You are on page 1of 46

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Adanya pengaruh globalisasi yang menjurus ke westermani membuat
perubahan pola hidup dan pola makan masyarakat Indonesia khusunya di kota –
kota besar. Makanan tinggi kalori, tinggi lemak dan kolesterol merupakan
makanan yang banyak digemari masyarakat. Makanan cepat saji yang dinilai
cepat dan praktis juga menjadi prioritas bagi masyarakat yang bekerja dan tidak
memiliki waktu banyak untuk mengolah makanan yang sehat. Kurangnya
waktu, pemahaman dan minat masyarakat untuk mengimbangi dengan
berolahraga juga menjadi masalah besar di masa sekarang.
Keadaan ini berdampak pada naiknya kadar gula darah seseorang yang
disebut dengan hiperglikemi. Menurut WHO ( 1985 ) kadar glukosa normal
darah kapiler pada waktu puasa tidak melebihi 120 mg/dl dan 2 jam sesudah
makan kurang dari 200 mg/dl.
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik, yang ditandai
dengan peninggian kadar glukosa darah akibat berkurangnya kualitas insulin,
sekresi insulin atau keduanya. Penderita diabetes (diabetisi) semakin meningkat
prevalensinya dari tahun ke tahun. Telah diketahui diabetes melitus akan
berhubungan dengan berbagai komplikasi baik mikroangiopati maupun
makroangiopati, terjadinya komplikasi ini sangat erat berhubungan dengan
kontrol glukosa darah. Pengelolqaan DM terdiri dari 5 pilar utama yaitu
perencanaan diet, latihan jasmani, terapi medis, edukasi dan pemantauan gula
darah (Smeltzer & Bare, 2008). Sampai saat ini meskipun telah ditemukan
insulin dan obat hipoglikemik oral yang termasuk dalam jenis terapi medis,
tetapi untuk mengontrol kadar glukosa darah, diet masih merupakan lini pertama
upaya yang dilakukan secara berkepanjangan untuk mencapai target kadar

1
glukosa darah yang diharapkan, sehingga progresifitas penyakit bisa terkendali.
( Munadi, 2008 ).
Di dunia pada tahun 2010 diperkirakan ada sekitar 59 juta orang yang
menderita diabetes melitus dan pada tahun 2030 diperkirakan akan meningkat
2,5 kali lipat sehingga mencapai 145 juta penderita, di Indonesia sendiri Badan
Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah penderita diabetes melitus di
Indonesia meningkat tiga kali lipat dari data tahun 2000 dimana jumlah penderita
mencapai 8,4 juta, maka dalam 10 tahun tepatnya tahun 2010 mencapai 21,3
juta orang. Melihat pola pertambahan penduduk di Indonesia saat ini data
terakhir yang dikeluarkan Departemen Kesehatan RI 2010 menyebutkan
prevalensi diabetes melitus secara nasional 5,7% dari penduduk Indonesia atau
sekitar 12 juta jiwa, kalau dibiarakan 12 juta penderita diabetes pada tahun 2010
akan meningkat 2 kali lipat atau menjadi 24 juta jiwa pada tahun 2030.
Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman
berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah
kesehatannya. Pada dasarnya sangat banyak jenis tanaman di alam yang dapat
dimanfaatkan atau telah dimanfaatkan oleh masyarakat, baik sebagai bahan
makanan maupun sebagai bahan obat - obatan. ( Made Oka, dkk. 2012 ).
Tanaman Ashitaba (Angelica keiskei) adalah salah satu tanaman obat asli
Jepang yang dikenal sebagai “Harta Karun” dan “Raja Sayur Mayur” yang
belum banyak dikenal di Indonesia. Menurut sejarah orang Jepang, Ashitaba
merupakan tanaman yang bermanfaat untuk panjang umur yang dulu dicari-cari
oleh kaisar pertama Cina dari Dinasti Chin. Pada masa jaman Edo, Ashitaba juga
dikenal sebagai jamu-jamuan “Umur Panjang”. Karena daya hidupnya yang
kuat, bila dipetik daunnya hari ini maka daun muda yang baru akan bertunas
esok harinya (tomorrow’s leaf). Ashitaba juga dikenal dengan sebutan “Daun
Malaikat” karena kemampuannya menyembuhkan berbagai penyakit (Nagata, et
al., 2007).
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan ingin mengetahui adanya pengaruh
ekstrak ashitaba terhadap penurunan glukosa darah dengan metode pre and post
design dalam beberapa dosis. Dosis-dosis tersebut digunakan agar mendapatkan

2
efisiensi kadar ashitaba dalam menurunkan glukosa darah yang belum dibahas
lanjut dari penelitian – penelitian sebelumnya khususnya di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak Ashitaba dengan penurunan kadar
glukosa darah ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh ekstrak ashitaba dengan penurunan kadar glukosa
darah.
2. Tujuan Khusus
a. Mengukur penurunan kadar gula darah pada mencit dengan diet tinggi
glukosa dengan pemberian ekstrak ahitaba dalam kadar 50gr/100gr BB.
b. Mengukur penurunan kadar gula darah pada mencit dengan diet tinggi
glukosa dengan pemberian ekstrak ahitaba dalam kadar 75gr/100gr BB.
c. Mengukur penurunan kadar gula darah pada mencit dengan diet tinggi
glukosa dengan pemberian ekstrak ahitaba dalam kadar 100gr/100gr BB.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan
Sebagai bahan informasi berkaitan dengan pengobatan alternative pada
kejadian hiperglikemi sehingga dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam menanggulangi kejadian hiperglikemi.

2. Bagi masyarakat
Memberikan wawasan baru kepada masyarakat tentang adanya sumber daya
alam yang dapat digunakan untuk mengatasi kasus hiperglikemi.

3
3. Bagi Penelitian Lanjutan
Sebagai sumber informasi tentang adanya pemanfaatan ekstrak ashitaba
guna menurunkan kadar glukosa, sehingga dapat dimanfaatkan untuk
penelitian lebih lanjut agar hasil pemanfaatan ekstrak ashitaba lebih akurat.
4. Bagi Mahasiswa
Dapat menambah pengetahuan dan wacana serta dapat dijadikan sebagai
refrensi adanya manfaat sumber daya alam yang dapat digali lebih dalam
guna menambah kepustakaan dalam pengembangan ilmu Kedokteran

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

4
A. Diabetes Melitus

1. Definisi
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronik yang terjadi ketika
pankreas tidak cukup dalam memproduksi insulin atau ketika tubuh tidak
efisien menggunakan insulin itu sendiri. Insulin adalah hormon yang
mengatur kadar gula darah. Hiperglikemia atau kenaikan kadar gula darah,
adalah efek yang tidak terkontrol dari diabetes dan dalam waktu panjang
dapat terjadi kerusakan yang serius pada beberapa sistem tubuh, khususnya
pada pembuluh darah jantung (penyakit jantung koroner), mata (dapat
terjadi kebutaan), ginjal (dapat terjadi gagal ginjal), syaraf (dapat terjadi
stroke) (WHO, 2011).
DM sendiri merupakan penyakit kronis yang akan diderita seumur hidup
sehingga progresifitas penyakit akan terus berjalan, pada suatu saaat akan
menimbulkan komplikasi.
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus
(DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.
Menurut kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia) 2006, seorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar
gula darah puasa > 126 mg/dL. Dan pada tes sewaktu > 200 mg/dL. Kadar
gula darah sepanjang hari bervariasi dimana akan meningkat setelah makan
dan kembali dalam waktu 2 jam.

