You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kusta atau disebut juga Morbus Hansen merupakan penyakit yang menyerang
kulit maupun saraf yang disebabkan oleh infeksi Microbacterium leprae. Kusta berasal
dari bahasa sansekerta yaitu Kusta yang artinya kumpulan gejala penyakit kulit secara
umum. Kusta dapat ditularkan melalui 2 cara yaitu dengan cara kontak langsung
dengan penderita atau melalui pernafasan (Kemenkes RI, 2015).
Kusta merupakan masalah kesehatan global yang penting, diagnosis dini dan
rangkaian pengobatan yang lengkap sangat penting untuk mencegah neuropati dan
kecacatan seumur hidup. Sebagian besar kasus kusta telah dilaporkan terjadi di negara-
negara berkembang. Setiap tahun, sekitar 200.000 orang terkena kusta di seluruh dunia.
Tingkat deteksi tertinggi ditemukan di negara-negara berkembang yang terletak di Asia
Tenggara, Afrika, dan Amerika Selatan. Pada tahun 2010, Brasil adalah negara dengan
jumlah kasus tertinggi kedua di dunia, hanya di belakang India. Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) melaporkan bahwa ada sekitar 213.899 pasien yang baru didiagnosis
pada tahun 2014 (tingkat deteksi 3.0 / 100.000 penduduk), dengan 94% pasien kusta
hanya berada di 13 negara, salah satunya adalah Indonesia. Departemen Kesehatan
Indonesia melaporkan 16.131 kasus kusta yang baru didiagnosis pada tahun 2014.
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular menahun yang
menimbulkan masalah yang sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan hanya
dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan
ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara yang
sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam
memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih
ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan
masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan
cacat yang ditimbulkanya.
Dengan kemajuan teknologi di bidang promotif, pencegahan, pengobatan serta
pemulihan kesehatan di bidang penyakit kusta, maka penyakit kusta dapat diatasi dan
seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Akan tetapi mengingat
kompleksnya masalah penyakit kusta, maka diperlukan program pengendalian secara
terpadu dan menyeluruh melalui strategi yang sesuai dengan endemisitas penyakit
kusta. Selain itu juga harus diperhatikan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial
ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup mantan penderita kusta.
Keberhasilan perawatan diri yang dilakukan oleh penderita kusta dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah dukungan dari keluarga serta
pengetahuan penderita kusta. Salah satu faktor pendukung keberhasilan penderita kusta
yaitu dukungan dari keluarga penderita kusta. Menurut Friedman (2010), dukungan
keluarga menjadi faktor penting dalam proses penyembuhan seseorang, keluarga dapat
memberikan dorongan baik dari segi fisik maupun psikologis bagi penderita.
Dukungan dari keluarga berdampak pada kecepatan penyembuhan seseorang
serta meningkatkan fungsi kognitif maupun emosi seseorang (Setiadi, 2008). Ketika
penderita kusta mendapatkan dukungan yang cukup maka penyembuhan akan semakin
cepat, serta akan lebih giat dalam mencari dan melakukan upaya-upaya penyembuhan
bagi dirinya dalam hal ini adalah upaya pencegahan cacat dengan melakukan
perawatan diri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mahanani (2013), di
Puskesmas Kunduran Kecamatan Kunduran Kabupaten Blora. Penelitian tersebut
mendapatkan hasil bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan perawatan
diri penderita kusta.
Faktor lain yang berperan dalam perawatan diri penderita kusta adalah dari aspek
pengetahuan penderita kusta. Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap suatu
objek melalui pengindraan yang dimiliki oleh manusia (Notoatmodjo, 2012). Menurut
Blum (1974) pengetahuan adalah domain penting yang memengaruhi kesehatan
individu. Semakin baik pengetahuan seseorang akan suatu permasalahan kesehatan
maka semakin baik pula upaya peningkatan kesehatan yang dilakukan oleh seseorang.
Begitupula pada permasalahan tentang kusta, semakin banyak informasi yang didapat
akan semakin baik pengetahuan penderita kusta dalam hal ini adalah perawatan diri
dalam upaya pencegahan kecacatan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Solikhah (2016) yang menunjukkan hasil bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara tingkat pengetahuan dengan perawatan diri penderita kusta.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana cara menurunkan stigma masyarakat yang tinggi terhadap penderita kusta
di Puskesmas Sukamaju Kabupaten Kota Baru?

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Memberikan pemahaman pada masyarakat mengenai penyakit kusta di
Puskesmas Sukamaju Kabupaten Kota Baru.

