Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kusta atau disebut juga Morbus Hansen merupakan penyakit yang menyerang
kulit maupun saraf yang disebabkan oleh infeksi Microbacterium leprae. Kusta berasal
dari bahasa sansekerta yaitu Kusta yang artinya kumpulan gejala penyakit kulit secara
umum. Kusta dapat ditularkan melalui 2 cara yaitu dengan cara kontak langsung
dengan penderita atau melalui pernafasan (Kemenkes RI, 2015).
Kusta merupakan masalah kesehatan global yang penting, diagnosis dini dan
rangkaian pengobatan yang lengkap sangat penting untuk mencegah neuropati dan
kecacatan seumur hidup. Sebagian besar kasus kusta telah dilaporkan terjadi di negara-
negara berkembang. Setiap tahun, sekitar 200.000 orang terkena kusta di seluruh dunia.
Tingkat deteksi tertinggi ditemukan di negara-negara berkembang yang terletak di Asia
Tenggara, Afrika, dan Amerika Selatan. Pada tahun 2010, Brasil adalah negara dengan
jumlah kasus tertinggi kedua di dunia, hanya di belakang India. Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) melaporkan bahwa ada sekitar 213.899 pasien yang baru didiagnosis
pada tahun 2014 (tingkat deteksi 3.0 / 100.000 penduduk), dengan 94% pasien kusta
hanya berada di 13 negara, salah satunya adalah Indonesia. Departemen Kesehatan
Indonesia melaporkan 16.131 kasus kusta yang baru didiagnosis pada tahun 2014.
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular menahun yang
menimbulkan masalah yang sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan hanya
dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan
ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara yang
sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam
memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih
ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan
masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan
cacat yang ditimbulkanya.
Dengan kemajuan teknologi di bidang promotif, pencegahan, pengobatan serta
pemulihan kesehatan di bidang penyakit kusta, maka penyakit kusta dapat diatasi dan
seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Akan tetapi mengingat
kompleksnya masalah penyakit kusta, maka diperlukan program pengendalian secara
terpadu dan menyeluruh melalui strategi yang sesuai dengan endemisitas penyakit
kusta. Selain itu juga harus diperhatikan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial
ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup mantan penderita kusta.
Keberhasilan perawatan diri yang dilakukan oleh penderita kusta dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah dukungan dari keluarga serta
pengetahuan penderita kusta. Salah satu faktor pendukung keberhasilan penderita kusta
yaitu dukungan dari keluarga penderita kusta. Menurut Friedman (2010), dukungan
keluarga menjadi faktor penting dalam proses penyembuhan seseorang, keluarga dapat
memberikan dorongan baik dari segi fisik maupun psikologis bagi penderita.
Dukungan dari keluarga berdampak pada kecepatan penyembuhan seseorang
serta meningkatkan fungsi kognitif maupun emosi seseorang (Setiadi, 2008). Ketika
penderita kusta mendapatkan dukungan yang cukup maka penyembuhan akan semakin
cepat, serta akan lebih giat dalam mencari dan melakukan upaya-upaya penyembuhan
bagi dirinya dalam hal ini adalah upaya pencegahan cacat dengan melakukan
perawatan diri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mahanani (2013), di
Puskesmas Kunduran Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora. Penelitian tersebut
mendapatkan hasil bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan perawatan
diri penderita kusta.
Faktor lain yang berperan dalam perawatan diri penderita kusta adalah dari aspek
pengetahuan penderita kusta. Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap suatu
objek melalui pengindraan yang dimiliki oleh manusia (Notoatmodjo, 2012). Menurut
Blum (1974) pengetahuan adalah domain penting yang memengaruhi kesehatan
individu. Semakin baik pengetahuan seseorang akan suatu permasalahan kesehatan
maka semakin baik pula upaya peningkatan kesehatan yang dilakukan oleh seseorang.
Begitupula pada permasalahan tentang kusta, semakin banyak informasi yang didapat
akan semakin baik pengetahuan penderita kusta dalam hal ini adalah perawatan diri
dalam upaya pencegahan kecacatan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Solikhah (2016) yang menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara tingkat pengetahuan dengan perawatan diri penderita kusta.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana cara menurunkan stigma masyarakat yang tinggi terhadap penderita kusta
di Puskesmas Sukamaju Kabupaten Kota Baru?
