Professional Documents
Culture Documents
Kesadaran dalam falsafah hidup Jawa dimulai dari kesadaran rasio (akal budi atau cipta) yang
ditopang oleh pilar utamanya yakni kesadaran batin meliputi; kesadaran jiwa atau sukma, dan
kesadaran rahsa (rasa). Tidak hanya berhenti di situ, kesadaran rahsa masih harus
dimanifestasikan dalam perbuatan konkrit untuk menjalani aktivitas hidup sehari-hari (karsa).
Parameter keberhasilan manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari sebagai makhluk
ciptaan Tuhan (titahing Gusti), adalah bilamana berhasil melakukan harmonisasi dan sinergi
antara perilaku manusia dengan kearifan alam semesta, antara jagad alit dengan jagad ageng,
antara mikrokosmos dengan makrokosmos. Oleh sebab itu manusia Jawa (nusantara) selalu
berusaha untuk menciptakan harmonisasi dan sinergisasi antara jagad alit (diri pribadi) atau
microcosmos dengan jagad ageng (alam semesta) atau macrocosmos.
Pencapaian kesadaran tinggi bukanlah bersifat instan, hanya dengan ritual-ritual misalnya
puasa, dan dengan rapalan-rapalan atau wirid saja. Lebih utama dari semua itu adalah
amalannya atau laku perbuatan konkrit (manifestasi) dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Manusia Jawa memahami bahwa lakutama atau perilaku utama (baik dan mulia) berupa
manifestasi perbuatan terhadap sesama makhluk, baik terhadap sesama manusia maupun
makhluk lainnya (termasuk alam semesta). Lakutama merupakan jalan utama menuju
panembahan kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Atau dapat dianalogikan bahwa habluminannas
(dimensi horizontal) merupakan jalan utama menggapai habluminallah (dimensi vertikal).
Dasar dari laku spiritual adalah amal perbuatan konkrit kepada sesama manusia dan alam
semesta atau dimensi habluminannas yakni perbuatan konkrit dalam kehidupan sehari-hari
dengan sesama makhluk (manusia). Amal perbuatan manusia hendaknya dilakukan secara
harmonis dan sinergis sesuai dengan kearifan (bahasa) alam. Manusia Jawa memahami bahwa
“bahasa” yang terdapat di dalam jagad gumelar ini merupakan “kitab suci” yang penuh dengan
petunjuk bahasa / kehendak Tuhan, atau kodrat Tuhan. Sinergisme dan harmonisasi antara
jagad alit dengan jagad ageng dipahami sebagai sikap tunduk dan taat manusia (manembah)
kepada Sang Pencipta Gusti Ingkang Akarya Jagad (Tuhan Pencipta Alam). Dalam upaya
memahami lebijaksanaan alam/kebijaksanaan Tuhan yang tergelar di jagad raya ini antara lain
lahirlah rangkaian nilai, yang menajdi pandangan atau filsafat hidup seperti misalnya Hasta
Brata. Hasil dari mencermati bahasa alam, dan kehendak Tuhan yang terangkum dalam gerak-
gerik fenomena alam, meretas ke dalam perangkat nilai yang kemudian diistilahkan sebagai
filsafat hidup, nilai-nilai kebudayaan, tradisi, dan ritual yang banyak sekali mengandung nilai-
nilai kearifan lokal yang adiluhung. Bila manusia mampu menata perilaku hidupnya seperti
halnya perilaku alam yang penuh kebijaksanaan ia akan menemukan rasa sejati dalam
pengembaraan sukma. Secara konkrit dapat saya jelaskan bagaimana manusia melakukan
sinergisme dan harmonisasi dengan alam semesta (jagad gumelar) misalnya ;
1. Alam tempat kita hidup ini, sungguh tak pernah mengeluh, selalu bersedia memberikan
kebutuhan manusia untuk melangsungkan kehidupan. Maka konsep manusia
mempercayai bahwa Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Hal ini menuntut
konsistensi perbuatan kita hendaknya memiliki sikap welas asih, tepa selira, saling asah
asih asuh, terhadap sesama manusia dan seluruh makhluk hidup tanpa pandang bulu
atau pilih kasih. Manusia hendaknya memahami, menjaga, melindungi dan melestarikan
tidak hanya kepada makhluk hidup namun termasuk benda tidak hidup di bumi ini yang
meliputi sungai, lautan, gunung, daratan, dan hutan, dst.
