You are on page 1of 10

“Kekesalan Yang Merugikan”

Oleh : Moh. Sulvan Difinubun

Sepenggal matahari mulai mendaki perbukitan langit bagian timur. Juga menyirami
sepenggal bumi dan seisisnya. Aku masih sendiri masih tergolek di pembaringan. Rasanya diri ini
begitu lemah tak berdaya karena makalah tugas kuliah yang aku kerjakan tadi malam. Sungguh
suatu pekerjaan yang sampai kapanpun tak bakal aku senangi. Sekalipun begitu, mataku sudah
terbuka kecil, dan sesekal mengecek grup whatshap kelas, sekedar memastikan kalau Dosen mata
kuliah hari ini belum datang. Aku anak perantauan yang mengontrak satu buah kamar patak kecil
berukuran tiga kali tiga persegi, sebagiannya aku tempati buku-buku, mulai dari Novel hingga
buku-buku hukum dan pedoman shalat lima waktu. Diantaranya Novel genre fiksi karangan
Agatha Cristie, They came To Baghdad yang tersendat-sendat aku baca di sebabkan makalah sialan
ini.

Karena keasikan melihat-lihat postingan histori whatshap, tak sadar kalau sudah hampir pukul
08.30. Sehingga pada akhirnya, dengan sangat terpaksa hanya membasu muka saja. Setelah itu
menyambar rensel berisi sebuh laptop kepunyaan Riksi yang aku pakai untuk merampungkan
makalah. Dalam sekejap, menuruni enam jenjang dari kamar konrakanku yang kedududkannya
tepat di lantai dua. Menarik pintu yang dibuat besi jeruji. Kemudian membelok ke kanan, melewati
gang-gang kecil yang masih sepi dari manusia. Lalu mengambil jalan lurus ke jalan Balay Rakyat
Utan Kayau dan berjalan beberapa jarak, lalu di sebelah kanan badan jalan aku tiba di pekarangan
kampus. Universitas Islam Jakarta. Terus sampai ke dalam kelas. Keluar lagi setelah aku hanya
melihat tiga mahasiswi, yakni Dea, Rifda dan Asmil. Berjalan ke arah sebuah lorong. Disana
Akmal bersila sambil mengotak-atik perangkat telvon genggamnya, di sebelahnya ia hanya di
temani sekelas kopi hitam.

“Akmal, dimana Riski. Kenapa belum tiba hingga oros ini?” Tanyaku kesal.

“WAnya tidak aktif. Aku hubungi dia sejak tadi pagi!” Jawabnya juga dengan ekspresi persis
denganku.
Waktu telah menunjukan pukul 08.30, dan kami harus mempresentasikan makalah Hukum Islam
yang di tugaskan Ibu Fatimah. Sedang, Riski belum juga tiba. Aku dan Akmal duduk di sebuah
lorong pengap yang sebelumnya dijadikan sebagai gerbang masuk, dan berhadap-hadapan dengan
sekretarian BEM Fakultas Agama Islam. Satu dua mahasiswa lalu-lalang, di susul gerombolan
mahasiswa lain di belakangnya yang berlari kecil. Barangkali mereka hendak bercepat-cepat ingin
presentasi tugas kelompok juga sama seperti kami. Akmal dengan rona muka yang memancarkan
kegeramannya pada Riski mengambil sebatang kretek dari dalam bungkusannya, dengan
pemantik, ia langsung membakarnya, dan dua kali menghisap, lalu berulangkali
menghembuskannya, mengepulkan asapnya kian kemari dan berlalu seperti kereta api.

“Coba, di telvon lagi, Akmal!” Seruku mengerutu.

“Ahhh..bu Fatima sudah bertengger di dalam kelas!” Katanya setelah kembali dari kelas.

“Yasudah..Kita ikuti saja, sembari menunggu Riski datang. Ayoo” kataku menenangkannya.

