You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok.


Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat
sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumah
tangga dibina dalam suasana damai, tentram dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak
keturunan dari hasil pernikahan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus
merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan.
Oleh karena itu, pada tempatnyalah apabila islam mengatur masalah perkawinan dengan
amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan., sesuai dengan
kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah makhluk Allah yang lain. Hubungan manusia
laki-laki dan perempuan ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai
Al Khaliq ( Tuhan Maha Pencipta ) dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan
kehidupan sejenisnya. Perkawinan dilaksanakan atas dasar kerelaan pihak-pihak bersangkutan,
yang dicerminkan dalam adanya ketentuan peminangan sebelum kawin ijab-kobul dalam akad
nikah yang dipersiapkan pula di hadapan masyarakat dalam suatu perhelatan ( walimah ). Hak
dan kewajiban suami istri timbal-balik diatur amat rapi dan tertip, demikian pula hak dan
kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya. Apabila terjadi perselisihan antara suami dan
istri, diatur pula bagaimana cara mengatasinya. Dituntunkan pula adat sopan santun pergaulan
dalam keluarga dengan sebaik-baiknya agar keserasian tetap terpelihara dan terjamin.
Dari uraian tersebut dapat diambil ketentuan bahwa hukum perkawinan mempunyai
kedudukan amat penting dalam islam sebab hukum perkawinan mengatur tata-cara kehidupan
berkeluarga yang merupakan inti kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia
sebagai makhluk yang berkehormatan melebihi makhluk-makhluk lainnya. Hukum
perakawinan merupakan bagian dari ajaran agama islam yang wajib ditaati dan liaksanakan
sesuai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Alqur’an dan Sunah Rosul.1

1. A Azhar Basyir. 1999. Hukum Perkawinan Islam. UII Press : Yogyakarta. hal 1
B. Tujuan Penulisan
Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam, sekaligus sebagai
bahan presentasi. Dimana tujuan makalah ini sendiri secara spesifik akan menjelaskan persoalan
yang berkenaan dengan Larangan Pernikahan, yang selanjutnya diharapkan dapat di pahami
oleh para audiensi yang dalam hal ini para mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Islam
Jakarta angkatan 2016.

C. Rumusan Masalah.
1. Apa pengertian perkawinan ?
2. Apa yang dimaksud dengan Larangan Perkawinan ?
3. Bagaimana larangan perkawinan menurut per-undang-udangan Indonesia ?
4. Bagaimana larangan perkawinan meruut Imam Mazhab Fiqih ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Tujuan Perkawinan


Tujuan perkawinan dalam islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga
sesuai ajaran Allah dan Rosul-Nya. Hukum islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan
dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan
dua orang laki-laki.2
Dengan demikian, dapat diperoleh suatu pengertian, perkawinan menurut hukum islam
adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan
perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga, yang diliputi rasa
ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridai Allah.
Apabila pengertian tersebut kita bandingkan dengan yang terdapat dalam pasal 1 UU No.
1/1974 pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut hukum islam dan UU No. 1/1974
tidak ad perbedaan yang prinsipil. Menurut UU No. 1/1974 adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
B. Hukum Melakukan Perkawinan
Meskipun pada dasarnya isalm mengajurkan kawin, apabila ditinjau dari keadaan yang
melaksankannya, perkawinanan dapat dikenai hukum wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah.
1. Perkawinan yang Wajib
Perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai keinginan kuat untuk kawin
dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam
hidup perkawinan serta ada kekhawatiran, apabila tidak kawin, ia akan mudah tergelincir dan
untuk berbuat zina.
2. Perkawinan yang Sunah
Perkawinan hukumnya sunah bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan telah
mempunyai kemampuan untuk melaksankan dan memikul kewajiban-kewajiban dalam
perkawinan, tetapi apabila tidak kawin juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat zinah.3
3. Perkawinan yang Haram

