Professional Documents
Culture Documents
- detikNews
\\\"Kalau ada yang sakit, apa masyarakat dibiarkan mati? Padahal disitu ada
orang yang tahu cara menyembuhkan. Inikan sangat tidak manusiawi,\\\"
bebernya.
Menurut Andi, yang dilakukan oleh mantri desa terpencil tersebut tidak
menyalahi hukum pidana secara materil. Sebabnya, tidak ada orang yang
berwenang memberikan pertolongan di daerah tersebut. \\\"Kalau tidak ada
dokter, siapa yang menolong?\\\" ujarnya.
Andi menilai, hakim hanya memandang kesalahan Misran secara hukum formil
semata. Dalam UU Kesehatan, mantri desa tidak mempunyai wewenang
memberikan pertolongan seperti tertulis UU.
\\\"Lah, dia kan sudah 18 tahun mengabdi di situ. Pasti sudah seperti dokter.
Bahkan mungkin lebih pinter dari dokter,\\\" tambah perumus revisi KUHAP ini.
(asp/irw)
Air tuba tersebut berupa penjara karena dinilai hakim PN Tenggarong tidak punya
kewenangan memberikan pertolongan layaknya dokter. Dia dituduh melanggar UU 36\/ 2009
tentang Kesehatan pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63 (1) UU No 32\/1992 tentang Kesehatan
yaitu Misran.
Setelah setahun lebih meminta keadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK), akhirnya sore ini
akan diketok palu atas nasib Misran. \\\"Sore ini, jam 16.00 WIB, MK akan memutus
permohonan saya,\\\" kata Misran dalam pesan pendeknya kepada detikcom, Senin
(27\/6\/2011).
Putusan PN Tenggarong ini lalu dikuatkan oleh PT Samarinda, beberapa bulan setelah itu.
Merasa dizalimi, 13 mantri pun memohon keadilan ke MK karena merasa dikriminalisasikan
oleh UU Kesehatan. Mereka meminta pasal yang menjadikan mereka di penjara dicabut
karena pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Namun, meski nantinya permohonan Misran dikabulkan, ayah 4 anak tersebut tetap harus
tetap meringkuk di penjara. Meski demikian, jika MK memenangkan, maka putusan MK
akan menguntungkan mantri atau bidan desa di seluruh Indonesia. Pasalnya, MK telah
menghilangkan pasal yang mengkriminalkan petugas medis di pelosok Nusantara.
\\\"Karena putusan MK tidak berlaku surut. Putusan MK atas kasus Misran hanya berlaku ke
depan, tidak berlaku ke belakang,\\\" kata pengacara publik LBH Jakarta, Edy Halomoan
Gurning beberapa waktu lalu.
\\\"Memang dikatakan bahwa dispensing obat itu adalah (tugasnya) tenaga farmasi. Akan
tetapi, di tempat di mana tidak ada tenaga farmasi, dapat dilakukan tenaga kesehatan
lainnya,\\\" ujar Endang.
Menkes memang tidak secara tegas membenarkan perbuatan Misran. Namun, tenaga-tenaga
kesehatan yang bertugas di pedalaman kadang-kadang harus bertindak cepat untuk
keselamatan nyawa pasien mereka.
\\\"Mereka para perawat, dokter, yang ada di ujung-ujung itu kadang-kadang harus
melakukan itu, karena pasien datang untuk minta tolong. Jadi kalau itu sifatnya untuk
menolong dan tidak ada tenaga lain tentu saja harusnya itu diperbolehkan,\\\" katanya.
(asp/anw)
Upload Foto Seputar Kondisi atau Peristiwa Unik yang Terjadi di Angkutan Umum
ke pasangmata.com
\\\"Kasus Misran adalah tragedi. Tragedi yang sering muncul di Indonesia, dalam
kasus ini tragedi kesehatan,\\\" ujar anggota Komisi IX DPR, Nursuhud, dalam
talkshow \\\'Tenaga Medis di Pedalaman Kalimantan\\\' di Menara MNC, Jalan
Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin, (12\/4\/2010).