Sebenarnya aku benar mengerti kekesalannya pada Riski. Akmal, wajahnya yang bundar, kulit
kuning langsat dan dua bola mata biasa-biasa saja, tenang seperti danau yang jauh di tengah rimba
belantara. Bila ia berjalan, kakinya membentuk V, sehingga seluruh tubuhnya pun akan mengayun
dengan penadaaan kedua tangannya. Katanya padaku :

“Kau tahu, Fahri. Aku kalau bukan karena dia meyuruhku bangun pagi-pagi, mungkin aku tidak
begini kesal dengan dia”

“Yaa. Manusia memang sering menggap waktu hanya seonggok pengertian abstrak yang tidak
berarti sama sekali. Sehingga mereka cenderung mengabaikannya. Padahal.” Aku biarkan diriku
merenung sebentra, lalu melanjtkannya “Begitulah manusia. Kenyataannya mereka tidak
menyadari kalau waktulah yang melahirkannya, sekaligus membunuhnya. Baik secara serentak
ataupun perlahan-lahan”

Karena mata kuliah yang sekarang kita ikuti adalah yang berkenaan dengan ajaran Islam, maka
aku tambahknya dengan sebuah ayat al-qur’an seperti seorang khatib Jum’at.

“Wal’asr. Artinya, demi masa. Tuhan sendiri telah bersumpah begitu. Bersumpah atas pengertian
abstrak yang aku sebutkan tadi. Lanjutannya, Sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang
merugi. Firman itu di tujuan kepada siapa? Kalau kau tahu”

“Itu untuk Riski. Maksudku, memangnya Riski tidak tahu dengan apa yang kau sebutkan itu. Atau
dia mengabaikannya!”
“Kedua-duannya besar kemukinannya, Mal. Tapi bukan untuk Riski seorang, melainkan kita
semua sebagai makhluknya”

“Kau sungguh bisa membuatku tenang, Fahri”

“Bukan apa-apa. Sebagai teman, traktiranmu aku anggap lebih dari itu, Mal” Kataku sambil
tersenyum sumringah.

Di dalam kelas, dengan segala daya argumenku, aku berusaha untuk memberikan alasan, yaa,
walaupun lebih tepat aku anggap sebagai semacam rayuan agar di izinkan mempresentasikan
makalah tanpa salah anggota kelompok. Sebab, sejak pertama sudah di syaratkan kepada kami
agar ketika presentasi, di wajibkan untuk seluruh anggotanya turut hadir. Di belakang, teman-
teman kelas menunjukan rona muka yang berfariasi. Bahkan ada pula yang kelihatan tidak senang
dengan alasan aku atas keterlambatan Riski. Pendekanya, aku dan akmal tidak di izinkan untuk
mempresentasikan makalah kami bila masih kekuarangan satu orang anggota.

Aku sendiri tidak jadi masalah kalau-kalau agenda presentasi kita bakal di tunda Jum’at depan,
menyusul kelomok Abay, Mutia dan Andika yang aku tidak tahu persis topik pembahasannya.
Berlainan dengan sikapku dalam merespon keputusan Ibu Fatima, Akmal justru sedemikian kesal,
tetapi tak dapat di letupkan begitu saja. Bola matanya gemerlapan, memancarkan kekecewaan
yang mendalam kepada Riski. “Orang begini tegar dalam kesehariannya, walaupun dia berusaha
menutup-nutupi kekecewaan dihadapanku. Tetap saja aku dapat merasakan pedalamannya yang
sungguh kelam” kataku dalam hati.

Aku menelengkan kepalaku ke sebelah kanan, berbisik di telinganya.

“Yaa, begitulah. Kan kita masih bisa presentasi. Nilai kita juga tak bakan berkuran satu persen
pun” Kataku menasehatinya. Tapi dia hanya mengangguk tanpa memberikan perhatian yang
berarti.

Untuk melanjutkan proses perkuliahan, satu kelompok kemudian di izinkan Ibu Fatimah agar
mempresentasikan makalah mereka sekarang. Lalu, dua jam berjalalu dengan pertanyaan-
pertanyaan yang di tujukan untuk makalah mereka. Hanya pertanyaan-pertanyaan yang tidak
berbobot. Tidak ada yang menyentuh segi-segi prinsipil. Hingga akhirnya di tutup dengan salam
hangat dari Ibu Fatima untuk mengakhiri kuliahnya hari ini.