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Memberikan pemahaman pada masyarakat mengenai penyakit kusta di
Puskesmas Sukamaju Kabupaten Kota Baru.
2. Tujuan khusus
Mengubah stigma negatif masyarakat mengenai penyakit kusta di Kabupaten
Kota Baru
BAB II
A. Skenario
B. Analisa
Dari data pada skenario diatas dapat diidentifikasi terdapat permasalahan sebagai
berikut :
1. Endemis Kusta
2. Pendidikan yang rendah
3. Fasilitas Kesehatan yang sulit dijangkau
4. Keterlambatan deteksi dini oleh penderita dan tenaga kesehatan
5. Pengobatan yang belum optimal
6. Perawatan diri pasien yang kurang
7. Stigma masyarakat terhadap penyakit kusta masih tinggi
8. Kepadatan penduduk
9. Sanitasi rumah yang kurang memadai
Dari hasil inventarisasi tersebut yang menjadi masalah kesehatan adalah endemis
kusta sedangkan masalah yang lainnya menjadi pemicu atau faktor risiko. Hubungan
antara faktor risiko dengan masalah kesehatan ini dapat digambarkan dalam diagram
fish bone sebagai berikut
Gambar 1. Diagram Fishbone
C. Pembahasan
1. Input
a. Pendidikan yang rendah
Dari skenario di atas, diketahui bahwa penduduk desa di Puskesmas
Sukamaju Kabupaten Kota Baru sebagian besar berpendidikan sekolah dasar.
Rendahnya tingkat pendidikan menyulitkan masyarakat dalam memahami
gejala dan tanda awal, penyebab, maupun pengobatan penyakit kusta. Semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin mudah orang tersebut
menerima dan memahami berbagai macam informasi yang diberikan. Tingkat
pendidikan merupakan salah satu unsur yang menentukan pengalaman dan
pengetahuan seseorang dan apabila semakin rendah pendidikan akan
menyebabkan tingkat pengetahuan masyarakat akan suatu penyakit juga rendah
sehingga hal tersebut juga dapat menyebabkan tingginya prevalensi penyakit
kusta di daerah tersebut.
1. Proses
a. Keterlambatan deteksi dini oleh penderita dan tenaga kesehatan
Usaha untuk mengidentifikasi penyakit kusta secara klinis belum jelas dengan
menggunakan pemeriksaan tertentu prosedur lain yang dapat digunakan secara
cepat untuk membedakan orang-orang yang kelihatannya sehat tetapi
mempunyai kemungkinan sakit/ benar-benar sehat (Mausner & Bahn, 1974).
Keterlambatan deteksi dini oleh penderita dan tenaga kesehatan dapat
meningkatan angka prevalensi penyakit kusta
Penemuan pasien kusta scara garis besar terdiri dari penemuan pasif dan aktif.
1. Penemuan pasien secara pasif (sukarela)
Pasien yang ditemukan karena datang ke puskesmas atau sarana kesehatan
lainnya atas kemauan sendiri atau saran orang lain.
Faktor-faktor yang menyebabkan pasien terlambat berobat, disebabkan oleh
dua aspek yakni:
- aspek dari sisi pasien: tidak mengerti tanda dini kusta, malu datang ke
Puskesmas, tidak tahu bahwa ada obat tersedia gratis di puskesmas,
jarak rumah pasien ke puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu jauh.
- Aspek dari penyedia layanan kesehatan; ketidakmampuan mengenali
tanda kusta dan mendiagnosis, pelayanan yang tidak mengakomodasi
kebutuhan klien.
2. Penemuan pasien secara aktif.
Pasien yang ditemukan secara aktif, melalui kegiatan-kegiatan seperti:
- pemeriksaan kontak
kegiatan penemuan pasien dengan melakukan kunjungan ke rumah
pasien yang baru ditemukan (kasus indeks). Kegiatan ini memerlukan
biaya yang rendah namu memiliki efektifitas yang tinggi sehingga wajib
dilakukan.
