Professional Documents
Culture Documents
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya,
penulis dapat menyelesaikan penyusunan mini proyek ini yang berjudul “Upaya Peningkatan
Case Detection Rate Pada Pasien TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Pracimantoro 1”.
Adapun mini proyek ini disusun untuk memenuhi tugas program Internsip Kementrian
Kesehatan RI.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Dwi Cahyo Indriyanto yang
telah membimbing dan membantu penulis dalam menyusun mini proyek dan melaksanakan
program Internsip. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh kader, staf dan
karyawan di Puskesmas Pracimantoro 1, keluarga dan orang-orang terdekat yang baik secara
langsung maupun tidak langsung ikut berpartisipasi dalam membantu tersusunnya mini
project ini.
Penulis menyadari bahwa mini project ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, dengan kerendahan hati segala kritik dan saran akan penulis terima dengan tangan
terbuka.
Akhir kata, penulis berharap mini project ini dapat berguna untuk rekan-rekan dalam
menambah pengetahuan.
i
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR............................................................................................................................................ vi
BAB 1...................................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ................................................................................................................................................. 1
1.3 Tujuan.................................................................................................................................................. 6
BAB 2...................................................................................................................................................................... 7
ii
BAB 3................................................................................................................................................................... 20
BAB 4................................................................................................................................................................... 23
HASIL .................................................................................................................................................................. 23
iii
4.4 Data Demografik .......................................................................................................................... 35
BAB 5................................................................................................................................................................... 38
DISKUSI .............................................................................................................................................................. 38
BAB 6................................................................................................................................................................... 44
6.1 Kesimpulan..................................................................................................................................... 44
LAMPIRAN ........................................................................................................................................................ 47
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
Estimasi insidensi TB di Indonesia tahun 2015 adalah sebanyak330.910 kasus,
meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014
yang sebesar 324.539 kasus. Namun demikian persentase pasien TB Paru yang terkonfirmasi
berpotensi menular masih ditemukan kurang dari angka target yang diharapkan.3
Berdasarkan data dan hasil yang ditemukan di lapangan, maka penulis merasa perlu
untuk melakukan peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai TB. Alasan penulis
memilih topik tersebut adalah karena TB merupakan penyakit yang menular yang
sesungguhnya dapat dicegah melalui partisipasi seluruh masyarakat. Dimana jika tidak
dilakukan upaya pencegahan penularan TB, maka kasus TB akan semakin meningkat. Oleh
karena itu, diharapkan dengan peningkatan pengetahuan masyarakat melalui penyuluhan
dengan pendekatan system paradigma BLUM diagnosis komunitas, penularan TB dapat
dicegah.
2
1.2. Pernyataan Masalah
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular sehingga masyarakat harus
mengetahui bagaimana cara mencegah penularan TB. Selain itu, TB merupakan penyakit
kronik yang memerlukan perhatian khusus dalam kepatuhan minum obat agar tidak terjadi
resistensi.
Dalam masyarakat masih terdapat stigma yang buruk terhadap TB. Masih banyak
masyarakat yang malu untuk berobat karena takut diketahui oleh masyarakt lainnya. Selain
itu juga, ketidakpahaman masyarakat mengenai pengobatan TB menyebabkan banyaknya
pasien yang tidak menuntaskan pengobatannya karena merasa sudah sembuh walaupun
pengobatan belum sampai 6 bulan.
Dengan berakhirnya program MDGs, WHO melanjutkan program lanjutan yaitu
SDGs visinya “A TB-free world”, dengan target pencapaian penurunan 95% kasus kematian
TB dibandingkan tahun 2015 dan penurunan 90% insiden TB (kurang dari 10 kasus per
100.000 populasi.
1.2.1 Pemilihan scope tempat
Pemilihan tempat sebagai tempat sasaran mencakup warga di area kerja
Puskesmas Pracimantoro 1,dikarenakan wilayah ini memiliki Case Detection Rate
yang rendah pada kasus TB.
1.2.2 Identifikasi masalah dengan Paradigma BLUM
1. Genetik
Tidak dilakukan analisis situasi genetik yang berhubungan dengan TB
2. Medical Care Services
Kurangnya penyuluhan mengenai TB,
Terbatasnya jumlah pemberi pelayanan kesehatan dalam Puskesmas
Pracimantoro 1.
Pelayanan pemeriksaan hanya terbatas di Puskesmas, kurang menjangkau
tempat terpencil
3. Lifestyle
Kurangnya pengetahuan mengenai TB
Etika batuk dan meludah yang salah
Ketidaktahuan masyarakat akan dampak yang dapat ditimbulkan akibat
ketidakteraturan minum obat
Kurangnya kesadaran suspek TB untuk memeriksakan dirinya
3
Kurangnya kesadaran penderita TB untuk berobat
Asupan gizi yang kurang
4. Lingkungan
Fisik :
o Lingkungan pendidikan dan sosioekonomi tingkat pedesaan
o Lingkungan lembab,
o Ventilasi yang kurang optimal.
Non-fisik :
o Biologis :-
o Sosial-ekonomi-budaya :
Masih banyak penduduk yang menganggap TB adalah sebuah
hal yang tabu,
Masih banyak penduduk yang malu untuk berobat dan enggan
untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan,
Tinggkat pendidikan yang masih rendah,
Tinggkat sosio-ekonomi masyarakat yang menengah kebawah.