***********
1.

Riski baru tiba di kampus pukul 11.00, menunjukan dirinya di hadapan aku dan Akmal
yang sekedar berbincang-bincang di bawah pohon rindang, memesan dua gelas kopi hitam dari
seorang pedagang yang menempati ruas kecil di sebelah pohon berakar tunggang itu. Alih-alih
Riski meminta maaf atas keterlambatannya. Katanya memohon, berharap permintaan maafnya
dapat di terima dengan wajar oleh aku dan Akmal. Akmal yang sedang menikmati sebatang kretek,
memalingkan pandangannya ke suatu arah, jelasnya ia tidak ingin merespon kata-kata Riski. Kalau
saja, aku dan Akmal telah membuat sebuah perjanjian untuk mengabaikan Riski apabila ia datang,
maka aku bakal iku-ikutan bertindak sebertihlanya Akmal. Namun, aku hendak bertindak sebagai
penengah untuk kedua temanku ini.

“Akmal” Seruku “Sebagai bentuk permintaan maaf, katanya, ia akan mentraktir kita hari ini”

“Yaa. Betuk-betul. Itulah yang ingin aku katakan” Kata Riski menambahkan karena menyadari
kalau kata-kataku tadi bisa sedikit membantuk memperbaiki kesalahannya.

“Bagaiman, Akmal?”

Tiba-tiba Akmal, meneleng kembali. Memberbaiki cara duduknya. Mendeham sebantar, lalu
berkata. Emosinya memuncak, warna matanya memerah seperti burung hanti, dan rahannya
menonjol di bawah pipinya yang lepar.

“Heii, Riski! Kau camkan baik-baik. Kau pikir perasaanku bisa kau bayar dengan seporsi nasi
wartek! Aku doakan semoga kau selamat. Pergilah dari hadapanku”

Wajah Riski yang tadinya terkesan merayu, dan tentunya senyum yang di buat-buat untuk
menyenangkan Aku dan Akmal, kini berubah total. Entah apa lagi yang ingin di katakan untuk
mengatasi kemarahan Akmal yang meledak-ledak itu. Dan Akmal kembali meleparkan muka ke
arah lain. Sedangkan Aku sendiri juga bingun mengatasi situasi seperti sekarang. Sebab, tidak ada
dalam dugaanku kalau Akmal akan berkata sekasar itu pada Riski. Akhirnya tanpa di ketahui
Akmal, aku kedipkan mata kepada Riksi, memberi isyarat agar dia segerah pergi meninggalkan
aku dan Akmal. Untungnya, Riski mengerti akan isyaratku itu. Segerah dengan wajah tertunduk
pada aspal pekarangan, Riski melangkah cepat meninggalka Akmal dan aku dendirian di bawah
pohon rindang tersebut.

Entahlah, aku tidak tahu persis Akmal mengetahui atau tidak kalau-kalau Riski sudah tidak lagi
bersama kami. Untuk beberapa menit, aku memutuskan untuk membiarkan Akmal dengan kondisi
yang carut-marut karena kemarahannya. Lalu, dengan penuh kehati-hatian dan nada suaru yang
aku lembutkan selembut-lembutnya.

“Riski sudah pergi. Kenapa kau masih saja tidak mau malihat kemari?” kataku “Apa kau juga
demikian jengkel padaku karena tidak ikut serta memarahi Riski?”

“Bagus kalau dia pergi. Aku tidak ingin melihatnya. Hanya itu, lain tidak. Kau boleh menyusulnya,
Ri. Tapi jangan sekali-kali menugurku lagi jika itu kau lakukan. Tak ada keberatan untukku”
Katanya tanpa menoleh padaku barang sedetik.

“Sejujurnya, Akmal” Kataku sambil merenung “Aku senang punya teman sepertimu. Kau punya
pendirian, konsisten dengan apa yang kau katakan, itu pula yang kau lakukan. Tapi..” Aku berhenti
sebentar, berfikir tentang akibat dari kata-kata yang ingin aku katakan padanya. Ahh, persetan
dengan akibat! Lagipula dia tidak akan membantahku jika itu aku katakan. Sebab, aku begitu yakin
dan percaya bahwa Akmal selalu menganggap ucapanku adalah kebaikannya juga.

