You are on page 1of 10

2.5.

Tatalaksana Tinea

Secara garis besar, dapat dijelaskan bahwa Mekanisme kerja obat antijamur adalah
dengan mempengaruhi sterol membran plasma sel jamur, sintesis asam nukleat
jamur, dan dinding sel jamur yaitu kitin, β glukan, dan mannooprotein.
a. Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol
Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran sel jamur
dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding membran sel jamur.
Kerja obat antijamur secara langsung (golongan polien) adalah menghambat
sintesis ergosterol dimana obat ini mengikat secara langsung ergosterol dan
channel ion di membran sel jamur, hal ini menyebabkan gangguan permeabilitas
berupa kebocoran ion kalium dan menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja
antijamur secara tidak langsung (golongan azol) adalah mengganggu biosintesis
ergosterol dengan cara mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur sitokrom
P450 (demetilasi prekursor ergosterol).

a. Sintesis asam nukleat


Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah dengan cara
menterminasi secara dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis DNA. Sebagai
contoh obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5
flusitosin (5 FC), dimana 5 FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui sitosin
permease. Di dalam sel jamur 5 FC diubah menjadi 5 fluoro uridin trifosfat yang
menyebabkan terminasi dini rantai RNA. Trifosfat ini juga akan berubah
menjadi 5 fuoro deoksiuridin monofosfat yang akan menghambat timidilat
sintetase sehingga memutus sintesis DNA.

b. Unsur utama dinding sel jamur : glukans


Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas mannoproteins,
kitin, dan α dan β glukan yang menyelenggarakan berbagai fungsi, diantaranya
menjaga rigiditas dan bentuk sel, metabolisme, pertukaran ion pada membran
sel. Sebagai unsur penyangga adalah β glukan. Obat antijamur seperti golongan
ekinokandin menghambat pembentukan β1,3 glukan tetapi tidak secara
kompetitif. Sehingga apabila β glukan tidak terbentuk, integritas struktural dan
morfologi sel jamur akan mengalami lisis.
Berdasarkan lokasi tinea yang dialami pasien, tatalaksana yang diberikan yaitu:
a. Tinea Unguium
Pengobatan tergantung jenis klinis, jamur penyebab, jumlah kuku yang terinfeksi,
dan tingkat keparahan keterlibatan kuku. Pengobatan sistemik selalu diperlukan
pada pengobatan subtipe OSP (Onikomikosis Subungual Proksimal) dan subtipe
OSD (Onikomikosis Subungual Distal) yang melibatkan daerah lunula. OSPT
(Onikomikosis Superfisial Putih) dan OSD (Onikomikosis Subungual Distal)
yang terbatas pada distal kuku dapat diobati dengan agen topikal. Kombinasi
pengobatan sistemik dan topikal akan meningkatkan kesembuhan. Tingkat
kekambuhan tetap tinggi, bahkan dengan obat-obat baru, sehingga dibutuhkan
kerjasama yang baik antara pasien dan tenaga kesehatan.

British Association of Dermatologists menerbitkan pedoman diperbarui yang


akan dibahas berikut ini.
1. Antijamur Topikal
Struktur keras keratin dan kompak kuku menghalangi difusi obat topikal ke
dalam dan melalui lempeng kuku. Konsentrasi obat topikal dapat berkurang
1000 kali dari luar ke dalam. Penggunaan agen topikal harus dibatasi pada
kasus-kasus yang melibatkan kurang dari setengah lempeng kuku distal atau
jika tidak dapat mentoleransi pengobatan sistemik. Agen yang tersedia
termasuk amorolfine, ciclopirox, tioconazole, dan efinaconazole.

 Amorolfine (Strength of Recommendation D; Level of Evidence 3)


Amorolfine termasuk obat antijamur golongan morpholine sintetis dengan
spektrum fungisida yang luas. Obat ini menghambat enzim delta 14
reduktase dan delta 8 dan delta 7 isomerase dalam jalur biosintesis
ergosterol dan bersifat fungisida terhadap C. Albicans dan T.
mentagrophytes. Obat ini dioleskan pada kuku yang terkena sekali atau
dua kali seminggu selama 6-12 bulan. Amorolfine telah terbukti efektif
pada sekitar 50% kasus infeksi jamur kuku distal. Efek samping lacquer
amorolfine jarang dan terbatas, berupa rasa terbakar, pruritus, dan eritema.
 Ciclopirox (SoR D; LoE 3).
Ciclopirox merupakan turunan hydroxypyridone dengan aktivitas
antijamur spektrum luas terhadap T. rubrum, S. brevicaulis, dan Candida
spesies. Obat dioleskan pada kuku sekali sehari selama 48 minggu.
Ciclopirox sekali sehari terbukti lebih efektif daripada plasebo (34%
ciclopirox vs 10% plasebo). Durasi pengobatan yang dianjurkan adalah
hingga 24 minggu untuk kuku tangan dan sampai 48 minggu untuk kuku
kaki. Tidak ada uji klinik yang membandingkan amorolfine dengan
ciclopirox untuk onikomikosis. Efek samping yang sering adalah eritema
periungual dan lipat kuku.

