Professional Documents
Culture Documents
A. PENDAHULUAN
*) Staf SMF / Bagian Anestesiologi dan Reanimasi RSUD Dr. Moewardi / FK UNS
periode prabedah harus dilakukan serangkaian tindakan perawatan respirasi
meliputi : hentikan rokok, dilatasi jalur napas, pengeluaran sekret, tingkatkan
(1,2,7)
motivasi edukasi dan persiapan fasilitas pasca bedah . Semua tindakaan
prabedah ini dimaksudkan untuk mengurangi komplikasi paru pasca bedah (2).
Selama periode pembedahan torakotomi, dokter spesialis anestesi
tidak hanya akan menghadapi masalah gangguan fisiologi akibat posisi lateral
decubitus, tetapi juga akan menghadapi serangkaian masalah lain yang timbul
akibat open pneumothorax, manipulasi operasi, resiko pendarahan masif, dan
masalah akibat ventilasi satu paru(3). Pada periode ini, monitoring , pemilihan
obat, dan teknik anestesi, pemahaman tentang perubahan – perubahan fisiologi,
dan indikasi serta teknik anestesi / ventilasi satu paru memiliki peranan yang
sangat penting (1).
Pada periode pasca bedah pasien terancam komplikasi segera yang
mengancam jiwa seperti pendarahan masif, blow out stump pasca
pneumonektomi atau lobektomi, dan herniasi jantung(2). Masalah lain pada
periode ini adalah masalah pengelolaan ventilasi mekanik, tindakan – tindakan
perawatan pernafasan, dan pengelolaan nyeri pasca bedah (1).
EVALUASI PRABEDAH.
Spirometry
Arterial Blood Gas
Exercise testing
Surgery Pulmonary hemodynamic
measurements
D. PENGELOLAAN PRABEDAH
Komplikasi pulmoner pasca bedah, disamping ditentukan oleh penyakit
paru prabedah juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yaitu : lokasi dan
luasnya tindakkan operasi, adanya gangguan kardiovaskuler atau sistem saraf,
dan jarak waktu antara operasi dan ambulasi(4).
Gambar di bawah ini memperliihatkan 3 penyebab utama mengapa
pasien bedah toraks cenderung mudah mengalami komplikasi paru pasca
bedah.
1. Stop smoking
2. Dilate airways
a. 2 agonists
b. Theophyline
c. Steroids
d. Cromolyn sodium
3. Loosen secretions
a. Airway hydration (humidifier/nebulizer)
b. Systemic spirometry
c. Mucolytic and expectorant drugs
d. Antibiotics
4. Remove secretions
a. Postural drainage
b. Coughing
c. Chest physiotherapy (percussion and vibration)
E. PERIODE PEMBEDAHAN
Pada periode ini, monitoring, pemilihan obat, dan teknik anestesi,
pemahaman perubahan – perubahan fisiologi selama tindakaan pembedahan,
dan indikasi serta teknik anestesi / ventilasi satu paru memegang peranan yang
sangat penting (1).
I. MONITORING
Ada dua pertimbangan yang mendasari diperlukan monitoring yang
ketat selama bedah toraks. Pertama, pasien yang akan menjalani operasi toraks
mengalami gangguan kardiorespirasi prabedah. Kedua, tindakan – tindakaan
selama pembedahan akan semakin mengganggu fungsi kardiorespirasi selama
periode perioperasi (1,2). Berdasar pada kedua pertimbangan diatas dan interaksi
diantara keduanya, pasien bedah toraks dikelompokkan dengan memberikan
terapi dengan cepat dan tepat selama pembedahan (1,2).
Ada tiga kategori pasien yang akan menjalani bedah toraks dan
rekomendasi kebutuhan monitoring bagi tiap kategori pasien.
Tingkat I :
Pasien sehat tanpa ada kondisi khusus selama pembedahan, misalnya
pasien usia muda yang akan menjalani pleurodesis. Tingkatan ini memerlukan
monitoring minimal, yaitu monitoring dasar untuk tiap pasien yang akan
menjalani bedah torak(1,2).