2. Tujuan khusus
Mengubah stigma negatif masyarakat mengenai penyakit kusta di Kabupaten
Kota Baru

BAB II

ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. Skenario

Dina, Roby dan Made adalah mahasiswa kedokteran yang sedang


melaksanakan praktek Kepanitraan Klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat
(IKM) tentang kedokteran komunikasi di Puskesmas Sukamaju Kabupaten Kota Baru.
Ada satu desa yang merupakan desa endemis Kusta (Prevalensi: 14/10.000) pada
puskesmas tersebut. Dina dan teman temanya merasa ingin tahun bagaimana
Puskesmas menanganinya. Desa tersebut terletak di salah satu pulau yang terpisah
dengan lokasi Puskesmas. Penduduk desa sebagian besar berpendidikan Sekolah
Dasar, stigma terhadap penyakit kusta masih tinggi, masyarakat masih menganggap
bahwa menderita kusta adalah akibat kutukan Tuhan, lingkungan, sosial ekonomi
(sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan) kurang mendukung. Semua kegiatan manta
penderita, apalagi yang menunjukkan kecacatan, tidak mendapat dukungan
masyarakat. Semua produk yang dihasilkan tdak mendapat dukungan secara ekonomi
dari masyarakat. Harga diripun hancur. Ada 23 mantan penderita yang telah dinyatakan
RFT (release from treatment), 2 orang cacat pada matanya, 5 orang terdapat luka luka
pada kakinya yang tidak kujung sembuh. Bagaimana usaha Dina dan kelompoknya
untuk meningkatkan kemampuan penderita untuk hidup mandiri sehingga akan
memperoleh harkat hidup yang lebih layak di masa depannya.

B. Analisa
Dari data pada skenario diatas dapat diidentifikasi terdapat permasalahan sebagai
berikut :
1. Endemis Kusta
2. Pendidikan yang rendah
3. Fasilitas Kesehatan yang sulit dijangkau
4. Keterlambatan deteksi dini oleh penderita dan tenaga kesehatan
5. Pengobatan yang belum optimal
6. Perawatan diri pasien yang kurang
7. Stigma masyarakat terhadap penyakit kusta masih tinggi
8. Kepadatan penduduk
9. Sanitasi rumah yang kurang memadai

Dari hasil inventarisasi tersebut yang menjadi masalah kesehatan adalah endemis
kusta sedangkan masalah yang lainnya menjadi pemicu atau faktor risiko. Hubungan
antara faktor risiko dengan masalah kesehatan ini dapat digambarkan dalam diagram
fish bone sebagai berikut
Gambar 1. Diagram Fishbone

C. Pembahasan
1. Input
a. Pendidikan yang rendah
Dari skenario di atas, diketahui bahwa penduduk desa di Puskesmas
Sukamaju Kabupaten Kota Baru sebagian besar berpendidikan sekolah dasar.
Rendahnya tingkat pendidikan menyulitkan masyarakat dalam memahami
gejala dan tanda awal, penyebab, maupun pengobatan penyakit kusta. Semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin mudah orang tersebut
menerima dan memahami berbagai macam informasi yang diberikan. Tingkat
pendidikan merupakan salah satu unsur yang menentukan pengalaman dan
pengetahuan seseorang dan apabila semakin rendah pendidikan akan
menyebabkan tingkat pengetahuan masyarakat akan suatu penyakit juga rendah
sehingga hal tersebut juga dapat menyebabkan tingginya prevalensi penyakit
kusta di daerah tersebut.

b. Fasilitas Kesehatan yang sulit dijangkau


Fasilitas disini merupakan fasilitas kesehatan yang lokasinya jauh dari
pemukiman warga sehingga warga desa sulit mendapatkan pengobatan yang
segera ketika terkena penyakit kusta maupun untuk kontrol rutin pengobatan
dan biasanya warga akan malas datang ke fasilitas kesehatan karena
membutuhkan transportasi, waktu, dan biaya. Selain itu tenaga kesehatan
puskesmas juga sulit memantau maupun mengevaluasi warga-warga yang
terinfeksi. Sehingga dengan tersedianya fasilitas puskesmas yang dekat dengan
pemukiman warga hal ini diharapkan dapat mempermudah warga dalam
pengobatan dan mempermudah tenaga kesehatan untuk mengevaluasi.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Rachmani E (2011), yang menyebutkan bahwa jauhnya sarana kesehatan
menyebabkan penderita tidak rutin berobat atau mengambil obatnya ke
puskesmas sehingga menyebabkan terjadinya drop out pengobatan kusta atau
putus berobat karena jarak yang jauh menyebabkan semakin lama pula waktu
tempuh dan semakin mahal biaya untuk menggapainya (Nurul, 2014).