 Tioconazole (SoR D; LoE 3).


Tioconazole adalah antijamur imidazole, tersedia sebagai larutan 28%.
Dalam sebuah studi terbuka atas 27 pasien onikomikosis, kesembuhan
klinik dan mikologi dicapai pada 22% pasien. Efek samping yang sering
adalah dermatitis kontak alergi.

 Eficonazole (SoR D; LoE 3).


Eficonazole 10% adalah obat antijamur golongan triazole. Obat ini
diaplikasikan sekali sehari pada kuku. Sebuah uji klinik barubaru ini
menunjukkan bahwa eficonazole menghasilkan tingkat kesembuhan
mikologi mendekati 50% dan kesembuhan klinik mencapai 15% setelah
48 minggu aplikasi.

2. Pengobatan Sistemik
Obat sistemik utama yang diindikasikan dan secara luas digunakan untuk
pengobatan onikomikosis adalah terbinafine dan itraconazole. Griseofulvin
juga diindikasikan, tetapi lebih jarang digunakan.

 Griseofulvin (SoR C; LoE 2+)


Griseofulvin adalah obat fungistatik lemah, bertindak menghambat
sintesis asam nukleat dan menghambat sintesis dinding sel jamur. Pada
orang dewasa, dosis yang dianjurkan adalah 500-1000 mg per hari selama
6-9 bulan untuk infeksi kuku tangan dan 12-18 bulan untuk infeksi kuku
kaki. Sebaiknya dikonsumsi dengan makanan berlemak untuk
meningkatkan penyerapan dan bioavailabilitas. Tingkat kesembuhan
mikologi untuk infeksi kuku hanya 30-40%. Efek samping antara lain
mual dan ruam kulit pada 8-15% pasien. Uji klinik yang membandingkan
terapi griseofulvin dengan terbinafine dan itraconazole menunjukkan
bahwa tingkat kesembuhan griseofulvin lebih rendah dari terbinafine dan
itraconazole. Griseofulvin memiliki beberapa keterbatasan termasuk
kesembuhan lebih rendah, durasi pengobatan panjang, risiko interaksi obat
yang lebih besar dibandingkan obat antijamur yang lebih baru. Oleh
karena itu, griseofulvin tidak lagi menjadi pilihan kecuali obat lain tidak
tersedia atau kontraindikasi.

 Terbinafine (SoR A; LoE 1+)


Terbinafine bekerja menghambat enzim squalene epoxidase yang penting
untuk biosintesis ergosterol, komponen integral dinding sel jamur. Lebih
dari 70% terbinafine diserap setelah pemberian oral, dan tidak terpengaruh
asupan makanan. Terbinafine dimetabolisme sebagian besar melalui ginjal
dan diekskresikan dalam urin. Terbinafine sangat lipofilik, sehingga
terdistribusi dengan baik di kulit dan kuku. Pengobatan biasanya dengan
dosis 250 mg per hari selama 6 bulan untuk infeksi jamur kuku tangan dan
12 bulan untuk infeksi jamur kuku kaki. Terbinafine memiliki efek
fungisida yang luas dan kuat terhadap dermatofita, terutama T. rubrum
dan T. mentagrophytes, tetapi memiliki aktivitas fungistatik rendah
terhadap spesies Candida dibandingkan golongan azole. Sebuah penelitian
surveilans postmarketing mengungkapkan bahwa efek samping yang
paling umum adalah gastrointestinal (4 - 9%) seperti mual, diare, atau
gangguan rasa, dan dermatologis (2 - 3%) seperti ruam, pruritus, urtikaria,
atau eksim.

