You are on page 1of 7

MODUL 29

ANESTESI DILUAR KAMAR BEDAH

KEYNOTES:

1. Walaupun prosedur diagnostik hanya menyebabkan rasa sakit yang minimal,


spesialis anestesi akan ikut serta dalam penanganan pasien tersebut dengan alasan
antara lain pemberian sedasi yang sulit untuk pasien usia lanjut, klaustrofobia
(penyakit rasa takut pada ruangan sempit dan tertutup), penyakit neurologis dan
sistemik yang berat, serta ketidak mampuan pasien untuk tidak bergerak selama
prosedur diagnostik.
2. Spesialis anestesi dihadapkan pada situasi umum memberikan anestesi dalam
lingkungan yang asing diluar kamar bedah dan hampir semua prosedur
neurodiagnostik mensyaratkan spesialis anestesi di posisi jauh dari pasien yang
berbeda situasinya dengan di kamar bedah dimana dokter anestesi selalu dekat
dengan pasien.
3. Pemilihan teknik anestesi bergantung pada berbagai pertimbangan seperti umur,
kondisi, dan prosedur (posisi, lama, kemungkinan nyeri).
4. Selama dilakukan CT Scan, beberapa pasien dewasa dan anak-anak usia sekolah
memerlukan pemberian sedasi.
5. Saat MRI alat metal yang berada dalam tubuh pasien dapat mengalami pemanasan
dan berpindah tempat. Probe EKG dan temperatur yang biasa dipakai di kamar
bedah dapat menimbulkan luka bakar pada kulit, maka sudah tersedia alat-alat
tersebut yang khusus digunakan di ruangan MRI.
6. Respons terhadap zat kontras bervariasi dari perasaan panas sampai terjadinya
syok anafilaksis saat obat disuntikkan.

Pendahuluan
Sejak diperkenalkannya CT scan yang pertama pada tahun 1975, alat-alat diagnostik dari
spesialis radiologi neuroimaging berkembang secara konsisten. Walaupun prosedur
diagnostik hanya menyebabkan rasa sakit yang minimal, spesialis anestesi akan ikut serta
dalam penanganan pasien tersebut dengan alasan antara lain pemberian sedasi yang sulit
untuk pasien usia lanjut, klaustrofobia (penyakit rasa takut pada ruangan sempit dan
tertutup), penyakit neurologis dan sistemik yang berat, serta ketidak mampuan pasien untuk
tidak bergerak selama prosedur diagnostik.
Banyak Bagian Radiologi yang mengambil panduan pemberian sedasi dari AAPCD
(American Academy of Pediatrics Committee on Drugs) seperti yang terlihat pada tabel 1.
Seleksi pasien, puasa prabedah, alat-alat, monitoring, dan kriteria pemulangan pasien
sudah dimasukkan pada panduan ini dan seleksi kriteria yang ketat mengurangi efek
samping yang terjadi akibat pemberian sedatif. Akan tetapi, sekitar 10-15% pemberian
sedasi gagal dan screening sebelum prosedur sering mendapatkan pasien kesulitan
membebaskan jalan nafas atau dalam keadaan sakit berat yang mana dianjurkan
keterlibatan spesialis anestesi.

Tabel 1: Teknik Sedasi untuk Anak

Obat Dosis Rute Onset (menit) Efek puncak


(menit)

Choral hydrat 20-75 mg/kg Po,pr 20-30 30-90


(maksimal 2 g)

Pentobarbital 2-4 mg/kg Iv 5-10 60-90

Midazolam 0,02-0,15 mg/kg iv 1-5 iv 20-30

0,3-0,75 mg/kg Po/pr

Methohexital 1-2 mg/kg Iv 5 45

20-30 mg/kg pr 10-15

Tabel 2 . Sedative pada anak untuk MRI

Obat Dosis Keterangan

Chloral hydrat 75-120 mg/kg po Onset 15-20 menit, paling baik


untuk infant, dosis jangan
melebihi 2 g.

Midazolam 0,01-0,05 mg/kg Penggunaan sebagai suplement.


Tidak akan mencegah
bergeraknya pasien.