2. Ibid. Hal: 13
3 A Azhar Basyir. 1999. Hukum Perkawinan Islam. UII Press : Yogyakarta. hal 14
Perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan serta tidak mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup perkawinan
sehingga apabila kawin juga akan menyusahkan istrinya.4
4. Perkawinan yang Makruh
Perkawinan hukumnya makruh bagi seorang yang mampu dalam segi materiil, cukup
mempunyai dana tahan mental dan agama hingga tidak khawatir akan terseret dalam perbuatan
zina, tetapi mempunyai kekhawatiran tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap istrinya.
5. Perkawinan yang Mubah
Perkawinan hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai harta, tetapi apabila tidak kawin
tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikata kawin pun tidak merasa khawatir akan
menyia-nyaikan kewajibannya terhadap istri. Perkawinan dilakukan sekedar untuk memenuhi
syahwat dan kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga bagi kehidupan
kelsamatan beragama

C. Larangan Perkawinan
Larangan perkawinan ada dua macam yaitu :
1. Larangan perkawinan yang berlaku haram untuk selamanya dalam arti sampai kapanpun
dan dalam keadaan apapun laki-laki dan perempuan itu tidak boleh melakukan
perkawinan. Ini di sebut Mahram Muabbad.
2. Larangan perkawinan yang berlaku untuk sementara dalam waktu arti larangan ini
berkalu dalam keadaan dan waktu tertentu, suatu ketika bila keadaan dan waktu tertentu
itu sudah berubah ia sudah tidak lagi menjadi haram. Ini di sebut Mahram Muaqqat.
a) Mahram Muabbad.
Yaitu orang-orang yang haram melakukan pernikahan untuk selamanya, ada tiga
kelompok yaitu :
 Di sebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan.
Perempuan-perempuan yang haram di kawini oleh seorang laki-laki untuk
selamanya di sebabkan oleh hubungan kekerabatan adalah sebagai berikut :
1. Ibu.
2. Anak.
3. Saudara.
4. Saudara Ayah.

4 Ibid. hal 154


5. Saudara Ibu.
6. Anak dari saudara laki-laki dan
7. Anak dari saudara perempuan.
Seorang perempuan tidak boleh kawin untuk selama-lamanya karena
hubungan kekerabatan dengan laki-laki adalah sebagai berikut :
1. Ayah.
2. Anak.
3. Saudara laki-laki.
4. Saudara laki-laki ayah.
5. Saudara laki-laki ibu.
6. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung.
7. Anak laki-laki dari saudara perempuan.
 Larangan perkawinan karena adanya hubungan perkawinan yang disebut dengan
hubungan Mushaharah.
Perempuan-perempuan yang tidak boleh di kawini oleh seorang laki-laki untuk
selamanya karena hubungan Mushaharah adalah sebagai berikut :
1. Perempuan yang di kawini oleh ayah atau ibu tiri.
2. Perempuan yang telah di kawini oleh anak laki-laki atau menantu.
3. Ibu istri atau mertua.
4. Anak dari istri dengan ketentuan istri itu telah di gauli.
Perempuan tidak boleh kawin dengan laki-laki untuk selamanya karena hubungan
Mushaharah adalah sebaga berikut :
1. Laki-laki yang mengawini ibunya atau nenenya.
2. Ayah dari suami atau kakeknya.
3. Anak dari suaminya atau cucunya.
 Karena hubungan persusuan bila seorang anak menyusu kepada seorang perempuan, maka
airi susu perempuan itu telah menjadi darah daging dan pertumbuhan si anak sehingga
perempuan yang menyusuhkan itu telah seperti ibunya.
Hubungan persusuan ini telah muncul setelah terpenuhi syarat-syarat berikut ini :
1. Usia anak yang menyusu.
2. Kadar susuan.
3. Dalam cara menyusu.
4. Kemurnian air susu dalam arti tidak tercampur dengan air susu lain atau
dengan zat lain di luar susu ibu.
5. Suami sebagai penyebab adanya susu.
6. Kesaksian.

b) Mahram Muakkad ( Ghairu Muabbad )


