You are on page 1of 26

PRESENTASI KASUS BEDAH PLASTIK

SEORANG ANAK PEREMPUAN USIA 4 TAHUN DENGAN


FISTEL PALATAL POST PALATOPLASTY ATAS INDIKASI
PALATOSCHISIS

Oleh:
Propana Yuananti G99172134
Vidya Ismiaulia G99171045
Periode : 30 April – 6 May 2018

Pembimbing:
dr. Amru Sungkar.,SpB.,SpBP-RE

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I

STATUS PASIEN

A. Anamnesa
I. Identitas pasien
Nama : An. D
Umur : 4 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Tawangsari, Sukoharjo
No RM : 013891xx
MRS : 24 April 2017
Tanggal Periksa : 24 April 2017

II. KeluhanUtama
Celah di langit – langit mulut

III. Riwayat Penyakit Sekarang


Ibu pasien mengeluh adanya celah di langit – langit mulut anaknya.
Kelainan ini muncul sejak lahir. Lubang berjumlah 1 dengan ukuran 1,5 cm x1
cm. Setelah minum maupun makan, makanan dan minuman sering keluar dari
lubang hidung pasien. Pada September 2017, pasien menjalani operasi untuk
memperbaiki langit-langit mulutnya, 11 hari setelah operasi, celah muncul
kembali. Kemudian pasien menjalani operasi berikutnya pada Februari 2018,
beberapa hari kemudian celah terbuka kembali.

IV. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit serupa : (-)
Riwayat operasi : Pada September 2017, saat pasien berusia
3 tahun, pasien menjalani operasi pertama
untuk memperbaiki langit-langit mulutnya.
Operasi kedua pada Februari 2018 untuk
memperbaiki celah yang terbuka kembali.
Riwayat trauma : (-)
Riwayat sakit jantung bawaan : (-)
Riwayat alergi : (-)

V. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat sakit jantung bawaan : (-)
Riwayat alergi : (-)

VI. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Riwayat ASI Ekslusif : Pasien mengonsumsi ASI yang diberikan dibotol
karena kesulitan menghisap puting.
Riwayat Imunisasi : Pasien mendapatkan imunisasi dasar lengkap
Riwayat Kehamilan Ibu : Tidak didapatkan kesulitan dalam kehamilan
maupun persalinan pasien. Riwayat paparan asap
rokok selama kehamilan (-).

VII.Riwayat Kebiasaan
Pasien makan dan minum sesuai posinya 3x sehari. Namun setiap makan
maupun minum, sering keluar lagi lewat lubang hidung.

VIII. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Pasien berobat dengan fasilitas BPJS

B. Anamnesa sistemik
Mata : mata kuning (-), mata kemerahan (-)
Telinga :darah (-), lendir (-), cairan (-), pendengaran berkurang (-)
Bibir : mukosa basah (+), sianosis (-)
Rongga mulut : gusi berdarah (-), sariawan (-), mulut kering (-), gigi
goyah (-), celah pada langit-langit (+)
Hidung : penciuman menurun (-), darah (-), sekret (-)
Sistem Respirasi : sesak nafas (-), suara sengau (-), sering tersedak (-)
Sistem Kardiovaskuler : nyeri dada (-), sesak saat aktivitas (-)
Sistem Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri perut (-), diare(-)
Sistem Muskuloskeletal : nyeri otot (-), nyeri sendi (-), jari tangan kaku (-)
Sistem Genitourinaria : nyeri BAK (-), kencing darah (-)
Integumen : nyeri (-),gatal (-)

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
a. Keadaan umum : Compos mentis, E4V5M6, tampak sakit sedang, kesan
gizi cukup
b. Vital sign :
N : 102x/menit, regular, simetris, isi dan tegangan cukup
RR : 24 x/menit
T : 36,6o C per aksilar
2. General Survey
a. Kepala : mesocephal, jejas (-)
b. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm), reflek cahaya (+/+)
c. Telinga : sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid(-), nyeri tragus
(-)
d. Hidung : bentuk simetris, nafas cuping hidung (-), sekret (-), darah
(-)
e. Mulut : gusi berdarah (-), lidah kotor (-), jejas (-), mukosa basah
(+), maxilla goyang (-), mandibula goyang (-)
f. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-), nyeri
tekan (-), JVP tidak meningkat
g. Thoraks : bentuk normochest, simetris, gerak pernafasan simetris
h. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi :batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi :bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising(-)
i. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan (-/-)
j. Abdomen
Inspeksi : distended (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), defance muscular (-)
k. Ekstremitas : akral dingin oedem
- - - -
- - - -

D. Status Lokalis

Regio palatum : fistel (+) post operasi palatoplasty, ukuran 1,5x1 cm, tanda radang
(-)

E. Assesment I
Fistula palatal post palatoplasty atas indikasi palatoschisis

F. Plan I
1. Cek laboratorium darah lengkap
2. Pro repair fistel

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (RSDM, 24 April 2018)

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan


DARAH RUTIN
Hemoglobin 12.2 g/dL 10.8 – 12.8
Hematokrit 35 % 35 – 43
Leukosit 6.1 ribu/µl 5.5 – 17
Trombosit 351 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 4.80 juta/µl 3.90 – 5.30
HEMOSTASIS
PT 12.6 Detik 10.0 – 15.0
APTT 32.7 detik 20.0 – 40.0
INR 0.960
KIMIA KLINIK
GDS 104 Mg/dl 60-140
HbsAg Nonreactive Nonreactive
Creatinin 0.3 Mg/dl 0.3-0.7
Ureum 20 Mg/dl <48
ELEKTROLIT
Natrium 137 mmol/L 132 – 145
Kalium 4.1 mmol/L 3.1 - 5.1
Chorida 107 mmol/L 98 – 106