Pentobarbital 5 mg/kg po Onset 20 menit

3-4 mg/kg iv Onset cepat, lama kerja panjang

Ketamin 4-5 mg/kg im Untuk pasien tidak kooperatif


tanpa akses intravena

Propofol 2-3 mg/kg iv Sakit saat penyuntikan, dapat


menimbulkan apnoe.
infant: 75-100 ug/kg/menit
Pertimbangan Umum
Sekali terlibat dalam prosedur neuroradiologi, spesialis anestesi dihadapkan pada situasi
umum memberikan anestesi dalam lingkungan yang asing diluar kamar bedah dan
hampir semua prosedur neurodiagnostik mensyaratkan spesialis anestesi di posisi jauh
dari pasien yang berbeda situasinya dengan di kamar bedah dimana dokter anestesi
selalu dekat dengan pasien. Sebagai tambahan, alat-alat dan pemantauan
nonferromagetic harus tersedia di kamar MRI serta adanya persoalan contras media
dengan efek osmolar dan kemungkinan reaksi toksik harus dipertimbangkan. Finalnya,
pola fasilitas medis modern sering memerlukan pemulihan pasien dengan personal medis
yang qualified di ruangan yang berbatasan dengan ruangan radiologi atau ditransfer ke
ruang pulih anestesi yang jaraknya jauh dari ruang radiologi.
Evaluasi prabedah yang baik harus dilakukan pada setiap pasien yang direncanakan
untuk dilakukan prosedur diagnostik. Perhatian utama harus ditujukan pada pemeriksaan
neurologis, akan tetapi riwayat penyakit sebelumnya, anestesi dan sedasi, adanya alergi,
obat yang telah dan sedang dimakan harus diketahui. Pasien harus dievaluasi tentang
tanda-tanda adanya kenaikkan tekanan intrakranial, defisit neurologis, dan pada kasus
emergensi harus diketahui keadaan kolumna vertebralis, medulla spinalis dan organ
tubuh lainnya.
Alat-alat yang tersedia di ruang radiologi harus seperti di kamar bedah. Adanya monitor
EKG, pulse oksimetri, tekanan darah yang harus kompatibel dengan alat MRI. Alat lain
yang mampu memberikan pasokan gas anestesi, oksigen 100%, alat pengisap (suction
apparatus), alat untuk membebaskan jalan nafas, alat resusitasi, serta obat harus
tersedia.

Persiapan Pasien
Berlawanan dengan bedah rawat jalan yang pada umumnya dalam keadaan sehat,
kebanyakan pasien saraf atau bedah saraf yang dijadwalkan untuk dilakukan tindakan
diluar kamar bedah, dalam keadaan sakit akut atau kronis, terganggu fungsi neurologis
dan nutrisi, mempunyai riwayat telah dilakaukan beberapa tindakan sebelumnya dan
mendapatkan terapi obat-obatan termasuk kemoterapi.
Sering pasien dalam keadaan infeksi traktus respiratorius bagian atas, atau adanya efek
samping pengobatan seperti mual, muntah dan diare, akan tetapi pasien tidak dapat
menunggu untuk perbaikan kondisinya. Harus diingat kemungkinan adanya hipoglikemi
dan hipovolemi pada pasien dewasa dengan bedrest atau anak dengan sakit kronis.
Kemoterapi yang baru dilaksanakan dapat mempengaruhi penggunaan volatil anestetika
potent.
Kebanyakan pasien dengan gangguan neurologis tidak mampu untuk menjawab
pertanyaan saat anamnesa. Informasi pasien harus dicari dari semua sumber yang ada
misalnya status lama, catatan perawatan pasien dirumah, keluarga) dan memeriksa
adanya tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial. GCS harus dicatat sebagai data
dasar. Pasien gangguan neurologis dapat terjadi aritmia, respons ventilasi terhadap obat
anestesi abnormal, perubahan reaksi terhadap obat anestesi seperti succinylcholin dan
pelumpuh otot non depolarisasi. Mereka juga sering mendapat terapi kortikosteroid untuk
terapi kenaikkan ICP dan mesti dberikan kortikosteroid sebelum, selama dan setelah
tindakan.