1.2.3 Penentuan prioritas masalah
Setelah dilakukan analisis dengan Paradigma BLUM, kemudian dilakukan
penentuan prioritas masalah dengan cara non scoring (Delbecq) melalui diskusi dan
wawancara bersama dengan :
Kepala Puskesmas,
Staf pengurus TB di Puskesmas Pracimantoro 1.
Dari hasil diskusi dan wawancara tersebut didapatkan prioritas masalahnya
yaitu lifestyle dan keadaan lingkungan tempat tinggal. Lifestyle dipilih karena faktor
yang paling berpengaruh terhadap masih tingginya kasus TB di daerah tersebut adalah
ketidaksadaran diri untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan dan ketidak
patuhan dalam pengobatan.
4
Fisik
Kurangnya penyuluhan
Lingkungan lembab didaerah
pedesaan mengenai TB,
Ventilasi yang kurang optimal Terbatasnya jumlah
Non-fisik pemberi pelayanan
Sosial-ekonomi-budaya
kesehatan dalam.
TB hal yang tabu,
Malu berobat dan enggan
Genetik Pelayanan pemeriksaan
memeriksakan diri, yang terbatas
Pendidikan rendah,
Ekonomi menegah kebawah.
Case Detection
Report pada
pasien TB MedicalCare
Lingkunga Services
Lifestyle
5
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Meningkatkan Case detection rate pasien TB paru di area kerja Puskemas
Pracimantoro 1.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya masalah TB Paru pada Puskemas Pracimantoro 1.
2. Deteksi dini penyakit Tuberkulosis Paru pada masyarakat.
3. Penanganan dini penyakit Tuberkulosis paru.
4. Mengurangi penularan penyakit TB Paru di area kerja Puskemas Pracimantoro 1.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Penularan
Sumber penularan adalah penderita dengan TB BTA positif, yang dapat menularkan
TB kepada orang disekelilingnya, terutama kontak erat. Pada waktu batuk atau bersin,
penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet nuclei (percikan dahak). Sekali
batuk dapat dikeluarkan 3000 droplet. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana
percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.2,7
Penularan umumnya terjadi dalam ruangan dengan ventilasi kurang. Orang dapat
terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Setelah itu kuman TB
dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah dan
sistem limfe. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
7
menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB
ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Karena proses terjadinya infeksi oleh kuman TB biasanya secara inhalasi, maka TB paru
merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibandingkan organ lainnya.2,7
Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB
paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan resiko penularan lebih besar dari pasien
TB paru dengan BTA negatif. Resiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual
Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB
selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk
terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan
dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.2
Adapun resiko menjadi sakit TB hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi
sakit TB. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar
50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan
seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi
HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi
yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya
tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic),
seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa
mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien
TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.2
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman diwilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TB. Sudah dibuktikan bahwa lingkungan sosial ekonomi yang
baik, pengobatan yang teratur dan pengawasan minum obat ketat berhasil mengurangi angka
morbiditas dan mortalitas di Amerika selama 1950 – 1960.6,8
8
masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif
di masyarakat. Strategi penemuan pasien TB yang diberlakukan DEPKES RI dilakukan
secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan
kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun
masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam
hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas
dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis,
asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,
maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai
seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung. 2
9
1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.
10
Gambar 2.1. Alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru 2
11
2.5 Pengobatan
Dalam kegiatan pokok Program Pemberantasan TB Paru dikenal 2 komponen, yaitu
komponen diagnosis dan komponen pengobatan. Pada komponen diagnosis meliputi deteksi
penderita di poliklinik dan penegakkan diagnosis secara laboratorium, sedangkan komponen
pengobatan meliputi pengobatan yang cukup dan tepat serta pengawasan menelan obat setiap
hari terutama pada fase awal.9
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT. Paduan obat anti tuberkulosis yang dipakai program sesuai dengan
rekomendasi WHO berupa OAT jangka pendek yang terdiri dari 4 kategori. Setiap kategori
terdiri dari 2 fase pemberian yaitu fase awal/intensif dan fase lanjutan/intermiten. Adapun
perincian OAT program adalah sebagai berikut 2,9
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan
12
dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat agar dicapai
kesembuhan dan mencegah resistensi serta mencegah drop out/lalai, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO). 2
Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia menggunakan panduan OAT 13,14 :
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3
Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3
Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3
13
4 tab 4 FDC 4 Tab 4 FDC 4 Tab 4 FDC
55 -70 + 4 ml Strepto + 4 Tab Etambutol
14
tetapi kadang-kadang menetap untuk beberapa waktu selama pengobatan. Dalam hal ini
pengobatan OAT dapat diteruskan.
15
Sembuh : Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan
ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up
sebelumnya.
Pengobatan Lengkap : Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
Gagal : Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
Default (Putus berobat) : Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau
lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
Meninggal : Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
Pindah: Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan
hasil pengobatannya tidak diketahui.
16
b. Logistik non OAT 2
Alat Laboratorium terdiri dari: Mikroskop, slide box, pot sputum, kaca
sediaan, rak pewarna dan pengering, lampu spiritus, ose, botol plastik
bercorong pipet, kertas pembersih lensa mikroskop, kertas saring, dan lain
lain.
