You are on page 1of 18

REFERAT

GUIDELINE ON TREATMENT OF ALCOHOL USE


DISORDER

Disusun oleh :

Faras Afif Berlian


1261050089

Dokter Pembimbing :

dr. Gerald Mario Semen, Sp.KJ


dr. Imelda Wijaya, Sp.KJ
dr. Herny Taruli Tambunan, M.Ked(KJ), Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 21 JUNI - 21 JULI 2018
RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT CIBUBUR
JAKARTA
2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “ Guideline on
treatment of alcohol use disorder ” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan stase
Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Jiwa pada Program Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang


sudah banyak membantu dalam proses pembuatan makalah ini yaitu:

1. dr. Gerald Mario Semen, Sp.KJ. (K), S.H. selaku dokter pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan dalam mengikuti kepaniteraan ilmu
kedokteran jiwa.
2. dr. Imelda Wijaya, Sp.KJ. selaku dokter pembimbing yang telah menyediakan waktu
dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan case report ini.
3. dr. Herny Taruli Tambunan, M.Ked.(KJ), Sp.KJ selaku dokter pembimbing yang telah
banyak memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuan dalam mengikuti kepaniteraan
ilmu kedokteran jiwa.
4. Para staf, seluruh karyawan, dan perawat yang telah banyak membantu dan banyak
memberikan saran-saran yang berguna bagi penulis dalam menjalani kepaniteraan di
Rumah Sakit Ketergantungan Obat
5. Orang tua, keluarga terdekat dan teman sejawat yang telah memberikan doa dan
semangatnya kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari sempurna serta masih
terdapat banyak kekurangan. Penulis mohon maaf sebesar-besarnya bila ada kekurangan dan
kesalahan.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan pembaca.
Jakarta, Juli 2018
Penulis

BAB I
PENDAHULUAN


Penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol sejauh ini adalah termasuk gangguan


berhubungan dengan zat yang paling sering dijumpai. Penyalahgunaan dan ketergantungan
alkohol sering disebut sebagai alkoholisme, tetapi karena alkoholisme tidak mempunyai
definisi yang persis, maka istilah ini tidak digunakan dalam Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders edisi keempat ( DSN-IV) atau pada sistem diagnostik lain yang dikenal
secara resmi.

Setelah penyakit jantung dan kanker, gangguan berhubungan dengan alkohol


merupakan masalah kesehatan nomor 3 terbesar di Amerika Serikat. Penyebab kematian yang
sering diantara orang dengan gangguan berhubungan dengan alkohol adalah bunuh diri, kanker,
penyakita jantung, dan penyakit hati. Walaupun tidak selalu melibatkan orang yang memenuhi
kriteria diagnostik untuk suatau gangguan berhubungan dengan alkohol, kira-kira setengah dari
semua kecelakaan kendaraan bermotor yang mematikan melibatkan seorang pengemudi yang
mabuk, dan persentasi tersebut meningkat sampai 75 persen jika hanya di hitung kecelakaan
yang terjadi larut malam.

Penggunaan alkohol dan gangguan berhubungan dengan kira-kira 50 persen dari semua
pembunuhan dan 25 persen dari semua bunuh diri. Penyalahgunaan alkohol menurunkan
harapan hidup 10 tahun. Alkohol memimpin dari semua zat lain dalam kematian yang
berhubungan dengan zat.

Gangguan penyalahgunaan alkohol adalah suatu kondisi umum yang mematikan0 yang
sering terlihat sebagai sindrom psikiatri yang lain. Orang yang ketergantungan pada alkohol
mempunyai rentang hidup rata-rata 10-12 tahun dan alkohol menyumbang kepada 22000
kematian dan dua juta kecelakaan tiap tahun. Beberapa tahun belakangan ini telah menyaksikan
berkembangnya penelitian tentang penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol termasuk
informasi pengaruh pada genetik yang spesifik dan perkembangan tatalaksanan yang lebih baru
dan lebih menguntungkan.

Pengetahuan dan pemahaman tentang efek dari alkohol dan gejala klinis terhadap
gangguan terkait alkohol sangat penting dalam praktek psikiatri intoksikasi alkohol boleh
menyebabkan iritabilitas perilaku kekerasan depresi dan dalam situasi yang jarang,
menyebabkan halusinasi dan waham dalam jangka waktu yang panjang peningkatan kosumsi
alkohol meghasilkan toleransi pada pengguna dan jika penggunaan alkohol diberhentikan
boleh menyebabkan gejala putus obat, yang biasanya ditandai dengan insomnia hiperaktivitas
sistem autonom dan anxieta. Justeru dalam mengevaluasi masalah hidup dan gejala psikiatri
pada pasien, dokter harus mempertimbangkan kemungkinan gejala psikiatri tersebut adalah
efek dari alkohol.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI

Intoksikasi atau keracuunan adalah masuknya zat ke dalam tubuh yang dapat
mengakibatkan gangguan kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian. Semua zat dapat
menjadi racun bila diberikan dalam dosis yang tidak seharusnya.