Pemilihan Teknik dan Obat Anestesi


Pemilihan teknik anestesi bergantung pada berbagai pertimbangan seperti umur, kondisi,
dan prosedur (posisi, lama, kemungkinan nyeri). Bantuan dari Bagian Anestesi diperlukan
bila tindakan pemberian sedasi oleh non-anesthesiologist gagal, dan anestesiologist
harus memberikan kondisi ideal untuk dilakukan prosedur tersebut. Teknik anestesi dapat
dilakukan dengan MAC (Monitored Anesthesia Care), sedasi ringan sampai dalam,
anestesi umum, atau anestesi regional.
Premedikasi harus dipertimbangkan. Tujuan premedikasi adalah menghilangkan
kecemasan, sedasi dengan pasien mudah dibangunkan, analgesi, amnesia, mengurangi
saliva dan sekresi gaster, meningkatkan pH gaster, menurunkan akivitas vagal. Pasien
dengan gangguan neurologis mungkin meningkatkan resiko karena gangguan
menghandel sekresi, adanya tracheostomi, atau berkurangnya atau hilangnya refleks
menelan.
Barbiturat mempunyai keuntungan sebagai sedatif dengan depresi nafas dan sirkulasi
minimal dan jarang menimbulkan mual dan muntah, akan tetapi, tidak mempunyai efek
analgesi, mempunyai efek antalgesik dan disorientasi serta tidak ada antagonisnya.
Pemberian pentotal dengan dosis induksi 6 mg/kg telah dilaporkan dipakai sebagai obat
tunggal untuk CT dan MRI pada 200 anak dengan rentang umur 1 bulan sampai 12
tahun.
Narkotik mengurang keperluan total obat anestesi, analgetik pra dan post prosedur, dan
dapat direverse dengan naloxon. Walaupun narkotik tidak diperlukan untuk prosedur
yang tidak sakit, tetapi sangat berguna untuk radiologi intervensi dan yang tidak tioleran
terhadap volati anestetika, seperti setelah kemoterapi dengan anthracyclin dengan
adanya gangguan miokardium. Narkotik mendrepresi puat nafas, dan harus menjadi
pertimbangan pada apsin tumor otak yang mendapat terapi radiasi. Narkotik juga dapat
menimbulkan mual muntah.
Diazepam menimbulkan rasa sangat sakit selama suntikan intravena dan dapat
menimbulkan terjadinya thromboplebitis. Midazolam larut dalam air, karena lebih nyaman
bila digunakan secara intravena atau intramuskuler.
Ketamin sangat populer lebih dari 20 tahun untuk sedasi dan anestesi diluar kamar
bedah disebabkan karena tidak mendepresi sirkulasi dan respirasi, serta efek analgesi
baik. Tidak diberikan pada pasien dengan peningkatan ICP. Bisa terjadi toleransi setelah
pemberian berulang, dan kemungkinan terjadi obstruksi jalan nafas partial atau total,
hipersekresi, dan refleks jalan nafas menhjadi hiperaktif, menimbulkan mimpi buruk dan
nyeri bila disuntikan intramuskuler.
Propofol diberikan untuk sedasi dan anestesi untuk diagnostik, terapeutik dan prosedur
interventional.
Computed Tomography (CT) Scan
Selama dilakukan CT Scan, beberapa pasien dewasa dan anak-anak usia sekolah
memerlukan pemberian sedasi. Kadang-kadang, midazolam intravena dititrasi dengan
dosis 0,5 mg atau propofol dengan dosis 25-100 ug/kg/menit mungkin efektif. Pada
pasien dengan tanda-tanda adanya kenaikan tekanan intrakranial atau jalan nafas tidak
bebas lebih baik dilakukan dengan anestesi umum. Harus diingat temperatur di ruangan
CT yang dingin, karena harus menjaga temperatur pasien terutama anak dan usia tua.
Pada situasi dimana tekanan intrakranial merupakan faktor kritis yang harus
dipertimbangkan, pemasangan jalur vena harus didahului dengan pemberian EMLA
(lidokain 2,5% dan prilokain 2,5%) krim dan induksi anestesi dapat dilakukan secara
