You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi
mukosa. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia
anak-anak hingga usia lanjut. Bila ada polip pada anak di bawah usia 2 tahun,
harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau meningoensefalokel.1
Angka kejadian polip hidung secara pasti belum diketahui. Penelitian di
Eropa Timur melaporkan prevalensi polip hidung dengan sinusitis maksilaris
1,3%, sedangkan Amerika Utara diperkirakan 1 – 4%. Polip hidung dapat timbul
pada semua umur tetapi umumnya dijumpai pada penderita dewasa muda berusia
antara 30 – 60 tahun, sedangkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan
adalah 2 – 4 : 1 dan tidak ada kekhususan ras pada kejadian polip hidung. Dulu
diduga predisposisi timbulnya polip nasi adalah adanya rhinitis alergi atau
penyakit atopi, tetapi makin banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori
dan para ahli sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum
diketahui dengan pasti.1,2
Gejala utama polip hidung adalah sumbatan hidung dan hilangnya sensasi
bau. Berat ringannya tergantung besar kecilnya polip, atau pada saat mendapat
serangan radang atau alergi. Rinore biasanya encer atau mukopurulen bila ada
infeksi, dan dapat menetes ke belakang sebagai post nasal drip. Keluhan sering
disertai bersin-bersin bila latar belakang alergi yang mendasarinya. Infeksi sinus
paranasal dapat terjadi bersamaan dengan polip hidung. Terdapat beberapa pilihan
pengobatan untuk polip hidung mulai dari pemberian obat-obatan, pembedahan
konvensional sederhana dengan menggunakan snare polip sampai pada bedah
endoskopi. 1,2
Pada laporan kasus ini penulis akan menjabarkan mengenai kasus Polip
nasi pada seorang laki - laki berusia 41 tahun yang ditemukan di Poliklinik THT
RSUP NTB pada tanggal 18 Oktober 2017.

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung
Hidung dibagi atas:3,4
a. Hidung bagian luar
b. Hidung bagian dalam
c. Sinus paranasalis
Hidung bagian luar3,4
Bentuk hidung bagian luar menyerupai piramid, puncaknya dikenal
sebagai tip atau apex. Dari tip membentang ke atas dan di belakang disebut
dorsum nasi, yang kemudian bersatu dengan os frontale membentuk radix nasi.
Columella adalah bagian yang turun ke depan bawah tip ke bibir atas. Pada sisi
kanan dan kiri, yang dibatasi dari lateral oleh alaenasi, dan dari inferior oleh alaris
nasi.
Rangka hidung bagian proximal dibentuk oleh rangka tulang, bagian distal
oleh rangka tulang rawan, sehingga bagian proximal lebih kokoh dan sukar
digerakkan. Kerangka tulang ini merupakan kesatuan dari os nasale dan processus
frontalis maxillae. Bagian tulang rawan terdiri dari cartilago septi nasi, yang
memegang peranan menentukan tinggi rendahnya hidung seseorang. Sedangkan
puncak hidung (tip) dibentuk oleh septalangle dan cartila alaris mayor.
Kerangka tulang dan tulang rawan ini terikat erat satu sama lain oleh jaringan ikat
yang kuat. Otot-otot tipis yang melapisi hidung bagian luar terdiri dari otot-otot
dilatator dan otot-otot konstriktor. Kulit yang melapisi hidung bagian proximal
lebih tipis dan lebih longgar hubungannya dengan jaringan ikat dan tulang di
bawahnya; sedangkan di bagian distal lebih tebal dan lebih erat hubungannya
dengan jaringan dan tulang rawan di bawahnya. Bagian distal ini juga banyak
mengandung kelenjar-kelenjar sebaciuus. Vestibulumnasi termasuk hidung bagian
luar, karena diisi oleh kulit dan mengandung kelenjar-kelenjar sebacious dan
vibrisae.
Hidung bagian dalam3,4
Terdiri dari cavum nasi yang berbentuk terowongan yang menyerupai
piramid, dipisahkan menjadi dua bagian kiri dan kanan oleh septum nasi. Pintu