Sebaliknya sikap disharmoni dan a-sinergi, tampak pada sebagian manusia yang dengan
dalih apapun ingin mencelakai orang lain, membunuh, memfitnah, menyakiti hati. Atau
manusia memanfaatkan sumber daya alam secara liar, tidak terkendali, bahkan
melakukan eksploitasi alam hingga menyebabkan kerusakan hutan, pencemaran air
sungai dan laut, polusi udara. Semua itu merupakan sikap kontradiktori terhadap kodrat
/ hukum alam, atau kodrat Tuhan. Artinya perilaku manusia demikian menjadi tidak
sinergis dan harmonis dengan alam semesta. Akibatnya adalah bencana alam, musibah
kemanusiaan, wabah penyakit (endemi), paceklik, salah musim, siklus cuaca yang kacau,
global warming.
2. Jika rasio anda mengetahui bahwa jagad raya ini sangat luas meliputi milyaran bintang,
dan jumlah galaksi yang banyak, bahkan manusia belum menemukan sampai di mana
batas tepi dari jagad raya ini, maka konsep manusia memahami bahwa Tuhan
Mahabesar dan Mahaluas Tiada-batas. Dikiaskan sebagai gigiring punglu, atau
samodra tanpa tepi. Maka konsekuensi dalam sikap perbuatan hendaknya kita berjiwa
besar, toleran, tidak sempit akal, selalu membuka wawasan pikir yang seluas-luasnya.
Sikap kita akan lebih arif dan bijak. Tidak suka melakukan prejudis, penilaian sepihak dan
vonis subyektif. Tidak pula menghina dan melecehkan yang bodoh. Menghargai
pendapat orang lain, serta tidak gengsi berguru kepada siapapun termasuk kepada
orang yang dianggap bodoh sekalipun. Bersedia belajar melalui bahasa alam, mau
mengambil hikmah dari perilaku positif seekor binatang, yang hina sekalipun. Semua itu
berangkat dari kesadaran bahwa Tuhan telah menggelar bahasa dan tanda-tanda
kekuasaanNya di setiap jengkal jagad raya ini tanpa kecuali.
Sebaliknya, sikap perlawanan terhadap hukum alam atau kodrat Tuhan dapat berwujud
sikap fanatisme atau anti-toleran, sikap golek menange dewe (cari menangnya sendiri),
golek benere dewe (cari benernya sendiri), mbang cinde mbang siladan (pilih kasih),
primordialisme agama, rasis, etnosentris. Sikap-sikap tersebut merupakan sikap kontra-
sinergi, atau disharmoni antara microcosmos dengan macrocosmos. Hal ini akan
mengurung kesadaran diri (self consciousness) stagnan pada kesadaran imitasi yang
membuat diri tidak pernah beranjak belenggu kejahiliahan, yang tanpa pernah kita
sadari bersemayam dalam otak, hati, dan batin kita. Orang-orang dalam kesadaran palsu
akan cenderung merasa diri sebagai manusia paling suci, alim, soleh, solikhah dan
memandang orang lain lebih rendah, kafirun, hina dan sesat.
3. Jika kita percaya bahwa Tuhan Mahapemurah, sebab dalam setiap detik kita dapat
menyaksikan bahwa anugrah Tuhan sulit dihitung jumlahnya. Kesadaran konsep
demikian hendaklah ditindaklanjuti dengan laku spiritual atau laku batin yang
dimanifestasikan dalam perbuatan konkrit sehari-hari kepada sesama. Sebagai
konsekuensinya kita menjadi orang yang murah hati. Tidak enggan melakukan tapa
ngrame, gemar membantu dan menolong orang lain secara ikhlas tanpa pamrih. Kecuali
hanya sebagai upaya menghayati konsep-konsep ketuhanan, atau netepi titahing Gusti
(insan kamil). Giat bekerja dan giat beramal. Harta yang berlebih bukan untuk berfoya-
foya dan tidak untuk mengumbar nafsu ragawi. Sebaliknya jika kita lebih banyak harta
maka kita akan lebih leluasa dan memiliki kemampuan membantu pihak-pihak yang
kekurangan dan membutuhkan. Jika kita banyak ilmu tidak segan dan pelit untuk
berbagi kepada sesama yang membutuhkan.