1. Proses
a. Keterlambatan deteksi dini oleh penderita dan tenaga kesehatan

Usaha untuk mengidentifikasi penyakit kusta secara klinis belum jelas dengan
menggunakan pemeriksaan tertentu prosedur lain yang dapat digunakan secara
cepat untuk membedakan orang-orang yang kelihatannya sehat tetapi
mempunyai kemungkinan sakit/ benar-benar sehat (Mausner & Bahn, 1974).
Keterlambatan deteksi dini oleh penderita dan tenaga kesehatan dapat
meningkatan angka prevalensi penyakit kusta

Penemuan pasien kusta scara garis besar terdiri dari penemuan pasif dan aktif.
1. Penemuan pasien secara pasif (sukarela)
Pasien yang ditemukan karena datang ke puskesmas atau sarana kesehatan
lainnya atas kemauan sendiri atau saran orang lain.
Faktor-faktor yang menyebabkan pasien terlambat berobat, disebabkan oleh
dua aspek yakni:
- aspek dari sisi pasien: tidak mengerti tanda dini kusta, malu datang ke
Puskesmas, tidak tahu bahwa ada obat tersedia gratis di puskesmas,
jarak rumah pasien ke puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu jauh.
- Aspek dari penyedia layanan kesehatan; ketidakmampuan mengenali
tanda kusta dan mendiagnosis, pelayanan yang tidak mengakomodasi
kebutuhan klien.
2. Penemuan pasien secara aktif.
Pasien yang ditemukan secara aktif, melalui kegiatan-kegiatan seperti:
- pemeriksaan kontak
kegiatan penemuan pasien dengan melakukan kunjungan ke rumah
pasien yang baru ditemukan (kasus indeks). Kegiatan ini memerlukan
biaya yang rendah namu memiliki efektifitas yang tinggi sehingga wajib
dilakukan.
- Rapid Village Survey (RVS)
- Chase Survey
- Pemeriksaan anak sekolah SD sederajat
- Leprosy Elimination Campaign (LEC)
b. Pengobatan yang belum optimal
Pengobatan yang belum optimal dapat meningkatkan tingkat prevalensi
kusta pada suatu daerah. Dimana tujuan salah satu pengobatan MDT yaitu
memutuskan mata rantai penularan. Dengan matinya kuman maka sumber
penularan dari pasien terutama tipe MB ke orang lain terputus. Pengobatan
yang belum optimal terserbut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
ketidakteraturan penderita untuk minum obat, potensi obat kurang,
penyimpanan obat tidak teratur, obat kadaluarsa, obat sering terlambatt, adanya
resistensi obat. Selain itu, kurangnya peran petugas kesehatan terhadap kejadian
default (jika seorang pasien tidak mengambil/minum obatnya lebih dari 3
bulan) pengobatan kusta di masyarakat, kurangnya pengetahuan penderita
tentang penyakitnya serta tingkat social-ekonomi yang kurang.
Bila pengobatan belum optimal dapat berakibat kuman kusta dalam
tubuh penderita akan tumbuh dan berkembang lebih banyak sehingga dapat
merusak saraf penderita yang pada akhirnya dapat menimbulkan kecacatan dan
cacat yang sudah terjadi sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki dengan
MDT (Depkes RI,1999).

c. Perawatan diri pasien yang kurang


Perawatan diri adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Perawatan diri dapat
digunakan untuk mencegah kecacatan baru dan kerusakan fisik penderita serta
dapat mengurangi keparahan kecacatan yang telah ada sehingga produktivitas
penderita kusta tetap terjaga. Perawatan diri adalah hal yang penting agar cacat
yang dialami tidak bertambah berat. Studi tentang perilaku perawatan diri, yaitu
perawatan diri eks-penderita kusta mengacu pada teori Health Seeking
Behavior dari Lawrence Green. Menurut teori tersebut faktor yang
berhubungan dengan perilaku sehat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor
predisposing (pencetus), enabling (pendukung), dan reinforcing (pendorong)
(Astutik dan Kiptiyah, 2016).
WHO/ILEP menyebutkan bahwa penyakit kusta memiliki dampak
negatif pada orang yang mengalaminya karena menyebabkan kecacatan fisik
jika tidak dilakukan perawatan diri yang baik. Sebagai hasilnya mereka akan
memiliki masalah psikologi, sosial, dan ekonomi sehingga menyebabkan
produktivitas dari orang tersebut lambat laun akan menurun. Sebuah studi oleh
Ethiraj dan Mathew menyebutkan bahwa pengetahuan dan praktik perawatan
diri akan meningkatkan perilaku perawatan diri orang tersebut. Semakin
banyak orang yang sadar untuk melakukan perawatan diri, prevalensi luka akan
berkurang sampai 50%. Cross mengatakan bahwa tingkat kepercayaan diri
seseorang yang tinggi akan mempengaruhi terbentuknya perilaku perawatan
diri yang positif. Cross juga menyatakan bahwa praktik yang dilakukan pada
kelompok perawatan diri akan berdampak pada kemampuan dan pengetahuan
seseorang sehingga mereka mampu untuk mencegah kecacatan dengan
melakukan perawatan diri sesuai dengan tingkat cacatnya (Astutik dan
Kiptiyah, 2016).
Para penderita kusta masih ada yang menganggap perawatan diri tidak
perlu dilakukan dan masih adanya sifat malas pada penderita kusta untuk
melakukan perawatan diri. Padahal cara perawatan diri yang harus mereka
lakukan sederhana dan mudah dilakukan. Penelitian ini sesuai dengan
penelitian Firnawati yang menunjukkan bahwa responden banyak melakukan
perawatan diri secara tidak teratur disebabkan penderita yang malas melakukan
perawatan diri, melakukan perawatan diri tidak secara menyeluruh dan hanya
melakukan perawatan diri apabila terdapat luka saja (Saogi, Arsin, dan
Wahiduddin, 2014).

