Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Propana Yuananti G99172134
Vidya Ismiaulia G99171045
Periode : 30 April – 6 May 2018
Pembimbing:
dr. Amru Sungkar.,SpB.,SpBP-RE
STATUS PASIEN
A. Anamnesa
I. Identitas pasien
Nama : An. D
Umur : 4 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Tawangsari, Sukoharjo
No RM : 013891xx
MRS : 24 April 2017
Tanggal Periksa : 24 April 2017
II. KeluhanUtama
Celah di langit – langit mulut
VII.Riwayat Kebiasaan
Pasien makan dan minum sesuai posinya 3x sehari. Namun setiap makan
maupun minum, sering keluar lagi lewat lubang hidung.
B. Anamnesa sistemik
Mata : mata kuning (-), mata kemerahan (-)
Telinga :darah (-), lendir (-), cairan (-), pendengaran berkurang (-)
Bibir : mukosa basah (+), sianosis (-)
Rongga mulut : gusi berdarah (-), sariawan (-), mulut kering (-), gigi
goyah (-), celah pada langit-langit (+)
Hidung : penciuman menurun (-), darah (-), sekret (-)
Sistem Respirasi : sesak nafas (-), suara sengau (-), sering tersedak (-)
Sistem Kardiovaskuler : nyeri dada (-), sesak saat aktivitas (-)
Sistem Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), diare(-)
Sistem Muskuloskeletal : nyeri otot (-), nyeri sendi (-), jari tangan kaku (-)
Sistem Genitourinaria : nyeri BAK (-), kencing darah (-)
Integumen : nyeri (-),gatal (-)
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
a. Keadaan umum : Compos mentis, E4V5M6, tampak sakit sedang, kesan
gizi cukup
b. Vital sign :
N : 102x/menit, regular, simetris, isi dan tegangan cukup
RR : 24 x/menit
T : 36,6o C per aksilar
2. General Survey
a. Kepala : mesocephal, jejas (-)
b. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm), reflek cahaya (+/+)
c. Telinga : sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid(-), nyeri tragus
(-)
d. Hidung : bentuk simetris, nafas cuping hidung (-), sekret (-), darah
(-)
e. Mulut : gusi berdarah (-), lidah kotor (-), jejas (-), mukosa basah
(+), maxilla goyang (-), mandibula goyang (-)
f. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-), nyeri
tekan (-), JVP tidak meningkat
g. Thoraks : bentuk normochest, simetris, gerak pernafasan simetris
h. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi :batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi :bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising(-)
i. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-)
j. Abdomen
Inspeksi : distended (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defance muscular (-)
k. Ekstremitas : akral dingin oedem
- - - -
- - - -
D. Status Lokalis
Regio palatum : fistel (+) post operasi palatoplasty, ukuran 1,5x1 cm, tanda radang
(-)
E. Assesment I
Fistula palatal post palatoplasty atas indikasi palatoschisis
F. Plan I
1. Cek laboratorium darah lengkap
2. Pro repair fistel
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (RSDM, 24 April 2018)
H. Assesment II
Fistula palatal post palatoplasty atas indikasi palatoschisis
I. Plan II
1. Pro repair fistel
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
I. PALATOSCHISIS
A. Definisi
Cleft palate atau palatoschisis merupakan kelainan kongenital pada wajah
dimana atap/langitan dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara normal
selama masa kehamilan, mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum yang tidak
menyatu sampai ke daerah cavitas nasalis, sehingga terdapat hubungan antara
rongga hidung dan mulut.
Cleft lips and palate (CLP) adalah suatu kecacatan kongenital pada
kraniofasial yang paling sering ditemui. Permasalahan pada penderita celah bibir
dan langit-langit sudah muncul sejak penderita lahir. Derita psikis yang dialami
pula oleh penderita setelah menyadari dirinya berbeda dengan yang lain. Secara
fisik adanya celah akan membuat kesukaran minum karena adanya daya hisap
yang kurang dan banyak yang tumpah atau bocor ke hidung, Se1ain itu terjadi
permasalahan dalam segi estetik/kosmetik, perkembangan gigi yang tidak
sempuma serta gangguan pertumbuhan rahang dan gangguan bicara berupa suara
sengau. Penyulit yang juga mungkin terjadi pada penderita celah bibir adalah
infeksi pada telinga tengah hingga gangguan pendengaran
B. Etiologi
CLP merupakan cacat pada wajah yang paling sering, ditemukan satu
tiap 700 kelahiran hidup di seluruh dunia. Wei-JungChang melaporkan insiden
kasus bibir sumbing dan celah langit-langit sekitar 1,48% setiap tahun di
Taiwan. Watskin juga melaporkan bahwa prevalensi CLP sebesar 1-2 tiap 1000
kelahiran hidup di dunia, yang mana prevalensi tertinggi terdapat di Asia.
