilitas (Credibility), meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan kepada
perusahaan, seperti reputasi, prestasi dan sebagainya.
e. Empati (empathy), berkaitan dengan memberikan perhatian penuh kepada konsumen yang meliputi
perhatian kepada konsumen, perhatian staf secara pribadi kepada konsumen, pemahaman akan
kebutuhan konsumen, perhatian terhadap kepentingan, kesesuaian waktu pelayanan dengan kebutuhan
konsumen. Dimensi empati ini merupakan penggabungan dari dimensi :
1. Akses (Acces), meliputi kemudahan untuk memafaatkan jasa yang ditawarkan
2. Komunikasi (Communication), merupakan kemapuan melaukan komunikasi untuk menyampaikan
informasi kepada pelanggan atau memperoleh masukan dari pelanggan
3. Pemahaman kepada pelanggan (Understanding the Customer), meliputi usaha perusahaan untuk
mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan
Quality Assurance mulai digunakan di rumah sakit sejak tahun 1960-an implementasi pertama yaitu audit
keperawatan. Strategi ini merupakan program untuk mendesain standar pelayanan keperawatan dan
mengevaluasi pelaksanaan standar tersebut (Swansburg, 1999). Sedangkan menurut Wijono (2000), Quality
Assurance sering diartikan sebagai menjamin mutu atau memastikan mutu karena Quality Assurance berasal
dari kata to assure yang artinya meyakinkan orang, mengusahakan sebaik-baiknya, mengamankan atau
menjaga. Dimana dalam pelaksanaannya menggunakan teknik-teknik seperti inspeksi, internal audit dan
surveilan untuk menjaga mutu yang mencakup dua tujuan yaitu : organisasi mengikuti prosedur pegangan kualitas,
dan efektifitas prosedur tersebut untuk menghasilkan hasil yang diinginkan.
Dengan demikian quality assurance dalam pelayanan keperawatan adalah kegiatan menjamin mutu yang
berfokus pada proses agar mutu pelayanan keperawatan yang diberikan sesuai dengan standar. Dimana
metode yang digunakan adalah : audit internal dan surveilan untuk memastikan apakah proses pengerjaannya
(pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien) telah sesuai dengan standar operating procedure
(SOP); evaluasi proses; mengelola mutu; dan penyelesaian masalah. Sehingga sebagai suatu sistem (input,
proses, outcome), menjaga mutu pelayanan keperawatan difokuskan hanya pada satu sisi yaitu pada proses
pemberian pelayanan keperawatan untuk menjaga mutu pelayanan keperawatan.
Continuous Quality Improvement dalam pelayanan kesehatan merupakan perkembangan dari Quality
Assurance yang dimulai sejak tahun 1980-an. Continuous Quality Improvement (Peningkatan mutu
berkelanjutan) sering diartikan sama dengan Total Quality Managementkarena semuanya mengacu pada
kepuasan pasien dan perbaikan mutu menyeluruh. Namun menurut Loughlin dan Kaluzny (1994, dalam
Wijono 2000) bahwa ada perbedaan sedikit yaitu Total Quality Management dimaksudkan pada program
industri sedangkan Continuous Quality Improvement mengacu pada klinis. Wijono (2000) mengatakan bahwa
Continuous Quality Improvement itu merupakan upaya peningkatan mutu secara terus menerus yang dimotivasi
oleh keinginan pasien. Tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu yang tinggi dalam pelayanan keperawatan
yang komprehensif dan baik, tidak hanya memenuhi harapan aturan yang ditetapkan standar yang berlaku.
Pendapat lain dikemukakan oleh Shortell dan Kaluzny (1994) bahwa Quality Improvement merupakan
manajemen filosofi untuk menghasilkan pelayanan yang baik. Dan Continuous Quality Improvement sebagai
filosofi peningkatan mutu yang berkelanjutan yaitu proses yang dihubungkan dengan memberikan pelayanan
yang baik yaitu yang dapat menimbulkan kepuasan pelanggan (Shortell, Bennett & Byck, 1998)
Sehingga dapat dikatakan bahwa Continuous Quality Improvement dalam pelayanan keperawatan adalah
upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan secara terus menerus yang memfokuskan mutu
pada perbaikan mutu secara keseluruhan dan kepuasan pasien. Oleh karena itu perlu dipahami mengenai
karakteristik-karakteristik yang dapat mempengaruhi mutu dari outcome yang ditandai dengan kepuasan pasien.