2. Lingkungan
a. Stigma masyarakat yang masih tinggi

Tingginya stigma terhadap penyakit kusta merupakan salah satu faktor


penyebab tingginya prevalensi kusta. Stigma sendiri merupakan suatu isyarat
atau pertanda yang dianggap sebagai gangguan dan karenanya dinilai kurang
dibanding orang-orang normal. Individu-individu yang diberi stigma dianggap
sebagai individu yang cacat, membahayakan, dan agak kurang dibandingkan
orang lain pada umumnya. (Garamina, 2015)
Stigma yang berkembang di dalam masyarakat tentang penyakit kusta
antara lain adalah adanya rasa takut atau ketakutan, dimana penyakit kusta
sendiri merupakan penyakit menular dan memerlukan masa pengobatan yang
cukup panjang. Selain itu juga dari segi moril, banyak masyarakat yang masih
beranggapan jika penyakit kusta merupakan penyakit kutukan, guna-guna,
keturunan, penyakit yang menular, serta penyakit yang dapat menimbulkan
kecacatan yang disebabkan karena dosa dan kesalahan yang dilakukan orang-
orang tua mereka pada masa lalu sehingga mendapat balasannya. (Garamina,
2015)

Sedangkan stigma yang berkembang pada penderita kusta karena tiga


hal yaitu:

1. Fungsi mereka ditengah masyarakat dalam hal ini mereka dianggap kurang
produktif dan karena itu merugikan masyarakat.
2. Keberadaannya mereka yang merupakan ancaman bagi masyarakat. Mereka
dianggap potensial menulari orang-orang yang sehat dengan penyakit mereka.
3. Mereka dianggap bertanggung jawab secara pribadi atas keberadaan mereka.
Persepsi bahwa penderita kusta bertanggung jawab secara pribadi atas penyakit
yang disandangnya.

Ada beberapa akibat yang ditimbulkan dari perkembangan stigma yang


terjadi di masyarakat yaitu:
1. Stigma membuat semakin sulit memulihkan kehidupan, karena stigma dapat
menyebabkan menurunnya selfconfident sehingga menarik diri dari masyarakat.
2. Stigma menyebabkan sulitnya mendapatkan pekerjaan dan akomodasi akibat
diskriminasi.
3. Masyarakat menjadi lebih kasar dan kurang manusiawi. Dikarenakan
komplikasi yang didapat dari pasien kusta. Hal ini mungkin saja disebabkan
karena masyarakat takut penyakit ini dapat menular kepada mereka. Padahal
jika saja mereka memilki pengetahuan yang cukup tentang penyakit kusta,
sikap atau perilaku mereka kepada pasien penyakit kusta bisa saja tidak seperti
ini.
4. Keluarganya menjadi lebih terhina dan terganggu. Dikarenakan anggota
keluarga mereka mengidap penyakit kusta, keluarga pun ikut dikucilkan oleh
masyarakat.

Tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap penyakit kusta


mempengaruhi stigma dari penyakit tersebut. Jika tingkat pengetahuan
masyarakat terhadap penyakit kusta tinggi dan mereka dapat menerima
kehadiran pasien dengan penyakit kusta maka stigma tidak akan terbentuk
didalam suatu kelompok masyarakat. Tetapi jika tingkat pengetahuan
masyarakat terhadap penyakit kusta rendah maka stigma akan terbentuk
didalam suatu kelompok masyarakat sehingga masyarakat memiliki sikap untuk
menolak kehadiran pasien dengan penyakit kusta (Garamina, 2015)

Penyuluhan merupakan salah satu cara untuk mengurangi stigma


terhadap penyakit kusta di masyarakat. Dengan melakukan penyuluhan
mengenai penyakit kusta termasuk tanda dan gejala, serta pencegahan dan
penularannya diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang
penyakit kusta sehingga dapat mengubah stigma tentang penyakit kusta di
masyarakat.

b. Kepadatan populasi penghuni


Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan keluarga. Penyakit kusta adalah penyakit
menular, menahun disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium Leprae) yang
menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainya. Kepadatan populasi
penghuni dalam satu rumah pada penderita kusta berdampak pada penularan
pada anggota keluarga yang lain melalui dropplet infection dan kontak
langsung dengan kulit penderita yang luka.