H. Assesment II
Fistula palatal post palatoplasty atas indikasi palatoschisis

I. Plan II
1. Pro repair fistel
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

I. PALATOSCHISIS
A. Definisi
Cleft palate atau palatoschisis merupakan kelainan kongenital pada wajah
dimana atap/langitan dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara normal
selama masa kehamilan, mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum yang tidak
menyatu sampai ke daerah cavitas nasalis, sehingga terdapat hubungan antara
rongga hidung dan mulut.
Cleft lips and palate (CLP) adalah suatu kecacatan kongenital pada
kraniofasial yang paling sering ditemui. Permasalahan pada penderita celah bibir
dan langit-langit sudah muncul sejak penderita lahir. Derita psikis yang dialami
pula oleh penderita setelah menyadari dirinya berbeda dengan yang lain. Secara
fisik adanya celah akan membuat kesukaran minum karena adanya daya hisap
yang kurang dan banyak yang tumpah atau bocor ke hidung, Se1ain itu terjadi
permasalahan dalam segi estetik/kosmetik, perkembangan gigi yang tidak
sempuma serta gangguan pertumbuhan rahang dan gangguan bicara berupa suara
sengau. Penyulit yang juga mungkin terjadi pada penderita celah bibir adalah
infeksi pada telinga tengah hingga gangguan pendengaran

B. Etiologi
CLP merupakan cacat pada wajah yang paling sering, ditemukan satu
tiap 700 kelahiran hidup di seluruh dunia. Wei-JungChang melaporkan insiden
kasus bibir sumbing dan celah langit-langit sekitar 1,48% setiap tahun di
Taiwan. Watskin juga melaporkan bahwa prevalensi CLP sebesar 1-2 tiap 1000
kelahiran hidup di dunia, yang mana prevalensi tertinggi terdapat di Asia.

Pada 25 % pasien, terdapat riwayat celah pada wajah (facial clefting) di


keluarga, tidak diikuti resesif atau pun dominan paternal. Timbulnya celah tidak
ada hubungannya dengan pola warisan Mendelian, dan hal tersebut
menunjukkan bahwa celah yang timbul diwariskan secara heterogen. Pandangan
ini didukung dengan fakta dari beberapa penelitian pada anak kembar yang
menunjukkan pengaruh relatif genetik dan non-genetik terhadap timbulnya
celah. Pada isolated cleft palate dan CL/P, proband tidak memiliki pengaruh
pada keluarga tingkat pertama dan kedua, secara empiris resiko pada saudara
yang lahir dengan cacat/kelainan yang sama 3-5%. Akan tetapi jika
terdapat proband dengan CL/P kombinasi yang mempengaruhi keluarga tingkat
pertama dan kedua, resiko bagi saudara atau keturunan berikutnya 10-20%.

C. Etiologi dan Faktor Resiko


Penyebab terjadinya palatoschisis belum diketahui dengan pasti.
Kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa palatoschisis muncul sebagai akibat
dari kombinasi faktor genetik dan faktor lingkungan. Di Thailand, para
peneliti melaporkan bahwa orang yang mempunyai riwayat keluarga
palatoschisis, konsumsi alkohol dan obat-obatan tanpa resep berhubungan
dengan timbulnya CLP. Ibu yang mengkonsumsi alcohol dan narkotika,
kekurangan vitamin (terutama asam folat) selama trimester pertama kehamilan,
atau menderita diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi/ anak dengan
palatoschisis.
Faktor risiko terjadinya cleft lip and palate ini, dapat berasal dari bayi
sendiri maupun dari ibunya. Faktor risiko tersebut antara lain:
 Bayi yang memiliki cacat lahir lainnya
 Memiliki saudara kandung, orang tua, atau saudara dekat lain yang lahir dengan
sumbing wajah.
 Ibu mengkonsumsi alkohol selama kehamilan
 Memiliki penyakit atau infeksi saat hamil
 Kekurangan asam folat pada pembuahan atau selama kehamilan awal