Total Quality Manajemen (manajemen kualitas menyeluruh) adalah suatu cara meningkatkan performansi secara
terus menerus pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi,
dengan menggunakan semua sumber daya manusia dan modal yang tersedia dan berfokus pada kepuasan
pasien dan perbaikan mutu menyeluruh
Struktur adalah semua input untuk sistem pelayanan sebuah RS yang meliputi M1 (tenaga), M2 (sarana prasarana),
M3 (metode asuhan keperawatan), M4 (dana), M5 (pemasaran), dan lainnya. Ada sebuah asumsi yang menyatakan
bahwa jika struktur sistem RS tertata dengan baik akan lebih menjamin mutu pelayanan. Kualitas struktur RS diukur
dari tingkat kewajaran, kuantitas, biaya (efisiensi), dan mutu dari masing-masing komponen struktur.
2. Proses
Proses adalah semua kegiatan dokter, perawat, dan tenaga profesi lain yang mengadakan interaksi secara
professional dengan pasien. Interaksi ini diukur antara lain dalam bentuk penilaian tentang penyakit pasien,
penegakan diagnosis, rencana tindakan pengobatan, indikasi tindakan, penanganan penyakit, dan prosedur
pengobatan.
3. Outcome
Outcome adalah hasil akhir kegiatan dokter, perawat, dan tenaga profesi lain terhadap pasien.
a. Indikator-indikator mutu yang mengacu pada aspek pelayanan meliputi:
1. Angka infeksi nosocomial: 1-2%
2. Angka kematian kasar: 3-4%
3. Kematian pasca bedah: 1-2%
4. Kematian ibu melahirkan: 1-2%
5. Kematian bayi baru lahir: 20/1000
6. NDR (Net Death Rate): 2,5%
7. ADR (Anasthesia Death Rate) maksimal 1/5000
8. PODR (Post Operation Death Rate): 1%
9. POIR (Post Operative Infection Rate): 1%
c. Indikator mutu yang berkaitan dengan kepuasan pasien dapat diukur dengan jumlah keluhan pasien/keluarganya,
surat pembaca dikoran, surat kaleng, surat masuk di kotak saran, dan lainnya.
d. Indikator cakupan pelayanan sebuah RS terdiri atas:
1. Jumlah dan presentase kunjungan rawat jalan/inap menurut jarak RS dengan asal pasien.
2. Jumlah pelayanan dan tindakan seperti jumlah tindakan pembedahan dan jumlah kunjungan SMF
spesialis.
3. Untuk mengukur mutu pelayanan sebuah RS, angka-angka standar tersebut di atas dibandingkan dengan
standar (indicator) nasional. Jika bukan angka standar nasional, penilaian dapat dilakukan dengan
menggunakan hasil penacatatan mutu pada tahun-tahun sebelumnya di rumah sakit yang sama, setelah
dikembangkan kesepakatan pihak manajemen/direksi RS yang bersangkutan dengan masing-masing
SMF dan staff lainnya yang terkait.
Standar Nasional
Ʃ BOR 75-80%
Ʃ GDR < 3%
Ʃ ADR 1,15.000
Ʃ PODR < 1%
Ʃ POIR < 1%
Indikator-indikator pelayanan rumah sakit dapat dipakai untuk mengetahui tingkat pemanfaatan, mutu, dan efisiensi
pelayanan rumah sakit. Indikator-indikator berikut bersumber dari sensus harian rawat inap :
Menurut Depkes RI (2005), BOR adalah prosentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu tertentu. Indikator ini
memberikan gambaran tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit.Nilai parameter BOR yang
ideal adalah antara 60-85% (Depkes RI, 2005).
Rumus :
TOI menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata hari dimana tempat tidur tidak ditempati dari telah diisi ke saat terisi
berikutnya.Indikator ini memberikan gambaran tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur.Idealnya tempat tidur
kosong tidak terisi pada kisaran 1-3 hari.
Rumus :
((jumlah tempat tidur × Periode) − Hari Perawatan)
(jumlah pasien keluar (hidup + mati))
BTO menurut Depkes RI (2005) adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur
dipakai dalam satu satuan waktu tertentu.Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali.
Rumus :
Jumlah pasien dirawat (hidup + mati)
(jumlah tempat tidur)
NDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap 1000 penderita keluar.
Indikator ini memberikan gambaran mutu pelayanan di rumah sakit.
Rumus :
Jumlah pasien mati > 48 jam × 100%
(jumlah pasien keluar (hidup + mati))
GDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian umum untuk setiap 1000 penderita keluar.
Rumus :
Jumlah pasien mati seluruhnya × 100%
(jumlah pasien keluar (hidup + mati))
Menurut Nursalam (2014), ada enam indikator utama kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit:
1. Keselamatan pasien (patient safety), yang meliputi: angka infeksi nosokomial, angka kejadian pasien
jatuh/kecelakaan, dekubitus, kesalahan dalam pemberian obat, dan tingkat kepuasan pasien terhadap
pelayanan kesehatan
2. Pengelolaan nyeri dan kenyamanan
3. Tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan
4. Perawatan diri
5. Kecemasan pasien
6. Perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) pasien.
Indikator keselamatan pasien (IPS) bermanfaat untuk mengidentifikasi area-area pelayanan yang memerlukan
pengamatan dan perbaikan lebih lanjut, misalnya untuk menunjukkan:
Indikator keselamatan pasien, sebagaimana dilaksanakan di SGH (Singapore General Hospital, 2006) meliputi:
a. Pasien jatuh disebabkan kelalaian perawat, kondisi kesadaran pasien, beban kerja perawat, model tempat tidur,
tingkat perlukaan, dan keluhan keluarga
b. Pasien melarikan diri atau pulang paksa, disebabkan kurangnya kepuasan pasien, tingkat ekonomi pasien,
respons pasien terhadap perawat, dan peraturan rumah sakit
c. Clinical incident diantaranya jumlah pasien flebitis, jumalah pasien ulkus decubitus, jumlah pasien pneumonia,
jumlah pasien tromboli, dan jumlah pasien edema paru karena pemberian cairan yang berlebih
d. Sharp injury, meliputi bekas tusukan infus yang berkali-kali, kurangnya ketrampilan perawat, dan complain
pasien.
e. Medication incident, meliputi lima tidak tepat(jenis, obat, dosis, pasien, cara, waktu)
2.3.1 Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit
WHO Collaborating Centre for Patient safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi menerbitkan “Nine Life Saving Patient
safety Solutions” (“Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit”). Panduan ini mulai disusun sejak
tahun 2005 oleh pakar keselamatan pasien dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai
masalah keselamatan pasien.
Sebenarnya petugas kesehatan tidak bermaksud menyebabkan cedera pasien, tetapi fakta tampak bahwa di bumi ini
setiap hari ada pasien yang mengalami KTD (Kejadian Tidak Diharapkan). KTD, baik yang tidak dapat dicegah (non
error) mau pun yang dapat dicegah (error), berasal dari berbagai proses asuhan pasien.
Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu mencegah atau mengurangi cedera
pasien yang berasal dari proses pelayanan kesehatan. Sembilan Solusi ini merupakan panduan yang sangat
bermanfaat membantu RS, memperbaiki proses asuhan pasien, guna menghindari cedera maupun kematian yang
dapat dicegah.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RS-RS di Indonesia untuk menerapkan Sembilan
Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit, atau 9 Solusi, langsung atau bertahap, sesuai dengan
kemampuan dan kondisi RS masing-masing.
a. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication Names)
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan staf pelaksana adalah salah satu penyebab
yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error) dan ini merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia.
Dengan puluhan ribu obat yang ada saat ini di pasar, maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat
bingung terhadap nama merek atau generik serta kemasan. Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol
untuk pengurangan risiko dan memastikan terbacanya resep, label, atau penggunaan perintah yang dicetak lebih
dulu, maupun pembuatan resep secara elektronik.
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien secara benar sering mengarah kepada
kesalahan pengobatan, transfusi maupun pemeriksaan; pelaksanaan prosedur yang keliru orang; penyerahan bayi
kepada bukan keluarganya, dsb. Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien,
termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini; standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit dalam
suatu sistem layanan kesehatan; dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini; serta penggunaan protokol untuk
membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama.
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien antara unit-unit pelayanan, dan didalam serta
antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan
potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap pasien. Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah
terima pasien termasuk penggunaan protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis; memberikan
kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat serah
terima,dan melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses serah terima.
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah.Kasus-kasus dengan pelaksanaan prosedur
yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak
adanya informasi atau informasinya tidak benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan-
kesalahan macam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah yang distandardisasi. Rekomendasinya
adalah untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan yang tergantung pada pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan;
pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas yang akan melaksanakan prosedur; dan adanya tim
yang terlibat dalam prosedur Time out sesaat sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan identitas pasien,
prosedur dan sisi yang akan dibedah.
Sementara semua obat-obatan, biologics, vaksin dan media kontras memiliki profil risiko, cairan elektrolit pekat yang
digunakan untuk injeksi khususnya adalah berbahaya.Rekomendasinya adalah membuat standardisasi dari dosis,
unit ukuran dan istilah; dan pencegahan atas campur aduk/bingung tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik.
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi/pengalihan. Rekonsiliasi (penuntasan perbedaan)
medikasi adalah suatu proses yang didesain untuk mencegah salah obat (medication errors) pada titik-titik transisi
pasien. Rekomendasinya adalah menciptakan suatu daftar yang paling lengkap dan akurat dan seluruh medikasi
yang sedang diterima pasien juga disebut sebagai “home medication list”, sebagai perbandingan dengan daftar saat
admisi, penyerahan dan/atau perintah pemulangan bilamana menuliskan perintah medikasi; dan komunikasikan
daftar tsb kepada petugas layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer atau dilepaskan.
Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan
terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) yang bisa menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan
spuit dan slang yang salah, serta memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru. Rekomendasinya
adalah menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara detail/rinci bila sedang mengenjakan pemberian
medikasi serta pemberian makan (misalnya slang yang benar), dan bilamana menyambung alat-alat kepada pasien
(misalnya menggunakan sambungan & slang yang benar).
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV, HBV, dan HCV yang diakibatkan oleh pakai
ulang (reuse) dari jarum suntik. Rekomendasinya adalah penlunya melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan
kesehatan; pelatihan periodik para petugas di lembaga-lembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsip-
pninsip pengendalian infeksi,edukasi terhadap pasien dan keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui
darah;dan praktek jarum sekali pakai yang aman.
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita infeksi yang diperoleh di
rumah-rumah sakit. Kebersihan Tangan yang efektif adalah ukuran preventif yang pimer untuk menghindarkan
masalah ini. Rekomendasinya adalah mendorong implementasi penggunaan cairan “alcohol-based hand-rubs”
tersedia pada titik-titik pelayan tersedianya sumber air pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan
taangan yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja; dan pengukuran kepatuhan penerapan
kebersihan tangan melalui pemantauan/observasi dan tehnik-tehnik yang lain.
3. Hak Pasien
a. Pasal 32d UU No.44/2009; “Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan kesehatan yang bermutu
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional”
b. Pasal 32e UU No.44/2009; “Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang efektif dan efisien
sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi”
c. Pasal 32j UU No.44/2009; “Setiap pasien mempunyai hak tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko
dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan
biaya pengobatan”
d. Pasal 32q UU No.44/2009; “Setiap pasien mempunyai hak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit
apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara
perdata ataupun pidana”
Pasal 43 UU No.44/2009
2.4 Kenyamanan
Fenomena nyeri timbul karena adanya kemampuan system saraf untuk mengubah berbagai stimulus mekanis, kimia,
termal, elektris menjadi potensial aksi yang dijalarkan ke sistem saraf pusat. Nyeri merupakan suatu mekanisme
protektif bagi tubuh yang akan muncul bila jaringan tubuh rusak, sehingga individu akan bereaksi atau berespons
untuk menghilangkan mengurangi rangsang nyeri. Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya
berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial (Nursalam, 2014).
Persepsi adalah interpretasi pengalaman nyeri dimulai saat pertama pasien sadar adanya nyeri. Arti nyeri bagi setiap
individu berbeda, bisa dianggap sebagai respon positif atau negatif
2. Toleransi individu terhadap nyeri
Toleransi nyeri adalah toleransi seseorang yang berhubungan dengan intensitas nyeri dimana individu dapat
merespon nyeri lebih baik atau sebaliknya
3. Ambang nyeri
Ambang nyeri adalah intensitas rangsang terkecil yang akan menimbulkan rangsang nyeri, suatu batas kemampuan
seseorang untuk mau beradaptasi serta berespon terhadap nyeri
4. Pengalaman lampau
5. Lingkungan
Lingkungan yang ramai, dingin, panas, lembab meningkatkan intensitas nyeri individu
6. Usia
7. Kebudayaan
Norma/aturan dapat menumbuhkan perilaku seseorang dalam memandang dan berasumsi terhadap nyeri yang
dirasakan
8. Kepercayaan
Ada keyakinan bhawa nyeri merupakan suatu penyucian atau pembersihan dan hukuman atas dosa mereka
terhadap Tuhan
Stres dan kecemasan dapat mengahmbat keluarnya endorfin yang berfungsi menurunkan persepsi nyeri
1. Indikasi : dewasa dan anak (berusia lebih dari sembilan tahun) atau pasien pada semua area perawatan
yang mengerti tentang penggunaan angka untuk menentukan tingkat dari intensitras rasa nyeri yang
dirasakan.
2. Instruksi:
1. Menanyakan kepada pasien tentang berapa angka yang diberikan untuk menggambarkan rasa
nyeri yang saat ini dirasakan
0 = tidak nyeri
1-3 = nyeri ringan, mengomel, sedikit mengganggu ADL
4-6 = nyeri sedang, cukup mengganggu ADL
7-10 = nyeri berat dan tidak mampu melakukan ADL
1. Tim kesehatan di dalam kolaborasinya dengan pasien/keluarga (bila perlu), dapat menentukan
intervensi yang dibutuhkan untuk menangani nyeri pasien.
Pasien adalah orang dengan kebutuhan-kebutuhan yang sangat jauh berbeda dari orang sehat.Kebutuhan-
kebutuhannya pada saat itu bukan saja sangat menonjol tetapi mungkin sudah dalam tingkatan ekstrim.Tidak saja
harus makan agar penyakitnya cepat sembuh tetapi harus disuapin.Tidak saja harus diberi obat tetapi harus disertai
perhatian ekstra.
Bagi pasien kebutuhan yang paling menonjol bukanlah yang berkaitan dengan harga diri atau untuk diakui
kehebatannya tetapi adalah kebutuhan belongingness and social needs. Merasa dicintai, didengarkan, tidak
dianggap sebagai orang yang menyusahkan saja dan tidak pula diperlakukan sebagai manusia yang tidak berguna
(Tobing, 2008)
Menurut Leonard L. Barry dan pasuraman “Marketing servis competin through quality” (New York Freepress,
1991:16) yang dikutip Parasuraman dan Zeithaml (2001) mengidentifikasi lima kelompok karakteristik yang
digunakan oleh pelanggan dalam mengevaluasi kualitas jasa layanan, antara lain:
a. Tangible (kenyataan), yaitu berupa penampilan fasilitas fisik, peralatan materi komunikasi yang menarik, dan
lain-lain.
b. Empati, yaitu kesediaan karyawan dan pengusaha untuk memberikan perhatian secara pribadi kepada
konsumen.
c. Cepat tanggap, yaitu kemauan dari karyawan dan pengusaha untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa
dengan cepat serta mendengar dan mengatasi keluhan dari konsumen.
d. Keandalan, yaitu kemampuan untuk memberikan jasa sesuai dengan yang dijanjikan, terpercaya dan akurat dan
konsisten.
e. Kepastian, yaitu berupa kemampuan karyawan untuk menimbulkan keyakinan dan kepercayaan terhadap janji
yang telah dikemukakan kepada konsumen.
Supardi (2008) mengatakan model kepuasan yang komprehensif dengan fokus utama pada pelayanan barang dan
jasa meliputi lima dimensi penilaian sebagai berikut :
a. Responsiveness (ketanggapan), yaitu kemampuan petugas memberikan pelayanan kepada pasien dengan
cepat. Dalam pelayanan rumah sakit adalah lama waktu menunggu pasien mulai dari mendaftar sampai
mendapat pelayanan tenaga kesehatan.
b. Assurance (jaminan), yaitu kemampuan petugas memberikan pelayanan kepada pasien sehingga dipercaya.
Dalam pelayanan rumah sakit adalah kejelasan tenaga kesehatan memberikan informasi tentang penyakit dan
obatnya kepada pasien.
c. Emphaty (empati), yaitu kemampuan petugas membina hubungan, perhatian, dan memahami kebutuhan
pasien. Dalam pelayanan rumah sakit adalah keramahan petugas kesehatan dalam menyapa dan berbicara,
keikutsertaan pasien dalam mengambil keputusan pengobatan, dan kebebasan pasien memilih tempat berobat
dan tenaga kesehatan, serta kemudahan pasien rawat inap mendapat kunjungan keluarga/temannya.
d. Tangible (bukti langsung), yaitu ketersediaan sarana dan fasilitas fisik yang dapat langsung dirasakan oleh
pasien. Dalam pelayanan rumah sakit adalah kebersihan ruangan pengobatan dan toilet
e. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan petugas memberikan pelayanan kepada pasien dengan tepat.
Dalam pelayanan rumah sakit adalah penilaian pasien terhadap kemampuan tenaga kesehatan.
No. Karakteristik 1 2 3 4
1. Reliability (Keandalan)
2. Assurance (jaminan)
3. Tangibles (Kenyataan)
4. Empathy (Empati)
Keterangan:
a. Angka tidak terpenuhinya kebutuhan mandi, berpakaian, dan eliminasi yang disebabkan oleh keterbatasan diri.
b. Angka tidak terpenuhi kebutuhan diri (mandi, toilet pada tingkat ketergantungan parsial dan total).
2.7 Kecemasan
Kecemasan merupakan reaksi yang pertama muncul atau dirasakan oleh pasien dan keluarganya di saat pasien
harus dirawat mendadak atau tanpa terencana begitu mulai masuk rumah sakit. Kecemasan akan terus menyertai
pasien dan keluarganya dalam setiap tindakan perawatan terhadap penyakit yang diderita pasien.
Cemas adalah emosi dan merupakan pengalaman subyektif individual, mempunyai kekuatan tersendiri dan sulit
untuk diobsevasi secara langsung.Perawat dapat mengidentifikasi cemas lewat perubahan tingkah laku pasien.
Cemas adalah emosi tanpa objek yang spesifik, penyebabnya tidak diketahui dan didahului oleh penglaman
baru.Takut mempunyai sumber yang jelas dan obyeknya dapat didefinisikan.Takut merupakan penilaian intelektual
terhadap stimulus yang mengancam dan cemas merupakan respon emosi terhadap penilaian tersebut.
Kecemasan adalah suatu kondisi yang menandakan suatu keadaan yang mengancam keutuhan serta keberadaan
dirinya dan dimanifestasikan dalam bentuk perilaku seperti rasa tidak berdaya, rasa tidak mampu, rasa takut, dan
fobia tertentu.
Kecemasan muncul bila ada ancaman ketidakberdayaan, kehilangan kendali, perasaan kehilangan fungsi-fungsi dan
harga diri, kegagalan pertahanan, perasaan terisolasi (Nursalam, 2014).
Hampir
Tidak Kadang- Sebagian
No Pertanyaan setiap
pernah kadang waktu
waktu
2. 1 2 3 4
Saya merasa takut tanpa alasan sama
sekali
15. 1 2 3 4
Saya merasa terganggu oleh nyeri
lambung atau gangguan pencernaan
2.8 Pengetahuan
Menurut Notoadmodjo (2003:121) Pengetahuan merupakan hasil “tahu”, dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Jadi pengetahuan ini diperoleh dari aktivitas pancaindra yaitu
penglihatan, penciuman, peraba dan indra perasa, sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga
(Nursalam, 2014).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.
Penelitian Rogers (1974) dalam buku pendidikan dan perilaku kesehatan (Notoatmodjo, 2003 dan Nursalam, 2007)
mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan, yaitu:
1. Awareness (kesadaran) ketika seseorang menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus
(objek);
2. Interst (tertarik), ketika seseorang mulai tertarik pada stimulus;
3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut baginya;
4. Trial (mencoba), ketika seseorang telah mencoba perilaku baru;
5. Adoption (adaptasi), ketika seseorang telah berprilaku baru yang sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan
sikapnya terhadap stimulus.
Namun, berdasarkan penelitian selanjutnya, Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati
tahapan di atas. Jika penerima perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini yaitu dengan didasari
oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku itu akan bersifat langgeng (long lasting).
Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, perilaku itu tidak akan berlangsung
lama (Nursalam, 2014).
Perencanaan pulang akan menghasilkan sebuah hubungan yang terintegrasi yaitu antara perawatan yang diterima
pada waktu di rumah sakit dengan perawatan yang diberikan setelah pasien pulang. Perawatan di rumah sakit akan
bermakna jika dilanjutkan dengan perawatan di rumah. Namun, sampai saat ini perencanaan pulang bagi pasien
yang dirawat belum optimal karena peran perawat masih terbatas pada pelaksanaan kegiatan rutinitas saja, yaitu
hanya berupa informasi tentang jadwal kontrol ulang.(Nursalam, 2014).
Perencanaan pulang bertujuan:
Perencanaan pulang bertujuan membantu pasien dan keluarga untuk dapat memahami permasalahan dan upaya
pencegahan yang harus ditempuh sehingga dapat mengurangi risiko kambuh, serta menukar informasi antara pasien
sebagai penerima pelayanan dengan perawat dari pasien masuk sampai keluar rumah sakit (Nursalam, 2014).
1. Pasien merupakan fokus dalam perencanaan pulang sehingga nilai keinginan dan kebutuhan dari pasien
perlu dikaji dan di evaluasi;
2. Kebutuhan dari pasien diidentifikasi lalu dikaitkan dengan masalah yang mungkin timbul pada saat pasien
pulang nanti, sehingga kemungkinan masalah yang timbul di rumah dapat segera diantisipasi;
3. Perencanaan pulang dilakukan secara kolaboratif karena merupakan pelayanan multi disiplin dan setiap
tim harus saling bekerja sama.
4. Tindakan atau rencana yang akan dilakukan setelah pulang disesuaikan dengan pengetahuan dari tenaga
atau sumber daya maupun fasilitas yang tersedia di masyarakat.