 Itraconazole (SoR A; LoE 1+)


Itraconazole aktif terhadap berbagai jamur termasuk ragi dan dermatofita.
Mekanisme kerja itraconazole sama dengan antijamur azole lainnya, yaitu
menghambat mediasi sitokrom P450 oksidase untuk sintesis ergosterol,
yang diperlukan untuk dinding sel jamur. Itraconazole diserap optimal
pada pemberian bersama makanan dan pH asam. Obat ini sangat lipofilik
dan dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 3A4, yang meningkatkan
risiko interaksi dengan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim ini.
Seperti terbinafine, obat ini dikonsumsi sekali sehari (200 mg per dosis)
selama 6 bulan untuk infeksi jamur kuku tangan dan selama 9 bulan untuk
infeksi jamur kuku kaki.

3. Laser
Onikomikosis banyak terjadi pada pasien dengan beberapa penyakit sistemik
lain yang sulit diberi obat antijamur sistemik jangka panjang. Terapi laser
merupakan salah satu pilihan terapi.

Terapi laser sejak tahun 2010 diteliti baik secara in vitro maupun in vivo.
Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui beberapa jenis laser
untuk onikomikosis, di antaranya: PinPointeTM FootLaserTM (PinPointe
USA, Inc.), Cutera GenesisPlusTM (Cutera, Inc.), Q-ClearTM (Light Age,
Inc.), CoolTouch VARIATM (CoolTouch, Inc.), dan JOULE ClearSenseTM
(Sciton, Inc.). Laser mempunyai efek bakterisidal. Energi yang disalurkan
menyebabkan hipertermia lokal, destruksi mikroorganisme patogen, dan
stimulasi proses penyembuhan. Energi laser bekerja melalui mekanisme
denaturasi molekul, baik total maupun parsial pada organisme patogen.30
Energi laser menghasilkan reaksi fotobiologi atau fotokimia yang merusak sel
patogen atau melalui mekanisme yang memicu respons imun yang menyerang
organisme patogen. Mekanisme kerja laser pada onikomikosis belum
diketahui dengan pasti. Diduga berdasarkan prinsip fototermolisis selektif.
Absorpsi laser tidak sama antara infeksi jamur dan jaringan sekitarnya,
menyebabkan konversi energi tersebut menjadi energi panas atau mekanik.

Hasil penelitian menunjukkan laser dapat memberikan “perbaikan sementara


pada kasus onikomikosis”. Laser belum dikatakan sebagai terapi
onikomikosis serta masih sedikit penelitian mengenai peran laser pada
onikomikosis. Laser yang banyak digunakan pada penelitian onikomikosis
antara lain Nd:YAG, titanium safir (Ti:Sapphire), dan laser diode. Energi
laser dapat diberikan secara terpulsasi untuk menghasilkan energi yang lebih
besar dalam waktu lebih singkat. Durasi pulsasi mulai dari milidetik (10-3
detik) sampai femtodetik (10-15 detik) telah dipelajari penggunaannya pada
kasus onikomikosis.

b. Tinea Kapitis
1. Topikal
Tidak disarankan bila hanya terapi topikal saja. Rambut dicuci dengan sampo
antimikotik: selenium sulfida 1% dan 2,5% 2- 4 kali/minggu atau sampo
ketokonazol 2% 2 hari sekali selama 2-4 minggu.
2. Sistemik
 Spesies Microsporum
 Obat pilihan: griseofulvin fine particle/microsize 20-25 mg/kgBB/hari
dan ultramicrosize 10-15 mg/kgBB/hari selama 8 minggu.
 Alternatif: Itrakonazol 50-100 mg/hari atau 5 mg/kgBB/hari selama 6
minggu, atau terbinafin 62,5 mg/hari untuk BB 10-20 kg, 125 mg
untuk BB 20-40 kg dan 250 mg/hari untuk BB >40 kg selama 4
minggu.
 Spesies Trichophyton:
 Obat pilihan: terbinafin 62,5 mg/hari untuk BB 10-20 kg, 125 mg
untuk BB 20-40 kg dan 250 mg/hari untuk BB >40 kg selama 2-4
minggu.
 Alternatif : Griseofulvin 8 minggu, itrakonazol 2 minggu, atau
flukonazol 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu.

c. Tinea Korporis dan Kruris


1. Topikal
 Obat pilihan: golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin) sekali sehari
selama 1-2 minggu.
 Alternatif Golongan azol: misalnya, krim mikonazol, ketokonazol,
klotrimazol 2 kali sehari selama 4-6 minggu.
2. Sistemik
Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi
 Obat pilihan: terbinafin oral 1x250 mg/hari (hingga klinis membaik dan
hasil pemeriksaan laboratorium negatif) selama 2 minggu
 Alternatif: itrakonazol 2x100 mg/hari selama 2 minggu, griseofulvin oral
500 mg/hari atau 10-25 mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu, atau
ketokonazol 200 mg/hari

d. Tinea Imbrikata
 Terbinafin 62,5-250 mg/hari (tergantung berat badan) selama 4-6 minggu.
 Griseofulvin microsize 10-20 mg/kgBB/hari selama 6-8 minggu.