4. Anda yakin Tuhan Maha Adil dan Bijaksana ? Sebagaimana tampak dalam hukum alam
yang penuh keadilan dan keseimbangan. Dalam ilmu biologi Anda dapat mencermati
“rantai makanan” yang jelas-jelas mengikuti rumus keseimbangan alam. Binatang di
awal “mata rantai” jumlahnya semakin sedikit dan proses populasinya berjalan lamban,
sedangkan hewan yang berada ujung mata rantai berkembang biak secara cepat dalam
jumlah besar. Itulah “bahasa alam”, “bahasa” tentang keadilan dan kebijaksanaan, yang
menginformasikan kepada manusia bahwa Tuhan Maha Adil. Konsekuensinya, manusia
harus selalu berbuat adil dan bijaksana dalam “laku” atau perbuatan hidup sehari-hari
kepada sesama manusia, makhluk hidup, dan alam semesta.
Sikap sebaliknya, manusia lebih sering melawan kodrat alam. Manusia menutup mata
dan telinga lalu dengan seenaknya berbuat melawanan hukum alam yang tertata, tertib,
rapi, adil dan bijaksana. Manusia melakukan penebangan hutan secara liar hingga
mengakibatkan pemanasan global, banjit dan terjadi abrasi pantai. Manusia melakukan
ekploitasi kehidupan laut secara membabi buta sehingga terjadi ketidakseimbangan
mata rantai hingga berakibat kepunahan berbagai jenis binatang. Manusia juga
merombak sungai menjadi perumahan mewah, jalur hijau dan resapan air “ditanami”
bangunan rumah hingga mengakibatkan banjir, tanggul jebol, tanah longsor, semua
memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Apakah pola pikir anda masih menganggap
bahwa semua itu sebagai “cobaan bagi orang-orang yang beriman” ?. Atau sebagai
kehendak Ilahi ? Tidak ! Tuhan tidak sekejam itu, manusialah yang teramat lancang
berani menganggap Tuhan sebagai obyek penderita. Lebih tepat dikatakan sebagai
“ngunduh wohing pakarti”. Manusia mendapat bebendu atau hukuman atas
penentangannya terhadap rumus-rumus alam, hukum alam, atau kodrat Tuhan.
5. Kesadaran kita dalam memahami Tuhan Mahakuasa, adalah sikap penguasaan terhadap
hawa nafsu negatif yang ada di dalam diri kita pribadi. Sikap mawas diri, mulat sarira,
angon wayah, merupakan penjelmaan atas penghayatan yang sungguh-sungguh
terhadap kesadaran bahwa Tuhan Mahakuasa.
Sikap antagonisnya terjadi bilamana manusia selalu bernafsu ingin menguasai dan
menindas orang lain secara tidak absah. Menaklukkan, menghancurkan, menundukkan
dan menghegemoni pihak lain. Sikap megalomania, narsistis, takabur, golek menange
dewe, menganggap orang lain tidak benar dan pantas dilenyapkan, merupakan bentuk
negasi dari sikap penguasaan terhadap diri pribadi. Bahkan sikap paling ekstrim dan
sangat berbahaya adalah bilamana manusia yang maha lemah mengklaim diri sebagai
pembela Tuhan Yang Mahakuasa. Mengaku dirinya adalah UTUSAN TUHAN yang
berhak membunuh orang lain yang dianggap secara sepihak menurut persepsi pribadi
sebagai musuh Tuhan. Apakah mereka tidak menyadari apabila Tuhan memiliki musuh
(yang berasal dari makhluk ciptaanNya sendiri) sangat terdengar aneh bila mengutus
manusia berada di jalan jihad dengan membunuh musuh-musuhNya. Apakah Tuhan
Mahalemah sehingga mengutus manusia membunuh manusia lainnya ? Bukankah
kekuasaan Tuhan mampu membunuh milyaran manusia hanya kurang dari satu detik
saja ?! Marilah kita camkan bersama.