c. Sanitasi rumah yang kurang


Rumah merupakan bagian dari lingkungan fisik yang dapat
mempengaruhi kesehatan individu dan masyarakat, salah satunya adalah
ventilasi yang memenuhi syarat, keadaan air bersih, pencahayaan yang cukup,
dan lantai rumah yang bukan terbuat dari tanah. Ventilasi disini harus
memenuhi syarat karena fungsinya penting untuk menjaga aliran udara di
dalam rumah agar tidak pengap dan lembab, juga sebagai pengaturan sinar
ultraviolet yang masuk ke dalam ruangan dan membunuh kuman termasuk M.
leprae (Moga A, 2015). Sumber air merupakan salah satu faktor lingkungan
yang diduga kuat menjadi sumber penularan di daerah endemik (Sri N, 2016).
Berdasarkan hasil penelitian Riska Ratnawati (2016), menunjukkan
bahwa kondisi dinding dan lantai rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan
berpeluang tertular penyakit kusta 5 kali lebih besar dibandingkan dengan
rumah yang mempunyai lantai memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan
Kepmenkes No. 829 tahun 1999 tentang Persyaratan Kesehatan perumahan
bahwa dinding perumahan yang memenui syarat kesehatan adalah yang terbuat
dari bahan permanen / tembok / batu bata yang plester / papan yang kedap air.
Lantai yang memenuhi syarat kesehatan adalah lantai yang terbuat dari
ubin/keramik/papan yang kedap air dan tidak berdebu. Dinding dan lantai
rumah yang berdebu merupakan salah satu faktor lingkungan yang diduga kuat
menjadi sumber penularan di daerah-daerah endemik, dibuktikan dengan
banyaknya kasus baru di daerah endemik yang tidak jelas riwayat kontak
dengan penderita kusta. Selain itu, beberapa hasil penemuan Report of the
International Leprosy Association Technical Forum melaporkan bahwa
ditemukan adanya Mycobacterium leprae pada debu, air untuk mandi dan
mencuci di rumah pernderita kusta yang dibuktikan dengan pemeriksaan
Polymerase Chain Reactin (PCR).
Tabel 1. Skoring Prioritas Masalah

PARAMETER MASALAH
A B C D E F G H

1. Prevalence 3 4 5 4 4 5 4 4

2. Severity 4 3 4 5 5 5 4 5

3. Rate % increase 4 3 4 5 5 4 4 3

4. Degree of unmeet need 2 4 3 3 3 5 2 2

5. Social benefit 4 4 4 4 4 5 3 3

6. Public concern 2 4 4 3 4 4 3 2

7. Technical feasibility study 2 2 3 3 4 3 1 1

8. Resources availibilty 2 2 3 2 3 5 1 1

Jumlah 27 29 30 29 32 36 22 21

rerata 3,3 3,6 3,7 3,6 4 4,5 2,7 2,6

Keterangan :

A. Pendidikan yang rendah


B. Fasilitas Kesehatan yang sulit dijangkau
C. Keterlambatan deteksi dini oleh penderita dan tenaga kesehatan
D. Pengobatan yang belum optimal
E. Perawatan diri pasien yang kurang
F. Stigma masyarakat terhadap penyakit kusta masih tinggi
G. Kepadatan penduduk
H. Sanitasi rumah yang kurang memadai

Dari table skoring prioritas masalah diatas didapatkan angka tertinggi yaitu pada masalah
masih tingginya stigma masyarakat terhadap penyakit kusta. Maka dari itu untuk
memecahkan masalah tersebut diperlukan solusi dengan pembuatan program yang
bermanfaat untuk masyarakat.
Efektivitas Efisiensi Hasil
No Alternatif Jalan Keluar
𝑀𝑥𝐼𝑥𝑉
M I V C P=
𝐶
1 Penyuluhan 5 4 4 3 26
2 Rehabilitasi 4 3 3 4 9

BAB III
RENCANA PROGRAM

A. Rencana Kegiatan
Untuk mempermudah penyelesaian masalah pada sekenario diatas dapat
menggunakan system scoring. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penyelesaian
masalah berdasarkan skala prioritas dari yang tertinggi sampai yang terendah.
Tabel 2. Scoring Prioritas Pemecahan Masalah Pada Penyakit Kusta Di
Puskesmas Sukamaju Kabupaten Kota Baru
3 Pembentukan LSM 3 3 2 1 18

Keterangan :
P : Prioritas penyeselaian masalah
M : Magnitude, besarnya masalah yang bias diatasi apabila solusi ini dilaksanakan
(turunnya prevalensi dan besarnya masalah lain)
I : Implementasi, kelanggengan selesai masalah
V : Vulnerability, sensitifnya dalam mengatasi masalah
C : Cost, Biaya yang diperlukan

Berdasarkan tabel perbaikan prioritas masalah yang dilakukan dengan metode


scorring, maka prioritas pertama penyelesaian masalah yang kami lakukan adalah
melakukan penyuluhan.

B. Penyusunan Rencana Program


1. Penyuluhan

Pemberian promosi kesehatan kepada masyarakat di desa endemis kusta


wilayah kerja Puskesmas Sukamaju, Kabupaten Kota Baru sangat diperlukan untuk
mengubah stigma terhadap penyakit kusta di masyarakat yang masih menganggap
kusta merupakan kutukan Tuhan.