D. Patofisologi
Gejala patologis pada celah bibir mencakup kesulitan pemberian makanan
dan nutrisi, infeksi telinga yang rekuren, hilangnya pendengaran, perkembangan
pengucapan yang abnormal dan kelainan pada perkembangan wajah. Adanya
hubungan antara saluran mulut dan hidung menyebabkan berkurangnya
kemampuan untuk mengisap pada bayi.
Cacat terbentuk pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tak
terbentuk mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu
(prosesus nasalis dan maksilaris) pecah kembali, Semua yang mengganggu
pembelahan sel dapat rnenyebabkan ini: defisiensi, bahan-bahan obat sitostatik,
radiasi.
Problem yang ditimbulkan akibat cacat ini adalah psikis, fungsi dan estetik
Ketiganya saling berhubungan, Problem psikis yang mengenai orang tua dapat
diatasi dengan penerangan yang baik. Bila cacat terbentuk lengkap sampai
langit-langit, bayi tak dapat mengisap. Karena sfingter muara tuba Eustachii
kurang normal lebih mudah terjadi infeksi ruang telinga tengah. Sering
ditemukan hipolplasia pertumbuhan maksilla sehingga gigi geligi depan
atas/rahang atas kurang maju pertumbuhannya.
Insersi yang abnormal dari tensor veli palatini menyebabkan tidak
sempurnanya pengosongan pada telinga tengah. Infeksi telinga rekuren
menyebabkan hilangnya pendengaran yang dapat rnernperburuk pengucapan
yang abnormal. Mekanisme veloparingeal yang utuh penting dalam
menghasilkan suara non nasal dan sebagai modulator aliran udara dalarn
produksi fonem lainnya yang membutuhkan nasal coupling, Maniputasi anatomi
yang kompleks dan sulit dari mekanisme veloparingeal, jika tidak sukses
dilakukan pada awal perkernbangan pengucapan, dapat menyebabkan
berkurangnya pengucapan normal yang dapat dicapai.
E. Diagnosa
Deteksi prenatal dapat dilakukan dengan beragam teknik. Fetoskopi telah
digunakan untuk memberikan gambaran wajah fetus. Akan tetapi teknik ini
bersifat invasif dan dapat menimbulkan resiko menginduksi aborsi. Namun
demikian, teknik ini mungkin tepat digunakan untuk konfirmasi pada beberapa
cacat/kelainan pada kehamilan yang kemungkinan besar akan diakhiri. Teknik
lain seperti ultrasonografi intrauterine, magnetic resonance imaging, deteksi
kelainan enzim pada cairan amnion dan transvaginal ultrasonografi
keseluruhannya dapat mendeteksi dengan sukses CLP secara antenatal. Tetapi,
pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dibatasi pada biaya, invasifitas dan
persetujuan pasien. Ultrasound transabdominal merupakan alat yang paling
sering digunakan pada deteksi antenatal CLP, yang memberikan keamanan
dalam prosedur, ketersediaannya, dan digunakan secara luas pada skrining
anatomi antenatal.
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari kelainan palatoschisis antara lain :
1. Masalah asupan makanan
Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita
labiognatopalatochizis. Adanya labiognatopalatochizis memberikan
kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada payudara ibu atau
dot. Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil
pada palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan
labioplatoschisis biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot
khusus (cairan dalam dot ini dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini
dibuat untuk bayi dengan labiopalatoschisis dan bayi dengan masalah
pemberian makan/ asupan makanan tertentu.
2. Masalah Dental
Anak yang lahir dengan labiognatopalatochizis mungkin
mempunyai masalah tertentu yang berhubungan dengan kehilangan,
malformasi, dan malposisi dari gigi geligi pada arean dari celah bibir yang
terbentuk. Infeksi telinga Anak dengan labiognatopalatochizis lebih
mudah untuk menderita infeksi telinga karena terdapatnya abnormalitas
perkembangan dari otot-otot yang mengontrol pembukaan dan penutupan
tuba eustachius.
3. Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labiopalatoschisis biasanya juga memiliki
abnormalitas pada perkembangan otot-otot yang mengurus palatum
mole. Saat palatum mole tidak dapat menutup ruang/ rongga nasal
pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih
tinggi (hypernasal quality of speech). Meskipun telah dilakukan reparasi
palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/
rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya
normal. Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/ kata
"p, b, d, t, h, k, g, s, sh, and ch", dan terapi bicara (speech therapy) biasanya
sangat membantu.
G. Klasifikasi
Malformasi kraniofasial, dimana salah satunya adalah facial cleft telah
mengalami beberapa tahap klasifikasi. Dimulai dari tahun 1887 oleh Morian,
muncullah klasifikasi Morian yang mengklasifikasikan facial cleft menjadi dua
tipe yaitu tipe I yang merupakan oculonasal cleft dan tipe II, dari foramen
infraorbita hingga aspek luar wajah. Setelah itu, klasifikasi tersebut mengalami
beberapa penyesuaian dan pembaharuan seperti klasifikasi AACPR(American
Association of Cleft Palate Rehabilitation) pada tahun 1962, klasifikasi Boo-
Chai, klasifikasi Karfik, klasifikasi Tessier, dan klasifikasi van de Meulen.
Dua klasifikasi yang diterima secara luas adalah sistem
klasifikasiTessier dan van de Meulen.
Klasifikasi Tessier didasarkan pada posisi anatomi celah. Pada sistem
klasifikasi ini, cleft berdasarkan posisinya diberi nomor 0-14 dengan nomor 30
menunjukkan simfisis media dari mandibula. Penomoran ini memudahkan
nomenklatur cleft. Sistem ini murni bersifat deskriptif dan tidak berkaitan
dengan faktor-faktor embriologi maupun patologi.Berbeda dengan klasifikasi
Tessier, klasifikasi Van de Meulen didasarkan pada hubungan cleft dengan asal
embriogenesisnya. Klasifikasi Tessier merupakan cara paling mudah untuk
mendeskripsikan cleft dan nomenklaturnya, sehingga menjadi klasifikasi yang
paling sering digunakan hingga sekarang.
H. Penatalaksanaan
Rencana terapi dari celah wajah dibuat setelah diagnosis. Rencana ini
mencakup setiap operasi yang dibutuhkan dalam 18 tahun pertama kehidupan
pasien untuk merekonstruksi wajah sepenuhnya. Perlakuan terhadap cleft lip and
palate dapat dibagi di berbagai wilayah wajah: anomali tengkorak, anomali orbit
dan mata, anomaly hidung dan anomali midface mulut. Bayi yang baru lahir
dengan CLP segera dipertemukan dengan pekerja sosial untuk diberi penerangan
agar keluarga penderita tidak mengalami stress dan menerangkan harapan yang
bisa didapatkan dengan perawatan yang menyeluruh bagi anaknya, Selain itu
dijelaskan juga masalah yang akan dihadapi kelak pada anak. Menerangkan
bagaimana memberi minum bayi agar tidak banyak yang tumpah. Pekerja sosial
membuatkan suatu record psicososial pasien dari sini diambil sebagai bagian
record CLP pada umumnya. Pekerja sosial akan mengikuti perkembangan
psikososial anak serta keadaan keluarga dan lingkungannya. Adapun beberapa
perbaikan yang dapat dilakukan, diantaranya :
1. Operasi perbaikan terhadap bibir disebut Cheiloraphy atau Labioplasty.
Dilakukan pada usia 3 bulan. Sebe1um dilakukan observasi pada penderita
melihat kondisi bayi harus sehat, tindakan pembedahan mengikuti tata cara
""rule of ten": bayi berumur lebih 10 minggu, berat 10 pon atau 5 kg, dan
memiliki hemoglobin lebih dari 10 gr% dan lekosit di bawah 10.000.
