You are on page 1of 5

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Definisi
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat
bernafas secara spontan dan terartur segera setelah lahir. Keadaan ini biasanya
disertai dengan keadaan hipoksia dan hiperkapnue serta sering berakhir dengan
asidosis. Asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tak dilakukan
secara sempurna sehingga tindakan perawatan dilaksanakan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup dan mengatasi gelaja lanjut yang mungkin timbul.

B. Etiologi
Pengembangan paru BBL terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan
kemudian disusul dengan pernafasan teratur, bila terdapat gangguan pertukuran gas
atau pengangkutan, oksigen dari ibu kejanin maka akan terjadi asfiksia janin atau
neonatus. Towell (1966) mengajukan penggolongan penyebab kegagalan pernafasan
pada bayi yang terdiri dari :
1. Faktor ibu
- Hipoksia ibu, hal ini akan menimbulkan hipoksia janin, hipoksia ibu dapat
terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgeika atau anastesi
dalam.
- Ganguan aliaran darah uterus.
Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya
pengaliran O2 ke plasenta dan ke janin. Hal ini sering ditemukan pada kasus-
kasus
a. Gangguan kontraksi uterus, misalnya : Hipertensi, hipotoni/tetani uterus
akibat penyakit atau obat.
b. Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan.
c. Hipertensi pada penyakit eklamsia
2. Faktor Placenta
Solusio placenta, pedarahan placenta, dll.

3. Faktor Fetus.
Tali pusat menumbung, lilitan tali pusat, kompresi tali pusat antara janin dan jalan
lahir, dll.

4. Faktor Neonatus
- Pemakaian obat anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung
dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin.
- Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya : perdarahan intra cranial.
- Kelainan kongenital, misalnya : Hernia diafragmatika, atresia saluran
pernafasan hipoplasia paru, dll.

C. Perubahan Patofisiologis dan Gambaran Klinis.


Pernafasan spontan BBL tergantung kepada kondisi janin pada masa
kehamilan dan persalinan. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan
O2 selama kehamilan/persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini
akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan
kematian asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu (primary opnoe)
disertai dengan penurunan frekuensi diikuti oleh pernafasan teratur. Pada penderita
asfiksia berat, usaha bernafas tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam
periode apnue kedua. Pada tingkat ini terjadi bradikardi dan penurunan TD.
Pada asfiksia terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan
keseimbangan asam-asam pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama hanya menimbulkan
asidosis respiratonik. Bila gangguan berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi proses
metabolisme an aerobic yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen
tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang. Pada tingkat selanjutnya akan
terjadi perubahan kardio vaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaan
diantaranya :
1. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.
2. Terjadinya asidosis mebabolic akan menimbulkan kelemahan otot jantung.
3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan mengakibatkan tetap
tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan
demikian pula kesistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan.

Pada keadan asfiksia yang perlu mendapat perhatian sebaiknya :


a. Menurunnya tekanan O2 darah (PaO2)
b. Meningginya tekanan O2 darah (PaCO2)
c. Menurunnya PH (akibat asidosis respiratorik dan metabolik)
d. Dipakainya sumber glikogen tubuh untuk metabolisme an-aerobic.
e. Terjadinya perubahan sistem kardiovaskuler.

Untuk menentukan tingkat asfiksia digunakan kriteria penilaian yaitu yang


disebut dengan skor APGAR. Skor APGAR biasanya dinilai 1 menit setelah bayi
lahir lengkap pada skor APGAR menit 1 ini menunjukkan beratnya asfiksia yang
diderita dan untuk menentukan pedoman resusitasi dan perlu juga dinilai setelah 5
menit bayi lahir karena hal ini mempunyai koralasi yang erat dengan morbiditas dan
mortilitas neonatal.