2
depan dari cavum nasi disebut neres anterior, cavum nasi berhubungan langsung
ke belakang dengan nasopharynx melalui choanae atau nares posterior. Cavum
nasi itu terdiri dari dinding-dinding lateral, medial, atap dan dasar cavum nasi.
a. Dinding lateral. Bagian ini merupakan bagian yang amat penting dan
kompleks dari cavum nasi, karena ada hubungan langsung dengan sinus-
paranasalis. Pada dinding ini terdapat tiga conchae nasalis, yakni conchae
nasalis inferior, conchae nasalis media, dan conchae nasalis superior. Conchae
nasalis inferior merupakan tulang yang berdiri sendiri, sedangkan conchae
nasalis media dan conchae nasalis superior merupakan bagian dari tulang
othmoidalis. Di antara ketiga conchae nasalis ini terbentuk celah-celah yang
masing-masing kita kenal sebaai meatus nasi inferior, meatus nasi media yang
letaknya antara conchae inferior dan conchae media, dan meatus superior yang
letaknya antara conchae media dengan conchae superior.
Pada meatus inferior terdapat muara dari ductus nasolacrimalis yang
menghubungkan saccus lacrimalis dengan cavum nasi. Pada meatus medius
dimana terdapat hiatus semilunaris bermuara ketiga ostia dari sinus frontalis,
ostium sinus ethmoidalis anterior dan ostium sinus maxillaris.
Pada meatus nasi posterior terdapat ostia dari sinus paranasalis
kelompok belakang, yakni ostium sinus othmoidalis posterior dan ostium dari
sinus sphenoidalis. Atas dasar hubungan anatomis ini, maka setiap adanya
kelainan pada meatus nasi medius, kita harus pikirkan kemungkinan
hubungannya dengan kelainan dalam sinus paranasalis kelompok depan
sedangkan kelainan pada meatus nasi superior kita harus pikirkan
kemungkinan adanya kelainan dalam sinus paranasalis kelompok belakang.
b. Dinding medial. Dinding medial cavum nasi adalah septum nasi yang
membagi cavum nasi atas dua bagian yang kurang lebih sama besarnya.
Septum ini dibentuk oleh lamina perpendicularis ossis ethmoidalis yang
merupakan lempeng tulang yang tipis yang menempati bagian belakang atas
dari septum nasi; cartilago septi nasi (cartilago quadrilateral) yang terletak di
depan, dan vomer yang merupakan tulang yang terletak di belakang bawah
dari septum nasi. Kerangka septum ini dilapisi oleh mukosa yang pada

3
umumnya tebalnya tak teratur. Septum nasi pada seorang dewasa jarang yang
benar-benar lurus, pada umumnya ada deviasi ringan, yang berupa obstruksi
nasi (akan dibicarakan pada bagian patologi).
c. Atap. Atap cavum nasi merupakan bagian yang tertinggi dan tersempit, dari
depan ke belakang terdiri dari os nasale, processus nasalis os frontalis, corpus
ethmoidalis, corpus sphenoidalis. Lamina eribrosa dari ethmoid membentuk
sebagian besar dari atap cavum nasi, atap dari cavum nasi ini hanya dibatasi
oleh tulang yang tipis dengan fossa cranii anterior, sehingga kalau terdapat
fraktur pada lamina eribrosa, akan terbuka jalan ke fossa cranii anterior
dengan segala akibatnya.
d. Dasar cavum nasi. Merupakan atap dari rongga mulut. 2/3 bagian depan
dibentuk oleh pars palatina os maxillae, 1/3 belakang oleh pars horizontalis os
palatina.
Batas – batas kavum nasi :
 Posterior : berhubungan dengan nasofaring
 Atap: os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale
dan sebagian os vomer
 Lantai: merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horizontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap.
Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
 Medial: septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan
(dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi
oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari
septum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars
membranosa = kolumna = kolumela.
 Lateral: dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os
etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.

Sinus Paranasalis3,4
Sinus paranasalis adalah rongga-rongga berisi udara dalam tengkorak,
yang dilapisi oleh lanjutan mukosa cavum nasi paranasalis pada kedua sisi kiri