Tragedi Misran dinilai Nursuhud sebagai akibat sikap keangkuhan aparat penegak
hukum. Misran dipidana karena memberikan obat, padahal dia bukan dokter. Aparat
hukum dinilai menerapkan UU dengan sangat kaku, padahal di Kalimantan banyak
sekali pelanggaran hukum lain seperti illegal logging.
\\\"Aparat terlalu kaku. Aparat latah, biar dikatakan aparat yang baik yaitu berlindung
di balik UU. Padahal, disitu banyak illegal logging tapi juga tak ditindak,\\\"
tambahnya.
\\\"Apalagi ini di luar Jawa, pasti lebih banyak. Waktu itu, saya yang ada dalam
pansus UU Kesehatan. Saya bersama teman-teman lain, termasuk yang menolak
pasal tersebut,\\\" bebernya.
Pembelaan terhadap kasus Misran juga dilontarkan oleh ketua Bidang Hukum
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadilah. Menurut catatan PPNI,
30 persen Puskesmas di Indonesia belum mempunyai dokter.
Akibatnya, mantri juga berperan ganda, sebagai perawat juga sebagai dokter. Tapi
melihat kondisi Misran, ditempat dia mengabdi tak ada dokter di lokasi, tak ada
apotek dan Misran juga mengantongi Nota Bupati dan status PNS.
\\\"Saya sepakat ada penataan peraturan, tapi kami jangan di korbankan. Apalagi,
peraturan tersebut baru disiapkan oleh Menteri Kesehatan,\\\" kisahnya.
Kasus Misran bermula ketika hakim PN Tenggarong yang diketuai oleh Bahuri
dengan hakim anggota Nugraheni Maenasti dan Agus Nardiansyah memutus
hukuman 3 bulan penjara, denda Rp 2 juta rupiah subsider 1 bulan pada 19
November 2009. Hakim menjatuhkan hukuman berdasarkan UU 36\/ 2009 tentang
Kesehatan pasal 82 (1) huruf D jo Pasal 63 (1) UU No 32\/1992 tentang Kesehatan
yaitu Mirsam tak punya kewenangan memberikan pertolongan layaknya dokter.
Putusan ini lalu dikuatkan oleh PT Samarinda, Jumat kemarin. Akibat putusan
pengadilan ini, 13 mantri memohon keadilan ke MK karena merasa
dikriminalisasikan oleh UU Kesehatan.
(asp/fay)
Upload Foto Seputar Kondisi atau Peristi
UMAT, 11 FEBRUARI 2011
Akibat putusan ini, Misran minta keadilan hakim MK karena merasa di zalimi oleh UU. Tiap
dua pekan sekali, dia terbang dari Kaltim ke Jakarta dengan bantuan biaya tiket pesawat
dari Bupati untuk bersidang di MK. “Saya meminta keadilan bukan sebagai Misran. Tapi
sebagai perawat karena ribuan perawat di Indonesia mempunyai nasib yang sama dengan
kami,” katanya. (dtc)
Pengacaraonline.com
Tragedi Misran, Tragedi Hukum Indonesia
Jakarta - Pengadilan Tinggi Samarinda Jumat kemarin memberikan putusan banding
dengan menguatkan putusan PN Tenggarong yaitu penjara selama 3 bulan kepada Misram,
mantri desa di pedalaman Kalimantan. Kecaman pun langsung mengalir dari berbagai
kalangan, bahkan dari kalangan medis sendiri.
"Hakim adalah yang paling dekat dengan lokasi. Harusnya memahami permasalahan
keterbatasan alam dan geografis yang menjadi alasan mantri desa berpraktek. Jelas ini
pengadilan berjalan kurang baik," kata pengamat kesehatan Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (FKUI), Firman Lubis saat berbincang dengan detikcom, Jumat
(9/4/2010) malam.
Kritikan pedas juga dilontarkan kriminolog yang menilai UU yang menjerat Misran hanya
menggunakan kaca mata Jakarta yang mudah diakses oleh siapapun. Padahal geografis
alam Indonesia tidak bisa sama.
"Ini menggunakan cara pandang pusat. UU tersebut menggunakan kaca mata Jakarta.
Padahal, banyak di daerah yang susah terjangkau oleh dokter," kata Kriminolog Universitas
Jenderal Soedirman, Jawa Tengah, Angkasa.