“Tapi..pendirianmu yang kokoh itu mesti kau tempati pada kondisi yang benar-benar membawa
manfaat. Dengan kata lain, pendirianmu hari ini untuk tidak menghiraukan keberadaan Riski,
bahkan membentaknya sedemikian rupa. Itu yang semestinya kau, juga aku tidak
menghendakinya”

“Kau begitu bejak, Fahri. Itu aku akui sejak lama. Dan untuk persoalan ini, pun aku menghargai
usahamu. Tetapi, usahamu itu justru yang tidak aku inginkan” Tukasku.

Suaranya sudah agak sayu terdengar, kemudian berlahan membalikan pendangannya padaku.
Meskipun aku sebalikannya tidak melihat ke arahnnya. Meskipun begitu, aku rasai sebuh terjangan
mata menembus pori-poro wajahku, lalu dengan cepat-cepat langsung menggenggam kedalaman
jantungku. Benar-benar sekali ini hati kecilku membisik pesimis, kalau-kalau sekarang dialah yang
menguasaiku. Semua rumus penyelesaian tercatat-catat di kepalaku, namun hanya menghasikan
coretan-coretan, yang itu jika aku paksakan diri untuk mengungkapkannya, maka aku sendirilah
yang bakal celaka.

“Akmal” Aku menyeru datar tanpa ekspresi apa-apa “Bolekah aku tinggalkan kau sebentar? Aku
akan kembali secepatnya”

Jangankan mengerluarkan suara, isyaratpun sukar ia keluarkan. Semuanya terkatup begitu saja.
“Aku harus menemui Riski. Sekarang!” Kataku dalam hati. Kemudian bangkit dan berlari kecil
mengikuti arah perginya Riski tadi. Dari beberapa meter jaraknya, di sebelah gerobak dagangan
Bunda. Yaa, Bunda kita panggilnya. Wanita setengah baya yang punya hubungan baik dengan
mahasiswa mana saja. Disana, di antara gerombolak mahasiswa yang hendan membeli dagangan
Bunda, Abay, Zen dan tentu saja orang yang aku perlukan, Riski sedang bercokol depan gerobak
dagangan. Dan setelah aku mendekat, tendengar lengking tawa Zen yang serentak menarik
perhatian mahasiswa lainya. Abay, dengan perangai yang kalem satu dua kali hanya tersenyum,
sedang Riski sendiri agak lain. Dari kejauhan sekalipun, ia terlihat tak berbahagian, ia hanya diam.
Itu bisa terlihat oleh orang yang tidak peka sekalipun. Bahwa pada kenyataannya, dirinya yang
sekarang ini benar-benar remuk-redam. Pun tatapannya yang kosong luntang-lantung sejauh
matanya bisa memandang.

Sejauh itu Riski tidak melihatku dengan berjalan ke arahnya. Sedangkan lain tidak, Abay dan Zen
telah malihatku. Tetapi aku tidak menjadi perhatian, dan mereka melanjutkan terus pergunjingan
itu.

“Riski” Kupanggilnya untuk menjauh dari tempat duduknya agar mendekat kemari.

Sontak, ia terperanjat. Seperti orang yang kesetanan. Kemudian cepat-cepat ia mendekatiku. Tidak
kusangka, cuaca yang begini mendung di sertai sayupan angin. Derai peluh melembabkan
kamejanya. Kamejanya yang putih agak transparan itu membiki penglihatanku dapan menembus
tulang rusuknya. Dirinya benar-benar payah sekarang. Ia seolah menusia yang tersesat di padang
pasir tanpa setetes pun air sebagai berbekalannya.

Dari kantong belakang, aku keluarkan sepotong sapu tangan untuknya, dan ia pun segerah
menyadari akan basahan peluh pada tubuh dan keseluruhan wajahnya. Tangan yang tak
berkekuatan seperti biasa, gemeletar mengeringkan wajah dan kedua tangannya dengan sapu
tangan itu.