Promosi pengendalian penyakit kusta adalah upaya untuk meningkatkan


kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh dan bersama masyarakat
agar mereka dapat mendorong dirinya sendiri dalam upaya pengendalian penyakit
kusta serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat sesuai
sosial budaya setempat dan didukung oleh kegiatan yang relevan untuk
pengendalian penyakit kusta (Kemenkes RI, 2012).

Adapun bentuk promosi kesehatan yang dapat dilakukan berupa pembuatan


baliho, poster-poster, spanduk dan lain sebagainya yang diletakkan di tempat-
tempat umum di desa tersebut. Penyuluhan dapat diberikan di balai desa ataupun
langsung di puskesmas dengan sasaran penderita kusta dan keluarganya serta
warga desa endemis kusta. Materi yang diberikan antara lain pengetahuan tentang
penyebab penyakit kusta, gejala, penularan, pengobatan dan prognosis penyakit
kusta serta cara pencegahan terjadinya kecacatan akibat penyakit tersebut.

Tujuan dari promosi kesehatan tentang kusta yaitu; meningkatkan


pengetahuan dan merubah sikap dan tindakan pasien, keluarga, dan masyarakat
untuk mendukung upaya pengendalian penyakit kusta. Dimana dari tujuan tersebut
tujuan lain yang ingin dicapai antara lain (Kemenkes RI, 2012):

1. Meningkatkan pengetahuan pasien, keluarga dan masyarakat tentang penyakit


kusta termasuk pengobatan dan pencegahan kecacatan kusta.
2. Mengatasi masalah stigma terhadap kusta di masyarakat.
3. Meningkatkan dukungan mitra kerja dalam promosi pencegahan dan
pengendalian kusta.
4. Terwujudnya komitmen pengambilan keputusan dalam upaya pencegahan dan
pengendalian kusta.

Sasaran dari promosi pencegahan dan pengendalian kusta (Kemenkes RI,


2012)

a. Sasaran Primer
Sasaran primer adalah individu atau kelompok yang diharapkan berubah
perilakunya dengan dilaksanakannya promosi pengendalian kusta. Sasaran
primer tersebut antara lain;
1) Pasien kusta
2) Keluarga pasien (ayah, ibu, kakek, nenek dan lain-lain)
3) Tetanga pasien
4) Masyarakat
b. Sasaran Sekunder
Sasaran sekunder adalah individu, kelompok dan organisasi yang dapat
mempengaruhi perubahan perilaku sasaran primer, antara lain;
1) Kader
2) Tokoh masyarakat
3) Tokoh agama
4) Petugas kesehatan
5) Lintas program
6) Lintas sektor terkait
7) Organisasi pemuda (Karang Taruna, saka bakti husada dan lain-lain)
8) Organisasi profesi (IDI, IBI dan lain-lain)
9) Organisasi Wanita
10) Kelompok keagamaan
11) Kelompok kesenian
12) Lembaga Swadaya Masyarakat
c. Sasaran Tersier
Sasaran tersier adalah individu kelompok dan organisasi yang memiliki
kewenangan untuk membuat kebijakan dan keputusan dalam mendukung upaya
pengendalian penyakit kusta. Sasaran tersier tersebut antara lain;
1) Kepala Wilayah/Daerah
2) Pimpinan dan atau anggota DPRD
3) Pimpinan dan atau staf Bappeda
4) Penyandang dana (lokal, nasional, dan internasional)
5) Pimpinan media massa

Strategi promosi kesehatan yang dapat dilakukan antara lain advokasi


kesehatan, bina suasana dan gerakan masyarakat (Kemenkes RI, 2012).

a. Advokasi kesehatan
Advokasi adalah upaya secara sistematis untuk mempengaruhi
pimpinan, pemangku kepentingan, keputusan penyandang dana dan pimpinan
media massa agar proaktif mendukung berbagai kegiatan pengendalian kusta
sesuai dengan bidang dan keahlian masing-masing. Dengan output yang
diharapkan adanya komitmen, kebijakan dan dana untuk mendukung upaya
pengendalian penyakit kusta. Kegiatan yang dilakukan antara lain;
1) Pertemuan resmi seperti rapat, koordinasi, lokakarya, orientasi
2) Pertemuan tidak resmi seperti lobby, acara minum teh/kopi, negosiasi
3) Demonstrasi, kampanye
4) Wawancara di media massa seperti obrolan, menulis artikel di koran.