Kalangan masyarakat pun menyesalkan putusan pengadilan tersebut. LBH Jakarta menilai
kasus ini akibat kelalai pemerintah dalam menyiapkan struktur medis. Seharusnya
Departemen Kesehatan segera membuat struktur organisasi untuk mendukung perintah UU
tersebut.
Tapi yang terjadi, lanjut Eddy, pemerintah tidak melaksanakan perintah UU untuk
menyiapkan tenaga medis. Sehingga yang terjadi adalah kriminalisasi profesi mantri/bidan
desa. Padahal di Indonesia, mantri desalah yang berperan sebagai ujung tombak pelayan
kesehatan masyarakat.
"Kalau ada yang sakit, apa masyarakat dibiarkan mati? Padahal disitu ada orang yang tahu
cara menyembuhkan. Inikan sangat tidak manusiawi," bebernya.
Keprihatinan buruknya putusan pengadilan juga diutarakan oleh pakar hukum pidana, Andi
Hamzah. Dalam wawancara singkatnya dengan detikcom, dia menilai seharunya Misran
tidak perlu dihukum.
Menurut Andi, yang dilakukan oleh mantri desa terpencil tersebut tidak menyalahi hukum
pidana secara materil. Sebabnya, tidak ada orang yang berwenang memberikan
pertolongan di daerah tersebut. "Kalau tidak ada dokter, siapa yang menolong?" ujarnya.
Andi menilai, hakim hanya memandang kesalahan Misran secara hukum formil semata.
Dalam UU Kesehatan, mantri desa tidak mempunyai wewenang memberikan pertolongan
seperti tertulis UU.
"Lah, dia kan sudah 18 tahun mengabdi di situ. Pasti sudah seperti dokter. Bahkan mungkin
lebih pinter dari dokter," tambah perumus revisi KUHAP ini.
Bahkan, menurut sosiolog Imam Prasojo, kasus Misran bukanlah kasus pertama. Dia
mengaku kasus seperti Misran sudah sering terjadi di Indonesia. Imam memberikan contoh
kasus di Purwakarta, Jawa Barat. Di kabupaten tersebut, ada sebuah SD yang memiliki
berbagai kekurangan sehingga tukang kebon yang hanya lulusan SD pun menjadi guru. Jika
menggunakan kacamata UU semata, jelas guru dadakan ini melanggar UU.
"Tapi kalau dia nggak mengajar, apa murid-murid SD tidak mendapat pendidikan? Meski
secara aturan, hal tersebut melanggar Peraturan Menteri," ujar mantan anggota KPU ini.
Dia juga mencontohkan, kasus Suster Apung, yang terpaksa menggunakan infus kadaluarsa
karena alasan keterbatasan barang. Alasan lain, jika tak diinfus, maka pasien akan
meninggal dunia. Sedangkan dengan infus kadaluarsa, maka pasien akan mempunyai
harapan hidup.
Kasus Misran bermula ketika hakim PN Tenggarong yang diketuai oleh Bahuri dengan
hakim anggota Nugraheni Maenasti dan Agus Nardiansyah memutus hukuman 3 bulan
penjara, denda Rp 2 juta rupiah subsider 1 bulan pada 19 November 2009. Hakim
menjatuhkan hukuman berdasarkan UU 36/ 2009 tentang Kesehatan pasal 82 (1) huruf D jo
Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan yaitu Mirsam tak punya kewenangan
memberikan pertolongan layaknya dokter.
Putusan ini lalu dikuatkan oleh PT Samarinda, kemarin. Akibat putusan pengadilan ini, 13
mantri memohon keadilan ke MK karena merasa dikriminalisasikan oleh UU Kesehatan.
Lantas, bagaimanakah ending tragedi dari pedalaman Kalimantan ini? Kita lihat bagaimana
palu keadilan MK memutus.