4
dan kanan. Untuk memudahkan pengertian dalam klinik, kita bagi sinus
paranasalis dalam dua bagian atau kelompok, yakni kelompok depan dan
kelompok belakang. Sinus paranasalis kelompok depan terdiri atas: sinus
frontalis, sinus maxillaris dan sinus ethmoidalis anterior, kelompok belakang
terdiri dari sinus ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis. Ostia dari sinus
paranasalis kelompok depan bermuara pada hiatus semilunaris dalam meatus nasi
media; sedangkan kelompok belakang bermuara pada meatus nasi superior.
Dari riwayat pembentukannya, hampir semua sinus paranasalis dimulai
sebagai evaginasi (outpocketings) dari selaput lendir meatus nasi, kecuali sinus
sphenoidalis sebagai hasil penguncupan (contriction) dari bagian posterior
superior mukosa cavum nasi, pada bulan ke-3 dan ke-4 dari kehidupan fetus.
Semua sinus-sinus ini melanjutkan perkembangannya sesudah lahir, tetapi
sinus ethmoidalis telah mempunyai bentuk yang paling lengkap, diusul oleh sinus
maxillaris, sedangkan sinus sphenoidalis masih amat kecil dan sinus frontalis
masih belum terbentuk waktu bayi lahir. Sinus frontalis ini pembentukannya amat
terlambat, kurang lebih pada umur 6 tahun dimulai dengan extensi langsung dari
satu atau lebih sel-sel ethmoidalis anterior.
a. Sinus Maxillaris. Disebut juga antrum high more merupakan sinus yang
terbesar ukurannya, pada orang dewasa kurang lebih berukuran 15 cc dan terletak
seluruhnya dalam tulang maxilla. Dinding depan sedikit cekung dan tipis kita
kenal sebagai fossa canina. Di bagian atas tengah dari dinding depan kurang lebih
7 – 8 mm garis infra orbitalis terdapat foramen infra orbitalis dimana berjalan n.
infra orbitalis yang memberi cabang-cabangnya menjadi n. dentalis anterior dan
superior.
Dinding atas atau atap dari sinus maxillaris merupakan dasar dari orbita
pada dinding terdapat canalis infra orbitalis. Dinding belakang dan bawah bersatu,
merupakan permukaan yang lengkung, n. dentalis posteriores yang merupakan
cabang-cabang dari n. maxillaris berjalan dari atas melalui dinding belakang terus
ke bawah ke gigi molar atas.

5
Dinding medial atau dinding naso antral dibagi dalam dua segment, yakni
segment depan bawah setinggi meatus nasi inferior dan segment belakang atas
setinggi meatus nasi media, dimana bermuara ostium sinus maxillaris.
Dasar sinus maxillaris, dibentuk oleh processus alveolaris dan palatum
durum. Pada anak-anak dasar sinus maxillaris ini setinggi atau sedikit lebih tinggi
dari dasar cavum nasi. Sedangkan pada orang dewasa dasar sinus maxillaris
sedikit lebih rendah dari dasar cavum nasi sehingga dasar-dasar dari gigi atas
kadang-kadang dapat masuk ke dalam sinus maxillaris. Atas dasar hubungan
anatomis ini, maka sinusitis maxillaris dentogen lebih sering terdapat pada orang
dewasa daripada anak-anak.
b. Sinus Ethmoidalis. Terdiri dari 7 – 15 rongga-rongga yang dibatasi oleh
dinding yang sangat tipis, yang bentuknya menyerupai sarang tawon, dan terletak
di dalam massa lateral dari tulang ethmoid. Kalau pneumatisasi luas, maka sel-sel
dari sinus ethmoidalis dapat masuk ke dalam tulang sekitarnya, misalnya ke
tulang frontalis, maxillaris, dan sphonoidalis. Sinus ethmoidalis ini kita bagi
dalam dua kelompok, yakni sinus ethmoidalis anterior dan posterior.
Sinus ethmoidalis anterior bentuk sel-selnya lebih kecil, tetapi jumlahnya
lebih banyak, sedangkan sinus ethmoidalis posterior sel-selnya lebih besar dan
jumlahnya lebih sedikit.
Sinus ethmoidalis anterior ostiumnya bermuara pada meatus nasi media,
sedang sinus ethmoidalis posterior ostiumnya bermuara pada meatus nasi superior.
Topografi. Batas atas terdapat fosa cranii anterior, yang hanya dipisahkan
oleh tulang yang tipis dari sel ethmoid.
Bilateral dipisahkan dengan orbita oleh lamina papiracea yang sangat tipi,
sedangkan n. opticus bisa amat berdekatan dengan sel-sel sinus othmoidalis
posterior.
c. Sinus Frontalis. Sinus frontalis ini belum terbentuk waktu anak lahir,
pembentukannya dimulai pada anak umur 6 tahun, yang dianggap sebagai extensi
langsung dari satu atau lebih sel-sel othmoidalis anterior ke dalam os frontalis.
Dalam perkembangannya sinus frontalis mempunyai berbagai bentuk, kurang
lebih 5% dari orang dewasa yang tak mempunyai sinus frontalis. Kedua sinus ini