“Langsung saja, Riski. Tidak perlu aku panjang lebar bengenai keadaanmu sekarang. Yang
sekarang aku pikirkan adalah kau dan Akmal bisa kembali lagi biasa. Tentu menjadi temannya
lagi” Kataku.

“Apa yang kau maksudkan dengan ‘menjadi teman lagi’?” Tanyanya gentar.

“Pendeknya, Akmal tidak mengekauimu sebagai temannya lagi. Katanya demikian padaku. Tidak
hanya itu, diam-diam ternyata ia sudah memendam dendam kepadamu sejak tadi. Kau harus lebih
hati-hati sekarang. Maafkan aku, Riski. Upayaku tidak berhasil. Dia benar-benar seperti binatang
buas sekarang”

“Aku benar-benar minta tolong padamu, Fahri. Bujuk dia untuk memaafkanku”
“Kalau kau punya alasan kuat, sehingga kau terlambat. Beritahulah padaku. Dan banyak-banyak
berdoalah kau semoga dia mengerti”

“Tentu alasanku sangatlah masuk akal. Tapi bukankah dia tidak lagi ingin mendengarnya dan....”

“Kasih sekarang!” Aku memotong kata-katanya.

“Dan aku berterima kasih sekali padamu. Ahh..” Ia berhenti sejenak, seperti memikirkan sesuatu
“Bagaimana kalau besok saja. Dan aku sendiri yang akan menghadapnya. Aku yakin, bila aku
biarkan dia sampai kuliah besok. Dia akan lebih tenang. Lebih dari itu aku yakin dia akan
menerima alasanku dengan kepala dingin. Ahh, sungguh menyenangkan sekali jika aku bisa
kembali berbaik-baik dengannya. Dia orang yang sangat menyenangkan sekali, bukan?”

Kata-kata terakhirnya itu di sertai senyum yang sangat manis. Aku pun membiarkan dirinya
tenggelam sejenak dengan bayang-bayang yang mengitari pikirannya itu. Lalu, ia pun memutuskan
untuk pulang. Lagi pula, katanya. Mata kuliah untuk hari ini sudah selesa. Lagi-lagi aku biarkan
dia meninggalkanku, mengakhiri pembicaraannya dengan senyum yang lebih manis lagi dari
sebelumnya.

***************

2.

Kemarin, sebelum aku ingin beranjak kembali ke kontrakanku. Aku telah membuat janji
dengan Akmal agar hari ini, kita akan bertemu di Coffee seberang kampus. Beruntungnya, dia
percaya bahwa aku adalah salah satu temannya yang senantiasa menepati janji yang aku bikin
denganya. Sehingga, pukul tengah delapan kurang seperermpat kami beridua telah mengisi sala
satu meja coffee tersebut. Tampaknya, pagi-pagi begini, hanya pemilik caffee sekaligus sebagai
baristanya itu yang langsung melayani kami. Menawarkan menunya, kemudian kembali lagi, dan
seorang diri ia meracik kopi yang yang kami pesan. Aku memesan jenis kopi robusta, dan Akmal
yang sebenarnya tidak begitu senang dengan semua kopi yang terpampang di dalam liss menu,
terpaksa memesan kopi robusta juga. Aku sengaja menunggu pesanan kopi itu datang, membiarkan
Akmal menikmatinya barang seteguk. Barulah aku mulai membicarakan semua konsep yang sudah
aku susun tadi malam.

“Kau cukup cerah hari ini, Akmal. Aku hanya mengenalimu sebagai orang yang tegar dan
bersemangat” Kataku memujinya.
“Sudah kuduga. Aku juga mengenalmu sebagai teman yang sangat toleran. Utamanya dalam hal
mendamaikan perseteruan”

“Jadi kau mau mendengar penjelasan Riski?”

“Aku sudah berfikir matang-matang. Kalu aku akan mendengarnya. Tapi..”

“Tapi apa, Akmal?” Tanyaku dengan penuh perhatian.

“Tapi..sekalipun begitu, aku belum bisa memaafkannya. Pedulia apa dia benar atau tidak! Tetap
saja dia telah membuatku marah” Dari wajahnya, terlihat jelas sisi jahatnya yang selama ini aku
tidak pernah sekalipun melihatnya. Ia tanpak bengis. Walaupun ia tetap senyum-senyum saja.

“Yaa..tak masalah. Untuk itu, kau bisa langsung bertemu dengan Riski. Tapi kuperingatkan
padamu, jangan sampai kau apa-apakan dia!” Aku memekik, mengancamnya.

“Tenang saja, Fahri. Aku tidak sebodoh yang kau kira. Di hadapannya, aku akan memperlihatkan
tingka lakuku sebagai teman yang akrab. Tapi hanya sebuah kepura-puraan semata”

Sifat kebinatangannya semakin menjadi-jadi. Tapi sengaja aku biarkan. Lagi pula lebih baik
begitu, dari pada dia tidak sama sekali ingin mendengar penjelasan dari Riski. Pembicaraan aku
dengan Akmal di akhiri dengan sebuah perjanjian lagi. Janji seperti ancamanku tadi, bahwa jangan
sampai dia memperlakukan Riski tidak wajar. Dan ia menyetujuinya dengan penuh semangat. Aku
sendiri sama sekali tidak mengerti dengan sikapnya yang berlainan dan saling bertentangan itu. Di
satu sisi ia geram dengan Riski, tapi di sisi lain, ia sangat bersemangat saat hendak ingin bertemu
dengan Riski. Semoga saja mereka akan berbaik-baikan lagi seperti semula. Gumamku.

Dari caffee tersebut, ke sebelah kiri jalan. Ke kiri lagi, dan masuk ke pekarangan kampus. Sambil
gopoh-gopah kami berjalan, selintas aku melihat ke arah kanan, tepat di sebelah gerobak dagang
Bunda. Aku berhenti dengan rasa penasaran. Sedangkan Akmal berjalan terus tanpa
menghiraukanku. Disana ada seorang wanita yang menurut perkiraanku, umurnya hanya berbeda
satu atau dua tahun saja di atas Bunda. Wanita itu nampaknya sangat gelisah sekali, di tangan
kanannya ia memegang selembar tisu yang sudah remuk. Sedang berbincang-bincang dengan
Bunda yang kebetulan tidak melayani satu orang pembelipun. Wanita itu sesekali menyeka
kelopak mata dan pipinya, kadang juga tisu itu di sekakan di bawah lupang hidungnya. Tiba-tiba
pikiranku mereka wanita setengah baya itu, rasa-rasanya aku pernah melihatnya. Tapi dimana aku
melihatnya? Ahh, di Jakarta ini banyak sekali wajah manusia yang bermirip-miripan! Dari caranya
berbicara dengan Bunda, sangakaanku aku yakini benar kalau mereka berdua sudah saling
mengenal, bahkan bisa jadi mereka berdua. Wanita itu dan Bunda sangatlah dekat sekali.
Aku memantau mereka dengan saksama dari kejauhan. Setelah wanita itu berbicara sesuatu,
tepatnya semacam menanyakan sesuatu pada Bunda. Bunda pun menyorotkan padangannya ke
setiap sisi dan jarak. Kemudian sorot mataku sampai kepadaku. “Aduhh, kenapa aku begini bodo
ingin mencampuri urusan orang tua!” Kataku pada diri sendiri. Saat itu juga, Bunda yang
melihatku, langsung melambaikan tangannya dengan sangat cepat. Dan Wanita itu hanya
melihatku, tapi aku rasakan pandangannya begitu menakutkan.

“Ri. Fahri!” Panggil Bunda “Kemari dulu sebentar. Penting!”

“Iya, Bunda. Aku kesana sekarang”

Semakin aku mendekat. Keremangan wajah wanitia itu dalam ingatanku semakin terkikis. Tapi
belum mampu aku ingat secara total. Siapa dia? Apa hubangnya denganku? Untuk apa dia kemari?
Apa benar di mencariku? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dan menggumpal di kepalaku.
Kemudian beraduk dengan praduga-praduga tentang sesuatu yang mengerikan akan menimpahku
sebentar lagi. Celaka aku! Kenapa Bunda diam setelag memanggilku? Apa yang di maksud dengan
kata penting yang di ucapkan Bunda tadi? Aku betul-betul punya naluri kalau sebetar lagi aku
bakal di dakwa sedemikian rupa. Dan akan menganggung perbuatan yang telah aku lakukan,
mungkin sebentar lagi. Hanya sebentar, menunggu wanita ini membuka mulutnya, kemudian
mengingatkanku akan suatu perbuatan yang mengakibatkan dirinya atau salah satu anaknya
celaka. “Tunggu saja! Kau aku di ingatkan kembali apa yang telah kau lakukan sendiri, tapi kau
sudah lupa!” Suara ancaman itu datang dari diriku sendiri.