- Rapid Village Survey (RVS)
- Chase Survey
- Pemeriksaan anak sekolah SD sederajat
- Leprosy Elimination Campaign (LEC)
b. Pengobatan yang belum optimal
Pengobatan yang belum optimal dapat meningkatkan tingkat prevalensi
kusta pada suatu daerah. Dimana tujuan salah satu pengobatan MDT yaitu
memutuskan mata rantai penularan. Dengan matinya kuman maka sumber
penularan dari pasien terutama tipe MB ke orang lain terputus. Pengobatan
yang belum optimal terserbut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
ketidakteraturan penderita untuk minum obat, potensi obat kurang,
penyimpanan obat tidak teratur, obat kadaluarsa, obat sering terlambatt, adanya
resistensi obat. Selain itu, kurangnya peran petugas kesehatan terhadap kejadian
default (jika seorang pasien tidak mengambil/minum obatnya lebih dari 3
bulan) pengobatan kusta di masyarakat, kurangnya pengetahuan penderita
tentang penyakitnya serta tingkat social-ekonomi yang kurang.
Bila pengobatan belum optimal dapat berakibat kuman kusta dalam
tubuh penderita akan tumbuh dan berkembang lebih banyak sehingga dapat
merusak saraf penderita yang pada akhirnya dapat menimbulkan kecacatan dan
cacat yang sudah terjadi sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki dengan
MDT (Depkes RI,1999).
2. Lingkungan
a. Stigma masyarakat yang masih tinggi
1. Fungsi mereka ditengah masyarakat dalam hal ini mereka dianggap kurang
produktif dan karena itu merugikan masyarakat.
2. Keberadaannya mereka yang merupakan ancaman bagi masyarakat. Mereka
dianggap potensial menulari orang-orang yang sehat dengan penyakit mereka.
3. Mereka dianggap bertanggung jawab secara pribadi atas keberadaan mereka.
Persepsi bahwa penderita kusta bertanggung jawab secara pribadi atas penyakit
yang disandangnya.
PARAMETER MASALAH
A B C D E F G H
1. Prevalence 3 4 5 4 4 5 4 4
2. Severity 4 3 4 5 5 5 4 5
3. Rate % increase 4 3 4 5 5 4 4 3
5. Social benefit 4 4 4 4 4 5 3 3
6. Public concern 2 4 4 3 4 4 3 2
8. Resources availibilty 2 2 3 2 3 5 1 1
Jumlah 27 29 30 29 32 36 22 21
Keterangan :
Dari table skoring prioritas masalah diatas didapatkan angka tertinggi yaitu pada masalah
masih tingginya stigma masyarakat terhadap penyakit kusta. Maka dari itu untuk
memecahkan masalah tersebut diperlukan solusi dengan pembuatan program yang
bermanfaat untuk masyarakat.
Efektivitas Efisiensi Hasil
No Alternatif Jalan Keluar
𝑀𝑥𝐼𝑥𝑉
M I V C P=
𝐶
1 Penyuluhan 5 4 4 3 26
2 Rehabilitasi 4 3 3 4 9
BAB III
RENCANA PROGRAM
A. Rencana Kegiatan
Untuk mempermudah penyelesaian masalah pada sekenario diatas dapat
menggunakan system scoring. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penyelesaian
masalah berdasarkan skala prioritas dari yang tertinggi sampai yang terendah.