D. Patofisologi
Gejala patologis pada celah bibir mencakup kesulitan pemberian makanan
dan nutrisi, infeksi telinga yang rekuren, hilangnya pendengaran, perkembangan
pengucapan yang abnormal dan kelainan pada perkembangan wajah. Adanya
hubungan antara saluran mulut dan hidung menyebabkan berkurangnya
kemampuan untuk mengisap pada bayi.
Cacat terbentuk pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tak
terbentuk mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu
(prosesus nasalis dan maksilaris) pecah kembali, Semua yang mengganggu
pembelahan sel dapat rnenyebabkan ini: defisiensi, bahan-bahan obat sitostatik,
radiasi.
Problem yang ditimbulkan akibat cacat ini adalah psikis, fungsi dan estetik
Ketiganya saling berhubungan, Problem psikis yang mengenai orang tua dapat
diatasi dengan penerangan yang baik. Bila cacat terbentuk lengkap sampai
langit-langit, bayi tak dapat mengisap. Karena sfingter muara tuba Eustachii
kurang normal lebih mudah terjadi infeksi ruang telinga tengah. Sering
ditemukan hipolplasia pertumbuhan maksilla sehingga gigi geligi depan
atas/rahang atas kurang maju pertumbuhannya.
Insersi yang abnormal dari tensor veli palatini menyebabkan tidak
sempurnanya pengosongan pada telinga tengah. Infeksi telinga rekuren
menyebabkan hilangnya pendengaran yang dapat rnernperburuk pengucapan
yang abnormal. Mekanisme veloparingeal yang utuh penting dalam
menghasilkan suara non nasal dan sebagai modulator aliran udara dalarn
produksi fonem lainnya yang membutuhkan nasal coupling, Maniputasi anatomi
yang kompleks dan sulit dari mekanisme veloparingeal, jika tidak sukses
dilakukan pada awal perkernbangan pengucapan, dapat menyebabkan
berkurangnya pengucapan normal yang dapat dicapai.
E. Diagnosa
Deteksi prenatal dapat dilakukan dengan beragam teknik. Fetoskopi telah
digunakan untuk memberikan gambaran wajah fetus. Akan tetapi teknik ini
bersifat invasif dan dapat menimbulkan resiko menginduksi aborsi. Namun
demikian, teknik ini mungkin tepat digunakan untuk konfirmasi pada beberapa
cacat/kelainan pada kehamilan yang kemungkinan besar akan diakhiri. Teknik
lain seperti ultrasonografi intrauterine, magnetic resonance imaging, deteksi
kelainan enzim pada cairan amnion dan transvaginal ultrasonografi
keseluruhannya dapat mendeteksi dengan sukses CLP secara antenatal. Tetapi,
pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dibatasi pada biaya, invasifitas dan
persetujuan pasien. Ultrasound transabdominal merupakan alat yang paling
sering digunakan pada deteksi antenatal CLP, yang memberikan keamanan
dalam prosedur, ketersediaannya, dan digunakan secara luas pada skrining
anatomi antenatal.

Deteksi dini memperkenankan kepada keluarga untuk menyiapkan diri


terlebih dahulu terhadap suatu kenyataan bahwa bayi mereka akan memiliki
suatu kelainan/cacat. Mereka dapat menemui anggota dari kelompok yang
memiliki CLP, belajar mengenai pemberian makanan khusus dan memahami
apa yang harus diharapkan ketika bayi lahir. Sebagai pembanding, ibu yang
menerima konseling pada 2 pekan awal kehidupan mungkin akan lebih merasa
bingung dan kewalahan. Deteksi dini juga memperkenankan kepada ahli bedah
untuk bertemu dengan keluarga sebelum kelahiran dan mendiskusikan pilihan
perbaikan. Dengan waktu konseling dan rencana yang tepat, memungkinkan
untuk melaksanakan perbaikan dari unilateral cleft lip pada minggu pertama
kehidupan.

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari kelainan palatoschisis antara lain :
1. Masalah asupan makanan
Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita
labiognatopalatochizis. Adanya labiognatopalatochizis memberikan
kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada payudara ibu atau
dot. Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil
pada palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan
labioplatoschisis biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot
khusus (cairan dalam dot ini dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini
dibuat untuk bayi dengan labiopalatoschisis dan bayi dengan masalah
pemberian makan/ asupan makanan tertentu.
2. Masalah Dental
Anak yang lahir dengan labiognatopalatochizis mungkin
mempunyai masalah tertentu yang berhubungan dengan kehilangan,
malformasi, dan malposisi dari gigi geligi pada arean dari celah bibir yang
terbentuk. Infeksi telinga Anak dengan labiognatopalatochizis lebih
mudah untuk menderita infeksi telinga karena terdapatnya abnormalitas
perkembangan dari otot-otot yang mengontrol pembukaan dan penutupan
tuba eustachius.
3. Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labiopalatoschisis biasanya juga memiliki
abnormalitas pada perkembangan otot-otot yang mengurus palatum
mole. Saat palatum mole tidak dapat menutup ruang/ rongga nasal
pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih
tinggi (hypernasal quality of speech). Meskipun telah dilakukan reparasi
palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/
rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya
normal. Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/ kata
"p, b, d, t, h, k, g, s, sh, and ch", dan terapi bicara (speech therapy) biasanya
sangat membantu.
G. Klasifikasi
Malformasi kraniofasial, dimana salah satunya adalah facial cleft telah
mengalami beberapa tahap klasifikasi. Dimulai dari tahun 1887 oleh Morian,
muncullah klasifikasi Morian yang mengklasifikasikan facial cleft menjadi dua
tipe yaitu tipe I yang merupakan oculonasal cleft dan tipe II, dari foramen
infraorbita hingga aspek luar wajah. Setelah itu, klasifikasi tersebut mengalami
beberapa penyesuaian dan pembaharuan seperti klasifikasi AACPR(American
Association of Cleft Palate Rehabilitation) pada tahun 1962, klasifikasi Boo-
Chai, klasifikasi Karfik, klasifikasi Tessier, dan klasifikasi van de Meulen.
Dua klasifikasi yang diterima secara luas adalah sistem
klasifikasiTessier dan van de Meulen.
Klasifikasi Tessier didasarkan pada posisi anatomi celah. Pada sistem
klasifikasi ini, cleft berdasarkan posisinya diberi nomor 0-14 dengan nomor 30
menunjukkan simfisis media dari mandibula. Penomoran ini memudahkan
nomenklatur cleft. Sistem ini murni bersifat deskriptif dan tidak berkaitan
dengan faktor-faktor embriologi maupun patologi.Berbeda dengan klasifikasi
Tessier, klasifikasi Van de Meulen didasarkan pada hubungan cleft dengan asal
embriogenesisnya. Klasifikasi Tessier merupakan cara paling mudah untuk
mendeskripsikan cleft dan nomenklaturnya, sehingga menjadi klasifikasi yang
paling sering digunakan hingga sekarang.