Berita detiknews.com hari ini (10 april 2010) memuat : seorang mantri yang bertugas
sebagai kepala puskesmas pembantu di pedalaman kalimantan dijatuhi pidana karena
membuat resep obat daftar G.Pidana dijatuhkan karena ybs bersalah melakukan praktik
selayaknya dokter. Mantri tsb- Misran – mendapatkan “pembelaan” melalui berbagai
pendapat dari sekretaris dinas kesehatan bersangkutan yang juga seorang dokter,sampai
kriminolog dan pengamat kesehatan. Melalui tulisan ini saya ingin berbagi pendapat, dan
minta tolong kepada mereka yang punya kapasitas untuk menterjemahkan UU kedalam
peraturan pelaksanaannya : bahwa ada 3 jenis kewenangan,
1. kewenangan yang didapat karena keahlian (authority by expertise),
2. kewenangan yang didapat karena posisi (authority by position),
3. kewenangan yang didapat karena situasi (authority by situation)
Pada kasus ini, pastilah jenis kewenangan yang pertama tidak berlaku bagi dirinya karena
Pak Misran bukan dokter – dan untuk itu dia dipidanakan, tetapi ada dua jenis kewenangan
yang lain yang menurut saya dapat diberlakukan dalam kasus ini yaitu kewenangan yang
didapat karena posisi yang disandang, dalam konteks ini ybs sebagai kepala puskesmas
pembantu yang memang harus mengambil alih tanggung jawab apabila dokter tidak ada di
area/ditempat; dan jenis kewenangan ketiga yaitu kewenangan yang didapat karena situasi
(authority by situation), dalam kasus ini yang bersangkutan bekerja dipedalaman kalimantan
yang menurut sekretaris dinas kesehatan setempat memang ditempatkan disana sebagai
ujung tombak pelayanan kesehatan karena ketiadaan dokter. Nah ini betul-betul situasional
sehingga jenis kewenangan ketiga harus diberlakukan,apalagi pemda dan dinas kesehatan
setempat menyatakan bahwa ini adalah kondisi yang dihadapi di daerah pedalaman. Satu
hal yang saya ingin titipkan kepada sekretaris dinas kesehatan setempat,atau mungkin juga
ditempat lain, dalam hal perawat diberi tugas diluar konteks bidang keahliannya mereka
harus diberikan perlindungan untuk dapat menjalankan peran dengan kewenangan karena
posisi yang disandang atau kewenangan situasional melalui SPO sebagai bekal. Karena
kasus ini sedang kasasi, saya ingin minta tolong PPNI dengan kapasitasnya,untuk memberi
informasi kepada para pengambil keputusan tentang ketiga jenis kewenangan ini untuk
menjadi pertimbangan.
Jakarta - Kasus mantri desa Kuala Samboja, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, Misran
yang dipidana 3 bulan oleh Pengadilan Tinggi Samarinda nampaknya tetap menemui jalan
buntu. Sebab, seandainya Misran menang di Mahkamah Konstitusi (MK), ayah 4 anak
tersebut tetap harus meringkuk di penjara.
"Karena putusan MK tidak berlaku surut. Putusan MK atas kasus Misran hanya berlaku ke
depan, tidak berlaku ke belakang," kata pengacara publik LBH Jakarta, Edy Halomoan
Gurning, saat berbincang dengan detikcom, Jumat, (7/5/2010).
Dalam permohonan ke MK, Misran meminta pasal 180 UU Kesehatan untuk dihilangkan
karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Pasal tersebut menyebutkan, orang yang
berhak memberikan obat jenis tertentu hanya tenaga farmasi. Akibatnya, mantri desa di
pedalaman terancam dikriminalisasikan.
"Meski saat ini Misran masih kasasi, tapi untuk kasus Misran, Mahkamah Agung (MA) tidak
ada kewajiban memperhatikan putusan MK jika mengabulkan. Karena, kasus Misran terjadi
beberapa bulan sebelum putusan MK. Sedangkan MA hanya menilai kasus saat PN
memberikan putusan yaitu pasal tersebut
masih belaku atau tidak," tambahnya.
"Meski Misran tetap bisa dipidana, tapi ini bentuk perlindungan hukum bagi tenaga
medisnya. Karena putusan MK bisa menjadikan payung hukum bagi Misran-Misran lainnya.
Yang bisa membebaskan pidana Misran kini hanyalah hakim yang memegang kasasi di
MA," pungkasnya.
Reaksi: