Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing :
dr. Dumasari Siregar, Sp.THT-KL
Disusun oleh :
Nadia Sani Amalia
030.14.135
1
LEMBAR PENGESAHAN
Penyusun:
Nadia Sani Amalia
030.14.135
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
segala nikmat sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul
“Paralisis Pita Suara” Adapun penulisan referat ini dibuat dengan tujuan untuk
memenuhi salah satu tugas kepaniteraan Ilmu Penyakit THT di Rumah Sakit
Umum Daerah Budhi Asih Jakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.
Dumasari Siregar, Sp.THT-KL, selaku pembimbing yang telah membantu dan
memberikan bimbingan dalam penyusunan laporan kasus ini. Ucapan terima kasih
juga penulis ucapkan kepada semua pihak yang turut serta membantu penyusunan
referat ini yang tidak mungkin diselesaikan tepat waktu jika tidak mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak.
Demikian kata pengantar ini penulis buat. Untuk segala kekurangan dalam
penulisan ini, penulis memohon maaf dan juga mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat konstruktif bagi perbaikan penulisan ini.
3
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................1
BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI ...................................................................2
2.1 Anatomi .................................................................................................2
2.2 Fisiologi .................................................................................................3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA............................................................................5
3.1 Definisi paralisis pita suara ....................................................................5
3.2 Epidemiologi paralisis pita suara .............................................................
3.3 Etiologi paralisis pita suara ......................................................................
3.4 Patofisiologi paralisis pita suara ...............................................................
3.5 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis paralisis pita suara .........................5
3.5.1 Paralisis Pita Suara Unilateral ......................................................5
3.5.2 Paralisis Pita Suara Bilateral ..........................................................
3.6 Diagnostik paralisis pita suara ..............................................................14
3.7 Tatalaksana paralisis pita suara ............................................................19
3.8 Komplikasi paralisis pita suara parotis .................................................21
3.9 Prognosis paralisis pita suara ...............................................................21
BAB IV KESIMPULAN .......................................................................................22
DAFTAR PUSTAK
4
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
2
Gambar 2. (A) tampak anterior kartilago dan ligamen laring dan os hyoid. (B)
tampak posterior kartilago, ligamen dan artikulasio laring dan os hyoid.(5)
Gambar 3. (A) Potongan sagital ligamen dan artikulasio laring. (B) Tampak
posterior lateral otot intrinsik laring. (5)
3
2.1.2 Muskulus
Otot yang melekat pada laring yaitu otot ekstrinsik dan otot
intrinsik laring.
Otot Ekstrinsik
Otot ekstrinsik melekat pada pemukaan luar laring, terbagi
menjadi:
1. Otot suprahioid
Berfungsi mengangkat laring ke arah atas. Terdiri atas m.
digastrikus, m. Geniohioid dan m. Stilohioid.
2. Otot infrahioid
Berfungsi menarik laring ke arah bawah. Terdiri atas m.
Omohioid, m. Sternohioid dan m.Tirohioid.