Adalah larangan kawin yang berlaku untuk sementara waktu disebabkan oleh hal
tertentu, bila hal tersebut, sudah tidak ada larangan itu tidak berlaku lagi, larangan kawin
sementara itu berlaku dalam hal – hal sebagai berikut :
1. Mengawani dua orang saudara dalam satu masa
Bila seorang laki – laki mengawani seorang perempuan, dalam waktu yang sama dia
tidak boleh mengawani saudara dari perempuan itu. Demikian bila dua peremupuan
itu dikawani sekaligus dalam satu akad perkawinan, maka perkawinan dengan kedua
perempuan itu batal.
2. Poligami diluar batas
Surat An – nisa ayat 3 mengatakan :
Bila kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim perempuan, kawinilah
perempuan yang kamu senangi dua, atau tiga, atau empat. Bila kamu takut tidak akan
berlaku adil cukup seorang.
Berdasarkan arti ayat tersebut jelas bahwa isalam membolehkan adanya kawin
poligami, yaitu seorang suami dapat mempunyai istri lebih dari satu orang, namun
kebolehan itu tidak lah secara mutlak, tetapi dengan satu syarat, yaitu kemampuan
berlaku adil di antara istri – istri itu.
3. Larangan karena ikatan perkawinan
Seorang perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan haram dikawini oleh
siapa pun. Bahwkan perempuan yang sedang dalam perkawinan itu dilarang utuk
dilamar, namun untuk ucapan terus terang maupun secara sindirin meskipun dengan
janji akan dikawini setelah dicerai dan habis mas iddah nya.
4. Larangan karena Talak tiga
Seorang suami yang telah menceraikan istrinya dengan tiga talak, baik sekaligus atau
bertahap, mantan suaminya haram mengawani sampai istrinya itu kawin dengan laki
– laki lain dan habis pula masa iddah nya.
5. Larangan karena ihram
Perempuan yang sedang ihram, baik iham haji atau ihram umroh, tidak noleh dikawini
oleh laki –laki baik laki – laki tersebut sedang ihram pula atau tidak. Larangan ini
tifak berlaku lagi sesudah lepas masa ihram nya.
6. Larangan karena Perizinan
Perizinan dalam pandangan islam adalah hubungan kelamin yang dilakukan oleh laki
–laki dan perempuan di luar nikah, baik masing – masing sedang terikat tali
perkawinan dengan yang lain atau tidak.5

D. Larangan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.


1. Larangan perkawinan berdasarkan kekeluargaan (Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974) disebabkan
berhubungan darah yaitu larangan perkawinan karena hubungan ke-saudara-an yang terus
menerus berlaku dan tidak dapat disingkirkan berlakunya :
a. Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas
yang terdiri dari ibu sendiri, anak perempuan, ibu dari ayah, cicit (Pasal 8 sub a).
b. Hubungan darah dalam garis keturunan menyamping terdiri dari saudara perempuan ayah,
anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan (kemanakan) (Pasal 8
sub b).
c. Hubungan semenda terdiri dari saudara perempuan bibi (makcik), ibu dari isteri (mertua),
anak tiri (Pasal 8 sub c).
d. Hubungan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, anak susuan dan bibi atau paman
susuan (Pasal 8 sub d).
e. Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari seorang (Pasal 8 sub e).
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin
(Pasal 8 sub f).

2. Larangan oleh karena salah satu pihak atau masing-masing pihak masih terikat dengan tali
perkawinan (Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974).

Larangannya bersifat sepihak artinya larangan berlaku secara mutlak kepada pihak perempuan
saja yaitu seorang perempuan yang masih terikat dalam perkawinan. Larangan Pasal 9 tidak
mutlak berlaku kepada seorang laki-laki yang sedang terikat dengan perkawinan atau seoramg
laki-laki yang beristeri tidak mutlak dilarang untuk melakukan perkawinan dengan isteri kedua.

5 Purbasari Indah. Hukum Islam Sebagai Hukum Positif di Indonesia. Malang: Setara Press. Hal 44
3. Larangan kawin bagi suami isteri yang telah bercerai sebanyak 2 (dua) kali (Pasal 10 UU No. 1
Tahun 1974).
Menurut Pasal 10 diatur larangan kawin bagi suami isteri yang telah bercerai sebanyak
2 (dua) kali. Perkawinan yang mempunyai maksud agar suami isteri dapat membentuk keluarga
yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-
benar dipertimbangkan. Pasal 10 bermaksud untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang
kali, sehingga suami maupun isteri saling menghargai satu sama lain.