b. Bina Suasana
Bina suasana adalah upaya penggalangan kemitraan antara berbagai
kelompok masyarakat untuk menciptakan suasana yang mendukung upaya
pengendalian penyakit kusta. Output yang diharapkan; terciptanya opini publik
dan kondisi masyarakat yang peduli terhadap upaya pengendalian penyakit
kusta dan terjalinnya kemitraan. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain;
1) Pelatihan
2) Seminar
3) Lokakarya
4) Sarasehan
5) Studi banding
6) Dialog terbuka

c. Gerakan Masyarakat
Gerakan masyarakat adalah upaya proaktif untuk menumbuhkan
kesadaran, kemauan individu dan masyarakat agar mau dan mampu
mempraktekkan (melaksanakan) upaya pengendalian kusta. Output yang
diharapkan adalah adanya upaya masyarakat baik individu maupun kelompok
untuk mengenal secara dini penyakit kusta dan adanya masyarakat baik
individu maupun kelompok untuk membawa pasien ke petugas kesehatan.
Kegiatan yang dilakukan antara lain;
1) Penyebarluasan infromasi melalui tatap muka, media, baik media massa,
cetak maupun elektronik
2) Berbagai lomba; poster, mengarang, pidato tentang kusta
3) Forum pertemuan di masyarakat
4) Kunjungan rumah
5) Dana sehat untuk menunjang pencarian pengobatan ke tenaga kesehatan
atau rujukan (oleh, untuk dan dari masyarakat)

2. Rehabilitasi
Rehabilitasi menurut WHO adalah semua upaya mengurangi dampak
kecacatan pada seseorang agar mampu mandiri, ber- partisipasi, dan berintegrasi
sosial sehingga mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.
Dampak psikologis paska tindakan rehabilitasi antaara lain penderita
merasa senang, bahagia, puas, percaya diri meningkat, dan penampilan lebih baik.
(Nasution, 2012)
Rehabilitasi fisik dapat berupa tindakan operasi, pemasangan orthesa
maupun prtohesa. Diharapakan dengan adanya rehabilitasi ini secara fisik penderita
dapat merasakan seperti sembuhnya luka kronis, tampilan fisik yang baik dan
kemampuan melakukan kegiatan sehari-hari menjadi meningkat.
Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nasution pada tahun
2012 mengemukakan bahwa tindakan rehabilitasi medis yang memperbaiki fungsi
tubuh dan mengurangi kecacatan penderita tidak membuat penderita mampu
berpartisipasi dan berintegrasi social sehingga kualitas hidup penderita disabilitas
kusta belum meningkat karena adanya stigma masih yang besar akan buruknya
kusta.

3. Pembentukan LSM
Kondisi sosial budaya masyarakat di desa masih mempunyai kepercayaan
yang kuat terhadap tradisi dan adat istiadat turun temurun, seperti adat penolakan
terhadap orang yang mengalami kusta dan penolakan oleh masyarakat terhadap
penderita kusta tergolong ekstrem. Orang yang menderita kusta adalah orang yang
hina, mereka mendapat kutukan yang berupa penyakit menular dan mematikan.
Oleh karena itu, orang yang menderita kusta kerap kali dikucilkan dari pergaulan
Tingginya stigma dan diskriminasi bagi penderita kusta ini yang
menyebabkan perlunya peranan dari berbagai pihak untuk minghilangkan stigma
tentang penyakit kusta di masyarakat, yang salah satunya oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ini sendiri merupakan suatu
organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warga negara Republik
Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta bergerak di
bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud
partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya.
Lembaga Swadaya Masyarakat ini memiliki peranan penting dalam
menghilangkan stigma tentang penyakit kusta dimasyarakat. LSM ini dapat
dibentuk dengan jajaran Pembina, Pengurus, dan Anggotanya orang yang
mengalami kusta dan orang yang mengalami kusta baik di daerah maupun pusat
yang menangani masalah kesehatan terumata masalah kusta, dan lembaga donor
yang fokus terhadap penyakit kusta.
Dengan adanya LSM ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
orang yang mengalami dan pernah mengalami kusta, dengan menjalankan
program-program peningkatan di berbagai bidang seperti peningkatan bidang
sosial, bidang ekonomi dan bidang pendidikan sehingga mencapai kesejahteraan
penderita kusta dan orang yang pernah mengalami kusta mandiri serta dapat
diterima di lingkungan masyarakat baik secara sosial, politik, pendidikan yang
layak serta layanan kesehatan yang baik.
C. Rencana Pelaksanaan Program

Tabel 3. Pemecahan Masalah berdasarkan Rencana Kegiatan Plan Of Activity


( POA )
Volume Rincian Tenaga Kebutuhan
No Kegiatan Sasaran Target Lokasi Jadwal
Kegiatan Kegiatan Pelaksana Pelaksanaan
 Konsumsi
1. Memilih/menyeleksi  Ruangan
Pembentukan Nakes, Terbentuk Kepala
1x kandidat tim Balai  LCD
1 Tim Pejabat tim pkm dan Senin
pertemuan 2. Persetujuan desa  MIC
Penyuluhan desa penyuluhan dinkes
3. Pembentukan struktural  Laptop
 Kursi
Penyuluhan
 Konsumsi
tentang
1. Pengenalan tim  Ruangan
pengertian
Peningkatan 2. pendahuluan TIM  LCD
dan Masyara 1x Balai
2 pengetahuan 3. pemaparan materi penyuluha Kamis  MIC
penyebaran kat desa pertemuan desa
tentang kusta 4. sesi tanya jawab n  Laptop
dan
5. kesimpulan materi  Kursi
pencegahan
 Handout
kusta
 Konsumsi
 Ruangan
Penyuluhan 1. Pengenalan tim
 LCD
tentang Peningkatan 2. Pendahuluan Tim
Masyara 1x Balai  MIC
3 gejala, cara pengetahuan 3. pemaparan materi penyuluha Sabtu
kat desa pertemuan desa  Laptop
deteksi dini, tentang kusta 4. sesi tanya jawab n
 Kursi
pengobatan 5. kesimpulan materi
Handout
 Konsumsi
 Ruangan
Penyuluhan 1. Pengenalan tim  LCD
tentang 2. Pendahuluan Tim Senin  MIC
Masyara Peningkatan 1x Balai
4 rehabilitasi 3. pemaparan materi penyuluha minggu  Laptopp
kat desa pengetahuan pertemuan desa
dan 4. sesi tanya jawab n kedua  Kursi
tentang kusta
komplikasi 5. kesimpulan materi  Laptop
 Hand out