Otot-otot ini berperan pada gerakan dan fiksasi laring secara
keseluruhan. Terdiri dari kelompok otot elevator dan depresor. Kelompok
otot depresor terdiri dari mm.tirohioid, sternohioid, dan omohioid yang
dipersarafi oleh ansa hipoglosus dari C2 dan C3. Kelompok otot elevator
terdir dari mm.digastrikus anterior dan posterior, stilohioid, geniohioid dan
milohioid yang dipersarafi oleh nervus kranial V,VII dan IX. Kelompok ini
penting pada fungsi menelan dan fonasi dengan mengangkat laring dibawah
dasar lidah.(6)
4
Kontraksi otot intrinsik berhubungan dengan gerak pita suara. Otot
instrinsik laring berfungsi mempertahankan dan mengontrol jalan udara
pernafasan melalui laring, mengontrol tahanan terhadap udara ekspirasi
selama fonasi dan membantu fungsi sfingter dalam mencegah aspirasi benda
asing selama proses menelan. M. Krikotiroid terletak dipermukaan depan
laring, antara sisi lateral krikoid dan kartilago tiroid. Otot ini berfungsi
untuk menyempitkan ruang krikotiroid di anterior dan gerakan ini
memperbesar jarak antara kartilago tiroid dan kartilago aritenoid, yang
menumpang pada krikoid. Perlekatan anterior dan posterior ligamentum
vokalis terpisah makin jauh. Hasil akhirnya adalah pemanjangan dan
peregangan pita suara. (6)
Kontraksi m.krikoaritenoid posterior membawa prosesus m.aritenoid
ke belakang dan memutar prosesus vokalis ke lateral. Otot ini berfungsi
sebagai abduktor utama pita suara. M.krikoid lateral melakukan gerak
adduksi pita suara. M.tiroaritenoid eksterna bekerja untuk adduksi pita suara
dan juga mengubah tegangan dan ketebalan tepi bebas suara. Sfingter glotis
menarik kartilago aritenoid ke depan untuk mengurangi tegangan ligamen
vokalis dan memperbesar ketebalan pita suara. Otot ini dipersarafi secara
bilateral oleh n.laringeal rekuren, karena itu tidak terjadi kelumpuhan akibat
penyakit yang mengenai n.rekuren unilateral. Otot ini juga menerima
persarafan motorik dari n.laringeus superior. M.ariepiglotik bekerja untuk
menutupi sfingter laring superior, tetapi bentuknya kecil dan sering hampir
tidak ada. Otot ini dapat menjadi hipertrofi jika fungsi pita suara palsu
menggantikan fungsi pita suara asli. (6)
5
Gambar 5. Otot Intrinsik
6
Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah,
dibentuk oleh plika glossoepiglotika medial dan lateral
e. Plika Ariepiglotika :
Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan dari
kartilago epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata.
f. Sinus Pyriformis (Hipofaring) :
Terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan dalam kartilago tiroidea.
g. Incisura Interaritenoidea :
Suatu lekukan antara tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri.
h. Vestibulum Laring :
Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana kuadringularis, kartilago
aritenoid, permukaan atas proc. vokalis kartilago aritenoidea dan
m.interaritenoidea.
i. Plika Ventrikularis (pita suara palsu) :
Yaitu pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan kartilago
aritenoidea untuk menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua
lipatan tebal dari selaput lendir dengan jaringan ikat tipis di tengahnya.
j. Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus)
Yaitu ruangan antara pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari
ventrikel terdapat suatu divertikulum yang meluas ke atas diantara pita
suara palsu dan permukaan dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis
semu bersilia dengan beberapa kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk
melicinkan pita suara sejati, disebut appendiks atau sakulus ventrikel
laring.
k. Plika Vokalis (pita suara sejati)
Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per lima bagian dibentuk oleh
ligamentum vokalis dan celahnya disebut intermembranous portion, dan
dua per lima belakang dibentuk oleh prosesus vokalis dari kartilago
aritenoideadan disebut intercartilagenous portion.
2.1.4 Persarafan
Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan
Nn. Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan. (6)
7
A. Nn. Laringeus Superior(6)
Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum,
melengkung ke depan dan medial dibawah A. karotis interna dan
eksterna yang kemudian akan bercabang dua,
yaitu :
Cabang Interna: bersifat sensoris, mempersarafi vallecula,
epiglotis, sinus pyriformis dan mukosa bagian dalam laring
di atas pita suara sejati.
Cabang Eksterna: bersifat motoris, mempersarafi m.
Krikotiroid dan m. Konstriktorinferior.
B. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren) (6)
Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring
tepat di belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri
mempunyai perjalanan yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga
mudah terganggu. Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian
proksimal A. subklavia dan berjalan membelok ke atas sepanjang
lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akan mencapai laring
tepat di belakangartikulasio krikotiroidea dan memberikan persarafan :
Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea
Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M.
Krikotiroidea
2.1.5 Vaskularisasi
Perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior sebagai A.