2. Etiologi
Pada penderita diabetes memiliki kadar gula darah yang tinggi
disebabkan karena pankreas tidak dapat memproduksi insulin atau otot,

5
lemak dan sel-sel hati tidak merespon insulin secara normal, ataupun
kedua-duanya (Soegondo, 2011).
Pada diabetes mellitus type 1, terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel - sel pankreas telah dihancurkan oleh
proses autoimun. Ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin
menyebabkan glukosa menjadi menumpuk di dalam peredaran darah karena
tidak dapat diangkut ke dalam sel. Hal ini menyebabkan peningkatan kadar
glukosa darah di dalam sel (Smeltzer & Bare, 2002). Glukosa yang berasal
dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap dalam darah
dan menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan). Jika
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut
dieksresikan dalam urin (glukosuria). Eksresi ini akan disertai oleh
pengeluaran cairan dan elekrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut
diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria)
dan rasa haus (polidipsi).
Sedangkan menurut Smeltzer & Bare (2002) DM tipe II disebabkan
kegagalan relatif sel β dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya
kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan
perifer dan untuk menghambat produksi glikosa oleh hati. Sel β tidak
mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi
defensiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya
sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa
bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas
mengalami desensitisasi terhadap glukosa.
Kekurangan insulin dapat menyebabkan terjadinya sedikit atau tidak ada
ikatan dengan reseptor sehingga proses translokasi transporter glukosa
(GLUT-4) ke membran sel menjadi terhambat. GLUT-4 memfasilitasi
masuknya glukosa ke dalam sel. Bila proses translokasi GLUT-4 terganggu
akan menyebabkan ambilan glukosa dalam darah menjadi terganggu,

6
sehingga terjadi penumpukan glukosa di ekstrasel yang akan mengakibatkan
glukosa darah meningkat atau disebut juga hiperglikemia (Ganong, 2008).
Rendahnya sensitivitas atau tingginya resistensi jaringan tubuh terhadap
insulin dapat mempengaruhi metabolisme glukosa pada tubuh. Selain itu
regulasi glukosa darah tidak hanya berkaitan dengan metabolisme glukosa
di jaringan perifer, tapi juga di jaringan hepar dimana GLUT-2 berfungsi
sebagai kendaraan pengangkut glukosa melewati membran sel kedalam sel.
Dalam hal ini jaringan hepar ikut berperan dalam mengatur homeostasis
glukosa tubuh (Weyer, 2000).

3. Tanda dan Gejala

Penderita DM umumnya menampakkan tanda dan gejala dibawah ini

meskipun tidak semua dialami oleh penderita:

- Jumlah urine yang dikeluarkan lebih banyak (Poliuria).

- Sering atau cepat merasa haus/dahaga (Polidipsia).

- Lapar yang berlebihan atau makan banyak (Polifagia).

- Frekuensi urine meningkat/kencing terus (Glycosuria).

- Kehilangan berat badan yang tidak jelas sebabnya.

- Kesemutan atau mati rasa pada ujung saraf ditelapak tangan &

kaki.

- Cepat lelah dan lemah setiap waktu.

- Mengalami rabun penglihatan secara tiba-tiba.

- Apabila luka/tergores lambat penyembuhannya.

- Mudah terkena infeksi terutama pada kulit.

4. Klasifikasi Diabetes Melitus

7
American Diabetes Association (ADA) dalam Standards of Medical
Care in Diabetes (2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus sebagai
berikut:
a. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya
destruksi sel β pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi
insulin (melalui proses imunologik atau idiopatik).

Gambar II.1 Anatomi Pankreas


(http://www.sridianti.com/wp-content/uploads/2013/09/anatomi-pankreas-
smakita-300x195.jpg)

b. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya


kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.

c. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh


beberapa faktor lain seperti :

- Kelainan genetik pada fungsi sel β pancreas


a) Kromosom 12 dan 20, HNF-α
b) Kromosom 7, glukokinase
c) Kromosom 13, insulin promoter factor
d) Kromosom 17, HNF-1β

8
e) Koromosom 2, Neuro D1
- Kelainan genetik pada aktivitas insulin : Resistensi insulin tipe A,
sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik
- Penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis) seperti pancreatitis,
trauma/pankreatektomi, neoplasma
- Endokrinopati : Hipertiroid, sindrom cushing
- Akibat penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada
penderita AIDS dan terapi setelah transplantasi organ).
d. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau
dialami selama masa kehamilan.

5. Perbedaan Diabetes Tipe 1 dan Tipe 2

Perbedaan diabetes melitus tipe 1 dan 2 dapat dilihat pada tabel :

Tabel 2. Perbedaan Diabetes Melitus Tipe 1 dan 2 (Soegondo, 2011)

Diabetes Melitus tipe 1 Diabetes Melitus tipe 2

Kerusakan pada sel pembuat insulin Bersifat familial/keturunan

Sel β pankreas rusak sehingga kadar Sering terjadi resistensi insulin

insulin rendah

Sering atau mudah mengalami ketosis Jarang terdapat ketosis

Kebutuhan insulin dalam Insulin yang beredar dalam jumlah

mengendalikan kadar glukosa harian cukup, namun jaringan tubuh

kurang beraksi dengan baik

Umumnya penderita kurus Umumnya penderita gemuk

Biasanya berusia muda Biasa berusia > 35 tahun

6. Epidemiologi

9
Secara global, pada 2010, diperkirakan 285 juta orang menderita
diabetes, dengan tipe 2 sekitar 90% dari kasus insiden DM meningkat
dengan cepat, dan pada tahun 2030, jumlah ini diperkirakan hampir dua
kali lipat.
Diabetes mellitus terjadi di seluruh dunia, namun lebih umum
(terutama tipe 2) di negara-negara yang lebih maju. Peningkatan
terbesar dalam prevalensi, dipekirakan terjadi di Asia dan Afrika, di
mana kebanyakan pasien mungkin akan ditemukan pada tahun 2030 .
Peningkatan kejadian di negara berkembang mengikuti tren
urbanisasi dan perubahan gaya hidup. Beberapa juga meyakini adanya
faktor lingkungan, tapi masih sedikit pemahaman tentang
mekanismenya.
WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia
dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030
nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan
dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%)
maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban
dan 8,1 juta di daerah rural.
Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan :
1) Prevalensi nasional DM berdasarkan pemeriksaan gula darah
pada penduduk usia >15 tahun diperkotaan 5,7%.
2) Prevalensi nasional Obesitas umum pada penduduk usia >= 15
tahun sebesar 10.3% dan sebanyak 12 provinsi memiliki
prevalensi diatas nasional, prevalensi nasional Obesitas sentral
pada penduduk Usia >= 15 tahun sebesar 18,8 % dan sebanyak
17 provinsi memiliki prevalensi diatas nasional.
3) Prevalensi TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) pada penduduk
usia >15 tahun di perkotaan adalah 10.2% dan sebanyak 13
provinsi mempunyai prevalensi diatas prevalensi nasional.
Proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-

10
54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu
14,7%. Dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu
5,8%.