Tingkat II :
Pasien yang relatif sehat yang akan mengalami kondisi khusus selama
pembedahan atau pesien dengan penyakit kardiorespirasi yang nyata, tetapi
(1,2)
tidak akan mengalami kondisi khusus selama pembedahan . Disini akan
mempunyai resiko yang cukup tinggi dan diperlukan beberapa monitoring
tambahan, antara lain : analisa gas darah, respirometer, spirometer, tekanan
vena sentral dan tekanan arteri(1). Sebagai contoh pasien dengan kelainan paru
sedang / berat yang akan menjalani biopsi paru terbuka(1,2).
Tingkat III :
Pasien dengan penyakit kardiorespirasi yang nyata dan akan mengalami
kondisi khusus selama pembedahan (1,2). Pasien pada kelompok resiko tinggi ini
memerlukan monitoring yang akan menjalani lobektomi atau
pneumonektomi(1,2).
Tabel 3 ( Diambil dari kepustakaan 1)
Tiered Monitoring System Based on Amount of Pre-existing Lung Disease and Presence of Special Intraoperative Conditions
AIRWAY Drug
Preoxygenate
(100% O2)
Respiration Slow
(8-10/min).
Administer
Response to
Fentanyl
Commands Sluggish
Administer
Isoflurane
(2,5% -> 1,0 -0,5%)
Support Cardiovascular
Administer System if Necessary Adequate
Nondepolarizing Anesthesia
Drug Paralysis (Fluids -> Vasopressor -> Inotropes) 95% Paralysis
Administer
Lidocaine
Intravenously
Laryngoscopy
Lidocaine Intratracheally
Double Lumen Tube
Intubation
Administer
Maintenance Isoflurane,
Fentanyl, Paralysis
This action and point diagram describes the anestetic technique used for one – Lung ventilation thoracic surgery
case. The action are divided into those that are primarily concerned with airway management versus those that
involve administration of adrug. All drug administration are associated with an end point. See text for full
explanation.(IPPB = intermittent positive pressure breathing)
PEMASANGAN
Pada saat ini biasanya digunakan pipa endotrakea lumen ganda
kiri baik untuk torakotomi kanan ataupun kiri(4).
Hati–hati memasukkan pipa karena cuffnya mudah pecah dan
mudah tercabik oleh gigi pasien. Laringoskop Macintosh dipilih karena
memberikan area yang lebih luas untuk memasukkan pipa endotrakea
lumen ganda. Ujung dari pipa dimasukkan hingga tepat melewati pita suara
dan stilet didalam lumen bronkial ditarik. Pipa diputar 900 berlawanan arah
jarum jam (ke arah bronkus kiri) dan dimasukkan lagi hingga didapatkan
tahanan yang sedang. Perkiraan kedalaman insersi baik untuk laki–laki
maupun perempuan adalah 29 cm.
Ketika pipa didalam broncus, kedua cuff dikembangkan. Bila
ukuran pipa yang digunakan sesuai, hanya diperlukan 1–2 ml udara didalam
cuff bronkial untuk dapat menyekat jalan nafas. Pasien diventilasi melalui
kedua lumen. Uap udara harus terlihat pada tiap lumen, kedua sisi dada
harus bergerak dan suara nafas didengar bilateral. Lumen trakea kemudian
dijepit, suara nafas hanya terdengar di paru bilateral. Lumen trakea
kemudian dijepit, suara nafas harus hanya terdengar di paru yang di intubisi
( kiri ). Bila suara nafas terdengar bilateral, berarti tube tidak cukup dalam
dan harus dimasukkan lagi kedalam broncus. Bila suara nafas hanya
terdengar di sebelah kanan, berarti berada di dalam broncus utama kanan.
Pada situasi ini, kedua cuff harus dikempeskan lagi dan tube ditarik hingga
ujungnya sampai diatas karina. Tube diputar lagi kekiri dan dimasukkan
ulang. Putar kepala dan leher pasien ke kanan, sementara kepala dibuat
head down dapat membantu tube masuk dengan sendirinya ke bronkus
kiri(2,4,8).