Tabel 2. Scoring Prioritas Pemecahan Masalah Pada Penyakit Kusta Di
Puskesmas Sukamaju Kabupaten Kota Baru
3 Pembentukan LSM 3 3 2 1 18
Keterangan :
P : Prioritas penyeselaian masalah
M : Magnitude, besarnya masalah yang bias diatasi apabila solusi ini dilaksanakan
(turunnya prevalensi dan besarnya masalah lain)
I : Implementasi, kelanggengan selesai masalah
V : Vulnerability, sensitifnya dalam mengatasi masalah
C : Cost, Biaya yang diperlukan
a. Sasaran Primer
Sasaran primer adalah individu atau kelompok yang diharapkan berubah
perilakunya dengan dilaksanakannya promosi pengendalian kusta. Sasaran
primer tersebut antara lain;
1) Pasien kusta
2) Keluarga pasien (ayah, ibu, kakek, nenek dan lain-lain)
3) Tetanga pasien
4) Masyarakat
b. Sasaran Sekunder
Sasaran sekunder adalah individu, kelompok dan organisasi yang dapat
mempengaruhi perubahan perilaku sasaran primer, antara lain;
1) Kader
2) Tokoh masyarakat
3) Tokoh agama
4) Petugas kesehatan
5) Lintas program
6) Lintas sektor terkait
7) Organisasi pemuda (Karang Taruna, saka bakti husada dan lain-lain)
8) Organisasi profesi (IDI, IBI dan lain-lain)
9) Organisasi Wanita
10) Kelompok keagamaan
11) Kelompok kesenian
12) Lembaga Swadaya Masyarakat
c. Sasaran Tersier
Sasaran tersier adalah individu kelompok dan organisasi yang memiliki
kewenangan untuk membuat kebijakan dan keputusan dalam mendukung upaya
pengendalian penyakit kusta. Sasaran tersier tersebut antara lain;
1) Kepala Wilayah/Daerah
2) Pimpinan dan atau anggota DPRD
3) Pimpinan dan atau staf Bappeda
4) Penyandang dana (lokal, nasional, dan internasional)
5) Pimpinan media massa
a. Advokasi kesehatan
Advokasi adalah upaya secara sistematis untuk mempengaruhi
pimpinan, pemangku kepentingan, keputusan penyandang dana dan pimpinan
media massa agar proaktif mendukung berbagai kegiatan pengendalian kusta
sesuai dengan bidang dan keahlian masing-masing. Dengan output yang
diharapkan adanya komitmen, kebijakan dan dana untuk mendukung upaya
pengendalian penyakit kusta. Kegiatan yang dilakukan antara lain;
1) Pertemuan resmi seperti rapat, koordinasi, lokakarya, orientasi
2) Pertemuan tidak resmi seperti lobby, acara minum teh/kopi, negosiasi
3) Demonstrasi, kampanye
4) Wawancara di media massa seperti obrolan, menulis artikel di koran.
b. Bina Suasana
Bina suasana adalah upaya penggalangan kemitraan antara berbagai
kelompok masyarakat untuk menciptakan suasana yang mendukung upaya
pengendalian penyakit kusta. Output yang diharapkan; terciptanya opini publik
dan kondisi masyarakat yang peduli terhadap upaya pengendalian penyakit
kusta dan terjalinnya kemitraan. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain;
1) Pelatihan
2) Seminar
3) Lokakarya
4) Sarasehan
5) Studi banding
6) Dialog terbuka
c. Gerakan Masyarakat
Gerakan masyarakat adalah upaya proaktif untuk menumbuhkan
kesadaran, kemauan individu dan masyarakat agar mau dan mampu
mempraktekkan (melaksanakan) upaya pengendalian kusta. Output yang
diharapkan adalah adanya upaya masyarakat baik individu maupun kelompok
untuk mengenal secara dini penyakit kusta dan adanya masyarakat baik
individu maupun kelompok untuk membawa pasien ke petugas kesehatan.
Kegiatan yang dilakukan antara lain;
1) Penyebarluasan infromasi melalui tatap muka, media, baik media massa,
cetak maupun elektronik
2) Berbagai lomba; poster, mengarang, pidato tentang kusta
3) Forum pertemuan di masyarakat
4) Kunjungan rumah
5) Dana sehat untuk menunjang pencarian pengobatan ke tenaga kesehatan
atau rujukan (oleh, untuk dan dari masyarakat)
2. Rehabilitasi
Rehabilitasi menurut WHO adalah semua upaya mengurangi dampak
kecacatan pada seseorang agar mampu mandiri, ber- partisipasi, dan berintegrasi
sosial sehingga mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.
Dampak psikologis paska tindakan rehabilitasi antaara lain penderita
merasa senang, bahagia, puas, percaya diri meningkat, dan penampilan lebih baik.
(Nasution, 2012)
Rehabilitasi fisik dapat berupa tindakan operasi, pemasangan orthesa
maupun prtohesa. Diharapakan dengan adanya rehabilitasi ini secara fisik penderita
dapat merasakan seperti sembuhnya luka kronis, tampilan fisik yang baik dan
kemampuan melakukan kegiatan sehari-hari menjadi meningkat.
Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nasution pada tahun
2012 mengemukakan bahwa tindakan rehabilitasi medis yang memperbaiki fungsi
tubuh dan mengurangi kecacatan penderita tidak membuat penderita mampu
berpartisipasi dan berintegrasi social sehingga kualitas hidup penderita disabilitas
kusta belum meningkat karena adanya stigma masih yang besar akan buruknya
kusta.