Intoksikasi akut sering dikaitkan dengan tingkat dosis zat yang digunakan ( dose-
dependent), individu dengan kondisi organic tertentu yang mendasari (misalnya insufisiensi
ginjal atau hati) yang dalam dosis kecil dapat menyebabkan efek intoksikasi berat yang tidak
proporsional.

Dalam ilmu kimia alkohol atau alkanol adalah istilah yang umum untuk senyawa
organik yang memiliki gugus hidroksil ( -OH) yang terikat pada atom karbon dimana atom
karbon itu sendiri juga terikat pada atom hidrogen atau atom karbon yang lain. Etil alkohol
juga disebut sebagai etanol merupakan bentuk alkohol yang umum, sering kali disebut alkohol
minuman. Rumus kimia untuk etanol adalah CH3-CH2-OH. Dari semua jenis alkohol yang
diketahui dalam ilmu kimia, etanol merupakan satu-satunya yang digunakan dalam batas
tertentu oleh manusia untuk berbagai maksud dan tujuan ( sebagian besar alkohol lainnya
terlalu toksik untuk diminum).

Intoksikasi alkohol akut dapat dikenali dengan gejala-gejala :

• ataksia dan bicara cadel/tak jelas 


• emosi labil dan disinhibisi 


• napas berbau alkohol 


• mood yang bervariasi


 Komplikasi akut pada intoksikasi atau overdosis : 


• Paralisis pernapasan, biasanya bila muntahan masuk saluran pernapasan 


• Obstructive sleep apnoea 


• Aritmia jantung fatal ketika kadar alkohol darah lebih dari 0,4 mg/ml 

Gejala klinis sehubungan dengan overdosis alkohol dapat meliputi: 


• penurunan kesadaran, stupor atau koma 


• perubahan status mental 


• kulit dingin dan lembab, suhu tubuh rendah 


2.2 EFEK FISIOLOGIS DARI ALKOHOL 


Karakteristik rasa dan bau berbagai minuman yang mengandung alkohol tergantung kepada
metode pembuatannya, yang menghasilkan berbagai senyawa dalam hasil akhirnya. Senyawa
tersebut termasuk metanol, butanol, aldehida, fenol, tannins, dan sejumlah kecil berbagai
logam. Walaupun senyawa ini dapat menyebabkan suatu efek psikoaktif yang berbeda pada
berbagai minuman yang mengandung alkohol, perbedaan tersebut dalam efeknya adalah
minimal dibandingkan dengan efek etanol itu sendiri. 


Absorpsi 


Kira-kira 10% alkohol yang dikonsumsi diabsorpsi di lambung, dan sisanya di usus kecil.
Konsentrasi puncak alkohol didalam darah dicapai dalam waktu 30-90 menit, biasanya dalam
45-60 menit, tergantung apakah alkohol diminum saat lambung kosong, yang meningkatkan
absorbsi atau diminum bersama makanan yang memperlambat absorbsi. 
 waktu untuk

mencapai konsentrasi puncak dalam darah juga merupakan suatu faktor selama alkohol
dikonsumsi, waktu yang singkat menurunkan waktu untuk mencapai konsentrasi puncak.
Absorbsi paling cepat 15-30 % (kemurnian -30 sampai -60).

Tubuh memiliki alat pelindung terhadap masuknya alkohol. Sebagai contoh, jika konsentrasi
alkohol menjadi terlalu tinggi didalam lambung, mukus akan disekresikan dan katup pilorik
ditutup, hal tersebut akan memperlambat absorbsi dan menghalangi alkohol masuk ke usus
kecil.

Jadi, sejumlah besar alkohol dapat tetap tidak terabsorbsi didalam lambung selama berjam-jam.
Selain itu, pilorospasme sering kali menyebabkan mual dan muntah. 


Jika alkohol telah diabsorbsi ke dalam aliran darah, alkohol didistribusikan ke seluruh
jaringan tubuh. Jaringan yang mengandung proporsi air yang tinggi memiliki konsentrasi
alkohol yang tinggi. Efek intoksikasi menjadi lebih besar jika konsentrasi alkohol didalam
darah tinggi.

METABOLISME

Kira-kira 90% alkohol yang diabsorbsi dimetabolisme di hati, sisanya dieksresikan tanpa
diubah oleh ginjal dan paru-paru. Kecepatan oksidasi di hati konstan dan tidak tergantung pada
kebutuhan energi tubuh. Tubuh mampu memetabolisme kira-kira 15mg/dl setiap jam dengan
rentan berkisar antara 10-34 mg/dl per jamnya.