Ketika tube berada dibronkus kiri lumen kirinya dijepit dan
pasien diventilasi melalui lumen trakea, suara nafas sekarang terdengar
samapai paru kanan. Bila disini kesulitan melakukan ventilasi, kempeskan
cuff bronkial saja sementara ventilasi dilanjutkan melalui lumen kanan.
Bila tube tetap tidak cukup dalam, suara nafas dapat terdengar bilateral.
Bila tube dalam terlalu dalam, suara nafas sekarang terdengar hanya sampai
ke paru kiri(1,4).
Posisi tube harus di cek ulang sebelum operasi dimulai oleh
karena tube bisa bergeser akibat perubahan ke posisi lateral decubitus.
Setelah posisi tube tepat ia dapat ditarik beberapa milimeter. Bial sekat
bronkial dapat dipertahankan tanpa perlu penambahan udara, tube
dimasukkan lagi kebelakang bawah bronkus untuk mnecegah bergeraknya
cuff bronkial secara tak sengaja kedalam karina(1,3,4,8).
Konfirmasi posisi tube dapat dilakukan dengan pemeriksaan
fisik dada, meliputi auskultasi dan observasi gerakan dinding dada, dan
pemeriksaan tekanan inspirasi puncak selama ventilasi paru independent.
Tegangan balon pemandu ke cuff broncial harus dicatat segera setelah
dikembangkan. Balon pemandu yang melunak biasanya berarti bahwa
sebagian tube bergeser tube bergeser keluar bronkus, dan cuff broncila
berherniasi ke karina(4).
Narkotik epidural
Kateter epidural harus sudah terpasang sebelum induksi anestesi dan
posisinya di cek dengan obat lokal anestesi dosis rendah. Injeksi pertama dapat
dilakukan di kamar operasi, kamar pemulihan, atau unit perawatan intensif(1).
Kelebihan dari teknik ini adalah tidak menimbulkan blok otonom,
sensoris ataupun motoris, menghilangkan nyeri dengan nyata dan durasinya
lebih panjang dari pada narkotik parenteral(1,2,3).
Di RSUP persahabatan, cara ini sudah ruti dilakukan. Setiap pasien
bedah toraks, diberikan morfin 5 mg dalam 10 NaCl 0,9 %, 40 menit sebelum
operasi selesai yang biasanya dapat menghilangkan nyeri sekitar 18 – 24 jam(2).
Dosis dan rute narkotik epidural untuk pengelolaan nyeri pasca bedah,
dapat kita lihat pada tabel berikutnya.
TABEL 6 ( diambil dari kepustakaan 1 )
Epidural Narcotics for Postoperative Pain Management :
Routes and Dosages
Site of Epidural Drug Dosage (Diluent Saline)
Incision Route
Thoracotomy Thoracic Fentanyl 0.5 – 2mg/kg(10ml0.5 -2mg/kg/h
Methadone 5mg(10ml)
Nalbuphine 30 – 100mg(10ml)
Morphine 10mg(10ml)
2 – 4 mg (8ml )
0.1 mg/h
Lumbar Fentanyl 1 – 2 mg/kg (18 ml ) 1 -2 mg/kg/h
Morphine 6 -8 mg (10 -15 ml )
Methadone 5 mg ( 10 – 15 ml )
Abdominal Lumbar Fentanyl 0.5 – 2mg/kg(10ml) 0.5 -2mg/kg/h
Incision
Morphine 2 - 6 mg (10 ml )
Methadone 4 – 6 mg ( 18 – 20 ml )
Hydromorphone 1.25 – 1.50 mg (10 – 15 )
Narkotik sistematik
Pemberiannya lebih baik secara patient – controlled analgesia (PCA)
atau titrasi perinpus intravena(3,4). Biasanya diberikan dalam dosis kecil secara
titrasi dan harus dimonitor dengan ketat agar nyeri dapat teratasi tanpa
menimbulkan depresi pernapasan. Perlu diingat juga bahwa analgenik narkotik
dapat menghambat reflek batuk, mengurangi frekwensi nafas dan
menghilangkan kepekaan pusat pernapasan terhadap hiperkarbia dan
hipoksia(4).