Gambar 1. Klasifikasi tessier pada tulang tengkorak dan wajah


Klasifikasi celah bibir dan celah langit-langit Klasifikasi yang diusulkan
oleh Veau dibagi dalam 4 golongan yaitu :
- Golongan I : Celah pada langit-langit lunak (gambar A).
- Golongan II : Celah pada langit-langit lunak dan keras dibelakang foramen
insisivum (gambar B).
- Golongan III : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang
alveolar dan bibir pada satu sisi (gambar C).
- Golongan IV : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang
alveolar dan bibir pada dua sisi (gambar D).

Gambar 2. Klasifikasi Veau


Berikut ini merupakan klasifikasicleft lip and palatemenurut Freitas :
 Cleft Lip
Kelompok ini melibatkan celah yang mempengaruhi bibir dengan atau
tanpa mempengaruhi alveolar dan mungkin unilateral, bilateral atau
median.Berdasar luasnya, cacat yang berkisar dari lekukan ringan
padavermillion lip, disebut cicatricial cleft, apabila melibatkan bibir dan
alveolar ridge, mencapai foramen incicivus, disebut complete cleft. Sedangkan
disebut inclomplete cleft apabila cacat hanya melibatkan bibirtanpa melibatkan
alveolar.
 Complete Cleft Lip and Palate
Menurut klasifikasi, jenis celah ini benar-benar melibatkan bibir, alveolar
dan langit-langit.Celah melintasi foramen incisivus, mungkin unilateral,
bilateral atau median (Gambar 1.2).
 Cleft Palate
Kelompok ini hanya mencakup sumbing pada palatum.Jenis sumbing dapat
melibatkan luasan yang berbeda, total atau sebagian, selain itu juga
digambarkan sebagai lengkap atau tidak lengkap sesuai dengan luasnya langit-
langit yang terlibat (Gambar 1.2).
 Rare facial cleft
Kelompok ini terdiri dari sumbing langka, yang belum tentu melibatkan
foramen incisivus, biasanya terjadi jauh dari wilayah pembentukan palatum
primer dan sekunder. Seringkali didefinisikan sebagai celah atipikal karena
mereka melibatkan struktur wajah lain selain bibir dan / atau langit-langit,
seperti sumbing oro-okular, unilateral dan / atau bilateral macrostomia,
sumbing bibir bawah, sumbing mandibula , sumbing palpebra dan sumbing
oblique, dan lain-lain.

H. Penatalaksanaan
Rencana terapi dari celah wajah dibuat setelah diagnosis. Rencana ini
mencakup setiap operasi yang dibutuhkan dalam 18 tahun pertama kehidupan
pasien untuk merekonstruksi wajah sepenuhnya. Perlakuan terhadap cleft lip and
palate dapat dibagi di berbagai wilayah wajah: anomali tengkorak, anomali orbit
dan mata, anomaly hidung dan anomali midface mulut. Bayi yang baru lahir
dengan CLP segera dipertemukan dengan pekerja sosial untuk diberi penerangan
agar keluarga penderita tidak mengalami stress dan menerangkan harapan yang
bisa didapatkan dengan perawatan yang menyeluruh bagi anaknya, Selain itu
dijelaskan juga masalah yang akan dihadapi kelak pada anak. Menerangkan
bagaimana memberi minum bayi agar tidak banyak yang tumpah. Pekerja sosial
membuatkan suatu record psicososial pasien dari sini diambil sebagai bagian
record CLP pada umumnya. Pekerja sosial akan mengikuti perkembangan
psikososial anak serta keadaan keluarga dan lingkungannya. Adapun beberapa
perbaikan yang dapat dilakukan, diantaranya :
1. Operasi perbaikan terhadap bibir disebut Cheiloraphy atau Labioplasty.
Dilakukan pada usia 3 bulan. Sebe1um dilakukan observasi pada penderita
melihat kondisi bayi harus sehat, tindakan pembedahan mengikuti tata cara
""rule of ten": bayi berumur lebih 10 minggu, berat 10 pon atau 5 kg, dan
memiliki hemoglobin lebih dari 10 gr% dan lekosit di bawah 10.000.
2. Perbaikan langit-langit disebut Palatoraphy
Dilakukan pada usia 10 - 12 bulan, usia tersebut akan memberikan hasil fungsi
bicara yang optimal karena memberikan kesempatan jaringan pasca operasi
sampai matang pada proses penyembuhan luka sehingga sebelum penderita
mulai bicara dengan demikian soft palate dapat berfungsi dengan baik. Jika
operasi dilakukan terlambat sering hasil operasi dalam hal kemampuan
mengeluarkan suara normal, tak sengau, sulit dicapai
3. Speech therapy
Setelah operasi, pada usia anak dapat belajar dari orang lain, speech therapy
dapat diperlukan setelah operasi palatoraphy yang akan meminimalkan suara
sengau. Namun apabila masih saja didapatkan suara sengau, maka dapat
dilakukan phayngoplasty. Operasi ini akan membuat “bendungan" pada faring
untuk memperbaiki fonasi, biasanya dilakukan pada usia 5-6 tahun ke atas.
4. Alveolar Bone Graft
Pada usia 8-9 tahun dilakukan operasi penambalan tulang pada celah
alveolar/maxilla untuk tindakan bone graft dimana ahli orthodonti yang akan
mengatur pertumbuhan gigi caninus kanan-kiri celah agar normal. Bone graft
ini diambil dari bagian spongius crista iliaca.
5. Advancement Osteotomy Le Fort I
Evaluasi pada perkembangan selanjutnya pada penderita CLP sering didapatkan
hipoplasia pertumbuhan maxilla sehingga terjadi dish face muka cekung.
Keadaan ini dapat dikoreksi dengan cara operasi advancement ostetomi Le Fort
I pada usia 17 tahun dimana tulang-tulang muka telah berhenti pertumbuhannya.
Hal ini dilakukan oleh bedah ortognatik, memotong bagian tulang yang
tertinggal pertumbuhannya dan merubah posisinya maju ke depan.
Ahli THT untuk mencegah dan menangani timbulnya otitis media dan
kontrol pendengaran. Penderita CLP mengalami gangguan pada tuba eustachia
dimana akan tetjadi kelumpuhan otot levator palatine dan tensor vili palatine
yang terinsersi dengan daerah tepi pada langit-langit keras. Dengan
bertambahnya usia maka insiden terjadi kegagalan fungsi tuba eustachia
semakin tinggi pula. Evaluasi dilakukan setiap 3-4 bulan hingga ada perbaikan.
Indikasi untuk dilakukan miringotomi dan insersi pada tuba sangat konduktif
untuk mengatasi kehilangan pendengaran dan otitis media yang tidak kunjung
sembuh.
I. Komplikasi
Komplikasi dari celah bibir dan langit-langit bila tidak di operasi adalah secara
fisik membuat kesulitan dalam makan dan minum karena daya hisap yang
kurang maksimal dan banyak yang tumpah atau bocor ke hidung, gangguan
kosmetik, gangguan bicara berupa suara sengau, retardasi mental, infeksi telinga
tengah, gangguan pendengaran dan gangguan pertumbuhan gigi.