e. Tinea Pedis
1. Topikal
 Obat pilihan: golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin**) sekali
sehari selama 1-2 minggu.
 Alternatif: Golongan azol: misalnya, krim mikonazol, ketokonazol,
klotrimazol 2 kali sehari selama 4-6 minggu. 14-15, siklopiroksolamin
(ciclopirox gel 0,77% atau krim 1%) 2 kali sehari selama 4 minggu untuk
tinea pedis dan tinea interdigitalis.
2. Sistemik
 Obat pilihan: terbinafin 250 mg/hari selama 2 minggu. Anak-anak 5
mg/kgBB/hari selama 2 minggu.
 Alternatif: itrakonazol 2x100 mg/hari selama 3 minggu atau 100 mg/hari
selama 4 minggu.

2.6. Edukasi kasus Tinea


Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa kebersihan pribadi yang sederhana dan
pendidikan kesehetan yang baik tanpa obat lebih efektif dan lebih murah daripada
menggunakan farmakoterapi seperti griseofulvin dalam pengobatan tinea cruris.
Beberapa edukasi yang dapat diberikan pada pasien dengan tinea adalah:
a. Menjaga kebersihan diri.
b. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat.
c. Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat.
d. Pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum menutup area yang rentan terinfeksi
jamur.
e. Gunakan sandal atau sepatu yang lebar dan keringkan jari kaki setelah mandi.
f. Hindari penggunaan handuk atau pakaian bergantian dengan orang lain. Cuci
handuk yang kemungkinan terkontaminasi.
g. Skrining keluarga
h. Tatalaksana linen infeksius: pakaian, sprei, handuk dan linen lainnya direndam
dengan sodium hipoklorit 2% untuk membunuh jamur atau menggunakan
disinfektan lain
i. Menenangkan pasien dengan menjelaskan bahwa kasus tinea bila diobati dengan
benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh, kecuali bila terpajan ulang
dengan jamur penyebab.Tinea pedis menjadi kronik dan rekuren bila sumber
penularan terus menerus ada.
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad functionam : bonam
 Quo ad sanactionam : bonam

2.7. Kasus Tinea


Beberapa kasus tinea yang dapat ditemui:
a. Seorang pria usian 35 th mengeluh gatal di selangkangan sejak 1 bulan, gatal
bertambah saat berkeringat, pada pemeriksaan di dapatkan makula eritema
berbatas tegas degan tepi aktif terdiri dari vesikel dan papul dan di tengah lesi
tampak central healing, diagnosis klinisnya adalah: tinea kruris.
b. Seorang perempuan berusia 24 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan gatal-
gatal di lipat paha sejak 1 minggu yang lalu. Gatal semakin bertambah bila
berkeringat. Pemeriksaan fisik didapatkan makula eritema, dengan tepi polisiklik,
tepi terdapat papul dan vesikel, dengan skuama dan central healing pada daerah
lipatan paha, perineum, dan perianal. Diagnosis yang tepat adalah: tinea kruris.
c. Pasien datang dengan keluhan gatal-gatal pada lengan bawah. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan lesi berbatas tegas, central healing dan dipinggir papul eritema.
Maka berdasarkan hal tersebut diatas,diagnosis yang tepat adalah: tinea korporis.
DAFTAR PUSTAKA
Ameen M, Lear JT, Madan V, Mohd Mustapa MF, Richardson M. British Association of
Dermatologists’ guidelines for the management of onychomycosis 2014. Br J
Dermatol. 2014;171(5):937–58.
Anugrah, Radityo. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Onikomikosis. CDK 43(9): 675-678.
Kaltsum, Ummi. 2014. Pendekatan Holistik Penatalaksanaan Dermatofitosis (Tinea Manum
Dekstra, Tinea Korporis, dan Tinea Cruris Sinistra) pada Wanita Usia 43 Tahun
Dengan Pekerjaan Buruh Cuci Harian. J Medula Unila. 3 (1): 135-142.
Widaty, Sandra, dkk. 2017. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
di Indonesia. Jakarta: Perdoski.

You might also like