Blok Interpleural
Dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam rongga
antara pleura parientalis dan viskeralis melalui kateter epidura yang dipasang
(1,4)
lewat dinding dada pada saat toraks mesih terbuka . Biasanya digunkan
bupivakain 0,25 – 0,5 % yang dicampur epinefrin(1).
Transcutaneus electrical nerve stimulation(TENS)
Dipasang elektrode pada sisi dada yang mengalami sayatan dan
diberikan rangsangan listrik(3). Biasanya digunkan rangsangan listrik voltase
rendah dengan frekuensi tinggi( 80 Hz ) melalui kulit(4).
F. RINGKASAN
Saat ini hampir semua prosedure bedah toraks dilakukan dalam posisi
lateral decubitus(1,2,3,4,5,8), yang akan menimbulkan perubahan – perubahan
fisiologi(3).
Pada pasien sadar dengan nafas spontan dan posisi lateral decubitus,
paru dependent akan mendapatkan aliran darah dan ventilasi yang lebih besar
(1,3). Bila paru kanan sebagai paru non dependent, ia akan mendapatkan 45%
dari aliran darah total, sedang pada posisi supine atau upright ia akan
mendapatkan 55%. Bila paru kiri sebagai paru non dependent, ia akan
mendapatkan 35% dari aliran darah total sedang pada supine atau upright ia
mendapatkan 45%(1,5).
Pada pasien teranestesi dengan nafas spontan maupun terkontrol dan
posisi lateral decubitus, ventilasi lebih banyak menuju paru atas sedang perfusi
tetap lebih banyak menuju ke paru dependet sehingga timbul mismacth
ventilasi / perfusi dan dapat menyebabkan hipoksemia(1,3). Pada posisi lateral
decubitus, nafas spontan pada open pneumothorax akan menimbulkan
pergeseran mediastinum dan pernafasan paradoksal(1,3).
Kegiatan utama pada periode prabedah adalah melakukan evakuasi dan
persiapan serta tindakkan perawatan untuk optimalisasi fungsi pernafasan(1).
Evaluasi prabedah meliputi pemeriksaan fisik umum dengan perhatian
khusus pada sistem respirasi dan sistem kardiovaskuler, serta pemeriksaan
(1,2,4)
penunjang lain yang diperlukan . Uji fungsi paru yang rutin dan mudah
dilakukan adalah pengukuran kapasitas paksa (FVC) dan volume ekspirasi
(1, 2, 3, 4)
paksa (FEV) . % FVC > 80% adalah normal, 70-80% batas normal, 60-
70% menunjukkan adanya penyakit paru, <60% menunjukkan penurunan
fungsi paru yang nyata. % FEV1 berguna untuk membedakan penyakit paru
obstruksi atau restriksi. % FVC & % FEV1 dapat juga digunakan untuk
meramalkan kemampuan pasien melakukan ventilasi yang adekwat dan
mempertahankan kebersihan paru pasca bedah toraks (4).
Tindakan perawatan pernafasan prabedah pada prinsipnya ditujukan
untuk optimalisasi fungsi paru dalam usaha mencegah komplikasi pulmoner
pasca bedah (1, 2, 3, 4, 5).
Pada periode pembedahan, monitoring harus dilakukan dengan ketat
dan sesuai tingkat kebutuhannya, yang bertujuan agar dapat melakukan
diagnosa cepat dan memberikan terapi dengan tepat selama pembedahan (1, 2).
Pemilihan obat dan tehnik anestesi harus berdasar pertimbangan efeknya yang
(4, 5)
multipel serta efek samping yang mungkin ditimbulkan . Anestesi umum
dengan ventilasi kontrol merupakan tehnik yang paling aman untuk bedah
(1, 2, 3, 4, 5, 8)
toraks elektif , sedang untuk pemeliharaan pilihan terbaik adalah
(1, 2, 5)
anestesi inhalasi Isoflurane dengan pelumpuh otot vecuronium atau
pancuronium (1, 4, 5).