Laringeus Superior dan Inferior. (5)
a. Arteri Laringeus Superior
Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus
membrana tirohioid menuju kebawah diantara dinding lateral dan dasar
sinus pyriformis.
b. Arteri Laringeus Inferior
Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui
area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor
Faringeus Inferior, di dalam laring beranastomose dengan A.Laringeus
8
Superior dan memperdarahi otot-otot dan mukosa laring. Darah vena
dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V. Tiroidea
Superior dan Inferior yang kemudian akan bermuara ke V. Jugularis
Interna.
2.2. Fisiologi
Fungsi-fungsi laring yaitu proteksi, respirasi, sirkulasi, menelan dan
sebagai organ penghasil suara atau fonasi.(7)
A. Proteksi
Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah makanan dan
benda asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring
dan rimaglotis secara bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring ialah
karena pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik
laring. Dalam hal ini kartilago aritenoid bergerak ke depan akibat
kontraksi m.tiroaritenoid dan m. aritenoid. Selanjutnya m. ariepiglotika
berfungsi sebagai sfingter. Penutupan rima glotis terjadi karena adduksi
plika vokalis. Kartilago aritenoid kiri dan kanan mendekat karena adduksi
otot-ototintrinsik. Selain itu dengan refleks batuk, benda asing yang telah
masuk kedalam trakea dapat dibatukkan ke luar. Demikian juga dengan
bantuan batuk,sekret yang berasal dari paru dapat dikeluarkan.
B. Respirasi
Fungsi respirasi dari laring ialah dengan mengatur besar kecilnya
rimaglotis. Bila m. krikoaritenoid posterior berkontraksi akan
menyebabkan pprosesus vokalis kartilago aritenoid bergerak ke lateral,
sehingga rimaglotis terbuka (abduksi).
C. Sirkulasi
Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus
trakeobronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Dengan
demikian laring berfungsi juga sebagai alat pengatur sirkulasi darah.
D. Menelan
9
Fungsi laring dalam membantu proses menelan ialah dengan
tigamekanisme, yaitu gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup
adituslaringis dan mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan
tidak mungkin masuk ke dalam laring.
E. Fonasi
Fungsi laring yang lain ialah untuk fonasi, dengan membuat suara
serta menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur
olehketegangan plika vokalis. Bila plika vokalis dalam aduksi, maka
m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid ke bawah dan ke depan,
menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan m. krikoaritenoid
posterior akan menahan atau menarik kartilago aritenoid ke belakang.
Plika vokalis kini dalam keadaan yang efektif untuk berkontraksi.
Sebaliknya kontraksi m. krikoaritenoid akan mendorong kartilago
aritenoid ke depan, sehingga plika vokalis akan mengendor. Kontraksi
serta mengendornya plika vokalis akan menentukan tinggi rendahnya
nada.
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
11
tersebut, infeksi virus, penyakit Lyme, maupun neurotoxin seperti
merkuri, arsenik, ataupun toksin difteria.
Intubasi endotrakeal
Idiopatik
3.4 Patofisiologi
Pada daerah laring, secara anatomis terdapat nervus vagus dan cabangnya
yaitu nervus laringeus rekurens yang mempersarafi pita suara. Jika terjadi
penekanan maupun kerusakan terhadap nervus ini maka akan terjadi paralisis
pita suara, di mana pita suara tidak dapat beradduksi. Secara normal, ketika
berfonasi, kedua pita suara beradduksi, tetapi karena terjadi paralisis salah
satu atau kedua pita suara, maka vibrasi yang dihasilkan oleh pita suara tidak
maksimal. (10)
Secara umum terdapat lima posisi dari korda vokalis sesuai derajat
ostium laringeus yaitu median, paramedian, intermedia, sedikit abduksi dan
adduksi penuh. Jika paralisis terjadi bilateral, posisi ini ditandai dengan