intravena. Pada pasien dewasa, induksi intravena dengan memakai pentotal (3-4 mg/kg),
propofol 1-2 mg/kg, atau etomidate 0,15-0,3 mg/kg, narkotik fentanyl 50-100 ug (1-2
ug/kg), kemudian untuk fasilitas intubasi diberikan succynilcholin 1 mg/kg yang
sebelumnya diberikan lidokain 1-1,5 mg/kg untuk menurunkan peningkatan tekanan
darah dan denyut jantung akibat laringoskopi-intubasi. Pemeliharaan anestesi dapat
dengan anestetika inhalasi sevofluran atau anestesi intravena propofol, karena pasien
harus segera bangun/pulih dari efek anestesi segera setelah prosedur diagnostik selesai.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Ruangan MRI merupakan ruangan yang berlawanan dengan keinginan spesialis
anestesi. Spesialis anestesi terpaksa harus jauh dari pasien yang menyulitkan untuk
melakukan pertolongan segera pada pasien. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan
antara lain:
Alat metal yang berada dalam tubuh pasien dapat mengalami pemanasan dan berpindah
tempat. Probe EKG dan temperatur yang biasa dipakai di kamar bedah dapat
menimbulkan luka bakar pada kulit, maka sudah tersedia alat-alat tersebut yang khusus
digunakan di ruangan MRI.
Alat metal yang kecil dapat tersedot kearah magnet. Alat yang lebih besar seperti tabung
oksigen dapat terdorong kearah magnet, bisa jatuh dan melukai personil medis dan
pasien, maka secara umum semua alat metal harus jauh dari magnet dan terfiksasi
dengan kuat. Personil medis harus meninggalkan alat metal yang dimiliki seperti jam
tangan, kacamata, kartu kredit dsbnya dan disimpan di ruang persiapan.
Baru-baru ini sudah tersedia alat monitor seperti tekanan darah, kapnograf, pulse
oksimetri, doppler, mesin anestesi, ventilator yang kompatibel dengan mesin MRI. Juga
tersedia laringokop plastik, akan tetapi batrei dalam handel laringoskop dapat terisap ke
pusat magnet. Masalah lain adalah adanya kesulitan memantau pasien, adanya
hipotermi, serta pasien obesitas yang sulit masuk ke jalur MRI.
Pengelolaan anestesi dengan pemberian sedasi dapat dipertanggung jawabkan, juga
untuk infant. Akan tetapi, pada kasus dimana spesialis anestesi dipanggil untuk
membantu MRI pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, sakit kritis atau
problem jalan nafas, maka membebaskan jalan nafas dengan intubasi endotrakheal
merupakan pilihan utama, lalu dilakukan ventilasi kendali melalui sirkuit anestesi yang
panjang untuk menjamin adekuatnya ventilasi.
Cerebral Angiography
Angiografi serebral penting untuk mengevaluasi perdarahan subarachnoid dan penyakit
arteri karotis. Paling aman dan paling sering digunakan adalah melalui arteri femoralis
dan penggunaan transfemoral kateter yang didorong sampai ke arteri karotis.
Sayangnya, problem neurologis akibat angiografi masih terjadi. Pada penelitian prospektif
pada 1002 angiogram, kejadian iskemik pada 0-24 jam setelah prosedur sekitar 1,3%
dan 2,5% pada pasien yang sedang diperiksa karena penyakit serebrovaskuler.
Komplikasi kateterisasi yang lain adalah amnesia global selintas, kebutaan kortikal,
sindroma emboli kolesterol multipel.
Bila spesialis anestesi diminta untuk membantu prosedur diagnostik angiografi harus
diingat bahwa medium kontras dapat menyebabkan vasodilatasi dan perasaan terbakar.
Sering dosis sedatif harus dinaikkan untuk melawan rasa tidak enak tersebut.