Parameter Keihklasan
Berbuat baik dalam hal ini melakukan sinergisme dan harmonisasi dengan alam idealnya
dilakukan secara tulus ikhlas tanpa pamrih. Kalimat tulus ikhlas tanpa pamrih sering menjadi
rancu dan bias manakala kita ingin memahami apa yang seyogyanya menjadi motifasi dalam
beramal atau berbuat baik. Kalimat tersebut memunculkan pertanyaan, “jika keikhlasan
diartikan sebagai sikap tanpa pamrih, apakah ideal jika manusia berharap (pamrih) pahala dan
syurga ? Bagi saya pribadi, berharap-harap pahala bukanlah tabiat buruk atau salah. Hanya saja,
jika dilakukan oleh orang-orang yang mengaku telah berada dalam tataran kesadaran hakekat
rasanya menjadi kurang pantas dan pencapaian spiritualnya diragukan. Sebab sebagai manusia
dengan kesadaran hakekat akan memiliki perasaan “duwe rasa, ora duwe rasa duwe”.
Bukankah Tuhan SUDAH tiap detik selalu memberikan pahala anugrah, rahmat dan kenikmatan
yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan. Mulai dari bisa bernafas, melihat, merasa, tidak
kelaparan, tidak kekurangan air, rasa senang, memiliki properti dst. Bahkan tanpa pandang bulu
anugrah dan kenikmatan itu tetap dirasakan oleh seorang koruptor, pencuri, penipu,
pembohong, pembunuh. Bahkan dirasakan oleh seluruh umat manusia di bumi tidak
tergantung dengan apa agamanya (primordial), apa suku bangsanya (rasis), dan apa
kebudayaannya (etnosentris). Begitu banyak rahmat dan berkah Tuhan kita rasakan tiap satu
detik saja. Apakah manusia mampu berucap syukur satu kali dalam setiap detiknya ? Tidak !
Lantas tidak malukah kita jika masih saja berharap-arap pahala atau UPAH dari Tuhan atas apa
yang kita lakukan ? Kapan kita akan lebih banyak bersyukur ketimbang memohon-mohon.
Kapan kita lebih sering “menelungkupkan telapak tangan” daripada “menengadahkan tangan” ?
Keikhlasan sempurna dapat saya analogikan seperti kita sedang buang air besar. Walau kita
melakukan sesuatu yang baik, memberikan materi yang banyak, namun kita tidak berharap
imbalan dari seseorang maupun imbalan dari Tuhan, bahkan sesegeranya kita guyur dengan air
agar tidak tercium bau dan tidak lagi kelihatan bentuk dan rupanya. Di sinilah hakekat tapa
mendem (bertapa mengubur diri). Yang dikubur / hapus adalah segala amal kebaikan yang
pernah kita lakukan kepada sesama dari ingatan kita. Jika kita berbuat baik kepada orang lain,
tulislah di atas tanah agar segera terhapus dari ingatan kita. Jika kita membantu sesama, atau
menolong orang lain, maka bertransaksilah kepada Tuhan, bukan bertransaksi kepada orang
tersebut. Transaksi kepada Tuhan dalam batas kesadaran kita untuk menghayati konsep
ketuhanan atau “netepi titahing Gusti”. Bukan untuk mengkoleksi “upah” pahala.
Pencapaian kesadaran spiritualitas yang tinggi antara lain ditandai oleh rasa syukur yang tak
pernah putus dalam setiap hela nafasnya. Dalam wilayah tasawuf merupakan bentuk zikir tanpa
putus, sedangkan dalam tradisi SSJ dikenal sebagai sholat dhaim atau menembah kepada Tuhan
dalam setiap hela nafasnya. Namun demikian rasa syukur tidak cukup hanya dilakukan sebatas
ucapan mulut atau dalam batin saja. Lebih utama adalah mewujudkannya dalam bentuk
perbuatan yang konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Dalam berinteraksi dengan sesama
manusia, makhluk hidup dan alam semesta. Rasa sukur yang ideal melibatkan empat unsur
dalam diri yakni; hati, ucapan, pikiran dan tindakan. Dan dilakukan secara sinkron serta
kompak (tidak munafik) melibatkan keempat unsur tersebut.