mengamati ukuran celah glotis. Jika paralisis terjadi unilateral maka
12
pengamatan pertama harus memperkirakan posisi garis tengah sebenarnya
kemudian menghubungkan dengan posisi korda vokalis. Tiap lesi sepanjang
perjalanan nervus laringeus rekurens dapat menimbulkan paralisis laring. Lesi
intrakranial biasanya disertai gejala – gejala lain dan lebih bermanifestasi
sebagai gangguan neurologis dan bukan gangguan suara atau artikulasi. Lesi
batang otak terutama menimbulkan gangguan suara, namun dapat pula
disertai tanda-tanda neurologis lain. (10)
13
Evaluasi awal terhadap paralisis plica vocalis unilateral adalah
untuk menentukan apakah paralisis ini merupakan cedera n.laringeal
rekuren atau kerusakan n.vagus. Lesi yang menunjukkan karakteristik
kelumpuhan plica vocalis paramedian ditemukan di bawah dari
n.laringeus superior. Pita suara yang lumpuh ditemukan dalam posisi
paramedian karena kerja otot krikotiroid terhambat. (9)
14
istirahat. Biasanya pasien dengan paralisis korda vokalis bilateral mempunyai
korda vokalis yang hampir melekat, sehingga sebagian besar memerlukan
trakeostomi guna mengurangi obstruksi jalan napas. Dan sangat jarang pada
pasien dengan paralisis korda vokalis bilateral mempunyai korda vokalis
yang terpisah lebar. Korda vokalis yang dalam posisi teraduksi bukan
diakibatkan lesi neurogenik, namun dapat timbul akibat trauma laring. Pada
kasus ini, jalan napas masih baik namun suara menjadi lemah dan disertai
bunyi napas. Pita suara dalam posisi adduksi lebih sering ditemukan pada
paralisis bilateral akibat lesi neurologik dan pasien memiliki suara yang baik
dengan pernapasan buruk.
A. Paralisis n.laringeal rekuren bilateral
Hal yang penting dalam diagnosis:
- Sering datang dengan stridor
- Suara dapat normal
- Biasanya ada riwayat operasi tiroid
- Plica vocalis menetap di posisi median hingga paramedian
Pasien dapat datang dengan riwayat operasi tiroid biasanya
tiroidektomi total. Tumor tiroid malignant jarang menjadi penyebab yang
mendasari.
- Suara lemah
- Riwayat aspirasi dan tersedak
- Plica vocalis pada posisi intermediet
- Apertura glottis baik saat istirahat
Keterlibatan n.vagal, atau batang otak bilateral jarang terjadi dan
biasanya merupakan akibat sekunder dari penyebab neurologic.
Kehilangan sensorik supraglotik secara lengkap menyebabkan risiko
aspirasi yang signifikan. Paralisis vagal biasanya disertai keterlibatan
nervus kranialis yang lain, umumnya n.glossopharyngeal dan hypoglossal.
15
Posisi Pita Suara
Posisi pita suara yang lumpuh
Posisi pita suara merupakan faktor tunggal yang paling penting dan gejala
klinik kelumpuhan bervariasi tergantung pada posisi pita suara.
1. Median
2. Paramedian
3. Intermedian
4. Abduksi sedikit
5. Abduksi penuh
A. Anamnesis
Gejala kelumpuhan pita suara didapat adalah suara parau, stridor
atau bahkan disertai kesulitan menelan tergantung pada penyebabnya
gejala yang dapat timbul pada paralisis plica vocalis unilateral adalah
suara desah, serak dan lemah di mana terdapat restriksi dalam jangkauan
volume dan nada. Suara dapat memburuk seiring waktu akibat
16
penggunaan mekanisme kompensasi yang tidak benar. Seringkali suara
hampir normal. Paralisis korda vokalis unilateral pada anak memiliki ciri
tambahan. Karena ukuran glottis yang kecil, maka paralisis unilateral pada
anak dapat membahayakan jalan napas, sehingga secara klinis
mengakibatkan stridor. Pada paralisis plica vocalis bilateral, distress napas
yang berat dapat menjadi gambaran yang dominan.(11)
B. Pemeriksaan Fisik
Untuk menunjang diagnosis paralisis pita suara, maka dilakukan beberapa
tahapan pemeriksaan di antaranya adalah:
a b
a
Gambar 7. Pada pemeriksaan laringoskopi saat respirasi menunjukkan Paralisis
plica vocalis (a) unilateral dan (b) bilateral.(12)
17
Gambar 8. Posisi plika vocalis pada paralisis plica vocalis unilateral.