6
kiri dan kanan biasanya tak simetris, kadang-kadang yang satu lebih besar dan
overlapping ke sisi yang lain.
Dinding belakang dan atap dari sinus frontalis berbatasan dengan fosa
oranii anterior, sedangkan dasarnya dengan orbita.
d. Sinus Sphenoidalis. Terletak di belakang atas cavum nasi di dalam corpus
sphenoidalis. Kadang-kadang menempati sampai alas sphenoidalis dan processus
pterigoideus dari os sphenoidalis. Ukuran rata-rata pada orang dewasa sebesar 7
cc, kiri kanan jarang simetris dipisahkan oleh septum yang sangat tupis dan
kadang-kadang septum tak terbentuk dengan baik. Ostiumnya terletak pada
dinding depan atas dari sinus dan bermuara pada meatus nasi superior.
Topografi. Lateral terdapat sinus cavernosus, a. carotis interna dan n.
opticus. Cranii terdapat hypophyso, chiasma opticus, traktus olfaktorius dan lobus
frontalis cerebri.
Anterior inferior berjalan syaraf-syaraf dan pembuluh darah yang keluar
dari foramen sphenopalatina waktu menuju ke septum nasi.

7
Konka Nasi3
Persyarafan3,4
Persyarafan dari cavum nasi berasal dari cabang pertama dan cabang kedua dari n.
trigeminus. Cabang pertama dari n. trigeminus yakni n. ophthalmicus membawa
serabut-serabut afferent ke bagian depan dan bawah cavum nasi. Cabang kedua
dari n. trigemanus yakni n. maxillaris membawa serabut-serabut afferent ke
bawah dan belakang dari cavum nasi, dengan melalui ganglion sphenopalatina.
Ganglion ini mempunyai arti klinik penting pada cavum nasi. Serabut-serabut
offerent dari n. maxillaris juga menerima serabut-serabut parasympathis dari n.
petrosius superfacialis mayus, dan seravi petrosus ini bersatu membentuk n.
vidianus sebelum sampai pada ganglion sphenopalatina (lihat gambar).
Letak dari ganglion di dalam fossa pterigopalatina berdekatan dengan
foramen sphenoplatina, sehingga mudah dicapai dalam pemberian lokal
anesthesia, karena foramen sphenopalatina letaknya tepat di belakang atas ujung
belakang dari conchae media.
Mukosa sinus paranalis menerima serabut-serabut sensoris melalui ostia
sinus paranasalis masing-masing.
Vaskularisasi3,4
A. Sphenopalatina cabang dari a. maxillaris interna mensuplai darah ke
bagian belakang atas cavum nasi, kemudian berjalan ke depan septum nasi dan ke
lateral ke conchae nasalis.
A. Ethmoidalis anterior dan posterior merupakan cabang dari a. opthalnica
yang berasal dari a. carotis internal yang memberi darah pada atap dari cavum
nasi, sinus ethmoidalis dan sinus frontalis.
A. Labialis superior merupakan cabang dari a. maxillaris externa, naik dari
bibir atas ke bagian depan dari septum nasi dan vestibulum nasi.
A. Palatina decedens cabang dari a. maxillaris interna yang melewati
canalis incisivus beranastomose dengan a. sphenopalatina. Pembuluh-pembuluh
ini beranastomose membentuk plexus Kieselbach yang terletak di anterior inferior
septum nasi, yang juga disebut Little’s area.

8
A. Infra orbitalis dan dentalis superior, cabang dari a. maxillaris interna
memberi darah ke sinus maxillaris. Cabang pharyngeal dari a. maxillaris interna
memberi darah ke sinus sphenoidalis. Sedangkan sinus frontalis dan sinus
ethmoidalis diperdarahi oleh a. ethmoidalis anterior dan posterior.
Mukosa Hidung3,4
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang
terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut
lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Silia yang terdapat pada
permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang
teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri
dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan
obat-obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.
2.2 Fisiologi dan Fungsi hidung1,2
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
etinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,

9
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi,
udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama
seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah,
sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung
dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan
cara:
 Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.
 Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang
luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan
demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37oC.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh :
 Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
 Silia
 Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh
gerakan silia.
 Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian

10
atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle
turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau
tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
2.3 POLIP NASI
DEFINISI
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi
mukosa. Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel
dan dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan
tumbuh ke arah belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koana. Polip
koana (polip antrum koana) adalah polip yang besar dalam nasofaring dan berasal
dari antrum sinus maksila. Polip ini keluar melalui ostium sinus maksila dan
ostium asesorisnya lalu masuk ke dalam rongga hidung kemudian lanjut ke koana
dan membesar dalam nasofaring.1,2
ETIOLOGI
Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi adalah adanya rhinitis alergi
atau penyakit atopi, tetapi makin banyak penelitian yang mengemukakan berbagai
teori dan para ahli sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih
belum diketahui dengan pasti. 1,2

11
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitifitas atau
reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip
hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu – raguan bahwa infeksi
dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan
adanya polip. Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
Alergi terutama rinitis alergi, sinusitis kronik, iritasi, sumbatan hidung oleh
kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka, peradangan mukosa
hidung dan sinus paranasal yang kronik dan berulang, gangguan keseimbangan
vasomotor dan edema.1,2
EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian polip hidung secara pasti belum diketahui. Penelitian di
Eropa Timur melaporkan prevalensi polip hidung dengan sinusitis maksilaris
1,3%, sedangkan di Amerika Utara diperkirakan 1 – 4%. Polip hidung dapat
timbul pada semua umur tetapi umumnya dijumpai pada penderita dewasa muda
berusia antara 30 – 60 tahun, sedangkan perbandingan antara laki-laki dan
perempuan adalah 2 – 4 : 1 dan tidak ada kekhususan ras pada kejadian polip
hidung.1,2
PATOFISIOLOGI1,2,5
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik,
disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Brenstein, terjadi
perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang bertubulensi,
terutama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa
yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi
peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi
air sehingga terbentuk polip.1,2
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbngan saraf vasomotor, terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang
menyebabkan edema dan lama kelamaan menjadi polip. Bila proses terus
berlanjut, mukosa yang sembab semakin membesar menjadi polip dan kemudian
akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.1,2

12
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan
terdapat di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan
interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil), sehingga mukosa yang
sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin
membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat
sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip.1,2
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab
tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama,
vasodilatasi dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa.
Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya
membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila,
kemudian sinus etmoid. Setelah polip terus membesar di antrum, akan turun ke
kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang
yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada
rinitis alergi terutama rinitis alergi perenial yang banyak terdapat di Indonesia
karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun.
Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa
menyebabkan obstruksi di meatus medial.1,2
MANIFESTASI KLINIS
Gejala utama dari polip nasi adalah sumbatan hidung yang menetap
dengan derajat yang bervariasi tergantung dengan lokasi dan ukuran polip.
Umumnya, penderita juga mengeluh rinore cair dan post nasal drip. Anosmia atau
hiposmia dengan gangguan pengecapan juga merupakan gejala polip nasi.
Rinoskopi anterior dan posterior dapat menunjukkan massa polipoid yang
berwarna keabuan pucat yang dapat berjumlah satu atau multipel dan paling
sering muncul dari meatus media dan prolaps ke kavum nasi. Massa tersebut
terdiri dari jaringan ikat longgar, sel inflamasi, dan beberapa kapiler serta kelenjar
dan ditutupi oleh epitel berlapis semu bersilia (ciliated pseudostratified collumner
epithelium) dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Penelitian menunjukkan
bahwa eosinofil merupakan sel-sel inflamasi yang paling sering ditemukan pada

13
polip nasi. IL-5 yang menyebabkan eosinofil bertahan lama sehingga berdasarkan
histokimia polip nasi dapat dibedakan dengan rinosinusitis.1,2,5

DIAGNOSIS
 Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang ringan
sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia.
Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala daerah
frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore
purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara
sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Dapat
menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi,
terutama pada penderita polip nasi dengan asma. Selain itu harus ditanyakan
riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat lainnya
serta alergi makanan.1,2,5
 Pemeriksaan fisik
- Inspeksi
Terlihat deformitas hidung luar sehingga hidung tampak melebar
- Rhinoskopi anterior
Memperlihatkan massa translusen pada rongga hidung. Deformitas septum
membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak sekret mukus dan polip
multipel atau soliter. Polip kadang perlu dibedakan dengan konka nasi inferior,
yakni dengan cara memasukan kapas yang dibasahi dengan larutan efedrin 1%
(vasokonstriktor), konka nasi yang berisi banyak pembuluh darah akan mengecil,
sedangkan polip tidak mengecil. Polip dapat diobservasi berasal dari daerah sinus
etmoidalis, ostium sinus maksilaris atau dari septum.1,2,5