“Apa betul Adik temannya Akmal? Tanya wanita itu sambil dengan suara parau.

“Iya..Ibu tidak keliru. Aku teman dekatnya” Kataku dengan sangat hati-hati “Kalau boleh
bertanya. Ibu siapanya Akmal? Kiraku Ibu pasti orang tua Akmal, bukan?

“Bukan, Adik. Saya Ibunya Riski”

Setelah mendengar langsung dari wanita itu, barulah aku benar-benar inyaf tentang ingatanku yang
sejak tadi. Bagaimana tida, aku pernah ke rumah Riski, hanya sekedar mengambil beberapa
bukuku yang di pinjamnya. Saat itu Ibunya, alian wanitia yang di hadapanku ini sedang menyapu
ruang tamu, aku di terasnya saja. Hanya saja saat aku dan Riski hendak kembali ke kampus, sekitar
dua menit aku melihat Ibunya. Pantaslah kalau Ibunya tidak mengenala wajahku. Sebab, saat itu
Ibunya tidak sama sekali melihatku. Dan sekarang barulah ia mengetahuinya.

Tapi dalam kesungguhannya. Bukan itu yang menjadi permasalahanku sekarang. Tepi, Akmal dan
Riski, lalu sekarang di tambah satu lagi. Ibu Riski yang datang mencari-cari Akmal rona muka
penuih dengan kesedihan. Celaka dua belas! Apa yang telah Akmal lakukan terhadap Riski? Apa
arti kata-kata Akmal kemarin,’aku doakan semoga kau selamat. Bukan doa yang dia maksudkan,
tapi suatu ancaman yang tersirat! Lalu, dimana Riski sekarang? Yang terakhir itu pertanyaan yang
harus di ajukan langsung pada Ibunya.

“Tapi kenapa Riski belum juga tiba Bu? Aku sangka Riski bersama Ibu datang kemari” Tanyaku.

“Aku tidak bisa memberitahukan keberadaan Riski sekarang padamu, Adik. Sebelum aku bertemu
dengan Akmal. Bisakah kau panggilakan di sekarang untukku?” Kata-katanya menunjukan
kesungguhan yang sangat luar biasa. Anehnya, ketika ia menyebutkan naman Akmal, dia tidak
menunjukan kebengisan atau kemarahannya. Bahkan jurstru sebaliknya, seorang Akmal seolah di
anggapnya seperti seorang malaikat. Malaikat yang telah bertahun-tahun ia tunggui
kedatangannya.

“Tunggulah sebentar, Ibu. Aku akan memanggilnya”

Dengan perasaan panik bercampur kebingungan dan pertanyaan-pertanyaan itu yang datang lagi
untuk kesekian kalinya. Aku berbalik, berlari ke kelas. Kemudian kembali lagi bersama Akmal.
Akmal benar-benar tidak mengerti apa-apa. Sebab, jika aku lebih dahulu menjelaskannya sebelum
bertemu dengan Ibu Riski, akan memakan waktu yang tidak sedikit. Sikapnya yang tidak pernah
meragukanku sangat membantu. Keberuntunganku yang kedua, yang tidak membuatku harus
memutarkan otak lagi adalah dia tidak mengeluarkan sekatapun pertanyaan saat aku menuntunya
menemui Ibunya Riski.

Saat kami sampai. Tangan Ibu Riki dengan sangat cepat menangkap pergelangan tangan Akmal.
Lalu di tarikanya menjauh dari hadapan aku dan Bunda, hingga suara mereka tidak akan terdengar
dari Sekarang bukan lagi jadi urusanku.

You might also like