Dari perbandingan yang tipis, DM lebih banyak ditemukan pada


wanita dibanding dengan pria. Berdasar studi yang telah dilakukan
oleh WHO menggunakan desain studi kohort di seluruh dunia selama
kurang lebih 11 tahun diperoleh data bahwa angka kematian akibat
diabetes pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 2,9 juta kematian.
Dimana 1,4 juta adalah laki – laki dan 1,5 juta perempuan.

7. Diagnosa dan Tes


Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan
pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl diagnosis DM
sudah dapat ditegakkan.
Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga
dapat digunakan untuk pedoman diagnosis DM. Untuk pasien tanpa
gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali
saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan
investigasi lebih lanjut yaitu GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl pada
hari yang lain atau hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200
mg/dl

11
Gambar II.2 Langkah – langkah diagnosis Diabetes Mellitus
(https://kadaverboy.wordpress.com/2009/11/22/ketoasidosis-diabetikum/)

B. Ashitaba

1. Definisi

Tanaman ini berpotensi sebagai obat karena dari getahnya yang


berwarna kuning mengandung zat chalcone. Menurut Ogawa et al. (2005)
ashitaba memiliki kemampuan sebagai antihipertensi dan antisroke. Batang,
daun maupun umbi tanaman ashitaba jika dipotong akan mengeluarkan
getah berwarna kuning disebut chalcone yang termasuk golongan senyawa
flavonoid.

12
Shibata (1994) menyatakan bahwa chalcones mempunyai fungsi
sebagai antitumorigenic. Hasil penelitian Universitas Farmasi Osaka tahun
1990, jumlah kandungan bahan aktif dalam 100 g ashitaba adalah terdapat
xanthoangelol 0,25%, 4-Hydroxyderricin 0,07% dan total chalcone 0,32%
(Baba 1995). Total flavonoid di dalam pucuk ashitaba berkisar 219 mg/100g
per berat basahnya (Yang et al. 2008). Selanjutnya menurut Ma’mun et al.
(2009), di dalam ashitaba terdapat zat asam hexadecanoat 2,42%, asam
palmitat 5,08%, xanthotoxin 3,12%, asam linoleat 9,17%, pyrimidin 2,70%,
strychnidinone 3,18% dan smenochromena 7,55%. Selain zat tersebut di
dalam ashitaba juga terdapat vitamin, asam amino dan unsure mineral.

Gambar II.6 Tumbuhan Ashitaba


(http://www.npnutra.com/assets/images/Ashitaba-1.jpg )

Ashitaba merupakan tanaman yang kaya akan vitamin, mineral,


asam amino maupun zat aktif penciri sehingga dapat disebut sebagai
tanaman multi fungsi. Menurut Hida (2007), ashitaba mengandung klorofil
yang cukup tinggi sehingga dapat meningkatkan produksi darah serta
keseimbangan fungsi tubuh. Zat aktif yang terdapat dalam chalcone
bermanfaat untuk meningkatkan produksi sel darah merah, meningkatkan
perhatian dan konsentrasi, produksi hormon pertumbuhan serta
meningkatkan pertahanan tubuh untuk melawan penyakit infeksi, sedang

13
menurut Sigurdsson et al. (2005) ekstrak daun Angelica archangelica
mempunyai aktivitas sebagai antitumor, kanker (paru-paru dan kulit).
Selain itu ashitaba juga berpotensi sebagai sumber antioksidan (Li
et al. 2009). Menurut Wicaksono dan Syafirudin (2003) efek antioksidan
ashitaba melebihi anggur, teh hijau maupun kedelai, yang berfungsi
menjaga organ tubuh dan kerusakan sel akibat radikal bebas serta
memperlambat proses penuaan. Nilai total aktivitas antioksidan dari
ashitaba berkisar 1890±30 mg/g berat kering (Chen et al. 2004). Ashitaba
juga berguna sebagai lactagogen, karena mampu menginduksi sekresi susu
ibu.
Ashitaba yang diberikan untuk sapi sebagai makanannya dapat
meningkatkan produksi susu. Disamping itu juga dapat menyembuhkan
diabetes, asam lambung, hipertensi, jantung koroner, asma, liver,
menurunkan kolesterol, osteoporosis, ginjal, maag dan menambah vitalitas,
penghambat proliferasi HIV dan sebagai antibakteri terutama
Staphyloccocus aureus dan Staphyloccus epidermis. Menurut Enoki et al.
(2007), ashitaba dapat disebut sebagai tanaman insulin karena dapat
menyembuhkan penyakit diabetes.
Secara farmakokinetik, obat yang masuk ke dalam tubuh akan
mengalami absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Ginjal
merupakan organ filtrasi dan eksresi utama yang sangat penting untuk
menyaring dan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme tubuh, termasuk zat-zat
toksik yang masuk ke dalam tubuh (Guyton dan Hall, 2008).
Pada penelitian sebelumnya, dituliskan bahwa pemberian ekstrak
etanol daun Ashitaba (Angelica keiskei) dengan dosis 1000 mg/kg bb (0,24
ml) selama 21 hari dapat menimbulkan gangguan gambaran histopatologi
ginjal mencit (Mus musculus) jantan.
Di Indonesia, ashitaba dikembangkan di Malang, Jawa Timur dan
Jawa Barat, di Kebun Percobaan Manoko.

14
2. Klasifikasi Ashitaba
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Sub kelas : sympetalae
Bangsa : Apiales
Keluarga : Apiaceae
Marga : Angelica
Jenis : Angelica keiskei koidzumi

3. Morfologi dan Anatomi


Daun ashitaba adalah termsuk daun lengkap yang terdiri dari pelepah
( upih ), tangkai, dan helaian. Tangkai daun silinder agak sedikit kecil bila
dibandingkan dengan pelepahdaun yang mengalami pelebaran di bagian
samping yang kemudian melekat di batang pokok. Daun tersebar,
majemukatau terbagi pinnatus, palmatus atau trifoliolatus, dengan pelepah
yang lebar, ada atau tidak stipula.
Ujung daun Ashitaba meruncing dengan pangkal daun yang tumpul.
Susunan tulang daun pada tanaman Ashitaba ada dua macam yaitu menjari
dan menyirip. Hal ini dilihat dengan dua sudut pandang yang berbeda yaitu,
pertama jika kita melihat mulai dari bagian tempat melekatnya daun
tanaman tersebut, tulang daunnya menjari.
Tumbuhan ini, termasuk tanaman monocotil. Anatomi daun biasanya
berbentuk seperti pita dan pada pangkalnya terdapat lembaran yang
membungkus batang, serta urat daunnya yang sejajar, jaringan yang terdapat
pada daun Ashitaba yaitu terdapat jaringan epidermis, stomata, mesofil,
xylem, floem, sklerenkim, parenkim. Jaringan epidermis pada daun
Ashitaba yaitu sama dengan jaringan pada daun umumnya yaitu merupakan
suatu jaringan yang berupa satu lapis sel yang dindingnya mengalami
penebalan dari zat kutikula atau dari lignin.