2. Perbaikan langit-langit disebut Palatoraphy
Dilakukan pada usia 10 - 12 bulan, usia tersebut akan memberikan hasil fungsi
bicara yang optimal karena memberikan kesempatan jaringan pasca operasi
sampai matang pada proses penyembuhan luka sehingga sebelum penderita
mulai bicara dengan demikian soft palate dapat berfungsi dengan baik. Jika
operasi dilakukan terlambat sering hasil operasi dalam hal kemampuan
mengeluarkan suara normal, tak sengau, sulit dicapai
3. Speech therapy
Setelah operasi, pada usia anak dapat belajar dari orang lain, speech therapy
dapat diperlukan setelah operasi palatoraphy yang akan meminimalkan suara
sengau. Namun apabila masih saja didapatkan suara sengau, maka dapat
dilakukan phayngoplasty. Operasi ini akan membuat “bendungan" pada faring
untuk memperbaiki fonasi, biasanya dilakukan pada usia 5-6 tahun ke atas.
4. Alveolar Bone Graft
Pada usia 8-9 tahun dilakukan operasi penambalan tulang pada celah
alveolar/maxilla untuk tindakan bone graft dimana ahli orthodonti yang akan
mengatur pertumbuhan gigi caninus kanan-kiri celah agar normal. Bone graft
ini diambil dari bagian spongius crista iliaca.
5. Advancement Osteotomy Le Fort I
Evaluasi pada perkembangan selanjutnya pada penderita CLP sering didapatkan
hipoplasia pertumbuhan maxilla sehingga terjadi dish face muka cekung.
Keadaan ini dapat dikoreksi dengan cara operasi advancement ostetomi Le Fort
I pada usia 17 tahun dimana tulang-tulang muka telah berhenti pertumbuhannya.
Hal ini dilakukan oleh bedah ortognatik, memotong bagian tulang yang
tertinggal pertumbuhannya dan merubah posisinya maju ke depan.
Ahli THT untuk mencegah dan menangani timbulnya otitis media dan
kontrol pendengaran. Penderita CLP mengalami gangguan pada tuba eustachia
dimana akan tetjadi kelumpuhan otot levator palatine dan tensor vili palatine
yang terinsersi dengan daerah tepi pada langit-langit keras. Dengan
bertambahnya usia maka insiden terjadi kegagalan fungsi tuba eustachia
semakin tinggi pula. Evaluasi dilakukan setiap 3-4 bulan hingga ada perbaikan.
Indikasi untuk dilakukan miringotomi dan insersi pada tuba sangat konduktif
untuk mengatasi kehilangan pendengaran dan otitis media yang tidak kunjung
sembuh.
I. Komplikasi
Komplikasi dari celah bibir dan langit-langit bila tidak di operasi adalah secara
fisik membuat kesulitan dalam makan dan minum karena daya hisap yang
kurang maksimal dan banyak yang tumpah atau bocor ke hidung, gangguan
kosmetik, gangguan bicara berupa suara sengau, retardasi mental, infeksi telinga
tengah, gangguan pendengaran dan gangguan pertumbuhan gigi.
4. Modifikasi Pekerjaan
Dari data-data yang ada dan penelitian skala besar menyarankan bahwa
ada hubungan antara celah orofasial dengan pekerjaan ibu hamil (pegawai
kesehatan, industri reparasi, pegawai agrikulutur).Teratogenesis karena
trichloroethylene dan tetrachloroethylene pada air yang diketahui
berhubungan dengan pekerjaan bertani mengindikasikan adanya peran dari
pestisida, hal ini diketahui dari beberapa penelitian.namun tidak semua.Maka
sebaiknya pada wanita hamil lebih baik mengurangi jenis pekerjaan yang
terkait. Pekerjaan ayah dalam industri cetak, seperti pabrik cat, operator
motor, pemadam kebakaran atau bertani telah diketahui meningkatkan resiko
terjadinya celah orofasial.
5. Suplemen Nutrisi
Beberapa usaha telah dilakukan untuk merangsang percobaan pada
manusia untuk mengevaluasi suplementasi vitamin pada ibu selama
kehamilan yang dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan.Hal ini
dimotivasi oleh hasil baik yang dilakukan pada percobaan pada binatang.
Usaha pertama dilakukan tahun 1958 di Amerika Serikat namun
penelitiannya kecil, metodenya sedikit dan tidak ada analisis statistik yang
dilaporkan.Penelitian lainnya dalam usaha memberikan suplemen
multivitamin dalam mencegah celah orofasial dilakukan di Eropa dan
penelitinya mengklaim bahwa hasil pemberian suplemen nutrisi adalah
efektif, namun penelitian tersebut memiliki data yang tidak mencukupi untuk
mengevaluasi hasilnya.Salah satu tantangan terbesar dalam penelitian
pencegahan terjadinya celah orofasial adalah mengikutsertakan banyak
wanita dengan resiko tinggi pada masa produktifnya.