Bahan diagnostik terdiri dari: Reagensia Ziehl Neelsen, eter alkohol, minyak
imersi, lysol, tuberkulin PPD RT 23 dan lain lain.
Barang cetakan seperti buku pedoman, formulir pencatatan dan pelaporan
serta bahan KIE.
17
d. Promosi
Advokasi, kemitraan dan penyuluhan.
18
Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10).
Register Laboratorium TB (TB.04).
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan beberapa
indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2 yaitu: Angka Penemuan
Pasien baru TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR) dan Angka Keberhasilan
Pengobatan (Success Rate = SR).2
Disamping itu ada beberapa indikator proses untuk mencapai indikator Nasional
tersebut di atas, yaitu 2 :
Angka Penjaringan Suspek
Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa dahaknya
Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien
Angka Notifikasi Kasus (CNR)
Angka Konversi
Angka Kesembuhan
Angka Kesalahan Laboratorium
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur kemajuan
(marker of progress). Indikator yang baik harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti:
sahih (valid), sensitif dan Spesifik (sensitive and specific), dapat dipercaya (realiable), dapat
diukur (measureable), dapat dicapai (achievable)
Analisa dapat dilakukan dengan membandingkan data antara satu dengan yang lain
untuk melihat besarnya perbedaan, dan melihat kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu.
19
BAB III
3. 1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam mini project ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Definsi
Cara
Variabel Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Mengukur
Variabel
1. Bila tidak
Gejala TB Paru
terdapat
yang muncul Dengan
gejala =
pada warga di membagikan
Bukan
Wilayah Kerja kuesioner
Deteksi dini Suspek TB
Puskesmas kepada warga
berdasarkan Paru
Pracimantoro Kuesioner Wilayah Ordinal
gejala TB 2. Bila terdapat
1seperti batuk Kerja
Paru salah satu
lama, keringat Puskesmas
(1) atau
malam, demam Pracimantoro
lebih gejala
dan penurunan 1
= Suspek
berat badan
TB Paru
20
Faktor resiko 1. Bila tidak
yang terdapat Dengan terdapat
pada warga di membagikan faktor resiko
Wilayah Kerja kuesioner = tidak
Deteksi dini
Puskesmas kepada warga resiko
bedasarkan
Pracimantoro 1, Kuesioner Wilayah 2. Bila terdapat Ordinal
faktor
meliputi faktor Kerja 1 atau lebih
resiko
kontak, faktor Puskesmas faktor resiko
lingkungan, Pracimantoro = Resiko
faktor penyakit 1 terkena TB
lain Paru
21
Populasi terjangkau dalam proyek ini adalah warga di Wilayah Kerja
Puskesmas Pracimantoro 1.
3.6.2 Sampel
Sampel dalam proyek ini adalah warga di Wilayah Kerja Puskesmas
Pracimantoro 1. Teknik pengambilan sampel menggunakan convenience sampling
yaitu pencarian sampel dengan cara mengambil sampel yang paling
memungkinkan di proyek ini adalah warga di Wilayah Kerja Puskesmas
Pracimantoro 1. Dimana
Kriteria inklusi:
1. Warga di Wilayah Kerja Puskesmas Pracimantoro 1.
2. Bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini
Kriteria eksklusi:
1. Warga yang tidak bersedia menjadi responden penelitian ini
2. Warga yang sedang terjangkit TB Paru dan menjalani pengobatan teratur
22
BAB IV
HASIL
23
wilayah (desa/kelurahan atau RW). Masing-masing puskesmas tersebut secara
operasional bertanggung jawab langsung kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.Puskesmas merupakan perangkat Pemerintah Daerah Tingkat II,
sehingga pembagian wilayah kerja puskesmas ditetapkan oleh Bupati atau Walikota,
dengan saran teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota.
Sasaran penduduk yang dilayani oleh sebuah puskesmas 30.000 – 50.000
penduduk setiap puskesmas. Untuk perluasan jangkauan pelayanan kesehatan maka
puskesmas perlu ditinjau dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih sederhana yang
disebut Puskesmas Pembantu dan Puskesmas Keliling. Khusus untuk kota besar dengan
jumlah penduduk satu juta atau lebih, wilayah kerja puskesmas bisa meliputi satu
kelurahan. Puskesmas di ibukota kecamatan dengan jumlah penduduk 150.000 jiwa atau
lebih, merupakan “Puskesmas Pembina” yang berfungsi sebagai pusat rujukan bagi
puskesmas kelurahan dan juga mempunyai fungsi koordinasi.
4.1.2 Visi
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah
tercapainya kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat 2015. Kecamatan
sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan di masa depan yang ingin dicapai melalui
pembangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan dengan
perilaku sehat memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang
bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya.
Indikator Kecamatan Sehat yang ingin dicapai mencakup empat indikator utama,
yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat, cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu serta,
derajat kesehatan penduduk kecamatan.
Rumusan visi untuk masing-masing puskesmas harus mengacu pada visi
pembangunan kesehatan puskesmas di atas yakni, terwujudnya Kecamatan Sehat, yang
harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat serta wilayah kecamatan
setempat.