14
Polip Nasi2
- Rhinoskopi Posterior
Kadang - kadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada
kalanya berasal dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian superior, yang
menandakan adanya rinosinusitis
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997):
Stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius,
Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung,
Stadium 3 : polip yang masif, polip yang sudah menyebabkan obstruksi total.
 Naso-Endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus polip
yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan
rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus
polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium
asesorius sinus maksila.Untuk melihat polip yang masih kecil dan belum keluar
dari kompleks osteomeatal.1,2,5

Radiologi

15
Foto polos sinus paranasal (posisi waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermamfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer
(TK, CT scan) sangat bermamfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung
dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau
sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus
polip yang gagal diobati dengan terpai medikantosa, jika ada komplikasi dari
sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. 1,2,5
 Biopsi
Di anjurkan jika terdapat massa unilateral pada pasien berusia lanjut, menyerupai
keganasan pada penampakan makroskopis dan ada gambaran erosi tulang pada
foto polos rontgen.1,2,5
PENATALAKSANAAN
Pengobatannya berupa terapi obat-obatan dan operasi. Terapi
medikamentosa ditujukan pada polip yang masih kecil yaitu pemberian
kortikosteroid sistemik yang diberikan dalam jangka waktu singkat, dapat juga
diberiksan kortikosteroid hidung atau kombinasi keduanya.1,2,5
Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid : 1.
Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari, kemudian
dosis diturunkan perlahan – lahan (tappering off). 2. Suntikan intrapolip, misalnya
triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc, tiap 5 – 7 hari sekali, sampai
polipnya hilang. 3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid,
merupakan obat untuk rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai
lanjutan pengobatn kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil,
sehingga lebih aman.1,2,5
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan pembedahan.
Pembedahan dilakukan jika :
1. Polip menghalangi saluran nafas
2. Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus.
3. Polip berhubungan dengan tumor

16
4. Pada anak – anak dengan multipel polip atau rhinosiusitis kronik yang gagal
pengobatan dengan obat- obatan.
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip
(polipektomi) dengan menggunakan senar polip. Polipektomi merupakan tindakan
pengangkatan polip menggunakan senar polip dengan bantuan anestesi lokal,
untuk polip yang besar dan menyebabkan kelainan pada hidung, memerlukan
jenis operasi yang lebih besar dan anestesi umum. Kategori polip yang diangkat
adalah polip yang besar namun belum memadati rongga hidung. Polipektomi
sederhana cukup efektif untuk memperbaiki gejala pada hidung, khususnya pada
kasus polip

Polipektomi5
yang tersembunyi atau polip yang sedikit. Surgical micro debridement merupakan
prosedur yang lebih aman dan cepat, pemotongan jaringan lebih akurat dan
mengurangi perdarahan dengan visualisasi yang lebih baik. Etmoidektomi atau
bedah sinus endoskopi fungsional merupakan tindakan pengangkatan polip
sekaligus operasi sinus, merupakan teknik yang lebih baik yang tidak hanya
membuang polip tapi juga membuka celah di meatus media yang merupakan
tempat asal polip yang tersering sehingga akan membantu mengurangi angka
kekambuhan. Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang sangat besar,
berulang, dan jelas terdapat kelainan di kompleks osteomeatal. Antibiotik sebagai

17
terapi kombinasi pada polip hidung bisa kita berikan sebelum dan sesudah
operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk langkah profilaksis
pasca operasi.1,2,5