5. Perencanaan pulang dilakukan pada setiap system atau tatanan pelayanan kesehatan.
1. Perawatan di rumah meliputi pemberian pengajaran atau pendidikan kesehatan (health education)
mengenai diet, mobilisasi, waktu control dan tempat control pemberian pelajaran disesuaikan dengan
tingkat pemahaman dan keluaraga mengenai perawatan selama pasien di rumah nanti;
2. Obat-obat yang masih diminum dan jumlahnya, meliputi dosis, cara pemberian dan waktu yang tepat
minum obat;
3. Obat-obat yang dihentikan, karena meskipun ada obat-obatan tersebut sudah tidak diminum lagi oleh
pasien, obat-obat tersebut tetap dibawah pulang pasien;
4. Hasil pemeriksaan, termasuk hasil pemeriksaan luar sebelum MRS dan hasil pemeriksaan selama MRS,
semua diberikan ke pasien saat pulang;
5. Surat-surat seperti surat keterangan sakit, surat kontrol.
1. Pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakit, terapi dan perawatan yang diperlukan;
2. Kebutuhan psikologis dan hubungan interpersonal di dalam keluarga;
3. Keinginan keluarga dan pasien menerima bantuan dan kemampuan mereka member asuhan;
4. Bantuan yang diperlukan pasien;
5. Pemenuhan kebutuhan aktivitas hidup sehari-hari seperti makan, minum, eliminasi, istirahat dan tidur,
berpakaian, kebersihan diri, keamanan dari bahaya, komunikasi, keagamaan, rekreasi dan sekolah;
6. Sumber dan sistem pendukung yang ada di masyarakat;
7. Sumber finansial dan pekerjaan;
8. Fasilitas yang ada di rumah dan harapan pasien setelah dirawat;
9. Kebutuhan perawatan dan supervisi di rumah.
Tindakan keperawatan yang dapat diberikan pada pasien sebelum pasien diperbolehkan pulang adalah sebagai
berikut.
1. Pendidikan kesehatan: diharapkan bisa mengurangi angka kambuh atau komplikasi dan meningkatkan
pengetahuan pasien serta keluarga tentang perawatan pasca rawat.
2. Program pulang bertahan: bertujuan untuk melatih pasien untuk kembali ke lingkungan keluarga dan
masyarakat. Program ini meliputi apa yang harus dilakukan pasien di rumah sakit dan apa yang harus
dilakukan oleh keluarga.
3. Rujukan: integritas pelayan kesehatan harus mempunyai hubungan langsung antara perawat komunitas
atau praktik mandiri perawat dengan rumah sakit sehingga dapat mengetahui perkembangan pasien di
rumah.
DAFTAR PUSTAKA
Nursalam, 2014. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional Edisi 4.Jakarta:
Salemba Medika
Nursalam, 2015. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional Edisi 5.Jakarta:
Salemba Medika
Azwar, A. 1996. Menuju Pelayanan Kesehatan yang Lebih Bermutu. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter
Indonesia.
Gillies, D.A. 1994. Nursing Management, A System Approach. Third Edition. Philadelphia : WB Saunders.
Kozier, Erb & Blais. 1997. Profesional Nursing Practice: Concept & Perspectives. Third Edition. California : Addison
Wesley Publishing. Inc
Meisenheimer, C.G. 1989. Quality Assurance for Home Health Care. Maryland: Aspen Publication.
Rakhmawati, Windy. 2009. Pengawasan Dan Pengendalian Dalam Pelayanan Keperawatan (Supervisi, Manajemen
Mutu & Resiko). http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2010/03/pengawasan_dan_pengendalian_dlm_pelayanan_keperawatan.pdf,diakses 4 November
2015
Swansburg, R.C. & Swansburg, R.J. 1999. Introductory Management and Leadership for Nurses.Canada : Jones and
Barlett Publishers.
Tappen 1995. Nursing Leadership and Management: Concepts & Practice. Philadelphia : F.A. Davis Company.
Tjiptono, F. 2004. Prinsip-prinsip Total Quality Service (TQS).Yogyakarta : Andi Press
Wijono, D. 2000. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Teori, Strategi dan Aplikasi. Volume.1. Cetakan
Kedua.Surabaya : Airlangga University Press.