4.1.3 Misi
Untuk mewujudkan “Indonesia Sehat 2015”, ditetapkan empat misi
pembangunan kesehatan, yaitu:
Menggerakkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan.
Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.
24
Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan
terjangkau.
Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat
lingkungannya.
Salah satu upaya untuk mendukung misi tersebut adalah dengan penyediaan
berbagai sarana pelayanan kesehatan. Sesuai dengan UUD 1945, pasal 28 ayat 1 dan UU
Nomor 23 tahun 1992 kesehatan merupakan hak asasi sekaligus investasi. Sehingga,
kesehatan perlu diupayakan, diperjuangkan dan ditingkatkan oleh setiap individu serta
seluruh komponen bangsa, agar masyarakat dapat menikmati hidup sehat yang pada
akhirnya dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Hal ini perlu
dilakukan karena kesehatan merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan
masyarakat, termasuk swasta, tidak hanya tanggung jawab pemerintah saja. Pembahasan
tentang puskesmas telah tertuang dalam SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang kebijakan dasar pusat kesehatan masyarakat.
4.1.4 Tujuan
Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah
mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional, yakni meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang tinggal di
wilayah kerja puskesmas, agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam
rangka mewujudkan Indonesia Sehat 2015.
4.1.5 Fungsi
Ada tiga fungsi Puskesmas, yaitu :
Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan.
Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau
penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat dan
dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta mendukung
pembangunan kesehatan. Disamping itu puskesmas aktif memantau dan
melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap program
pembangunan di wilayah kerjanya. Khusus untuk pembangunan kesehatan,
upaya yang dilakukan puskesmas adalah mengutamakan pemeliharaan
kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit
dan pemulihan kesehatan,mempunyai indikator:
a. Tersedianya air bersih
25
b. Tersedianya jamban yang sehat
c. Tersedianya larangan merokok
d. Adanya dokter kecil untuk SD atau PMR untuk SMP
26
penyakit. Pelayanan perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk puskesmas
tertentu ditambah rawat inap.
27
Puskesmas wajib memberdayakan perorangan, keluarga dan masyarakat,
agar berperan aktif dalam penyelenggaraan setiap program puskesmas. Untuk ini,
berbagai potensi masyarakat perlu dihimpun melalui pembentukan Badan
Penyantun Puskesmas (BPP).
Beberapa kegiatan yang harus dilaksanakan oleh Puskesmas dalam rangka
pemberdayaan masyarakat antara lain :
a. KIA : Posyandu, Polindes, Bina Keluarga Balita (BKB)
b. Pengobatan : Posyandu, Pos Obat Desa (POD)
c. Perbaikan Gizi : Panti Pemulihan Gizi, Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)
d. Kesehatan Lingkungan : Kelompok Pemakai Air (Pokmair), Desa
Percontohan Kesehatan Lingkungan (DPKL), PSN DBD
e. UKS : Dokter Kecil, Saka Bakti Husada (SBH), Pos Kesehatan Pesantren
(Poskestren), Jumantik Sekolah
f. Kesehatan Usia Lanjut : Posyandu Usila, Panti Wreda
g. Kesehatan Kerja : Pos Upaya Kesehatan Kerja (Pos UKK)
h. Kesehatan Jiwa : Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat (TPKJM)
i. Pembinaan Pengobatan Tradisional : Tanaman Obat Keluarga (TOGA),
Pembinaan Pengobatan Tradisional (Battra).
Azas Keterpaduan
Untuk mengatasi keterbatasan sumber daya serta diperolehnya hasil yang
optimal, penyelenggaraan setiap program Puskesmas harus diselenggarakan secara
terpadu. Ada dua macam keterpaduan yang perlu diperhatikan yakni :
a. Keterpaduan Lintas Program
Upaya memadukan penyelengaraan berbagai upaya kesehatan yang
menjadi tanggung jawab puskesmas. Contoh keterpaduan lintas program
antara lain :
1) Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) : Keterpaduan KIA dengan
P2M, gizi, promosi kesehatan & pengobatan.
2) UKS : Keterpaduan kesehatan lingkungan dengan promosi kesehatan,
pengobatan, kesehatan gigi, kesehatan reproduksi remaja, kesehatan
jiwa dan kesehatan lingkungan.
3) Posyandu : keterpaduan KIA dengan KB, gizi, P2M, Kesehatan jiwa &
promosi kesehatan.
b. Keterpaduan Lintas Sektor
28
Upaya memadukan penyelenggaraan program puskesmas dengan
program dari sektor terkait tingkat kecamatan, termasuk organisasi
kemasyarakatn dan dunia usaha. Contoh keterpaduan lintas sektoral antara
lain :
1) UKS : Keterpaduan sektor kesehatan dengan camat, lurah/kepala desa,
pendidikan & agama.
2) Promosi Kesehatan : Keterpaduan sektor kesehatan dengan dengan
camat, lurah/kepala desa, pendidikan, agama & pertanian.
3) KIA : Keterpaduan sektor kesehatan dengan camat, lurah/kepala desa,
organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, Pemberdayaan
Kesejahteraan Keluarga (PKK) & Petugas Lapangan Keluarga
Berencana (PLKB).