C. Pemeriksaan penunjang
Pencitraan
Karena gangguan ini disebabkan oleh kerusakan saraf, maka
diperlukan tambahan tes untuk mencari penyebab paralisis. Untuk
itu maka dapat digunakan X-ray, MRI maupun CT-scan.
Endoskopi
Dilakukan untuk melihat pita suara yang ditampilkan pada
monitor agar bisa terlihat salah satu atau kedua pita suara yang
terkena.
Laringeal elektromiografi (LEMG)
Adalah suatu evaluasi elektrofisiologik dari otot-otot laring. Tes
ini dilakukan dengan menggunakan suatu jarum perkutaneus
elektromiogram (EMG) di bawah lokal atau tanpa anastesi.
LMEG mengevaluasi m. tireoaritenoid, yang merupakan refleks
fungsi n. laringeus rekuren dan m. krikoaritenoid, yang
merupakan gambaran fungsi n. laringeus superior. Hasil
pemeriksaan LMEG dapat merupakan diagnostik dan prognostik
dan juga dapat digunkakan sebagai pemeriksan yang menuntun
18
terapi. LEMG memberikan informasi mengenai patofisiologi
imobilitias dan dismotilitas. Dengan ini dapat ditentukan
pemilihan terapi berdasarkan pemahaman etiologi dari kelainan
tersebut. (7)
3.7 Tatalaksana Paralisis Pita Suara
I. Konservasi
Terapi paralisis plica vocalis unilateral dimulai dari terapi suara
konservatif, di mana harus didukung oleh stimulasi elektrik yang sinkron
untuk mencegah atrofi muscular. Stimulasi elektrik sendiri tidak berarti
jika tidak dilakukan dengan terapi suara secara sinkron. Jika terapi suara
konservatif gagal, prosedur phonosurgical harus dipertimbangkan.(9)
II. Pembedahan
Sesuai aturan, operasi tidak dilakukan hingga satu tahun setelah onset
paralisis plica vocalis untuk menunggu kemungkinan pemulihan spontan.
Dapat dipertimbangkan phonosurgery yang lebih awal untuk pasien-pasien
tuadi mana terapi suara konservatif tidak efektif akibat kelemahan fisik.(9)
19
Cymetra
Gelfoam
Zyplast/Zyderm
- Operasi laryngeal: Thyroplasty dan rotasi aritenoid.
Prosedur ini bertujuan memperbaiki penutupan glottis
posterior
Reinervasi.
Beberapa prosedur reinervasi untuk paralisis plica vocalis
telah dideskripsikan menggunakan ansa cervicalis, n.phrenicus,
neuron simpatis preganglionik, n.hipoglossal, dan saraf-pedikel
otot. Tujuan utama prosedur reinervasi adalah untuk mencegah
atrofi otot-otot laring. (9)
20
Komplikasi dari terapi pembedahan adalah suara yang kurang baik,
kesulitan bernafas, dan migrasi dari implan. Pada saat pembedahan yang
mencakup manipulasi dari saluran nafas, faktor seperti hematoma, edema
dapat menyebabkan kesulitan bernafas, dan untuk mencegah dari
komplikasi ini maka pada saat operasi harus dilakukan dengan tepat dan
sangat hati-hati serta dengan pemberian kortikosteroid pre dan post-
operatif, dan resiko akan lebih besar jika proses pembedahan adalah
bilateral.
Walaupun pembedahan sangat penting jika ada disfagia,
kebanyakan pembedahan dilakukan untuk memperbaiki kualitas suara, dan
jika tidak ada perbaikan kualitas suara, maka terjadi komplikasi saat
prosedur. Sering kualitas suara yang buruk atau tidak ada perbaikan
setelah operasi dapat diperbaiki dengan pengulangan medialisasi
laringoplasty dengan atau tanpa arytenoid adduction.
Dan sebab yang paling sering menyebabkan kualitas suara yang
buruk setelah operasi adalah kesalahan penempatan implan,
penempatannya terlalu kearah anterior/superior, implan terlalu kecil/besar.