D. Tindakan Pada Asfiksia Neonatorum


Tindakan yang dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi BBL sebelum
resusitasi dikerjakan perlu diperhatikan bahwa :
1. Faktor waktu sangat penting
2. Kerusakan yang timbul pada bayi akibat anoksia/hipoksia antenatal tidak dapat
diperbaiki, tetapi kerusakan yang akan terjadi karena anoksia/hipoksia pascanatal
harus dicegah dan dilatasi.
3. Riwayat kehamilan dan partus akan memberikan keterangan yang jelas tentang
faktor penyebab terjadinya depresi pernapasan pada BBL.
4. Penilaian BBL perlu dikenal baik, agar resusitasi yang dilakukan dapat dipilih dan
ditentukan secara adekuat.

E. Prinsip Dasar Resusitasi Yang Perlu Diingat Ialah :


a. Memberikan lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan saluran
pernapasan tetes bebas serta merangsang timbulnya pernapasan.
b. Memberi bantuan pernapasan secara efektif pada bayi yang menunjukkan
usaha pernafasan lemah.
c. Melakukan koraksi terhadap asidosis yang terjadi.
d. Menjaga agar sirkulasi tetap baik.

F. Cara Resusitasi
1. Letakkan bayi dilingkungan yang hangat kemudian keringkan tubuh bayi dan
selimuti tubuh bayi untuk mengurangi eveporasi.
2. Sisihkan kain yang basah kemudian tidurkan bayi telentang pada alas yang
datar.
3. Ganjal bahu dengan kain setinggi 1 cm (sniffing positor)
4. Hisap lendir dengan menghisap lendir dee lee dari mulut, apabila mulut sudah
bersih kemudian lanjutkan kehidung.
5. Lakukan rangsangan taktil dengan cara menyentil telapak kaki bayi dan
mengusap usap punggung bayi.
6. Nilai pernafasan :
- Jika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil
kalikan 10. denyut jantung > 100 x/menit, nilai warna kulit jika
merah/sianosis perifer lakukan observasi, apabila biru beri oksigen.
Denyut jantung <100 x/menit lakukan ventilasi tekanan positif.
- Jika pernafasan megap-megap lakukan ventilasi tekanan positif.
7. Ventilasi tekanan positif/PPV dengan memberikan O2 100% melalui ambubaq
atau masker, masker harus menutupi hidung dan mulut tetapi tidak menutupi
mata, jika tidak ada ambubaq beribantuan nafas mulut ke mulut. Kecepatan
PPV 40 – 60 x/menit.
8. Setelah 30 detik lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil
kalikan 10.
- > 100 hentikan bantuan nafas, observasi nafas spontan.
- 60 – 100 ada peningkatan denyut jantung teruskan pemberian PPV.
- 60 – 100 dan tidak ada peningkatan denyut jantung, lakukan PPV, disertai
kompresi jantung.
- < 10 x/menit, lakukan PPV disertai kompresi jantung.
9. Kompresi jantung
Perbandingan kompresi jantung dengan ventilasi ada 3 : 1 ada 2 cara
kompresi jantung
a. Kedua ibu jari menekan stemum sedalam 1 cm dan tangan lain
mengelilingi tubuh bayi.
b. Jari tengah dan telunjuk menekan stemum dan tangan lain menahan
belakang tubuh bayi.
10. Lakukan penilaian denyut jantung setiap 30 detik setelah kompresi dada.
11. Denyut jantung 80 x/menit kompresi jantung dihentikan, lakukan PPV sampai
denyut jantung > 100 x/menit dan bayi dapat nafas spontan
12. Jika denyut jantung 0 atau < 10 x/menit, lakukan pemberian obat epineprin 1 :
10.000 dosis 0,2 – 0,3 ml/kg BB secara IV.
13. Lakukan penilaian denyut jantung janin, jika > 100 x/menit hentikan obat
14. Jika denyut jantung < 80 x/menit ulangi pemberian epineprin sesuai dosis
diatas tiap 3 – 5 menit.
15. Lakukan penilaian denyut jantung, jika denyut jantung tetap / tidak respon
terhadap di atas dan tanpa ada hiporolemi beri bikarbonat natrikus dengan
dosis 2 MEQ/kg BB secara IV selama 2 menit.

You might also like