4) Perbaikan Gizi : Keterpaduan sektor kesehatan dengan camat,
lurah/kepala desa, pendidikan, agama, pertanian, koperasi, dunia usaha
& organisasi kemsyarakatan.
5) Kesehatan Kerja : Keterpaduan sektor kesehatan dengan dengan camat,
lurah,kepala desa, tenaga kerja & dunia usaha.
6) Kesehatan Lingkungan: Keterpaduan sektor kesehatan dengan
kelurahan, dan masyarakat
Azas Rujukan
Sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama, kemampuan yang
dimiliki oleh puskesmas terbatas. Padahal puskesmas berhadapan langsung dengan
masyarakat dengan berbagai permasalahan kesehatan. Untuk membantu puskesmas
menyelesaikan berbagai masalah kesehatan tersebut dan juga untuk meningkatkan
efisiensi, maka penyelenggaraan setiap program puskesmas harus ditopang oleh
azas rujukan.
Rujukan adalah pelimpahan wewenang dan tanggung jawab atas penyakit
atau masalah kesehatan yang diselenggarakan secara timbal balik, baik secara
vertikal dalam arti dari satu strata sarana pelayanan kesehatan ke strata sarana
pelayanan kesehatan lainnya, maupun secara horizontal dalam arti antar strata
sarana pelayanan kesehatan yang sama. Ada dua macam rujukan yang dikenal
yakni :
a. Rujukan Medis
29
Apabila suatu puskesmas tidak mampu menangani suatu penyakit
tertentu, maka puskesmas tersebut dapat merujuk ke sarana pelayanan
kesehatan yang lebih mampu (baik vertikal maupun horizontal). Rujukan
upaya kesehatan perorangan dibedakan atas :
1) Rujukan Kasus untuk keperluan diagnostik, pengobatan tindakan
medis (contoh : operasi) dan lain-lain.
2) Rujukan Bahan Pemeriksaan (spesimen) untuk pemeriksaan
laboratorium yang lebih lengkap.
3) Rujukan Ilmu Pengetahuan antara lain mendatangkan tenaga yang
lebih kompeten untuk melakukan bimbingan tenaga puskesmas dan
atau menyelenggarakan pelayanan medis spesialis di puskesmas.
b. Rujukan Kesehatan
1) Rujukan sarana dan logistik, antara lain peminjaman peralatan fogging,
peminjaman alat laboratorium kesehatan, peminjaman alat audio
visual, bantuan obat, vaksin, bahan habis pakai dan bahan pakaian.
2) Rujukan tenaga, antara lain tenaga ahli untuk penyidikan kejadian luar
biasa, bantuan penyelesaian masalah hukum kesehatan, gangguan
kesehatan karena bencana alam.
3) Rujukan operasional, yakni menyerahkan sepenuhnya kewenangan dan
tanggung jawab penyelesaian masalah kesehatan masyarakat dan atau
penyelenggaraan kesehatan masyarakat kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Rujukan operasional diselenggarakan apabila
puskesmas tidak mampu.
4.1.7 Upaya Penyelenggaraan
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah pusat pengembangan,
pembinaan dan pelayanan kesehatan masyarakat yang sekaligus merupakan garda
terdepan dalam pembangunan kesehatan masyarakat. Untuk tujuan tersebut, Puskesmas
berfungsi melayani tugas teknis dan administratif.
Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan melalui puskesmas yakni
terwujudnya Kecamatan Sehat menuju Indonesia Sehat, puskesmas bertanggung jawab
menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat, dan
keduanya jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional merupakan pelayanan kesehatan
tingkat pertama. Upaya kesehatan tersebut dikelompokkan menjadi dua, yakni:
30
Upaya Kesehatan Wajib
Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang ditetapkan
berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta yang mempunyai daya
ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan
wajib ini harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah
Indonesia.Upaya kesehatan wajib tersebut adalah:
a. Upaya promosi kesehatan
b. Upaya kesehatan lingkungan
c. Upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana
d. Upaya perbaikan gizi mayarakat
e. Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular
f. Upaya pengobatan
Upaya Kesehatan Pengembangan
Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya yang ditetapkan
berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat serta yang
disesuaikan dengan kemampuan Puskesmas. Upaya kesehatan pengembangan
dipilih dari upaya kesehatan pokok puskesmas yang telah ada, yakni:
a. Upaya kesehatan sekolah
b. Upaya kesehatan olahraga
c. Upaya perawatan kesehatan masyarakat
d. Upaya kesehatan kerja
e. Upaya kesehatan gigi dan mulut
f. Upaya kesehatan jiwa
g. Upaya kesehatan mata
h. Upaya kesehatan usia lanjut
i. Upaya pembinaan pengobatan tradisional
Wilayah kerja Puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari kecamatan.
Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan infrastruktur lainnya
merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja Puskesmas.
Untuk perluasan jangkauan pelayanan kesehatan maka Puskesmas perlu
ditunjang oleh unit pelayanan kesehatan yang lebih sederhana yang disebut Puskesmas
Pembantu atau Puskesmas Keliling. Khusus untuk kota besar dengan jumlah penduduk
31
satu juta atau lebih, wilayah kerja Puskesmas dapat meliputi satu kelurahan. Pelayanan
kesehatan menyeluruh yang diberikan Puskesmas meliputi :
a. Promotif ( peningkatan kesehatan )
b. Preventif ( upaya pencegahan )
c. Kuratif ( pengobatan )
d. Rehabilitatif ( pemulihan kesehatan )
Pelayanan tersebut ditujukan kepada semua penduduk, tidak membedakan jenis
kelamin, umur, sejak pembuahan dalam kandungan sampai meninggal.
4.2 Gambaran Umum Puskesmas Kelurahan Pondok Kopi I
4.2.1 Profil Puskesmas Pondok Kopi I
Puskesmas Kelurahan Pondok Kopi I dibangun pada tahun 1972 di atas
tanah seluas 6750 m2 dengan luas bangunan 240 m2. Bangunan puskesmas
telah di renovasi total sebanyak 1 kali dengan anggaran dari Sudinkes Jakarta
Timur pada akhir tahun 2011. Puskesmas Kelurahan Pondok Kopi I juga telah
mendapatkan predikat ISO 9001-2008 pada tahun 2013, dan masih
dipertahankan status ISO 9001-2008 nya hingga sekarang, dengan tujuan
meningkatkan pelayanan bermutu kepada masyarakat.
4.2.2 Visi
Puskesmas yang mengutamakan kepuasan pelanggan dengan
pelayanan standar mutu internasional menuju terciptanya Duren Sawit sebagai
kota sehat
4.2.3 Misi
a. Meningkatkan mutu pelayanan yang berorientasi pada kepuasan
pelanggan
b. Mengembangkan profesionalisme SDM
c. Mengembangkan sarana kesehatan puskesmas
d. Mewujudkan manajemen puskesmas yang kompak dan solid
e. Mengkoordinasikan Pemberdayaan Masyarakat di bidang kesehatan
32
4.2.4 Struktur Organisasi
33
4.3 Data Geografis
Puskesmas Kelurahan Pondok Kopi I merupakan salah satu dari 11Puskesmas
kelurahan di wilayah Kecamatan Duren Sawit Kodya Jakarta Timur.
Luas wilayah Kelurahan Pondok Kopi sekitar : 57,1 Ha; yang terdiri dari :
JUMLA LUAS WILAYAH
NO RW
H RT ( m2 )
1 02. 10 19,8
2 03. 10 23
3 04. 7 24,3
Tabel 4.1. Luas Wilayah
34
4.4 Data Demografik
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Pondok Kopi I th 2015
adalah 12.216 jiwa. Jumlah keluarga 4.724 KK, terdiri dari 13.066 laki-laki, dan
13.146 perempuan.
a. Jumlah Penduduk Setiap RW
WNI WNA
NO RW JUMLAH Ket
LK PR JUMLAH LK PR JUMLAH
1 2 1.956 1.600 3.556 - - - 3.556
2 3 3.540 1.609 5.149 1 - 1 5.150
3 4 1.903 1.607 3.510 - - - 3.510
Jumlah 6.399 4.816 12.215 1 - 1 13.430
a. Jumlah KK Setiap RW
WNI
No. RW.
Lk Pr Jumlah
1 2 886 64 950
2 3 879 128 1.007
3 4 866 37 903
Jumlah 2.631 229 2.860
Tabel 4.3. Jumlah KK Setiap RW
b. Struktur Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
No RW TK SD SLTP SLTA UNIV
1 1 54 491 228 278 101
2 5 54 237 137 176 118
3 6 57 331 244 254 106
4 7 67 289 178 157 87
5 8 50 224 231 229 112
6 9 62 209 129 121 106
7 10 63 276 125 110 79
8 11 46 254 129 120 91
Jumlah 453 2311 1401 1445 800
Tabel 4.4. Struktur Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
35
a. Jumlah Bangunan Rumah Tinggal
36
4.7 Data Kesehatan Primer
Jumlah kasus TB yang ditangani di Puskesmas Pondok Kopi I selama tahun
2015 dan 2016 berturut-turut sebanyak 31 dan 38 kasus, dengan proporsi 19 orang
laki-laki dan perempuan 12 orang pada tahun 2015, dan 22 orang laki-laki dan 16
orang perempuan pada tahun 2016. Berikut ini tabel kasus TB paru selama 2015 dan
2016 dengan pengelompokan berdasarkan RT dan RW.
RW 1 RW 02 RW 03 RW 04
2015 2016 2015 2016 2015 2016 2015 2016
L 1 0 2 4 14 15 2 3
P 2 0 1 9 15 1 0
TOTAL 3 0 2 5 23 30 3 3
RW 1 RW 02 RW 03 RW 04
2015 2016 2015 2016 2015 2016 2015 2016
RT 01 1 1 1 1
RT 02 7 5
RT 03 2 2 1 3 2
RT 04 4 3 1
RT 05 1 2
RT 06 1 2 6
RT 07 1 2 1 1 2
RT 08 4 4
RT 09 2 1
RT 10 1 4
TOTAL 3 0 2 5 23 30 3 3
37
BAB V
DISKUSI
Laki-laki Perempuan
38
Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan (%)
Berdasarkan segi umur, rata-rata responden berasal dari usia dewasa (30-55
tahun) yaitu sebanyak 56% disusul oleh usia lanjut (>55 tahun) sebanyak 31,7%, lalu
dilanjutkan usia remaja sampai dewasa muda (19-30 tahun) sebanyak 12,3%. Dari
seluruh resonden tidak didapatkan responden yang berasal dari golngan usia anak-
anak (18 tahun kebawah).