1. Pengantar
Berbagi
2. Perkenalan Selasa
Konseling cerita dan Tim  Meja bundar
konselor dan
sesama Penderita pengalaman 2x Balai konselor  Kursi
5 dan pasien jumat
penderita kusta antar sesama pertemuan desa penyuluha  Kertas
3. Konseling minggu
kusta penderita n konseling
kedua
kusta

Berbagi
Senin
Konseling Penderita cerita dan Tim  Meja bundar
1. Pengantar dan
penderita dan non pengalaman 2x Balai konselor  Kursi
6 2. Perkenalan kamis
kusta dengan penderita penderita dan pertemuan desa penyuluha  Kertas
3. konseling minggu
non penderita kusta masyarakat n konseling
ketiga
sekitar

Tercapainya
Desa
Masyara kondisi Sebulan  Kuisioner
7. Evaluasi 1x sebulan Balai desa sukama TIM
kat desa sesuai materi Sekali  kamera
ju
penyuluhan
Desa
Sewaktu- Sewaktu  Kamera
Sidak suka TIM
waktu waktu  kuisioner
maju
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Kusta atau disebut juga Morbus Hansen merupakan penyakit yang
menyerang kulit maupun saraf yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae. Kusta berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Kusta yang artinya kumpulan
gejala penyakit kulit secara umum . Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit
menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Tingginya prevalensi
kusta di Puskesmas Sukamaju di Kabupaten Kota Baru disebabkan oleh faktor
diantaranya adalah Faktor Input, Proses dan Iingkungan yang mana telah
dijelaskan pada diagram fish bone. Oleh karena itu, untuk mengurangi angka
prevalensi penyakit kusta maka diperlukan program penyuluhan yang berguna
untuk meningkatkan kemampuan penderita untuk hidup mandiri serta pengetahuan
kusta kepada masyarakat.

B. Saran
o Salah satu cara untuk stigma negatif penyakit kusta di masyarakat terutama
Puskesmas Sukamaju di Kabupaten Kota Baru adalah dengan melakukan
penyuluhan.
o Adapun program lainnya yang dapat dilakukan seperti
- Rehabilitasi
- Pembentukan LSM bagi penderita kusta
o Untuk implementasinya, maka diperlukan peran serta dari berbagai pihak
terutama tenaga keehatan dan masyarakat sangat diharapkan guna mencegah
penularan dari kusta.

23
DAFTAR PUSTAKA

Astutik dan Kiptiyah. 2016. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku


Perawatan Diri Eks-Penderita Kusta di Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi
Sosial Eks-Penderita Kusta Nganget, Tuban, Jawa Timur. Universitas
Airlangga. Surabaya
Garamina H,J. 2015. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap
Stigma Penyakit Kusta. Universitas Lampung. Lampung
Indriani dan Santoso. 2014. Upaya PerMaTa (Perhimpunan Mandiri Kusta) dalam
Membangun Kapital Sosial pada Komunitas Orang Kusta di Kecamatan
Jenggawah Kabupaten Jember. FISIP Univ Jember. Jember
Kementrian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian
Penyakit Kusta. Hal 39-42
Moga A, dkk. 2015. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah dan Karakteristik
Responden dengan Penyakit Kusta Klinis di Kota Bandar Lampung Tahun
2015. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya
Ratnawati, 2016. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Risiko Kejadian
Penyakit Kusta (Morbus Hansen).Madiun: Prodi Kesehatan Masyarakat
Stikes Bhakti Mulia Madiun.
Saogi, Arsin, Wahiduddin. 2014. Faktor yang Berhubungan dengan Perawatan
Diri pada Penderita Kusta Di Rs Dr. Tadjuddin Chalid Makassar. Universitas
Hasanuddin. Makasar
Sri N, dkk. 2016. Sebaran Kasus Kusta Baru Berdasarkan Faktor Lingkungan dan
Sosial Ekonomi di Kecamatan Konang dan Geger Kabupaten Bangkalan.
Departemen Epidemiologi Universitas Airlangga Surabaya.

24
25

You might also like