15
4. Efek Farmakologi
Ada beberapa unsur inti yang terkandung dalam Ashitaba dan memiliki
kadar paling besar.
a. Chalcone
Senyawa kalkon (C15H12O), 1,3-difenil-1- propen-1-on atau
benzilidenaasetofenon, merupa- kan senyawa yang sangat penting di
alam. Senyawa kalkon yang terdapat pada tanaman merupakan
precursor dari senyawa flavonoid dan isoflavonoid. Kalkon
mengandung dua cincin aromatis (A dan B) dan satu atom karbon
α,β- tak jenuh. Pada cincin A biasanya terdapat gugus etil, metil atau
gugus alkil yang dapat meningkatkan aktivitas. Cincin B biasanya
mengandung gugus- gugus hidrofob seperti halogen, nitro dan siano
yang juga dapat meningkatkan aktivitas. Ikatan rangkap pada kalkon
juga memegang peranan penting dalam aktivitas, tetapi modifikasi
dari ikatan ini tidak memberikan banyak pengaruh terhadap
perubahan aktivitas. Substituen posisi para pada cincin B
memengang peranan penting di dalam peningkatan aktivitas
dibandingkan posisi orto. Adanya gugus keto dan gugus vinil pada
kalkon telah diamati mempunyai fungsi meningkatkan aktivitas
sebagai antioksidan (Belsare, et al.,2010; Shailendra, et al., 2007)

Menurut Dr Nurlaini Bermawie dari Balai Penelitian Tanaman


Obat dan Aromatik (Balittro), ashitaba mempunyai getah berwarna
kuning atau chalcones yang keluar dari batang dan daun. Di situ
terdapat beberapa bahan aktif seperti xantoangelol dan 4-
hydroxyderricin yang merupakan antioksidan. Di antara sekitar 40
anggota genus Angelica, ashitaba satu-satunya yang memiliki getah
kuning. ashitaba multikhasiat, selain antioksidan ia juga berperan
sebagai antikanker, antihipertensi, antidiabetes dan antikolesterol.

16
Xanthoangelol dan 4-hydroxyderricin merupakan senyawa
dengan banyak aktivitas biologi. Xanthoangelol menghambat
pertumbuhan tumor dengan cara menghalangi sintesis DNA sel
tumor. Sementara 4-hydroxyderricin menekan tekanan darah
sistolik dan mengurangi LDL alias kolesterol jahat. Sebagai
antidiabetes, kedua senyawa ini berkemampuan seperti insulin:
menurunkan kadar gula darah.

Fungsi sistem antioksidan tubuh dalam melindungi jaringan


terhadap efek negated radikal bebas dapat dikelompokkan menjadi 5
macam yaitu:
1) Antioksidan primer berfungsi mencegah terbentuknya
radikal bebas baru, yaitu enzim superoksida dismutase
(SOD), glutation peroksidase (GPX), dan katalase.
2) Antioksidan sekunder berfungsi menangkap radial bebas
serta mencegah terjadinya reaksi berantai, yaitu vitamin C,
vitamin E dan beta karoten.
3) Antioksidan tersier berfungsi memperbaiki sel-sel dan
jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas, yaitu
jenis enzim misalnya metionin sulfosida reduktase.
4) Oxygen scavenger berfungsi mengikat oksigen sehingga
tidak mendukung reaksi oksidasi, misalnya vitamin C.

17
5) Chelators atau sequestrants bersifat mengikat logam yang
mampu mengkatalisis reaksi oksidasi misalnya asam sitrat
dan asam amino.

b. Flavonoid
Fakta menunjukkan bahwa hampir semua komponen nutrisi
yang diidentifikasi berperan sebagai agen protektif terhadap
penyakit-penyakit tertentu dalam survei/penelitian mengenai diet,
sejauh ini mempunyai beberapa sifat antioksidatif (Deshpande et al.,
1985). Pada uraian sebelumnya, telah dipaparkan bahwa beberapa
senyawa flavonoid seperti quercetin, kaempferol, myricetin,
apigenin, luteolin, vitexin dan isovitexin terdapat pada sereal,
sayuran, buah dan produk olahannya dengan kandungan yang
bervariasi serta sebagian besar memiliki sifat sebagai antioksidan.
Hal ini telah memperkuat dugaan bahwa flavonoid memiliki efek
biologis tertentu berkaitan dengan sifat antioksidatifnya tersebut.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
korelasi negatif antara asupan flavonoid dengan resiko munculnya
penyakit jantung koroner. Efek kardioprotektif flavonoid sebagai
sumber diet telah ditinjau oleh Cook dan S. Samman (1996).
Antioksidan alami seperti flavonoid yang banyak terdapat pada
minuman dan buah anggur, diketahui memiliki kontribusi dalam
menghambat oksidasi LDL (low density lipoprotein) secara ex-vivo
(Kanner et al., 1994). Produk oksidatif LDL dapat menyebabkan
terjadinya penyempitan pembuluh darah koroner.
Pada metode yang sama, senyawa flavonol yang terdapat
dalam teh diketahui bersifat sebagai antioksidan yang kuat (Vinson
et al., 1995b). Konsumsi tujuh sampai delapan cangkir teh hijau
yang mengandung epigallocathecingallate (kira-kira 100 mL tiap
cangkir) dapat meningkatkan resistensi LDL terhadap oksidasi in
vivo, sehingga dapat menurunkan resiko terkena penyakit

18
kardiovaskuler (Miura et al., 2000). Hasil dari studi yang dilakukan
oleh Zhu et al. (2000) menunjukkan bahwa senyawa-senyawa
flavonoid alami seperti kaempferol, morin, myricetin, dan quercetin
memiliki aktivitas perlindungan yang bervariasi terhadap penurunan
kandungan α-tokoferol dalam LDL sedangkan kaempferol dan
morin kurang efektif dibandingkan dengan myricetin dan quercetin.
Komponen α-tokoferol (bentuk umum vitamin E) dikenal sebagai
antioksidan primer yang dapat melindungi LDL dari oksidasi.

c. Asam Linoleat
Asam linoleat (linoleic acid) tergolong kedalam asam lemak
tidak jenuh ikatan ganda (Polyunsaturated Fatty Acid) yang esensial
untuk tubuh. Asam linoleat berperan dalam pertumbuhan,
pemeliharaan membran sel, pengaturan metabolisme kolesterol,
menurunkan tekanan darah, menghambat lipogenesis hepatik,
transport lipid, prekursor dalam sintesis prostaglandin, membentuk
arakhidonat dan dalam proses reproduksi 3 (Pudjiadi, 1997).
Pergantian diet tinggi asam lemak jenuh dari makanan,
dengan mengkonsumsi asam linoleat telah direkomendasikan dalam
usaha mencegah penyakit jantung koroner (Galli, et.al., 1994).
Tubuh memerlukan asam linoleat 3-6% dari seluruh kalori yang
dibutuhkan (Erasmus, 1996) dan yang direkomendasikan adalah 3
gram per harinya (Recommended Daily Allowance, 2000).