Komplikasi yang dapat timbul setelah operasi adalah perdarahan, obstruksi


saluran pernapasan, asfiksia, infeksi saluran napas, deviasi septim nasi dan
terjadinya fistula. Perdarahan yang banyak jarang terjadi, tapi mungkin
memerlukan operasi kembali untuk mengontrol perdarahan. Penyumbatan
pernapasan juga jarang terjadi jika tidak ada perdarahan yang berlebihan tetapi
dapat mengancam jiwa. Saluran harus dipantau secara hati-hati. Monitor saturasi
O2 bisa digunakan di ruang perawatan atau pasien dapat di pantau dalam ruang
ICU. Fistula palatum bisa ada karena celah asimptomatik atau menyebabkan
gejala-gejala seperti masalah pengucapan dan kesulitan kebersihan gigi.
J. Pencegahan
1. Menghindari merokok
Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor risiko lingkungan terbaik
yang telah dipelajari untuk terjadinya celah orofacial.Ibu yang menggunakan
tembakau selama kehamilan secara konsisten terkait dengan peningkatan
resiko terjadinya celah-celah orofacial. Mengingat frekuensi kebiasaan
kalangan perempuan di Amerika Serikat, merokok dapat menjelaskan
sebanyak 20% dari celah orofacial yang terjadi pada populasi negara itu.
2. Menghindari alkohol
Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat
mempengaruhi tumbuh kembang embrio, dan langit-langit mulut sumbing
telah dijelaskan memiliki hubungan dengan terjadinya defek sebanyak 10%
kasus pada sindrom alkohol fetal (fetal alcohol syndrome). Dalam banyak
penelitian tentang merokok, alkohol diketemukan juga sebagai pendamping,
namun tidak ada hasil yang benar-benar disebabkan murni karena alcohol.
3. Memperbaiki Nutrisi Ibu
Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I
kehamilan sangat penting bagi tumbuh kembang bibir, palatum dan struktur
kraniofasial yang normal dari fetus.
a. Asam Folat
Peran asupan folat pada ibu dalam kaitannya dengan celah orofasial
sulit untuk ditentukan dalam studi kasus-kontrol manusia karena folat
dari sumber makanan memiliki bioavaibilitas yang luas dan suplemen
asam folat biasanya diambil dengan vitamin, mineral dan elemen-elemen
lainnya yang juga mungkin memiliki efek protektif terhadap terjadinya
celah orofasial.Folat merupakan bentuk poliglutamat alami dan asam
folat ialah bentuk monoglutamat sintetis.Pemberian asam folat pada ibu
hamil sangat penting pada setiap tahap kehamilan sejak konsepsi sampai
persalinan. Asam folat memiliki dua peran dalam menentukan hasil
kehamilan. Satu, ialah dalam proses maturasi janin jangka panjang untuk
mencegah anemia pada kehamilan lanjut. Kedua, ialah dalam mencegah
defek kongenital selama tumbuh kembang embrionik.Telah disarankan
bahwa suplemen asam folat pada ibu hamil memiliki peran dalam
mencegah celah orofasial yang non sindromik seperti bibir dan/atau
langit-langit sumbing.
b. Vitamin B-6
Vitamin B-6 diketahui dapat melindungi terhadap induksi
terjadinya celah orofasial secara laboratorium pada binatang oleh sifat
teratogennya, demikian juga kortikosteroid, kelebihan vitamin A, dan
siklofosfamid.Deoksipiridin, atau antagonis vitamin B-6, diketahui
menginduksi celah orofasial dan defisiensi vitamin B-6 sendiri cukup
untuk membuktikan terjadinya langit-langit mulut sumbing dan defek
lahir lainnya pada binatang percoban.Namun penelitian pada manusia
masih kurang untuk membuktikan peran vitamin B-6 dalam terjadinya
vitamin B-6.
c. Vitamin A
Asupan vitamn A yang kurang atau berlebih dikaitkan dengan
peningkatan resiko terjadinya celah orofasial dan kelainan kraniofasial
lainnya. Hale adalah peneliti pertama yang menemukan bahwa defisiensi
vitamin A pada ibu menyebabkan defek pada mata, celah orofasial, dan
defek kelahiran lainya pada babi. Penelitian klinis manusia menyatakan
bahwa paparan fetus terhadap retinoid dan diet tinggi vitamin A
jugadapat menghasilkan kelainan kraniofasial yang gawat.Pada penelitian
prospektif lebih dari 22.000 kelahiran pada wanita di Amerika Serikat,
kelainan kraniofasial dan malformasi lainnya umum terjadi pada wanita
yang mengkonsumsi lebih dari 10.000 IU vitamin A pada masa
perikonsepsional.

