Professional Documents
Culture Documents
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau
terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urine terjadi akibat kelainan inflamasi ( sistitis ),
mungkin sifatnya hanya sementara. Namun , jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologis
Inkontinenensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang
cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan atau sosial.Variasi dari
inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak,
(agungrakhmawan, 2008).
Inkontinensia urine merupakan dorongan tidak sadar untuk mengeluarkan urine yang dapat
bersifat permanen maupun temporer yang dapat menjurus ke dalam gangguan emosional dan
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga
berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga
akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya
inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang
Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan
inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin
akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut.
Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti
glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan
nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam
obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker,
Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat
D à Delirium
P à Poliuria, pharmasi
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi,
patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada saat
batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul,
merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra
setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat
tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia
urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor
ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh
tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul
peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering
inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah
involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan.
Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada
diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak
keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal
berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar mandi, dan faktor
psikologis.
Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan gambaran
urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan
(agungrakhmawan, 2008).
b) Etologi
Mengetahui penyebab inkontinensia sangat penting untuk pengelolaan yang tepat. Pertama-tama
c) Lain-lain misalnya; hambatan mobilitas, situasi atau tempat berkemih yang tidak memadai
d) Usia, jenis kelamin, serta jumlah persalinan per vaginam yang pernah dialami sebelumya.
e) Infeksi saluran kemih, menopause, pembedahan urogenital, penyakit kronis dan penggunaan
obat-obatan
Penyebab inkontinutas urine Kesadaran kebutuhan berkemih Kemampuan kortek untuk menahan
berkemih Busur reflek Respon kandung kencing terhadap pengisian Akibat yang ditimbulkan
Cerebral clouding
Terganggu Terganggu Bekerja Normal Bekemih tidak terkendali akibat respon reflek
Infeksi
Bekerja Bekerja, tapi terkalahkan oleh respon reflek yang kuat Mendapat stimulus tidak normal
Gangguan jalur dari saraf pusat( lesi kortek ) Berkurang Terganggu Bekerja Meningkat berkemih
Rusak Rusak Bekerja,tapi tidak tepat Meningkat berkemih karena respon reflek
Lesi motor neuron bawah Rusak Rusak Rusak atau terganggu Rusak atau terganggu Distensi
Kerusakan jaringan Bekerja Ada, tapi tidak berfungsi karena respon otot jelek Bekerja Normal
c) Patofisiologi
kandung kemih. Otot-otot detrusor ( lapisan yang ke tiga dari kandung kencing) memberikan
respon dengan relaksasi agar dapat memperbesar volume daya tamping. Bila titik daya tamping
telah tercapai, biasanya 150-200 ml urin akan merangsang stimulus yang ditransmisikan lewat
serabut reflek eferen ke lengkungan pusat reflek untuk mikturisasi. Impuls kemudian disalurkan
melalui serabut efferent dari lengkungan reflek ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot
detrusor. Sfingter interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama-sama
membuka dan urine masuk ke irethra posterior. Relaksasi sfingter eksterna dan otot perineal
mengikuti dan isis kandung kemih keluar. Pelaksanaan kegiatan reflek bisa mengalami interupsi
sehingga berkemih ditangguhkan melalui dikeluarkannya impuls inhibitor dari pusat kortek yang
berdampak kontraksi diluar kesadaran dari sfingter interna. Bila salah satu dari system yang
d) Manifestasi klinik
Gejala gejala yang ditimbulakan dari inkontinensia urine seperti ruam, dekubitus, infeksi kulit
Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi
Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau
menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan
Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan
terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan
proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas.
Tes lanjutan tersebut adalah :
Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa
sitologi.
Tes urodinamik a untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah
Tes tekanan urethra mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianamis.
Imaging tes atau pemotretan terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.
2. Pemeriksaan penunjang
Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin
pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat
dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan
penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih
penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa
dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang
dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi
3. Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal
Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk
mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin,
dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan
selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat
dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang
f) Penatalaksanaan
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik
yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti
hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik
relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat
menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih
pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka
serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara
berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan
cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul
digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan berputar searah
Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan
baik.
Menurut Kane dkkuntuk masing-masing tipe dari inkontinensia ada bebrapa hal khusus yang
dianjurkan misalnya;
b. Inkontinensia urgensi:
o Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan yang dalam keadaan patologik dapat
menyebabkan iritasi pada saluran kandung kemih bagian bawah.
o Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak mungkn secara menetap.
o Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan kebiasaan berkemih.
4. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti
diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis
seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.
5. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non
memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan
terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).
6. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin,
dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin,
diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan.
Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak
masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni
keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit,
Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan
infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat
kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan
kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung
kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu
bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari
jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.
INKONTINENSIA ALVI
A. Pengertian
Inkontinensia alvi lebih jarang ditemukan dibandingkan inkontinensia urin. Defekasi, seperti
halnya berkemih, adalah proses fisiologik yang melibatkan koordinasi sistem saraf, respon
refleks, kontraksi otot polos, kesadaran cukup serta kemampuan mencapai tempat buang air
tetapi inkontinensia alvi bukan merupakan sesuatu yang normal pada lanjut usia.
B. Etiologi
Penyebab inkontinensia alvi dapat di bagi menjadi 4 kelompok ( Brcklehurst dkk, 1987 ; Kane
dkk, 1989) :
Batasan dari konstipasi masih belum tegas. Secara teknis dimaksudkan untuk buang air besar
kurang dari tiga kali per minggu. Tetapi banyak penderita sudah mengeluhkan konstipasi bila ada
kesulitan mengelurkan feses yang keras atau merasa kurang puas saat BAB.
Merupakan penampilan klinis dari macam-macam kelainan patologik yang dapat menyebabkan
diare yang ditandai dengan perubahan usia pada sfingter terhadap feses cair dan gangguan pada
saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair
Penyebab yang lain seperti kelainan metabolic misalnya DM, kelainan endokrin seperti
tirotoksitosis, kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi dari operasi hemoroid yang kurang
Inkontinensia ini terjadi akibat gangguan fungsi yang menghambat dari korteks serebri saat
terjadi regangan/ distensi rectum yang terjadi pada penderita denga infark cesebri multiple atau
penderita demensia.
Inkontinensia alvi ini terjadi akibat hilangnya reflek anal disertai dengan kelemahan otot-otot.
C. Patofisiologi
Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat sepanjang hidup. Namun demikian
beberapa orang lansia mengalami ketidaknyamanan akibat motilitas yang melambat. Peristaltic
di esophagus kurang efisien pada lansia. Selain itu, sfingter gastroesofagus gagal berelaksasi,
perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan. Motalitas gaster juga mnurun,
akibatnya terjadi keterlambtan pengososngan isis lambung. Berkurangnya sekresi asam dan
Absorsi nutrient di usus halus nampaknya juga berkurang dengan bertambahnya usia namun
masih tetap adekuaT. Fungsi hepar, kandung empedu dan pangkreas tetap dapat di pertahankan,
meski terdapat inefisiensi dalam absorsi dan toleransi terhadap lemak. Impaksi feses secara akut
dan hilangnya kontraksi otot polos pada sfingter mengakibatkan inkontinensia alvi.
D. Manifestasi Klinik
Secara klinis, inkontinensia alvi dapat tampak sebagai feses yang cair atau belum berbentuk dan
feses keluar yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali sehari dipakaian atau tempat tidur.
Perbedaan penampilan klinis ini dapat menunjukkan penyebab yang berbeda-beda, antara lain
inkontinensia alvi akibat konstipasi (sulit buang air besar), simtomatik (berkaitan dengan
penyakit usus besar), akibat gangguan saraf pada proses defekasi (neurogenik), dan akibat
hilangnya refleks pada anus.
( agungrakhmawan.wordpress.com/2008 )
F. Penatalaksanaan
Dengan diagnosis dan pengobatan yang sesuai ( tindakan suportif, obat-obatan dan bila perlu
pembedahan), inkontinensia alvi pada usia lanjut hampir seluruhnya dapat dicegah dan diobati.
Tujuannya tidak hanya terletak pada keadaan yang kurang nyaman, bahkan memalukan bagi
penderita, tetapi fakta bahwa inkontinensia alvi dapat merupakan petunjuk pertama adanya
penyakit serius pada saluran cerna bagian bawah yang memerlukan pengobatan dini jika benar-
benar ditemukan.
