You are on page 1of 2

Jasa Sri Sultan juga membekas dalam kegiatan kepramukaan. Setelah proklamasi 1945 pemerintah
mencoba mengadakan fusi atas berbagai organisasi kepanduan (itulah istilah lama untuk
kepramukaan). Organisasi-organisasi kepanduan itu biasanya terpisah-pisah dan berada
dibawah underbouw partai politik. Penyatuan itu diusahakan dibawah nama Pandu Rakyat Indonesia.
“Tapi, pada waktu itu Sri Sultan belum aktif dalam kepanduan,” kata Mayjen (Purn.) Azis Saleh, 72
tahun, yang juga bekas Ketua Harian Kwartir Nasional Pramuka Indonesia.

Sebelum Penyerahan Kedaulatan 1949 di daerah yang dikuasai RI hanya ada satu organisasi
kepanduan. Tapi, pada waktu RIS terbentuk. organisasi kepanduan Indonesia kembali lagi terpecah-
pecah. “Kalau dihitung ada sekitar 104 organisasi,” kata Azis Saleh lagi. Karena itulah kemudian
muncul lagi gagasan untuk federasi. Sebagai hasilnya, pada awal 1950-an terciptalah dua satu
organisasi pandu putera dan dua untuk pandu puteri. Sultan Hamengku Buwono IX kemudian
menjabat sebagai Ketua federasi pandu putera yang diberi nama IPPINDO (Ikatan Pandu Putera
Indonesia). Walaupun demikian, kondisi kepanduan masih terpecah-pecah sehingga menteri P dan K
Bahder Djohan sulit menentukan pembiayaannya.

Pada masa pemerintahan Kabinet Kerja I, 10 Juli 1959-18 Februari 1960, Bung Karno
memerintahkan Menteri P dan K Prijono, yang beraliran kiri, untuk mempersatukan organisasi
kepanduan Indonesia. Untuk itu pada 1960 diadakan suatu rapat di Ciloto. Sri Sultan yang pada
waktu itu juga menjabat Ketua Pengawas Kegiatan Aparatur Negara turut hadir. Rapat itu gagal
mempersatukan kegiatan kepanduan. Karena itulah Bung Karno turun tangan dengan memberi
instruksi kepada Prijono.

Azis Saleh curiga dengan langkah Prijono yang bermaksud memberi nama Pionir Muda – yang
berbau negara komunis – kepada kepanduan Indonesia. Menteri kiri itu juga mencoba mengubah
warna kacu (dasi pandu) dengan warna merah. Azis saleh kemudian membocorkan rencana Prijono
kepada federasi kepanduan. “Kalau itu jadi, habislah riwayat kepanduan di Indonesia,” kata Azis
kepada mereka.

Azis lalu menganjurkan federasi-federasi itu menjadi satu saja. Maksudnya, supaya dapat mencegah
terealisasikannya rancangan Prijono tersebut. Dalam suatu rapat IPPINDO yang dipimpin Sri Sultan,
Azis kemudian mengusulkan agar kepanduan di Indonesia disesuaikan dengan kepanduan Indonesia
yang sudah merdeka. Usul itu didukung oleh Sri Sultan.

Azis diberi tugas oleh federasi kepanduan untuk membuat sebuah rencana yang kemudian diajukan
dalam sidang kabinet yang dipimpin oleh Ir. Djuanda. pada sidang tersebut diajukan pula rancangan
yang dibuat Prijono. Tapi, menurut Azis, sidang sengaja menempatkan acara tentang kepanduan itu
sebagai yang terakhir, sehingga akhirnya sidang menundanya. Itu memang sengaja, agar memberi
kesempatan kepada berbagai organisasi kepanduan untuk melebur diri jadi satu organisasi saja.

Kemudian Azis berhasil duduk di dalam suatu tim untuk mengadakan reorganisasi kepanduan
bersama dengan Prijono, Menteri Achmadi, dan Sultan sendiri. Atas usul Azis, Bung Karno setuju
untuk mengangkat Sultan sebagai ketua tim dan dia sendiri menjadi sekertarisnya. Sultan lalu
menyuruh Azis menyusun sebuah rancangan anggaran dasar kepanduan. Tapi, diam-diam Prijono
mengajukan rencana yang telah dibuatnya kepada Bung Karno, dan kemudian ditandatangani. Bung
Karno mengira kertas kerja itu disusun oleh tim.

Untungnya rencana Prijono itu belum sempat diumumkan, dan masih ada di tangan Menteri
Sekertaris Kabinet Mochammad Ichsan. Azus baru datang dari Surabaya buru-buru menemui Bung
Karno dan menerangkan duduk perkaranya. Akhirnya Bungkarno membatalkan tandatangannya,
sehingga rancangan Prijono itu juga batal.

Selagi Prijono ikut perjalanan presiden ke luar negeri, tim Sultan – tanpa Prijono – berhasil
menyelesaikan sebuah rencana. Itulah yang kemudian ditandatangani oleh Ir. Djuanda yang menjadi
Pejabat Presiden selama Bung Karno tidak ada ditempat.
Setelah kembali, Prijono protes. Sultan kemudian dipanggil Bung Karno ke Istana Bogor. Ternyata
Prijono sudah ada disana. Prijono menghendaki agar janji kepada negara didahulukan dari janji
kepada Tuhan, seperti yang tercantum dalam Janji Pramuka. Akhirnya Bung Karno mengambil jalan
tengah agar anggaran dasar itu dicoba dulu. Sewaktu pulang ke Jakarta, di dalam mobil Sultan
mengatakan anggaran dasar dan Janji Pramuka itu tidak akan diubah. Sultan pun tidak setuju dengan
konsep Pionir Muda-nya Prijono yang berbau negara komunis.

Dalam anggaran dasar kepanduan yang ditandatangani Djuanda itu, kata “Pandu” diganti dengan
“Pramuka”. Menurut Azis, istilah Pramuka itu berasal dari Sultan. Itu mengambil dari istilah poromuko,
semacam pasukan yang berdiri paling depan dalam peperangan. Jadi, tak benar anggapan bahwa
kata itu dikenalkan oleh Menteri Prijono yang memperkenalkan istilah Pionir Muda. “Istilah Pramuka
sudah diperkenalkan Sultan dalam rapat Ciloto,” ujar Azis lagi.

Lalu supaya kata “Pramuka” sama dengan “Pionir Muda”, sebutan itu diakali seolah-olah merupakan
singkatan Praja Muda Karana, yang artinya warga negara muda yang bekerja. Istilah itu didapat dari
seorang mahasiswi Fakultas Sastra U.I. yang menjadi salah satu pemimpin kepanduan di Indonesia.
Nama si mahasiswi itu tak lain dari Soemartini, sekarang Direktur Arsip Nasional.

Mungkin cerita ini sudah pernah dibahas atopun ditulis dibanyak media, namun tidak ada salahnya
Kang Dede mencoba ikut sedikit berbagi. Semoga bisa menambah wawasan buat sahabat Kang
Dede yang belum tau dan dapat sekedar merefresh ingatan kita kembali buat sahabat Kang Dede
yang sudah tau cerita ini sejak dulu.

You might also like