4. Modifikasi Pekerjaan
Dari data-data yang ada dan penelitian skala besar menyarankan bahwa
ada hubungan antara celah orofasial dengan pekerjaan ibu hamil (pegawai
kesehatan, industri reparasi, pegawai agrikulutur).Teratogenesis karena
trichloroethylene dan tetrachloroethylene pada air yang diketahui
berhubungan dengan pekerjaan bertani mengindikasikan adanya peran dari
pestisida, hal ini diketahui dari beberapa penelitian.namun tidak semua.Maka
sebaiknya pada wanita hamil lebih baik mengurangi jenis pekerjaan yang
terkait. Pekerjaan ayah dalam industri cetak, seperti pabrik cat, operator
motor, pemadam kebakaran atau bertani telah diketahui meningkatkan resiko
terjadinya celah orofasial.
5. Suplemen Nutrisi
Beberapa usaha telah dilakukan untuk merangsang percobaan pada
manusia untuk mengevaluasi suplementasi vitamin pada ibu selama
kehamilan yang dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan.Hal ini
dimotivasi oleh hasil baik yang dilakukan pada percobaan pada binatang.
Usaha pertama dilakukan tahun 1958 di Amerika Serikat namun
penelitiannya kecil, metodenya sedikit dan tidak ada analisis statistik yang
dilaporkan.Penelitian lainnya dalam usaha memberikan suplemen
multivitamin dalam mencegah celah orofasial dilakukan di Eropa dan
penelitinya mengklaim bahwa hasil pemberian suplemen nutrisi adalah
efektif, namun penelitian tersebut memiliki data yang tidak mencukupi untuk
mengevaluasi hasilnya.Salah satu tantangan terbesar dalam penelitian
pencegahan terjadinya celah orofasial adalah mengikutsertakan banyak
wanita dengan resiko tinggi pada masa produktifnya.
II. FISTULA PALATAL
A. Definisi
Fistula palatal adalah keadaan dimana terdapatnya hubungan abnormal
antara hidung dan mulut melalui palatum. Kondisi ini merupakan komplikasi
tersering dan paling umum terjadi pada tindakan palatoplasty pada kondisi
palatoschisis atau cleft palate.

B. Insiden
Fistula palatal adalah komplikasi operasi palatoplasty yang cukup sering
terjadi. Data menunjukkan kejadian fistula palatal terjadi pada 19 dari 93 pasien
yang menjalani one stage-palatoplasty (20,4%).Di Indonesia, angka kejadian
fistula palatum pada pasien post-palatoplasty adalah 1 dari 29 pasien. Penderita
dengan cleft lips and palate lebih berisiko mengalami fistula palatum dari pada
penderita cleft palate.
Fistula palatal lebih sering ditemukan setelah perbaikan awal palatum.
Resiko bentuk fistula terlihat sangat berhubungan dengan ukuran dari celah yang
asli. Metode perbaikan yang digunakan oleh ahli bedah dapat mempengaruhi
perjalanan fistula. Laporan terbaru menunjukkan bahwa palatoplasty dengan 2
flap dihubungkan dengan tingkat yang rendah (3,4%) pada pembentukan fistula
palatal. Daerah yang paling umum untuk perkembangan residu palatal yaitu pada
pertemuan palatum keras dan lunak diikuti oleh anterior palatum keras dan
region foramen insisivus.
Hampir semua fistula yang terlihat dini pada periode pasca operasi, setelah
perbaikan dan merupakan hasil langsung dari luka lokal sebagai akibat gangguan
tekanan atau vascular. Periode waktu lainnya ketika fistula palatal kemungkinan
ditemukan selama tahap I perawatan ortodontik (pre bone graft), khususnya
ketika ekspansi maksila telah dilakukan.