Defisiensi asam linoleat dapat menyebabkan dermatitis,


kemampuan reproduksi menurun, gangguan pertumbuhan,
degenerasi hati, dan rentan terhadap infeksi (Erasmus, 1996). Tubuh
tidak dapat mensintesis asam linoleat, kebutuhan akan asam linoleat

19
harus diperoleh dari luar tubuh (makanan), oleh karena itu asam
linoleat disebut sebagai asam lemak esensial.

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep
Ekstak

Ashitaba
20
(xanthoangelol, 4-Hydroxyderricin, chalcone, flavonoid, asam hexadecanoat, asam palmitat,
xanthotoxin, asam linoleat, pyrimidin, strychnidinone, smenochromena, vitamin B1,
B2, B3,B5,B6, vitamin C)
Mencit Tinggi Glukosa Stimulator sel β
Pankreas

Sekresi Insulin

Glikogenesis

Glukoneogenesis

Absorbsi glukosa ke dalam sel

Kadar glukosa darah tikus mencit turun

Keterangan :

: Yang diteliti

: Yang tidak diteliti

B. Penjelasan Kerangka Konsep

Mencit dengan kriteria sehat diinduksi glukosa sehingga mengalami


hiperglikemi. Mencit dinyatakan hiperglikemi bila kadar glukosa darah
mencapai 135 mg/dl atau lebih. Kemudian mencit diinduksi ekstrak ashitaba

21
untuk mengetahui adanya pengaruh ekstrak ashitaba dalam penurunan glukosa
darah. Kandungan – kandungan ashitaba membantu menstimulasi dari sel β
pancreas. Fungsi dari sel β pancreas adalah mensekresi insulin. Ketika sudah
terdapat insulin yang cukup dalam tubuh, maka akan terjadi peningkatan
glikogenesis yaitu pembentukan glukosa menjadi glikogen sebagai sumber
energi simpanan/cadangan. Glikogen kemudian akan disimpan dalam hati dan
otot.

Selanjutnya terjadi juga penurunan glukoneogenesis yaitu proses sintesis


(pembentukan) glukosa dari sumber bukan karbohidrat seperti asam piruvat,
asam laktat , oxaloasetat, dihidroxiaseton fosfat. Glukoneogenesis bertujuan
untuk menjaga agar kadar glukosa darah tetap dalam kondisi normal.
Glukoneogenesis terjadi terutama di hati dan dalam jumlah sedikit juga terjadi
di korteks ginjal. Sangat sedikit terjadi di otak, otot rangka, otot jantung.
Kemudian terjadi juga penurunan absorbsi glukosa ke dalam sel.

C. Hipotesis

Terdapat penurunan gula darah pada mencit dengan diet tinggi glukosa yang

diberi ekstrak Ashitaba

BAB IV
METODE PENELITIAN

22
A. Rancangan Penelitian

Penelitian dengan judul “ Gambaran Kadar Gula Darah Pada Mencit


Dengan Diet Tinggi Glukosa Yang Diberi Ekstrak Ashitaba “ termasuk penelitian
eksperimental dengan rancangan Pre And Post Test Only Control Group Design.
Pengambilan data dilakukan sebelum diberi perlakuan dan pada saat akhir
penelitian, setelah dilakukannya perlakuan dengan membandingkan hasil pada
kelompok yang diberi perlakuan dengan kelompok yang tidak diberi perlakuan.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian akan dilakukan pada :
Lokasi : Laboratorium Hewan Coba Fak. Kedokteran Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya
Waktu : April - Mei 2016

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah mencit sehat yang diberi diit
tinggi glukosa. Populasi adalah mencit yang berusia > 1 bulan. Dengan
berat badan 30 - 40 gram.

2. Sample
Sample adalah sebagian yang diambil sebagai sumber data dan dapat
mewakili seluruh populasi yang diteliti (Sugiyono, 2010). Sample
penelitian adalah 30 mencit sehat yang diberi diet tinggi glukosa.

a. Kriteria Penerimaan Sampel (Kriteria Inklusi)

23
Mencit dengan riwayat kesehatan baik, jenis kelamin jantan, usia

kira – kira 2 bulan, dengan berat badan 30 - 40 gram serta sehat

(gerak aktif, rambut tidak kusam, rontok atau botak).

b. Kriteria Penolakan Sampel (Kriteria Eksklusi)

Mencit yang sakit / mati, mencit yang hiperglikemi sebelum

dilakukan percobaan.

c. Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel


Rumus = (n-1)(t-1) > 15

Keterangan :
24
n : Jumlah Sample

p : Jumlah kelompok hewan coba


Jumlah kelompok ada 5 ( t = 5 )

A B C D E

Sehat Diit tinggi Diit + Diit + Diit +


glukosa ekstrak ekstrak ekstrak
ashitaba ashitaba ashitaba
Kadar Kadar Kadar
50gr/100gr 75gr/ 100gr/
BB 100gr 100gr
BB BB

(n-1)(t-1) > 15
(n-1)(5-1) > 15
(n-1) 4 > 15
4n – 4 > 15
4n > 15 + 4
4n > 19
n > 19/4
n > 4,75
Dibulatkan menjadi 5

Jadi minimum jumlah mencit yang digunakan tiap kelompok adalah 5 ekor.
Ditambahkan 1 ekor mencit cadangan disetiap perlakuan. Total mencit yang
diperlukan dalam percobaan ini adalah 30 ekor.

D. Variabel Penelitian

25
Variabel yang digunakan antara lain:

a) Variabel bebas (sebab)

Variabel bebas (sebab) merupakan suatu variabel yang menjadi

penyebab atau causa dari suatu kejadian sehingga akan menimbulkan

akibat. (Dahlan, 2009).

Yang menjadi variabel bebas dalam penelitian ini ekstrak ashitaba.

b) Variabel terikat (akibat)

Variabel terikat (akibat) merupakan suatu variabel resiko tau dapat

juga diartikan sebagai variabel yang dipengaruhi atau variabel yang terjadi

sebagai akibat dari adanya variabel bebas. (Dahlan, 2009).

Yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini adalah kadar glukosa

darah mencit.

26
E. Definisi Operasional
Tabel Definisi Opersional
No. Variabel Definisi Operasional Katagori Alat Ukur Skala
1 Kadar Gula Glukosa darah normal 1. Normal Glukosa Nominal
Darah sekitar 50 - 135 mg/dl. Bila hasil tes test
Dikatakan hiperglikemi menunjukkan nilai
bila nilai glukosa glukosa >135mg/dl
darahnya melebihi nilai 2. Hiperglikemi
normal, yaitu > 135 Bila hasil tes
mg/dl. Dikatakan menunjukkan nilai
hipoglikemi bila kadar glukosa >135mg/dl
gula darah < 50 mg/dl 3. Hipoglikemi
Bila hasil tes
menunjukkan nilai
glukosa < 50 mg/dl

2 Diet Tinggi Mencit dengan gula 1. Gula darah Nominal


Glukosa darah normal diinduksi mencit
glukosa 1,2 mg/kg BB meningkat
secara peroral sehingga hingga
mencit mengalami >135mg/dl
hiperglikemi setelah
diinduksi
glukosa
2. Gula darah
mencit tetap
normal setelah
diinduksi
glukosa

27
3 Gambaran Gula darah pada mencit 1. Bila terjadi Glukosa Nominal
Kadar Gula dipantau setelah penurunan gula Test
Darah diberikan ekstrak darah pada
Ashitaba mencit diet
tinggi glukosa
yang diberi
ekstrak
Ashitaba.
2. Bila tidak
terjadi
penurunan gula
darah pada
mencit diet
tinggi glukosa
yang diberi
ekstrak
Ashitaba
4 Ekstrak Ekstrak Ashitaba 1. Bila glukosa Nominal
Ashitaba ditinjau pengaruhnya darah dapat turun
dalam menurunkan setelah pemberian
kadar glukosa darah ekstrak kadar 50gr
pada mencit yang telah / 100gr bb
diberi diit tinggi 2. Bila glukosa
glukosa. darah dapat turun
setelah pemberian
ekstrak kadar
75gr/100gr bb
3. Bila glukosa
darah dapat turun
setelah pemberian
ekstrak
100gr/100gr bb

28
F. Prosedur Penelitian/ Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Langkah dan Teknik Pengumpulan Data

Adaptasi 7 hari (makanan normal)

Periksa kadar glukosa darah

Kriteria eksklusi
Kriteria inklusi

Pemberian diet tinggi glukosa selama 7 hari

(induksi glukosa 1,2 mg/kg BB secara peroral)

Glukosa darah mencit naik

(cek glukosa darah mencit)

Pemberian ekstak Pemberian Pemberian


ahitaba ekstak ahitaba ekstak ahitaba
Mencit Menciit diet
sehat tinggi Kadar 50gr/100gr Kadar Kadar
glukosa BB 75gr/100gr BB 100gr/100gr BB

Selama 7 hari Selama 7 hari Selama 7 hari

Mengukur glukosa darah


mencit pada hari ke 8

29
2. Metode Pengumpulan Data
a) Pemeliharaan Mencit
1. Tikus dipelihara dalam ruangan yang berventilasi cukup,
dikandangkan masing-masing secara individu berukuran 30 x 20
x 20 cm.
2. Suhu ruangan berkisar 28o -32o C.
3. Makanan 2x sehari dan minuman diberikan secara ad libitum
dalam bentuk pellet dan pakan tikus. Makanan tikus yang baik
mengandung protein 20 - 25%, lemak lemak 5%, karbohidrat 45
- 50%, serat kasar 5%, abu 4 - 5% ditambah vitamin & mineral.
Setiap hari tikus dewasa diberi makan 12 - 20 gr (Smith, 1988).

b) Pengambilan Darah Mencit


Pengukuran kadar gula darah dilakukan dengan cara
mengambil darah tikus Wistar prediabetes melalui medial canthus
sinus orbitalis dengan menggunakan tabung mikro kapiler sebanyak
1 ml tiap tikus. Pengambilan darah dilakukan 2 jam setelah tikus
diberi makan.

c) Ekstrasi Ashitaba
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat
larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan
pelarut cair. Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif
yang dapat larut dan senyawa yang tidak larut seperti serat,
karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat
dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan
minyak atsiri, alkaloida, dan flavonoida, dengan diketahuinya
golongan senyawa aktif yang dikandung simplisia maka akan
mempermudah pemisahan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat
(Ditjen POM, 2000). Berdasarkan atas sifatnya eksrak
dikelompokkan sebagai berikut (Voigt, 1995):

30
1. Ekstrak encer (Extractum tenue). Sediaan ini memiliki
konsistensi semacam madu dan dapat dituang.
2. Ekstrak kental (Extractum spissum). Sediaan ini liat dalam
keadaan dingin dan tidak dapat dituang.
3. Ekstrak kering (Extractum siccum). Sediaan ini memiliki
konsistensi kering dan mudah digosokkan.
4. Ekstrak cair (Ectractum fluidum). Dalam hal ini diartikan
sebagai ekstrak cair, yang dibuat sedemikian rupa sehingga 1
bagian simplisia sesuai dengan 2 bagian (kadang-kadang satu
bagian) ekstrak cair.

Metode ekstraksi yang digunakan dalam percobaan ini


adalah teknik maserasi. Maserasi berasal dari kata ”macerare”
artinya melunakkan. Maserat adalah hasil penarikan simplisia
dengan cara maserasi, sedangkan maserasi adalah cara penarikan
simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari
(Syamsuni, 2006). Maserasi adalah proses pengekstrakan dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur ruangan. Remaserasi berarti
dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan
penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).

d) Pembuatan Simplisia
Simplisia diambil dari daun dan batang tanaman Ashitaba.
Daun dan batang yang telah dipilih dicuci hingga bersih. Tahap
selanjutnya, tanaman yang sudah bersih dikeringkan dengan cara
dianginkan. Proses pengeringan ini dilakukan selama 1 minggu.
Kemudian tanaman yang telah kering ditumbuk hingga berbentuk
bubuk halus. Yang terakhir adalah proses penyaringan dengan
menggunakan kain kasa.

31
3. Kualifikasi dan Jumlah Petugas
Petugas penelitian adalah petugas laboratorium Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

4. Jadwal Pengumpulan Data


Pengumpulan data akan dilaksanakan pada bulan September –
Oktober 2016

5. Bahan/Alat/Instrumen yang Digunakan


Kandang hewan uji, makanan hewan uji coba, aquadest, alat test
glukosa, sarung tangan (handscoon), lancet, alcohol, spet, timbangan, kain
kasa, ekstrak cair ashitaba

6. Analisis Data
Dengan metode pengumpulan data eksperimen Pre and Post Contol
Design. Untuk meneliti ada tidaknya Hubungan Pemberian Ekstrak
Ashitaba Terhadap Mencit yang Diberi Diit Tinggi Glukosa, data dari
eksperimen dianalisis dengan Koefisien kontingensi(c) dan koefisien Phi
koefisien dalam program SPSS for windows

32
BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hewan Coba Fakultas

Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dengan waktu penelitian

dilakukan pada bulan September - Oktober 2017.