II. FISTULA PALATAL
A. Definisi
Fistula palatal adalah keadaan dimana terdapatnya hubungan abnormal
antara hidung dan mulut melalui palatum. Kondisi ini merupakan komplikasi
tersering dan paling umum terjadi pada tindakan palatoplasty pada kondisi
palatoschisis atau cleft palate.
B. Insiden
Fistula palatal adalah komplikasi operasi palatoplasty yang cukup sering
terjadi. Data menunjukkan kejadian fistula palatal terjadi pada 19 dari 93 pasien
yang menjalani one stage-palatoplasty (20,4%).Di Indonesia, angka kejadian
fistula palatum pada pasien post-palatoplasty adalah 1 dari 29 pasien. Penderita
dengan cleft lips and palate lebih berisiko mengalami fistula palatum dari pada
penderita cleft palate.
Fistula palatal lebih sering ditemukan setelah perbaikan awal palatum.
Resiko bentuk fistula terlihat sangat berhubungan dengan ukuran dari celah yang
asli. Metode perbaikan yang digunakan oleh ahli bedah dapat mempengaruhi
perjalanan fistula. Laporan terbaru menunjukkan bahwa palatoplasty dengan 2
flap dihubungkan dengan tingkat yang rendah (3,4%) pada pembentukan fistula
palatal. Daerah yang paling umum untuk perkembangan residu palatal yaitu pada
pertemuan palatum keras dan lunak diikuti oleh anterior palatum keras dan
region foramen insisivus.
Hampir semua fistula yang terlihat dini pada periode pasca operasi, setelah
perbaikan dan merupakan hasil langsung dari luka lokal sebagai akibat gangguan
tekanan atau vascular. Periode waktu lainnya ketika fistula palatal kemungkinan
ditemukan selama tahap I perawatan ortodontik (pre bone graft), khususnya
ketika ekspansi maksila telah dilakukan.
C. Klasifikasi
Bilińska, M., & Osmola, K. (2015). Cleft lip and palate–risk factors, prenatal diagnosis
and health consequences. Ginekologia polska, 86(11).
Chang, W. J., See, L. C., & Lo, L. J. (2016). Time trend of incidence rates of cleft
lip/palate in Taiwan from 1994 to 2013. Biomedical journal, 39(2), 150-154.
Cordero Carrasco, E., Correa Hernández, S., & Pantoja Parada, R. (2015). Prevalence of
Patients with cleft lip and palate who were treated at the San Borja Arriarán
Clinical Hospital in Santiago Chile, within the AUGE healthcare
Plan. International journal of odontostomatology, 9(3), 469-473.
Ittiwut, R., Siriwan, P., Suphapeetiporn, K., & Shotelersuk, V. (2016). Epidemiology of
cleft lip with or without cleft palate in Thais. Asian Biomedicine, 10(4), 335-
338.
Kawalec, A., Nelke, K., Pawlas, K., & Gerber, H. (2015). Risk factors involved in
orofacial cleft predisposition–review. Open Medicine, 10(1).
Lithovius, R. H., Ylikontiola, L. P., & Sándor, G. K. (2014). Incidence of palatal fistula
formation after primary palatoplasty in northern Finland. Oral surgery, oral
medicine, oral pathology and oral radiology, 118(6), 632-636.
Salihu, S., Krasniqi, B., Sejfija, O., Heta, N., Salihaj, N., Geci, A., ... & Ueeck, B. A.
(2014). Analysis of potential oral cleft risk factors in the Kosovo
population. International surgery, 99(2), 161-165.
Vityadewi, N., Bangun, K. (2013). Incidence of Palatal Fistula after One-Stage
Palatoplasty and Factors Influencing the Fistula Occurrence. Journal Plastic
Reconstruction, 2(4), 120-125.
Watkins SE, Meyer RE, Strauss RP, Aylsworth AS. Classification, epidemiology, and
genetics of orofacial clefts. Clin Plast Surg. 2014; 41:149-63.
Zhang, Z., Fang, S., Zhang, Q., Chen, L., Liu, Y., Li, K., & Zhao, Y. (2014). Analysis
of complications in primary cleft lips and palates surgery. Journal of
Craniofacial Surgery, 25(3), 968-971.