2.4 Rhinosinusitis
Definisi rinosinusitis kronik terbaru dinyatakan dalam makalah EP3OS
tahun 2007 yaitu suatu inflamasi pada (mukosa) hidung dan sinus paranasal,
berlangsung selama dua belas minggu atau lebih disertai dua atau lebih gejala
dimana salah satunya adalah buntu hidung (nasal blockage / obstruction /
congestion) atau nasal discharge (anterior / posterior nasal drip) :1
± nyeri fasial / pressure
± penurunan / hilangnya daya penciuman
dan dapat di dukung oleh pemeriksaan penunjang antara lain
1.1. Endoskopik, dimana terdapat : polip atau sekret mukopurulen yang
berasal dari meatus medius dan atau udem mukosa primer pada meatus
medius
1.2. CT – scan : perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan
atau sinus paranasal.
Berdasarkan definisi yang terakhir, dapat dilihat bahwa rinosinusitis dapat
dibedakan lagi menjadi kelompok dengan polip nasi dan kelompok tanpa polip
nasi. EP3OS 2007 menyatakan bahwa rinosinusitis kronik merupakan kelompok
primer sedangkan polip nasi merupakan subkategori dari rinosinusitis kronik.5,7,11
Alasan rasional rinosinusitis kronik dibedakan antara dengan polip dan tanpa
polip nasi berdasarkan pada beberapa studi yang menunjukkan adanya gambaran
patologi jaringan sinus dan konka media yang berbeda pada kedua kelompok
tersebut.11
Rinosinusitis (termasuk polip hidung) didefinisikan sebagai suatu
inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih
gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek
(sekret hidung anterior/ posterior): ± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah ±
penurunan/ hilangnya penghidu dan salah satu dari temuan nasoendoskopi:

18
- polip dan/ atau
- sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau
- edema/ obstruksi mukosa di meatus medius dan/ atau
• gambaran tomografi computer berupa perubahan mukosa di kompleks
osteomeatal dan/atau sinus.
Beratnya penyakit Penyakit ini dapat dibagi menjadi RINGAN, SEDANG
dan BERAT berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) (0-10 cm):
- RINGAN = VAS 0-3
- SEDANG = VAS > 3-7
- BERAT = VAS > 7-10

19
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. L
Umur : 41 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Alamat : Dompu
Pekerjaan :-
No.RM : 001920
Tanggal pemeriksaan : 18 Oktober 2017
3.2 Anamnesis
 Keluhan utama :
Hidung tersumbat
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poliklinik THT RSUDP NTB dengan keluhan kedua
hidung tersumbat dan bersin-bersin sejak 2 minggu yang lalu. Pasien mengaku
sering pilek dan batuk, pasien juga mengaku penciumannya terganggu, dan
terdapat riwayat demam yang hilang timbul. Saat ini pasien merasakan sering
keluar cairan berwarna hijau dari hidung.
 Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat pilek berulang diakui pasien sejak beberapa bulan terakhir, biasanya
cairan (ingus) yang keluar berwarna hijau dan agak kental. Riwayat penyakit lain
seperti asma, penyakit jantung, dan diabetes militus disangkal.
 Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial :
Tidak ada keluarga pasien yang pernah mengalami hal serupa dengan pasien.
Riwayat penyakit lain seperti asma, penyakit jantung, dan diabetes militus
disangkal.
 Riwayat Pengobatan : -
 Riwayat alergi : Riwayat alergi obat dan makanan disangkal.

3.4 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4V5M6

20
Tanda vital
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 88x/menit
RR : 19 x/menit
Suhu : 36,7ºC

3.5 Status Lokalis


Pemeriksaan Telinga
No. Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri

1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)

2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri tarik normal, hematoma (-), nyeri tarik
aurikula (-) aurikula (-)

3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), sekret (-) furunkel (-), edema (-), sekret (-)

4. Membran Retraksi (-), bulging (-), hiperemi Retraksi (-), bulging (-), hiperemi
timpani (-), edema (-), perforasi (-), cone (-), edema (-), perforasi (-), cone
of light (+) of light (+)

Pemeriksaan Hidung
Pemeriksaan
Hidung kanan Hidung kiri
Hidung

21
Bentuk (dbn), inflamasi (-), nyeri Bentuk (dbn), inflamasi (-), nyeri
tekan (+), deformitas (-) tekan (+), deformitas (-)
Hidung luar

Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi dbn, ulkus (-) dbn, ulkus (-)
Bentuk edema pada dorsum, Bentuk edema pada dorsum,
Cavum nasi
hiperemis (-) hiperemis (-)
Mukosa hiperemia (-) , sekret
Mukosa hiperemia (-) , sekret
(+), massa (+) berbentuk agak
Meatus nasi media (+), massa (+) berwarna pucat,
lonjong, berwarna pucat,
agak menonjol, memiliki tangkai
memiliki tangkai
Edema (-), mukosa hiperemi (-), Edema (-), mukosa hiperemi (-),
Konka nasi inferior mukosa pucat (+) sekret (-), mukosa pucat (+), sekret (-),
livide (-) livide (-)
Deviasi (-), benda asing(-), Deviasi (-), benda asing (-),
Septum nasi
perdarahan (-), ulkus (-) perdarahan (-), ulkus (-)
Palpasi sinus Nyeri tekan (+) pada sinus Nyeri tekan (+) pada sinus
maksila dan frontal maksila maksila
Transiluminasi
Frontal Cahaya tembus (+) Cahaya tembus (+)
Maksila Cahaya agak redup Cahaya agak redup