Pada kasus darurat dimana kondisi pasien tidak stabil, ketamin yang
memiliki onset cepat, mempunyai efek bronkodilator dan mampu
(1, 2, 5, 8)
mempertahankan stabilitas hemodinamik, merupakan pilihan .
Kombinasi ketamin per infus dengan N2O dan pelumpuh otot terbukti sukses
digunakan untuk operasi toraks (4).
Obat anestesi intravena narkotik, terutama fentanil sangat bermanfaat baik pada
(1, 5)
periode pembedahan maupun pasca bedah toraks . Alfentanil dan propofol
merupakan kombinasi yang ideal untuk tehnik TIVA (5).
Dengan tehnik ventilasi satu paru, paru yang dioperasi dapat diisolasi
dan dikempeskan sehingga akan memberikan kondisi yang optimal bagi
(4)
operator dan melindungi paru yang tidak dioperasi dari kontaminasi .
Pemakaian pipa endotrakea lumen ganda memiliki beberapa kelebihan
(1, 2, 4)
dibanding dengan bronchial blockers dan pipa endobronkial . Pipa
endotrakea lumen ganda kiri memiliki margin of safety yang lebih besar
dibanding pipakanan, dan pada saat ini biasanya digunakan pipa endotrakea
lumen ganda kiri untuk torakotomi kanan maupun kiri (4).
Dalam rangka meminimalisasi hipoksemia selama ventilasi satu paru, usaha
ditujukan kearah optimalisasi ventilasi ke paru dependent dan meningkatkan
kandungan oksigen darah yang kembali dari paru non dependent (4).
Pada periode pasca bedah, hal – hal yang penting adalah mewaspadai
kemungkinan adanya komplikasi segera yang mengancam jiwa, melakukan
perawatan pernafasan, mengatasi nyeri pasca bedah, dan penatalaksanaan
ventilasi mekanik.
Pada saat ini, ada dua cara yang sangat efektif dan digunakan secara luas serta
dianggap sebagai pilihan untuk mengatasi nyeri pasca torakotomi, yaitu :
narkotik epidural dan Cryoanalgesia (1).
DAFTAR PUSTAKA
1. Benumof JL, Alfery DD, Anesthesia for Thoracic Surgery, In : Miller RD, ed.
Anesthesia, 3rd ed., New York : Churchill Livingstone, 1990 : 1517 – 73.
2. Anwar A, Soeroso SD, Ahmad S, dkk., Anestesia pada Bedah Paru, Dalam :
Makalah Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anestesiologi, Jakarta, 1995.
3. Morgan GE, Mikhail MS, Anesthesia for Thoracic Surgery, In : Clinical
Anesthesiology, 1st ed., Connecticut : Applenton & Lange, 1992 : 404 – 14.
4. Brodsky JB, Anesthesia for Thoracic Surgery, In : Healy TEJ, Cohen PJ, eds. A
Practice of Anaesthesia, 6th ed., London : Edward Arnold, 1995 : 1148 – 64.
5. Benumof JL, Choice of Anesthetic Drugs and Techniques, In : Anesthesia for
Thoracic Surgery, 2nd ed., Philadelphia : WB Saunders Company, 1995 : 300 – 26.
6. Filderman AE, Mathay RA, Preoperative Pulmonary Evaluation, In : Shields, ed.,
General Thoracic Surgery, 3rd ed., Philadelphia : Lea & Febiger, 1989 : 277 – 82.
7. Wong HY, Brunner EA, Preanesthetic Evaluation and Preparation, In Shields,
ed., General Thoracic Surgery, 3rd ed., Philadelphia : Lea & Febiger, 1989 : 285 -
92.
8. Ovassapian A, Conduct of Anesthesia, In Shields, ed., General Thoracic Surgery,
3rd ed., Philadelphia : Lea & Febiger, 1989 : 293 – 301.
9. Atkinson RS, Rushman GB, Lee JA, Thoracic Anaesthesia In : A Synosis of
Anaesthesia, 10th ed., Singapore : PG Publishing Pte. Ltd., 1988 : 569.