( agungrakhmawan.wordpress.com/2008 )
BAB III
PROSES KEPERAWATAN
Data subjektif
c. Apakah ada sesuatu yang mendahului inkontinen ( stress, ketakutan, tertawa, gerakan )
g. Apakah urine menetes diantara waktu BAK, jika ada berapa banyak
h. Apakah inkontinensia terjadi pada saat-saat yang bisa diperkirakan seperti pada saat batuk,
i. Apakah klien menyadari atau merasakan keinginan akan BAK sebelum inkontinensia terjadi
urine
Data obyektif
a. Volume output
b. Palpasi pada vesika urinaria untuk mengetahuindaanya residu pada kandung kemih
Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit harus menekankan pada gejala yang muncul secara rinci agar dapat ditentukan
Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan membantu
menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu harus dilakukan,
pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi neurologis, dan pelvis (pada wanita)
sangat diperlukan.
a. Inspeksi
b. Palpasi
c. Perkusi
Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh, rasa nyeri, massa,
atau riwayat pembedahan. Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika
memeriksa genitalia.
Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi atau skibala, dan
evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks bulbokavernosus. Nodul prostat dapat
Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa, tonus otot,
prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel. Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat
pemeriksaan rectum ketika pemeriksan sensasi perineum, tonus anus, dan refles
bulbokavernosus.
Pemeriksaan neurologis juga perlu mengevaluasi penyakit-penyakit yang dapat diobati seperti
kompresi medula spinalis dan penyakit parkinson. Pemeriksaan fisik seyogyanya juga meliputi
pengkajian tehadap status fungsional dan kognitif, memperhatikan apakah pasien menyadari
B. Dianosa keperawatan
C. Implementasi
a. Menjaga kebersihan kulit, kulit tetap dalam keadaan kering, ganti sprei atau pakaian bila
basah.
c. Anjurkan pemasukkan cairan 2-2,5 liter / hari jika tidak ada kontra indikasi.
d. Anjurkan klien untuk latihan perineal atau kegel’s exercise untuk membantu menguatkan
o Kontraksi dipertahankan selama 5-10 detik dan kemudian mengendorkan atau lepaskan
e. Cek obat-obat yang diminum ( narkotik, sedative, diuretik, antihistamin dan anti hipertensi ),
D. Evaluasi
A. Pengkajian
Riwayat keperawatan
a. Pola defikasi
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi inspeksi, auskultasi, perkusi
dan palpasi dikhususkan pada saluran intestinal. Auskultasi dikerjakan sebelum palpasi, sebab
palpasi dapat merubah peristaltik. Pemeriksaan rektum dan anus meliputi inspeksi dan palpasi.
B. Diagnosa
kurangnya pengalaman
C. Perencanaan
D. Implementasi
a) Anjurkan pasien untuk banyak minum (minum minimal 8 gelas / hari untuk mencegah
dehidrasi)
b) Anjurkan makan makanan yang mengandung Natrium dan Kalium seperti dalam daging dan
sayuran
c) Tingkatkan makanan yang mengandung serat yang mudah larut seperti pisang
d) Batasi makanan yang mengandung serat tidak larut seperti buah mentah, sereal dan makanan
yang berlemak
b. Untuk menegakkan keteraturan eliminasi alvi, klien dan perawat dapat berdiskusi ketika
c. Aktivitas lain seperti mandi dan ambulasi seharusnya tidak menyita waktu untuk defekasi.
kurangnya pengalaman
PENUTUP
A. Kesimpulan
Inkontinensia urine merupakan keluahan yang banyak dijumpai pada lanjut usia. Prevalensinya
meningakat dengan bertambahnya umur, lebih banyak didapatkan pada wanita. Inkontinensia
alvi lebih jarang ditemukan dibanding inkontinensia urine. Defekasi, seperti halnya berkemih,
adalah proses fisiologik yang melibatkan koordinasi sistem saraf, respon refleks, kontraksi otot
polos, kesadaran cukup serta kemampuan mencapai tempat buang air besar. Perubahan-
perubahan akibat proses menua dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia, tetapi inkontinensia
Inkontinensia keadaan dimana pengeluaran urin atau feses tanpa disadari, dalam batas dan yang
cukup sehigga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan kesehatan atau social. Inkontinensia
urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar
keinginan. Jika inkontinensia urine terjadi akibat kelainan inflamasi ( sistitis ), mungkin sifatnya
hanya sementara. Namun , jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologis yang serius (
paraplegia ), kemungkinan besar bersifat permanen.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo, Boedhi R. dan H. Hadi Martono. 2004. Buku ajar geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut)
Stanley, Mickey dan Patricia Gauntleft Beare. 2006. buku ajar keperaatan gerontik : Ed. 2.
Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. buku ajar keperaatan medikal-bedah Brunner & Suddarth : Ed. 8.
Jakarta : EGC
Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius : Jakarta