C. Klasifikasi

Gambar 3. Klasifikasi Fistula menurut Pittsburgh


Selain klasifikasi fistula menurut Pittsburgh, pembagian fistula berdasarkan
ukurannya dibagi menjadi tiga kategori: small fistula (1-2mm), medium (2-
3mm), large (>5mm).
D. Indikasi Perbaikan Fistula Palatal
Rekomendasi mengenai waktu penutupan fistula secara signifikan
bervariasi dan menjadi topic yang controversial. Beberapa ahli bedah dapat
memberikan penanganan yang relative agresif untuk penutupan fistula lebih
awal setelah perbaikan palatum. Pada bayi, penutupan fistula yang kecil (1
sampai 4 mm), fistula non fungsional secara umum dapat di tangguhkan sampai
pada masa anak-anak. Pada beberapa kasus perbaikan fistula dapat dihubungkan
dengan sejumlah prosedur yang penting untuk kedepannya seperti bedah
faringeal untuk ketidaksesuaian velofaringeal atau rekonstruksi bone graft dari
celah maksila dan alveolus sepanjang tidak menggangu fungsi berbicara atau
fungsi konsumsi makanan.
Pada fistula yang lebih besar (> 5 mm), terdapat kecenderungan fungsi
fungsional yang akan di hadapi seperti terperangkapnya udara pada nasal yang
akan memepengaruhi cara berbicara, refluks makanan dan cairan pada nasal,dan
kesulitan yang berhubungan dengan hygene. Pada situasi klinik dimana tidak
terdapat masalah fungsional yang signifikan, penutupan dini dari fistula yang
persisten diindikasikan sebagai proses pengambilan keputusan, ahli bedah harus
menimbang keuntungan perbaikan fistula terhadap dampak negative pada bedah
palatal kedua yang melibatkan lapisan terluar dari mukoperiosteum dari
perkembangan maksila sebelumnya.
Pertimbangan lainnya dalam merencanakan waktu yang tepat dari
penutupan fistula adalah tipe dari teknik perbaikan yang digunakan untuk
perbaikan ini. Usaha untuk menutup fistula dengan flap lokal atau palatoplasty
dapat dilakukan selama masa bayi atau kanak-kanak secara dini. Dengan kata
lain pada kasus dimana penggunaan flap regional (misalnya, lidah) diperlukan,
anak-anak harus cukup umur untuk mampu menerima regimen perioperatif.

E. Teknik Operasi Fistula Palatal


Salah satu prosedur yang paling sering digunakan untuk penutupan fistula
residual adalah penggunaan flap jaringan lunak local yang dibuat sampai
mukosa palatal dan dirotasi diatas daerah yang rusak untuk penutupan (Gambar
1). Komponen pendekatan ini adalah pembuatan turn over flaps disekeliling
daerah yang rusak untuk penutupan daerah nasal, elevasi pada palatal finger flap
dan rotasi pada bayi, flap untuk menutupi kerusakan.daerah yang tampak dengan
tulang yang terbuka dibiarkan pada daerah donor,dan hal ini digunakan untuk
cacat palatal yang sangat kecil dan berhubungan dengan tingkat kegagalan yang
relatif tinggi. Flap rotasional yang kecil dalam jaringan palatum yang
mengandung jaringan parut yang luas dari prosedur pembedahan sebelumnya
sulit untuk dimobilisasi tanpa residual tension dan kemungkinan menurunkan
suplai darah yang menghasilkan kapasitas penyembuhan yang kurang ideal dan
kemungkinan besar terjadinya luka.
Pendekatan lain adalah prosedur Bardach atau Font Langenback.
Pendekatan ini memberikan penutupan yang adekuat bahkan untuk cacat yang
besar dengan penggunaan flap jaringan luka yang besar, lapisan pada daerah
nasal dan rongga mulut dan penutupan secara tension free line (Gambar 2).
Kemudian,jumlah tulang yang dibiarkan terbuka setelah perbaikan adalah
minimal bahkan sampai tidak ada. Hal ini karena kedalaman vertikal dari ubah
palatal dialihkan kedalam perluasan jaringan lunak ke medial sehingga hasilnya
berupa flap jaringan lunak palatal yang secara adekuat menutupi dasar tulang
dengan lapisan pada death space antara palatal shelves dan tepi mukosa oral.
”Bardach palatoplasty “ (dua flap) merupakan operasi yang dipilih pada
kasus dimana cacat fistula adalah ≥ 5mm. Keuntungan primer dari pendekatan
ini adalah kemampuannya untuk mendapatkan flap jaringan lunak yang besar,
yang dapat dimobilisasi dengan mudah dan memberikan kemudahan untuk
visualisasi dan penutupan pada mukosa nasal.sebagai pembanding,salahsatu
keuntungan secara teori dengan prosedur font langenback adalah pembuatan
bipedicled flaps yang mempertahankan suplai darah anterior dan posterior,
sementara anterior pedicled yang memberikan tambahan perfusi, juga dihasilkan
flap yang kurang bebas bergerak dengan akses yang terbatas, begitu juga dengan
visualisasi pada jaringan teoi nasal.
Gambar 4. Penggunaan flap rotasional untuk penutupan fistula palatal
residual. A. Turn over flap digunakan untuk mendapatkan penutupan daerah
nasal dan mucosa palatal flap dibentuk. B. Pola acak, full-thickness
mucoperiostal flap dielevasi dan dimobilisasi untuk penutupan daerah cacat.