B. Hasil Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental dengan

rancangan Pre And Post Test Only Control Group Design. Hewan coba yang

digunakan dalam penelitian ini adalah tikus mencit berjenis kelamin jantan

dengan berat rata-rata 30-40 gram gram dan berumur 2-3 bulan. Kemudian

dibagi menjadi 5 kelompok masing-masing kelompok diberikan perlakuan

yang berbeda.

Hasil pengukuran kadar gula darah rata-rata dari seluruh kelompok uji

pada masing-masing waktu dapat dilihat pada tabel V.1 dibawah ini.

33
Tabel V.1 Rata-rata nilai kadar gula darah perkelompok

Kelompok Pre Gula Darah I Gula Darah II

K- Mean 114.00 119.80 109.00

Std. Deviation 3.674 1.924 5.831

K+ Mean 121.40 144.80 150.60

Std. Deviation 3.362 10.330 13.012

P1 Mean 111.20 134.00 112.00

Std. Deviation 7.791 4.000 5.745

P2 Mean 114.60 138.20 108.00

Std. Deviation 9.397 7.530 5.339

P3 Mean 114.20 138.40 103.00

Std. Deviation 5.020 13.221 5.000

Total Mean 115.08 135.04 116.52

Std. Deviation 6.714 11.513 18.961

Tabel diatas dapat dibuat grafik kadar gula darah sebelum dan sesudah

pemberian glukosa, serta sesudah pemberian ekstrak Ashitaba pada masing-

34
masing kelompok. Grafik rata-rata kadar gula darah tikus terhadap masing-

masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar V.1.

Gula Darah
160
140
Glukosa Darah (mg/dl)

120 K-
100 K+
80
P1
60
P2
40
P3
20
0
Pre Post 1 Post 2

Gambar V.1: Grafik kadar gula darah tikus rata-rata sebelum dan
sesudah perlakuan

Hasil pengamatan pengukuran kadar gula darah tikus akhir (Post test)

pada tikus yang diberi glukosa dapat dilihat pada gambar V.2.

35
Kadar gula darah tikus akhir
160 150.6

140

120 109 112 108


103
100

80

60

40

20

0
K- K+ P1 P2 P3
Mean

Gambar V.2 Hasil pengamatan pengukuran kadar gula darah akhir

Berdasarkan Gambar V.2 Dari gambar grafik diatas menunjukkan

pengaruh diet tinggi glukosa terhadap kadar gula darah. Diet tinggi glukosa

pada penelitian ini memberi efek terhadap peningkatan kadar gula darah

dibandingkan kadar gula darah sebelumnya, namun tidak terlalu menunjukkan

peningkatan yang signifikan.

Pengaruh pemberian ekstrak Ashitaba terhadap kadar gula darah

hewan coba dengan diet tinggi glukosa ditunjukkan pada kelompok perlakuan

1 (P1), perlakuan 2 (P2), perlakuan 3 (P3) yang terdapat pada diagram

dibandingkan dengan kadar gula darah pada kelompok kontrol positif (KP) dan

kelompok kontrol negatif (KN). Diantara kelima kelompok, kelompok kontrol

positif (KP) memiliki kadar gula darah yang paling tinggi yakni sebesar 150,60

36
mg/dl jika dibandingkan dengan keempat kelompok lain. Sedangkan rata-rata

gula darah terendah ada pada kelompok P3 yaitu kelompok Diet + ekstrak

ashitaba Kadar 100gr/ 100gr BB sebesar 103 mg/dl.

C. Analisis Data

Pada penelitian ini dilakukan pengujian statistik yaitu uji normalitas

data dengan menggunakan uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test, uji

homogenitas data dengan Levene’s Test terhadap variabel gula darah

sedangkan untuk mengetahui perbedaan antar kelompok, Ho /H1 ditolak maka

dilakukan uji One Way Anova jika memenuhi syarat dan uji Kruskal-wallis jika

tidak memenuhi syarat.

1. Uji Normalitas Data dan Homogenitas Antar Kelompok

a. Uji Normalitas

Uji statistik ini diperlukan untuk membandingkan distribusi data dan

pengukuran kadar gula darah dengan distribusi normal baku. Untuk

pengujian tersebut dilakukan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dengan

jumlah sampel sebanyak 25. Uji ini dilakukan dengan menggunakan SPSS

versi 25.0 dengan nilai signifikansi (α) = 0,05. Data pengukuran kada gula

darah dikatakan mempunyai distribusi normal jika nilai p > α. Sebaliknya,

jika nilai p < α maka data mempunyai distribusi tidak normal (Ghozali,

2011:34). Hasil pengujian yang diperoleh disajikan pada Tabel V.2 di

bawah ini.

37
Tabel V.2 Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Gula Darah

N 25

Normal Parametersa Mean 116.52

Std. Deviation 18.961

Most Extreme Absolute .269


Differences
Positive .269

Negative -.164

Kolmogorov-Smirnov Z 1.344

Asymp. Sig. (2-tailed) .054

a. Test distribution is Normal.

Berdasarkan Tabel V.2 diatas, didapatkan data pengukuran kadar

gula darah mempunyai nilai p = 0,054 dengan nilai distribusi normal p >

0,05. Hal ini berarti data pengukuran kadar gula darah mempunyai distribusi

normal.

b. Uji Homogenitas

Data pengukuran kadar gula darah mempunyai distribusi yang

normal maka dilanjutkan dengan melakukan uji homogenitas varians (uji

38
Levene’s Test) yang bertujuan untuk mengetahui kelompok data (K-, K+,

P1, P2, dan P3) mempunyai varians homogen atau tidak. Uji ini dilakukan

dengan menggunakan SPSS version 20.0 dengan taraf signifikansi (α) =

0,05. Data pengukuran gula darah dikatakan homogen jika nilai p > α.

Sebaliknya, jika nilai p < α maka data tidak homogen (Ghozali, 2011:36).

Hasil pengujian yang diperoleh disajikan pada tabel V.3 dibawah ini.

Tabel V.3 Uji Homogenitas

Test of Homogeneity of Variances

Gula Darah

Levene
Statistic df1 df2 Sig.

4.428 4 20 .010

Berdasarkan tabel V.3 diatas, hasil uji Levene untuk gula darah

mempunyai nilai p = 0,010. Hal ini berarti varians data gula darah tidak

homogen (p < 0,05). Sehingga pengujian ada tidaknya perbedaan antar

kelompok digunakan uji Kruskal Wallis.

39
2. Uji Hasil beda

Untuk melihat ada tidaknya perbedaan antar kelompok perlakuan digunakan

uji kruskal wallis, hasil pengujian dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel V.4 Hasil Uji Kruskal Wallis

Test Statisticsa,b

Gula Darah

Chi-Square 15.203

Df 4

Asymp. Sig. .004

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Kelompok

Dari tabel V.4 menunjukkan signifikansi p-value = 0,004 yaitu < α

(0,05) sehingga ada perbedaan yang bermakna antar kelompok perlakuan.

Selanjutnya dilakukan uji Post Hoc Mann Whitney untuk

mengetahui lebih rinci mengenai pasangan kelompok sampel yang saling

berbeda secara signifikan dan pasangan kelompok sampel yang tidak

berbeda (Triton, 2006) maka akan diketahui perlakuan mana yang paling

berpengaruh terhadap penurunan kadar gula pada tikus yang diberi glukosa.

40
Perbandingan gula darah pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada

Tabel V.5.

Tabel V.5 Uji Post-Hoc Mann Whitney

Kelompok Perlakuan Gula darah


K- 109,00 ± 5,83a
K+ 150,60 ± 13,01b
P1 112,00 ± 5,75a
P2 108,00 ± 5,34a
P3 103,00 ± 5,00a
Keterangan: Superscript a,b,c,d,e dengan huruf yang sama pada kolom
variabel penelitian (DZH) berarti tidak terdapat perbedaan yang bermakna
(p > 0,05).

Tabel V.5 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna

rata-rata gula darah antar kelompok perlakuan 1, 2 dan 3 yaitu kelompok

perlakuan pemberian glukosa + ekstrak Ashitaba dengan kelompok kontrol

positif, terbukti dengan signifikansi < 0,05. Nilai rata-rata gula darah

kelompok perlakuan 1, 2 dan 3 lebih kecil dari pada kelompok kontrol

positif. Hal ini menjukkan bahwa pemberian ekstrak Ashitaba berpengaruh

terhadap penurunan kadar gula darah tikus yang diberi diet tinggi glukosa.

41
BAB VI

PEMBAHASAN

A. Pembahasan

Glukosa merupakan hasil akhir dari pencernaan dan diabsorbsi secara

keseluruhan sebagai sumber energi. Kadar glukosa dalam darah bervariasi dengan

daya penyerapan, akan menjadi lebih tinggi setelah makan dan akan menjadi turun

bila tidak ada makanan yang masuk selama beberapa jam. Glikogen dapat lewat

dengan bebas keluar dan masuk ke dalam sel dimana glukosa dapat digunakan

semata-mata sebagai sumber energi. Glukosa disimpan sebagai glikogen di dalam

sel hati oleh insulin (suatu hormon yang disekresi oleh pankreas). Glikogen akan

diubah kembali menjadi glukosa oleh aksi dari glukogen (hormon lain yang

disekresi oleh pankreas) dan adrenalin yaitu suatu hormon yang disekresi oleh

kelenjar adrenalin (Tambayong, 2001).

Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak atau

berlebihan, yang akhirnya akan menjadi penyakit yang disebut Diabetes Melitus

(DM) yaitu suatu kelainan yang terjadi akibat tubuh kekurangan hormone insulin,

akibatnya glukosa tetap beredar di dalam aliran darah dan sukar menembus dinding

sel. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh stress, infeksi, dan konsumsi obat-obatan

tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsi, dan poliphagia, serta

kelelahan yang parah dan pandangan yang kabur. (Nabyl, 2009)

42
Diabetes melitus sendiri merupakan kondisi kronis yang ditandai oleh

meningkatnya kadar gula darah dan disertai gejala yang khas berupa urine yang

terasa manis dalam jumlah siphon yang besar. Kadar gula darah yang tinggi tersebut

disebabkan karena cacat pada sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya (Emily,

2015)

Dalam penelitian ini, pakan yang diberikan pada mencit adalah makanan

normal seberat 30 gram/perlakuan dan air minum yang terkontrol. Kadar glukosa

yang diberikan adalah 2g/KgBB dengan berat rata – rata mencit 30g. Sehingga

didapatkan dosis 60 mg/ekor/hari, kemudian dilarutkan dalam 0,2 ml CMC Na.

Setelah pemberian glukosa selama 7 hari, P1 P2 dan P3 dihentikan

penginduksian glukosa dan diganti dengan induksi Ashitaba. Tanaman Ashitaba

yang telah diektrak dengan etanol, dinduksikan dengan dosis :

P1 = 15mg/ekor/hari

P2 = 23 mg/ekor/hari

P3 = 30 mg/ekor/hari

Dilarutkan dalam 0,2 CMC Na. Diberikan selama 7 hari, kontrol positif induksi

glukosa tetap dilanjutkan. Sedangkan kontrol negatif hanya diberikan makan dan

minum.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak Ashitaba

berpengaruh terhadap penurunan kadar gula darah tikus yang diberi diet tinggi

glukosa.

Rata-rata gula darah tikus tertinggi ada pada kelompok tikus yang diberi diet

tinggi glukosa namun tidak diberi perlakuan apapun yaitu sebesar 150,60 mg/dl.

43
Rata-rata terendah ada pada kelompok P3 yaitu kelompok Diet + ekstrak ashitaba

Kadar 100gr/ 100gr BB sebesar 103 mg/dl.

Hasil uji menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara kelompok

dibuktikan dengan nilai sig. 0,004 (sig α < 0,05). sehingga ada perbedaan yang

bermakna antar kelompok perlakuan. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak

Ashitaba mempunyai efek yakni mampu menurunkan kadar gula darah tikus yang

yang dibuat hiperglikemia.

44
BAB VII

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hasil uji menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antar kelompok

dibuktikan dengan nilai sig. 0,004 (sig α < 0,05), sehingga ada perbedaan yang

bermakna antar kelompok perlakuan.

Dapat ditarik kesimpulan, bahwa pemberian ekstrak Ashitaba berpengaruh

terhadap penurunan kadar gula darah tikus yang dibuat hiperglikemia dengan diet

tinggi glukosa. Rata-rata gula darah tikus tertinggi ada pada kelompok tikus yang

diberi diet tinggi glukosa namun tidak diberi perlakuan apapun yaitu sebesar 150,60

mg/dl. Rata-rata terendah ada pada kelompok P3 yaitu kelompok Diet + ekstrak

ashitaba Kadar 100gr/ 100gr BB sebesar 103 mg/dl.

B. Saran

1. Pengembangan penelitian serupa dapat dilakukan dengan masa perlakuan

pemberian pemberian ekstrak Ashitaba yang lebih lama, sehingga dapat

diperoleh gambaran tentang pengaruh pemberian ekstrak Ashitaba pada

penurunan kadar gula darah.

45
2. Penelitian dengan mempertimbangan “dose effect relationship” pada ekstrak

Ashitaba, untuk mendapatkan gambaran pengaruh pemberian ekstrak Ashitaba

pada berbagai variasi dosis, sekaligus mengkaji toksisitasnya.

3. Memperhatikan psikologis hewan coba dengan memberikan perawatan dengan

baik dan benar.

46

You might also like