5. Larangan kawin bagi seorang wanita selama masa tunggu (Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974).
Larangan dalam Pasal 11 bersifat sementara yang dapat hilang dengan sendirinya
apabila masa tunggu telah lewat waktunya sesuai dengan ketentuan masa lamanya waktu
tunggu. Sesuai dengan pasal 8 masa lamanya waktu tunggu selama 300 hari, kecuali jika tidak
hamil maka masa tunggu menjadi 100 hari. Masa tunggu terjadi karena perkawinan perempuan
telah putus karena:
1) Suaminya meninggal dunia.
2) Perkawinan putus karena perceraian.
3) Isteri kehilangan suaminya.

E. Larangan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam


Didalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam Pasal 39. Dilarang melangsungkan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:
1. Karena pertalian nasab
a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.

2. Karena pertalian kerabat semenda:


a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan
perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
3. Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

Juga di dalam Pasal 40 disebutkan, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang


pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.

Pasal 41 berisi:
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan
pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya.
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i,
tetapi masih dalam masa iddah.

Pasal 42 tertera larangan sebagai berikut, Seorang pria dilarang melangsungkan


perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang
isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i
ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam
masa iddah talak raj`i.

Pasal 43 juga menyebutkan bahwa:


(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali.
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan
pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44 berisi larangan perkawinan beda agama. Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

F. Larangan Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)


Terdapat pada Pasal 30, 31, 32, 33 KUH Perdata, yaitu:
Pasal 30
Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam
garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran
yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak beradik laki
perempuan, sah atau tidak sah.
Pasal 31
Juga dilarang perkawinan:
1. Antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang
menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si
suami atau si istri telah diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk
melakukan perkawinan lain;
2. Antara paman dan atau paman orang tua dengan kemenakan perempuan kemenakan, demikian
pula antara bibi atau bibi orang tua dengan kemenakan laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak
sah. Jika ada alasan-alasan penting, Presiden dengan memberikan dispensasi, berkuasa
menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.

Pasal 32
Seseorang yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan zina, sekali-kali
tidak diperkenankan kawin dengan pasangan zinanya itu.

Pasal 33
Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan Pasal 199
nomor 3e atau 4e, tidak diperbolehkan untuk kedua kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali
setelah lampau satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar
Catatan Sipil. Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang.
D. Larangan Perkawinan Menurut Imam Mazhab Fiqih.
A. Larang karena nasab
Para ulama mazhab sepakat bahwa wanita-wanita yang tersebut di bawah ini haram
dikawini karena nasabnya:
1) Ibu, termasuk nenek dari pihak ayah atau pihak ibu.
2) Anak-anak perempuan, termasuk cucu perempuan dari anak laki-laki atau perempuan, hingga
keturunan di bawahnya.
3) Saudara-saudara perempuan, baik saudara seayah, seibu maupun seayah dan seibu.
4) Saudara perempuan ayah, termasuk saudara perempuan kakek dan nenek dari piahak ayah
dan seterusnya.
5) Saudara perempuan ibu, termasuksaudara perempuan kakek dan nenek dari pihak ayah dan
seterusnya.
6) Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki hingga keturunan di bawahnya.
7) Anak-anak perempuan saudara perampuan hingga keturunan di bawahnya.
Adapun dalil yang menjadi pijakannya adalah [Q.S.4:23].
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-
saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan

B. Karena ikatan perkawian (mushaharah)


Mushaharah adalah hubungan anatara seorang laki-laki dan perempuan yang dengn itu
menyebabkan dilarangnya suatu perkawinan, yaitu diantaranya:
1) Isrti ayah (mertua)
Seluruh amazhab sepakat bahwa istri yah haram dinikahi oleh anak kebawah. Dengan dalil firan
Allah [Q.S.4:22]
“Dan janganlah kau kawini wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu”
2) Istri anak (menantu)
Seluruh mazhab sepakat bahwa istri anak laki-laki haram di kawini oleh ayah ke atas, dengan
dalilnya [Q.S.4:23]
“(dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)”
3) Ibu istri, Seluruh mazhab sepakat bahwa ibu istri (mertua wanita) dan seterusnya ke atas
adalah haram dikawini, dengan dalil [Q.S.4:23]
“(dan diharamkan bagimu) ibu-ibu istrimu (mertua)”
4) Anak tiri, Seluruh mazhab sepakat bahwa anak perempuan istri (anak perempuan tiri) haram
dinikahi sepanjang ibunya belum dicampuri, dipandang dan disentuh dengan birahi, dengan
dalilnya [Q.S.]
“dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaamu dari istri yang telah kamu campuri”