Gambar

Polip

Pemeriksaan Tenggorokan

22
Mukosa Bukal berwarna merah muda, hiperemia (-)
Lidah Normal
Uvula Normal
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (+)
Faring Mukosa sedikit hiperemi, membran (-), granul (+)
Tonsila palatina Hiperemia (-), ukuran T2-T2, kripte melebar (-), detritus (-)

Gambar

3.6 Pemeriksaan Penunjang


Chest X-ray 18 Oktober 2017 : tampak gambaran cor dan pulmo normal
Rontgen Waters 18 Oktober 2017 : tampak perselubungan dan penebalan
mukosa sehingga batas udara-cairan di dalam sinus kurang jelas

23
Laboratorium 18 Oktober 2017
Hb : 15,6 Ureum : 25
HCT : 45,7 Creatinin : 0,7
WBC : 14,45 BT : 2’30”
PLT : 256 CT : 6’15”
GDS: 122 PPT : 13,9
OT/PT : 48/130 APTT/kontrol APTT : 30,1/33,0
3.7 Assesment

24
Polip Nasi Bilateral
3.8 Rencana Usulan Terapi
- Pro Ekstraksi Polip (Polipektomi)
3.9 KIE :
- Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyakit yang dialami oleh
pasien
- Memberikan informasi mengenai pengobatan pasien: apabila dengan
medikamentosa tidak mengalami perbaikan maka perlu dilakukan tindakan
operasi. Serta informasi mengenai dilakukannya operasi Polipektomi
- Menjaga higiene diri dan lingkungan serta membersihkan rumah dan
perabotan dari debu, menghindari berada terlalu dekat dengan hewan
peliharaan yang berbulu, dll. (apabila alergi)
- Makan, minum dan istirahat yang cukup.
3.10 Prognosis
Dubia ad bonam

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke poliklinik THT RSUDP NTB dengan hidung tersumbat


sejak lama, pasien merasakan kedua hidungnya tersumbat, serta nyeri pada kedua
pipinya. Pasien mengaku sering pilek, penciumannya terganggu, dan sering batuk
sejak lama. Terdapat juga riwayat demam yang hilang timbul pada pasien.
Pada pemeriksaan dengan menggunakan rinoskopi anterior, tampak cavum
nasi agak pucat, terdapat banyak sekret dan kedua meatus nasi media pasien
terdapat massa, pada meatus nasi media sinistra terlihat massa berbentuk agak

25
lonjong, dapat digerakkan, bertangkai dan berwarna pucat. Pada pemeriksaan
transiluminasi didapatkan pada sinus maksila cahaya redup, serta adanya nyeri
tekan pada kedua pipi pasien.
Data dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ditemukan
gejala dan tanda yang sesuai dengan polip nasi yakni sumbatan hidung yang
menetap dengan derajat yang bervariasi tergantung dengan lokasi dan ukuran
polip. Umumnya, penderita juga mengeluh rinore cair dan post nasal drip.
Anosmia atau hiposmia dengan gangguan pengecapan juga merupakan gejala
polip nasi. Rinoskopi anterior dan posterior dapat menunjukkan massa polipoid
yang berwarna keabuan pucat yang dapat berjumlah satu atau multipel dan paling
sering muncul dari meatus media dan prolaps ke kavum nasi. Polip kadang perlu
dibedakan dengan konka nasi inferior, yakni dengan cara memasukan kapas yang
dibasahi dengan larutan efedrin 1% (vasokonstriktor), konka nasi yang berisi
banyak pembuluh darah akan mengecil, sedangkan polip tidak mengecil.
Diagnosis yang paling mendekati yaitu Polip nasi bilateral, kemudian
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis tersebut.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini yaitu pemeriksaan darah
lengkap, rontgen thorax, dan rontgen waters.
Terapi yang diberikan pada pasien ditujukan untuk menghilangkan
keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Terapi
utama pada pasien dengan polip adalah dengan pemberian kortikosteroid, apabila
dengan medikamentosa tidak mengalami perbaikan maka perlu dipertimbangakan
untuk dilakukan tindakan operasi. Pada pasien ini direncanakan dilakukan operasi
Polipektomi.

26

You might also like