Mielografi
Mielografi dilakukan untuk melihat isi sakus thecalis dan setiap penekanan intrinsik atau
ekstrinsik. Kontras media yang dimasukkan langsung ke ruangan subarakhnoid, akan
membypass blood-brain barier. Obat kontras mielografi terbaru bersifat osmolaritas
rendah, nonionik, dan tercampur baik dengan cairan serebrospinal. Komplikasi utama
dari mielografi adalah sakit kepala, komplikasi akibat kontras, suntikan subdural atau
epidural, hematom kanalis spinalis, meningitis, kejang, dan berbagai bentuk defisit
neurologis.
Pertimbangan anestesi adalah posisi pasien terutama infant dan anak karena meja
mielogram berputar untuk mendapatkan aliran kontras yang baik.

Obat untuk Kontras


Iodinated agent digunakan untuk angiografi dan mielografi. HOCAs (High Osmolar
Contras Agents) adalah monomer ionik, mempunyai osmolaritas 5-8 kali osmolaritas
serum, sedangkan LOCAs (Low Osmolar Contras Agents) suatu nonionik monomer
mempunyai osmolaritas 2-3 kali osmolaritas serum. LOCAs bersifat lebih hidrofilik dan
sedikit diikat oleh jaringan. Walaupun LOCAs harganya lebih mahal, akan tetapi karena
lebih menguntungkan untuk pasien, maka LOCAs lebih banyak digunakan.
Iodinated contrast agent bersifat nefrotoksik. Setelah efek vasodilatasi ringan, pembuluh
darah renal mengalami vasokonstriksi yang lama. Pasien dengan insufisiensi renal,
diabetes melitus, sindrom curah jantung rendah, beresiko untuk terjadinya nefrotoksisitas
akibat zat kontras ini.
Respons terhadap zat kontras bervariasi dari perasaan panas sampai terjadinya syok
anafilaksis saat obat disuntikkan. Penelitian multi institusi yang besar menunjukkan
bahwa pasien yang diberikan kontras nonionik mempunyai kemungkinan reaksi alergi
berat 1 berbanding 10.000. Pasien yang kemungkinan mempunyai masalah dengan
pemakaian zat kontras adalah yang sebelumnya ada riwayat alergi terhadap zat kontras,
alergi obat, makanan, asthma, dan juga penyakit jantung. Penggunaan kortikosteroid
methylprednisolon 2 kali 32 mg dosis oral, yang pertama diberikan 6-12 jam sebelum
suntikan dan lainnya 2 jam sebelum suntikan, secara nyata mengurangi kemungkinan
terjadi reaksi yang berat. Beberapa pusat menambahkan pemakaian antihistamin pada
regimen steroid tersebut.
Tidak jarang terjadi rasa gatal, merah dan bengkak di muka, leher, dada dan dapat
diterapi dengan pemberian antihistamin. Manifestasi reaksi yang berat dapat berupa
kesulitan bernafas, hipotensi, iritasi kulit yang luas memerlukan terapi epinefrin intravena
(100ug). Alat-alat harus siap di ruang radiologi untuk pengendalian jalan nafas emergensi
dan penambahan beta-2 agonist mungkin berguna untuk terapi bronkhospasme. Kadang-
kadang diperlukan penambahan cairan seperti juga diperlukannya obat vasoaktif untuk
memperbaiki tekanan darah.

ECT (Electroconvulsive Therapy)


ECT digunakan untuk terapi pasien dengan depresi berat yang tidak respons terhadap
terapi obat. Sasaran anestesi adalah memberikan amnesia dengan pemulihan kesadaran
yang cepat, mencegah terjadinya cedera akibat tonic-clonic contracture misalnya
patahnya tulang panjang, mengendalikan respons hemodinamik, dan menghindari
terjadinya kejang. Kontra indikasi absolut dari ECT adalah pasien dengan hipertensi
intrakranial. Kontra indikasi relatif adalah adanya massa intrakranial dengan tekanan
intrakrnial yang normal, aneurisma serebral, infark jantung yang baru terjadi, abgina,
gagal jantung cingestif, glauma yang tidak diobati, fraktur tulangpanjang, thromboplebitis,
kehamilan, dan ablasio retina. Pasien yang sedang diterapi dengan benzodiazepin atau
litium, obat tersebut harus dihentikan sebelum dilakukan ECT. Benzodiazepin adalah
antikonvulsan dan menghilangkan atau mengurangi induced seizure akibat ECT. Litium
dihubungkan dengan delirium setelah ECT. Teknik anestesinya tidak memerlukan
premedikasi, pasien tetapp dipuasakan. Sulfas atropin hanya diberikan bila pasien
sebelunnya bradikardia. Pasang kanula intravena, standar monitor, berikan preoksigenasi
dengan oksigen 100%. Anestesi dibereikan dengan propofol dan succinylcholin.

Referensi:
1. Hurford WE et al. Clincal Anesthsia Procedure of the Massachusetts General
Hospital. 6th ed, Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2002.
2. Stone DJ, Sperry RJ, Johnson JO, Spiekermann BF, Yemen TA. The
Neuroanesthesia Handbook. St Louis : Mosby 1996, 297-329.
3. Matta BF, Menon DK, Turner JM. Textbook of Neuroanesthesia and Critical care.
London :Greenwich Medical Media 2000,413-25.
4. Newfield P, Cottrell JE., eds. Handbook of Neuroanesthesia, 3rd ed,
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 1999:310-25.

You might also like