3. Pembentukan LSM
Kondisi sosial budaya masyarakat di desa masih mempunyai kepercayaan
yang kuat terhadap tradisi dan adat istiadat turun temurun, seperti adat penolakan
terhadap orang yang mengalami kusta dan penolakan oleh masyarakat terhadap
penderita kusta tergolong ekstrem. Orang yang menderita kusta adalah orang yang
hina, mereka mendapat kutukan yang berupa penyakit menular dan mematikan.
Oleh karena itu, orang yang menderita kusta kerap kali dikucilkan dari pergaulan
Tingginya stigma dan diskriminasi bagi penderita kusta ini yang
menyebabkan perlunya peranan dari berbagai pihak untuk minghilangkan stigma
tentang penyakit kusta di masyarakat, yang salah satunya oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini sendiri merupakan suatu
organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warga negara Republik
Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta bergerak di
bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud
partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya.
Lembaga Swadaya Masyarakat ini memiliki peranan penting dalam
menghilangkan stigma tentang penyakit kusta dimasyarakat. LSM ini dapat
dibentuk dengan jajaran Pembina, Pengurus, dan Anggotanya orang yang
mengalami kusta dan orang yang mengalami kusta baik di daerah maupun pusat
yang menangani masalah kesehatan terumata masalah kusta, dan lembaga donor
yang fokus terhadap penyakit kusta.
Dengan adanya LSM ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
orang yang mengalami dan pernah mengalami kusta, dengan menjalankan
program-program peningkatan di berbagai bidang seperti peningkatan bidang
sosial, bidang ekonomi dan bidang pendidikan sehingga mencapai kesejahteraan
penderita kusta dan orang yang pernah mengalami kusta mandiri serta dapat
diterima di lingkungan masyarakat baik secara sosial, politik, pendidikan yang
layak serta layanan kesehatan yang baik.
C. Rencana Pelaksanaan Program
1. Pengantar
Berbagi
2. Perkenalan Selasa
Konseling cerita dan Tim Meja bundar
konselor dan
sesama Penderita pengalaman 2x Balai konselor Kursi
5 dan pasien jumat
penderita kusta antar sesama pertemuan desa penyuluha Kertas
3. Konseling minggu
kusta penderita n konseling
kedua
kusta
Berbagi
Senin
Konseling Penderita cerita dan Tim Meja bundar
1. Pengantar dan
penderita dan non pengalaman 2x Balai konselor Kursi
6 2. Perkenalan kamis
kusta dengan penderita penderita dan pertemuan desa penyuluha Kertas
3. konseling minggu
non penderita kusta masyarakat n konseling
ketiga
sekitar
Tercapainya
Desa
Masyara kondisi Sebulan Kuisioner
7. Evaluasi 1x sebulan Balai desa sukama TIM
kat desa sesuai materi Sekali kamera
ju
penyuluhan
Desa
Sewaktu- Sewaktu Kamera
Sidak suka TIM
waktu waktu kuisioner
maju
BAB IV
A. Kesimpulan
Kusta atau disebut juga Morbus Hansen merupakan penyakit yang
menyerang kulit maupun saraf yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae. Kusta berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Kusta yang artinya kumpulan
gejala penyakit kulit secara umum . Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit
menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Tingginya prevalensi
kusta di Puskesmas Sukamaju di Kabupaten Kota Baru disebabkan oleh faktor
diantaranya adalah Faktor Input, Proses dan Iingkungan yang mana telah
dijelaskan pada diagram fish bone. Oleh karena itu, untuk mengurangi angka
prevalensi penyakit kusta maka diperlukan program penyuluhan yang berguna
untuk meningkatkan kemampuan penderita untuk hidup mandiri serta pengetahuan
kusta kepada masyarakat.
B. Saran
o Salah satu cara untuk stigma negatif penyakit kusta di masyarakat terutama
Puskesmas Sukamaju di Kabupaten Kota Baru adalah dengan melakukan
penyuluhan.
o Adapun program lainnya yang dapat dilakukan seperti
- Rehabilitasi
- Pembentukan LSM bagi penderita kusta
o Untuk implementasinya, maka diperlukan peran serta dari berbagai pihak
terutama tenaga keehatan dan masyarakat sangat diharapkan guna mencegah
penularan dari kusta.
23
DAFTAR PUSTAKA
24
25