C. Menyatukan dua wanita “muhrim” sebagai istri


Seluruh mazhab sepakat dalam hal ini keharaman mengawini dua wanita bersaudara sekaligus
berdasarkan firma Allah [Q.S.4:23]:
“dan haram bagimu menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara”

4. Pernikahan beda agama


Semua mazhab sepakat bahwa, laki-laki dan perempuan muslim tidak boleh kawin dengan
orang-orang yang tidak mempunyai kitab suci. Orang-orang yang termasuk kategori ini adalah
orang-orang yang menyembah selain kepada Allah.
Keempat mazhab juga sepakat bahwa seorang laki-laki muslim boleh mengawini wanita ahli
kitab yaitu wanita-wanita Yahudi dan Nasrani, dan tidak sebaliknya.
Seluruh mazhab sepakat (kecuali Maliki) bahwa perkawinan yang di selenggarakan oleh orang-
orang non-muslim adalah sah seluruhnya, selama perkawinan itu di selenggarakan dengan
keyakinan yang mereka yakini. Kecuali Maliki bahwa perkawinan yang di selenggarakan orang-
orang non-muslim tidak sah. Dalam hadist Nabi Saw di tegaskan:
“Barang siapa yang memeluk sutau agama suatu kaum, maka dia harus di kenai oleh hukum-
hukum yang berlaku di kalangan kaum muslimin itu ...berlakukanlah atas mereka hukum-hukum
yang mereka berlakukan atas diri mereka.”
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Hidup berpasang-pasangan adalah fitrah makhluk hidup, termasuk manusia. Perkawinan


memberikan jalan bagi pemenuhan fitrah tersebut. Ia menjadi penyaluran dan pemenuhan
berbagai kebutuhan dasar manusia, mulai dari kebutuhan seksualitas, afeksi, pemenuhan
keturunan, hingga perekonomian. Maka menjadi tegas bahwa tujuan perkawinan adalah
mencapai kemaslahatan raga dan batin, yang biasa disebut sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Demi mencapai tujuan tersebut, Islam mengatur bagaimana mendirikan perkawinan


dengan baik. Salah satu aturannya adalah, demi kemaslahatan yang lebih luas, tidak semua
perempuan boleh dinikahi oleh seorang laki-laki. Larangan ini ada yang berlaku untuk
selamanya, misalnya kerabat karena hubungan darah. Ada pula yang berlaku sementara yang
jika halangannya sudah hilang maka boleh dinikahi, misalnya ipar perempuan dilarang dinikahi
karena adanya halangan berupa istri.

Makalah ini secara mendalam mengkaji bagaimana larangan perkawinan ini di atur
dalam AL-Qur-an, Hadits serta Ijtihad para ulama terkemuka. Lebih jauh, makalah ini merunut
bagaimana larangan perkawinan ini diatur dalam legislasi Sistem Hukum Nasional Indonesia,
mulai dari UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam hingga Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Dimana bila kami simpulkan secara sadar, maka tidak
terdapat adanya saling pertentangan satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA

 Buku dan Undang-Udang


Hasan Sofyan. 2018. Hukum Keluarga Dalam Islam. Malang: Setara Press.

Purbasari Indah. 2017. Hukum Islam Sebagai Hukum Positif di Indonesia. Malang: Setara
Press.
Dahwal Sirman. 2017. Perbandingan Hukum Perkawinan. Bandung: Mandiri Maju.

A Azhar Basyir. 1999. Hukum Perkawinan Islam. UII Press : Yogyakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Kompilasi Hukum Islam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie)

 Website

http://iffpedia.blogspot.com/2015/04/fiqih-4-mazhab-munakahat-nikah.html

http://www.berandahukum.com/2016/04/larangan-perkawinan-menurut-uu.html
KELOMPOK PRESENTASI
HUKUM ISLAM
“Larangan Perkawinan”
Fatimah. S.H M,H

Di susun oleh :

1. Fachri Ahmad Difinubun : 11 16 089


2. Zenteno Achmad : 11 16 041
3. Risky Ardiansyah : 11 16......
4. Akmal Pasha : 11 16......

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM JAKARTA

You might also like