0-18 tahun
19-30 tahun
30-55 tahun
>55 tahun
0
10
20
30
40
50
60
39
Dari segi pendidikan didapatkan 39% responden merupakan lulusan SMA atau
sederajat, 31,7% responden lulusan SMP, responden yang lulusan SD dan tidak
bersekolah didapatkan masing masing sebanyak 12,2% serta responden yang lulusan
perguruan tinggi sebanyak 4,9%.
Perguruan Tinggi
SMA
SMP
SD
Tidak Sekolah
0 5 10 15 20 25 30 35 40
40
Jumlah Responden Berdasarkan Gejala (%)
Batuk Lama Batuk Lama dengan Gejala Lain Keringat Malam Batuk Berdarah
Kurang Ventilasi Perokok Penyakit Lain Gizi Kurang Berinteraksi dengan Pasien TB
41
5.3 Pembahasan
Penyakit TB merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit TB sendiri dapat mengenai banyak tempat,
tetapi salah satu tempat yang paling banyak terinfeksi merupakan paru-paru. Terutama
di indonesia sendiri penyakit TB Paru merupakan penyakit nomor 5 penyebab
kematian terbanyak. Gejala yang muncul pada penderita penyakit TB Paru sangat
beragam, tetapi yang terutama yang sering ditemui adalah batuk lama hingga 2
minggu yang tidak kunjung sembuh, terdapat penurunan berat badan melebihi 5 kg
tanpa ada penyebab yang jelas, batuk berdarah, demam lebih dari 38 o lebih dari 2
minggu, keringat malam yang tidak jelas juga penyebabnnya serta badan terasa lemas
dan lelah.
Pada hasil skrining yang dilakukan penulis di RT 06 RW 03 didapatkan 28
orang (60,9%) dari 46 responden didapatkan gejala mengarah ke TB Paru. 18 orang
(39,1%) responden memiliki gejala batuk lama melebihi 2 minggu yang tidak kunjung
sembuh yang mana 13 orang (28,3%) diantaranya hanya memiliki gejala batuk lama
melebihi 2 minggu dan 5 orang (10,9%) responden memiliki gejala batuk lama
melebihi 2 minggu disertai gejala lain seperti keringat malam, demam lebih dari 2
minggu serta penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Menurut pedoman TB
Nasional tahun 2014 semua batuk yang melebihi 2 minggu merupakan indikasi untuk
dilakukan pemeriksaan dahak untuk penemuan peyakit TB Paru.
Lalu didapatkan juga gejala-gejala TB Paru yang tidak disertai batuk seperti
keringat malam dengan penyebab yang tidak jelas yang ditemukan pada 8 orang
responden (17,4%) dan juga batuk berdarah pada 2 orang (4,3%) responden. Dari
hasil tersebut walaupun tidak ditemukan adanya batuk, para responden yang memiliki
gejala tetap dimasukan kedalam suspek TB Paru dikarenakan gejala-gejala yang
muncul itu merupakan gejala khas TB Paru.
Penyakit TB Paru merupakan penyakit yang mudah menular, maka itu penulis
memasukan kuesioner untuk menjaring apakah ada faktor resiko yang terdapat pada
responden yang penulit teliti. Dari hasil kuesioner yang dibagikan penulis, 34 orang
(73,9%) responden memiliki faktor resiko untuk terkena penyakit TB Paru, dimana
faktor ventilasi ruangan yang kurang mejadi faktor terbanyak pada responden,
sebanyak 28 orang (60,9%), faktor ini penting karena jika dalam satu ruangan ada
42
salah satu penderita TB Paru yang batuk atau bersin dan tidak menutup mulutnya
kuman TB Paru dapat mudah menyebar pada ruangan tersebut. Selain itu, kuman TB
Paru atau Mycibacterium Tubercolosis dapat mudah dimatikan dengan sinar matahari,
maka itu faktor ventilasi menjadi salah satu faktor penting dalam penyebaran penyakit
TB Paru.
Faktor kedua terbanyak yang ditemukan pada responden adalah rokok, baik
yang merupakan perokok aktif atau pasif, ditemukan sebanyak 27 orang (58,7%), lalu
diikuti oleh faktor penyakit lain yang dapat menurunkan sistem imunitas tubuh seperti
Diabetes Melitus, HIV/AIDS dan Penyakit Ginjal sebanyak 11 orang (23,9%) dan
faktor gizi yang dilihat dari seberapa sering responden makan makanan 4 sehat 5
sempurna, didapatkan sebanyak 6 orang (13%) yang mengaku tidak selalu makan
makanan 4 sehat 5 sempurna. Dari faktor-faktor diatas semua berhubungan pada
sistem imunitas tubuh kita yang dapat mempermudah tertular penyakit TB Paru jika
terkena paparan. Yang terakhir didapatkan faktor interaksi langsung dengan pasien
yang sedang terinfeksi TB Paru, didapatkan sebanyak 2 orang (4,3%) responden yang
mengaku selama 2 tahun terakhir berinteraksi lama dengan pasein yang sedang
terinfeksi penyakit TB Paru.