Gambar 5. Modifikasi teknik palatoplasty dua flap untuk penutupan


fistula palatal residual. A. Dua flap mukoperiostal yang besar dibuat dengan
diseksi meluas sampai ke titik posterior cacat fistula. Mukosa nasal
dikembalikan sebagai lapisan terpisah. B. Penutupan pada daerah rongga mulut.
Awalnya midline ditutup dengan menggunakan interrupted sutures, kemudian
insisi lateral diperkirakan.

Pada situasi dimana terdapat cacat yang besar (>1,5cm) keberhasilan


penutupan mengharuskan ahli bedah menambah jaringan lunak dengan
menggunakan flap regional. Cacat fistula sampai palatum keras posterior atau
palatum lunak dapat dirawat dengan menggunakan prosedur palatoplaty
modifikasi, seperti yang dijelaskan di atas utamanya dengan flap pharyngeal.
Setelah flap palatal diperluas dan diseksi tepi nasal selesai, flap pharyngeal
dibuka. Flap jaringan lunak pharyngeal kemudian disatukan ke dalam daerah
penutupan tepi nasal dimana fistula tampak. Dengan menggunakan teknik ini,
sejumlah tambahan jaringan lunak diperlukan untuk perbaikan “tension-free”
pada cacat palatum. Ketika fistula terletak pada dua per tiga anterior dari
palatum keras, prosedur pilihan untuk pengambilan tambahan jaringan lunak ke
anterior didasarkan pada flap dorsal lidah.
Pertama, penutupan sisa nasal dari cacat palatum dilakukan dengan
turnover flap dengan multiple interrupted sutures. Kemudian teknik ini
memerlukan perluasan ke anterior berdasar flap lidah yaitu panjangnya sekitar 5
cm dengan 1 – 2/3 lebar lidah. Flap lidah diperluas sepanjang underlying
musculature dan kemudian disisipkan dengan menggunakan multiple mattress
suture untuk penutupan pada daerah rongga mulut. Recipent bed sampai ke lidah
ditutup. Setelah pembedahan awal, flap awal akan sembuh sekitar dua minggu.
Pada saat itu, pasien kembali di operasi. Intubasi dengan nasal-fiber optic
diindikasikan untuk prosedur kedua sebab lidah masih terjahit sampai pada
langit-langit, membatasi visualisasi normal dari jalan nafas. Flap kemudian
dipotong dan ujung daerahdonor dirapikan dan disipkan ke dalam lidah.
Penggunaan flap lidah ke arah lateral dan posterior juga telah diperlihatkan pada
literature mengenai celah (Gambar 3).
Gambar 6. Penggunaan flap dorsal lidah anterior untuk mrnutupi fistula besar
pada palatum keras anterior. A. Diagram dari cacat palatal dan elevasi dari flap
lidah anterior. Turn over flap awalx digunakan untuk memperbaiki daerah nasal
kemudian flap lidah dilakukan. Lebar flap sekitar 2/3 lebar lidah dan panjangnya
sekitar 4-6 cm. B. Daerah donor ditutup dengan menggunakan multiple
interrupted sutures dan flap lidah disisipkan dan dijahit disekeliling mukosa
yang rusak. C dan D. Gambaran intraoperasi pada pembuatan flap lidah dan
penempatannya.
DAFTAR PUSTAKA

Bilińska, M., & Osmola, K. (2015). Cleft lip and palate–risk factors, prenatal diagnosis
and health consequences. Ginekologia polska, 86(11).
Chang, W. J., See, L. C., & Lo, L. J. (2016). Time trend of incidence rates of cleft
lip/palate in Taiwan from 1994 to 2013. Biomedical journal, 39(2), 150-154.
Cordero Carrasco, E., Correa Hernández, S., & Pantoja Parada, R. (2015). Prevalence of
Patients with cleft lip and palate who were treated at the San Borja Arriarán
Clinical Hospital in Santiago Chile, within the AUGE healthcare
Plan. International journal of odontostomatology, 9(3), 469-473.
Ittiwut, R., Siriwan, P., Suphapeetiporn, K., & Shotelersuk, V. (2016). Epidemiology of
cleft lip with or without cleft palate in Thais. Asian Biomedicine, 10(4), 335-
338.
Kawalec, A., Nelke, K., Pawlas, K., & Gerber, H. (2015). Risk factors involved in
orofacial cleft predisposition–review. Open Medicine, 10(1).
Lithovius, R. H., Ylikontiola, L. P., & Sándor, G. K. (2014). Incidence of palatal fistula
formation after primary palatoplasty in northern Finland. Oral surgery, oral
medicine, oral pathology and oral radiology, 118(6), 632-636.
Salihu, S., Krasniqi, B., Sejfija, O., Heta, N., Salihaj, N., Geci, A., ... & Ueeck, B. A.
(2014). Analysis of potential oral cleft risk factors in the Kosovo
population. International surgery, 99(2), 161-165.
Vityadewi, N., Bangun, K. (2013). Incidence of Palatal Fistula after One-Stage
Palatoplasty and Factors Influencing the Fistula Occurrence. Journal Plastic
Reconstruction, 2(4), 120-125.
Watkins SE, Meyer RE, Strauss RP, Aylsworth AS. Classification, epidemiology, and
genetics of orofacial clefts. Clin Plast Surg. 2014; 41:149-63.
Zhang, Z., Fang, S., Zhang, Q., Chen, L., Liu, Y., Li, K., & Zhao, Y. (2014). Analysis
of complications in primary cleft lips and palates surgery. Journal of
Craniofacial Surgery, 25(3), 968-971.

You might also like