Hal ini dapat menyebabkan edema intraoperatif, dapat dicegah dengan
penggunaan kortikosteroid untuk meminimalkan edema sebelum dapat
dilakukan kembali penggantian implan. Migrasi dari implan dapat terjadi
post-operatif, baik kearah medial saluran nafas atau ke arah lateral ke
leher.(13)
Hasil dari terapi pada paralisis pita suara adalah sangat baik.
Kebanyakan pasien dapat kembali berbicara hampir normal dan dengan
minimal atau tanpa limitasi dari fungsi berbicara untuk kebutuhan
berbicara sehari-hari. Tetapi untuk bernyanyi, kemungkinan tidak akan
bisa dengan sempurna, karena kemampuan pita suara sudah terbatas.(13)
BAB IV
21
KESIMPULAN
1. Paralisis pita suara terjadi ketika salah satu atau kedua pita suara tidak dapat
membuka ataupun menutup dengan semestinya.
2. Paralisis pita suara disebabkan oleh disfungsi dari nervus vagus dan nervus
laringeal rekurens.
3. Etiologi paralisis pita suara di antaranya karena trauma bedah iatrogenik,
invasi malignansi pada saraf, kondisi neurologic tertentu, kerusakan pada
saraf, intubasi endotrakeal, maupun idiopatik.
4. Paralisis pita suara dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral.
5. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
6. Penatalaksanaan dapat dilakukan melalui penggunaan konservatif maupun
pembedahan.
7. Pada saat paralisis ini dapat diterapi dengan baik, dapat memperbaiki kualitas
hidup dari penderita.
DAFTAR PUSTAKA
22
1. Vocal Cord Paralysis. Tersedia dari:
http://www.nidcd.nih.gov/health/voice/vocalparal.htm#1. Diakses pada: 20
Mei 2018.
2. George LA, Lawrence RB, Peter AH. Dalam BOEIS Buku Ajar Penyakit
THT. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;1997.p369-396.
3. Simpson, Blake. Treatment of Vocal Fold Paralysis. Head & Neck Surgery –
Otolaryngology, 4th Edition. Texas: Lippincott Williams & Wilkins, 2006.61:
848-860.
4. Wippold, F. Diagnostic Imaging of the Larynx. Cummings Otolaryngology
Head & Neck Surgery, 4th Edition. USA: Elsevier Mosby, 2005.
5. Sadler, TW. Respiratory System. Langman’s Medical Embryology, 8th
Edition. Montana:Williams & Wilkins, 2007. 12: 277-278.
6. Ballenger JJ. Anatomy of the larynx. In: Diseases of the nose, throat, ear, head
and neck. 13th ed. Philadelphia:Lea & Febiger, 1993.
7. Punagi AQ. Penatalaksanaan Bilateral Midline Paralysis Pasca Tiroidektomi
Total. Dalam: Medicinus. 2010 Feb. 22(4):151-156.
8. Toutounchi SJS, Eydi M, Golzari SE, Ghaffari MR, Parvizian N. Vocal Cord
Paralysis and its Etiologies: A Prospective Study. J Cardiovasc Thorac Res.
2014 March 4;6(1):47-50.
9. Vyvyn N, Young C. Blake Simpson “Treatment of Vocal Fold Paralysis.” In
Bailey’s Head and Neck Surgery- Otoralyngology 5th Edition, by Clark A.
Rosen Jonas T. Johnson, 1038-1057. China: Lippincott Williams
&wllkins,2014.
10. Snow Jr JB, Ballenger JJ, Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery 16th ed. 2003. Spain: BC Decker Inc.
11. Hermany B, dkk. Disfoni. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung,
tenggorokan,kepala dan leher. Edisi keenam. FK UI. Jakarta. 2009.p231-6.
12. Bansal, Mohan. “Laryngeal Symptoms and Examination.” In disease of Ear,
Nose, and Throat Head and Neck Surgery. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. 2013;p467-476.
23
13. Vocal Cord Paralysis. Tersedia dari:
http://emedicine.medscape.com/article/863779-overview.Diakses pada: 23
mei 2018.
24