Dari semua faktor resiko yang didapatkan pada responden, tidak dapat
langsung dimasukan dalam kategori suspek penyakit TB Paru, karena tidak semua
ditemukan gejala-gejala TB Paru. Tetapi kita dapat menilai sejauh mana mudah nya
penyebaran kuman penyebab TB Paru dalam lingkungan RT 06 RW 03 Kelurahan
Pondok Kopi.
43
BAB VI
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian yang penulis lakukan pada warga RT 06 RW
03 Kelurahan Pondok Kopi, masih didapatkan banyak warga memiliki gejala yang
mengarah kepada penyakit TB Paru dan belum berobat ke sarana kesehatan. Gejala
yang paling banyak muncul pada responden adalah batuk lama melebihi 2 minggu
yang tidak kunjung sembuh. Dari kuesioner tentang faktor resiko penyakit TB Paru,
masih banyak didapati warga yang memiliki faktor resiko untuk terjangkit penyakit
TB Paru, faktor terbanyak yang didapatkan pada warga adalah kurangnya ventilasi
dari rumah warga itu sendiri, karena lebih dari setengah rumah responden tidak
memiliki ventilasi yang memadai di tiap ruangan sedangkan sinar matahari
memegang faktor penting dalam penyebaran kuman penyebab TB Paru.
6.2 Saran
6.2.1 Untuk Masyarakat
Segera memeriksakan dirinya ke tempat pelayanan kesehatan setempat
agar dapat dilakukan pemeriksaan BTA dari sputum atau pemeriksaan
lanjutan lain dan dilakukan tatalaksana yang sesuai.
Agar mulai memperhatikan faktor-faktor resiko yang berperan dalam
penyebaran penyakit TB Paru.
Agar meningkatkan pengetahuan tentang penyakit TB Paru dari definisi,
faktor resiko, pengobatan hingga pencegahan melalui berbagai media
seperti penyuluhan dari tenaga kesehatan, bertanya ke tenaga kesehatan
maupun mengambil informasi dari media dan lingkungan sosial yang
terpercaya.
44
warga lebih dapat mengerti dan tidak mendapat persepsi yang salah
terhadap penyakit TB Paru
Megoptimalisasikan tenaga kesehatan serta sumberdaya yang tersedia
untuk mendeteksi dini penyakit TB Paru pada masyarakat
45
DAFTAR PUSTAKA
46
LAMPIRAN
47
Presentasi Hasil Mini Project di Puskesmas Pondok Kopi I
48
KUESIONER DETEKSI DINI
Dengan hormat, saya Dokter Internsip yang sedang bertugas di Puskesmas Pondok Kopi
1, sedang melaksanakan mini project dengan tema Penyakit Tuberkulosis. Demi
kelancaran hal ini, kami harap kesediaan Bapak/Ibu, Saudara/I mengisi kuesioner di
bawah ini. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan banyak terimakasih.
Hormat Saya
dr. Erwin Sanders
KARAKTERISTIK RESPONDEN
a. Nomor : ……….................................................................................................
b. Nama : .........................................................................................................
c. Jenis Kelamin: Laki-laki / Perempuan
d. Umur :………… Tahun
e. Pendidikan : ☐ Tidak Sekolah/Tamat SD ☐ SMP ☐ SMA ☐ Perguruan tinggi
f. Pekerjaan : ☐Tidak Bekerja ☐Ibu rumah tangga ☐Wiraswasta ☐PNS/Pegawai
☐Petani
GEJALA TB
Apakah Ibu/Bapak merasa terdapat gejala seperti dibawah ini sekarang? YA TIDA
K
1. Batuk yang tidak kunjung sembuh lebih dari 2-3 minggu?
2. Batuk berdarah?
3. Penurunan berat badan lebih dari 5 Kg tanpa sebab yang jelas?
4. Demam lebih dari 38ᵒC selama lebih dari 2 minggu?
5. Keringat malam tanpa sebab yang jelas?
6. Badan terasa sangat lemas dan lelah tanpa sebab yang jelas?
FAKTOR RESIKO
YA TIDAK
1. Apakah dalam 2 tahun terakhir Ibu/Bapak tinggal atau berinteraksi dalam waktu
yang cukup lama dengan penderita TB?
2. Apakah Ibu/Bapak memiliki (atau pernah) penyakit seperti dibawah ini?
- Kencing Manis
- HIV/AIDS
- Kanker
- Penyakit ginjal
3. Apakah Ibu/Bapak mengkonsumsi obat yang diberitahukan dokter memiliki efek
samping menurunkan sistem kekebalan tubuh? (contoh: Kortikosteroid)
4. Apakah Ibu/Bapak pernah memakai obat suntik yang tidak dianjurkan oleh
dokter?
5. Apakah rumah Ibu/Bapak memiliki ventilasi (pintu/jendela) yang rutin dibuka
tiap hari?
6. Apakah Ibu/Bapak makan 3 kali sehari dengan setiap makan termasuk makanan 4
sehat 5 sempurna?
49
DAFTAR HADIR PRESENTASI MINI PROJECT
50