Alkohol dimetabolisme dengan bantuan 2 enzim yaitu alkohol dehidrogenase ( ADH) dan
aldehida dehidrogenase. ADH mengkatalisasi konversi alkohol menjadi asetilaldehida yang
merupakan senyawa toksik. Aldehida dehidrogenase mengkatalisasi konversi asetaldehida
menjadi asam asetat. Aldehida dehidrogenase diinhibisi oleh disulfiram ( An-tabuse), yang
sering digunakan dalam pengobatan gangguan terkait alkohol.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada wanita memiliki ADH yang lebih rendah
dari pada laki-laki, yang mungkin menyebabkan wanita cenderung menjadi lebih terintoksikasi
dibanding laki-laki setelah minum alkohol dalam jumlah yang sama. Penurunan fungsi enzim
yang memetabolisme alkohol akan menyebabkan mudahnya seseorang terjadi intoksikasi
alkohol dan gejala toksik.

2.4 INTOKSIKASI ALKOHOL

Beratnya gejala intoksikasi alkohol berhubungan secara kasar dengan konsentrasi


alkohol dalam darah, yang mencerminkan intoksikasi alkohol didalam otak. Pada onset
intoksikasi, beberapa orang menjadi suka bicara dan suka berkelompok, beberapa menjadi
menarik diri dan cemberut, yang lainnya menjadi suka berkelahi. Beberapa pasien
menunjukkan labilitas mood, dengan episode tertawa dan menangis yang saling bergantian
(intermiten). Toleransi jangka pendek terhadap alkohol dapat terjadi, orang tersebut tampak
kurang terintoksikasi setelah berjam-jam minum daripada setelah hanya beberapa jam.

Komplikasi medis intoksikasi alkohol sering disebabkan karena terjatuh yang dapat
menimbulkan hematoma subdural dan fraktur. Tanda yang menggambarkan intoksikasi akibat
sering bertanding minum adalah hematoma wajah, khususnya disekitar mata, yang disebabkan
terjatuh atau berkelahi saat mabuk.

Kriteria diagnostik untuk intoksikasi alkohol :

A. Baru saja menggunakan alcohol.


B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis (misalnya,
perilaku seksual atau agresif yang tidak tepat, labilitas mood, gangguan pertimbangan,
gangguan fungsi sosial atau pekerjaan) yang berkembang selama atau segera setelah
ingesti alcohol.
C. Satu (atau lebih) tanda berikut ini, yang berkembang selama atau segera setelah
pemakaian alkohol.


D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain.

2.5 Dampak Psikiatri Akibat Penggunaan Alkohol

Gangguan penyalahgunaan alkohol adalah suatu kondisi umum yang mematikan, yang
sering terlihat sebagai sindrom psikiatri yang lain. Orang yang ketergantungan pada alkohol
mempunyai rentang hidup rata-rata 10-12 tahun dan alkohol menyumbang kepada 22000
kematian dan dua juta kecelakaan tiap tahun. Beberapa tahun belakangan ini, telah
menyaksikan berkembangnya penelitian tentang penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol,
termasuk informasi pengaruh pada genetik yang spesifik dan perkembangan tatalaksanan yang
lebih baru dan lebih menguntungkan.

Pengetahuan dan pemahaman tentang efek dari alkohol dan gejala klinis terhadap gangguan

terkait alkohol sangat penting dalam praktek psikiatri. Intoksikasi alkohol boleh menyebabkan
iritabilitas, perilaku kekerasan, depresi dan dalam situasi yang jarang, menyebabkan halusinasi
dan waham. Dalam jangka waktu yang panjang, peningkatan kosumsi alkohol meghasilkan
toleransi pada pengguna dan jika penggunaan alkohol diberhentikan boleh menyebabkan gejala
putus obat, yang biasanya ditandai dengan insomnia, hiperaktivitas sistem autonom, dan
anxietas. Justru, dalam mengevaluasi masalah hidup dan gejala psikiatri pada pasien, dokter
harus mempertimbangkan kemungkinan gejala psikiatri tersebut adalah efek dari alkohol.

Ada beberapa gambaran klinis dari penyalahgunaan alkohol antara lain :

 Intoksikasi : euforia, cadel, nistagmus, ataksia, bradikardi, hipotensi, kejang, koma.


ada keadaan intoksikasi berat, reflek menjadi negatif. 


 Keadaan putus alkohol :halusinasi, ilusi (bad dream), kejang, delirium, tremens,
gementar, keluhan gastrointestinal, muka merah, mata merah dan 
 hipertensi. 


 Gangguan fisik : mulai dari radang hati sampai kanker hati, gastritis, ulkus 
 peptikum,
pneumonia, gangguan vaskuler dan jantung, defisiensi vitamin, 
 fetal alcohol
syndrome. 


 Gangguan mental : depresi hingga skizofrenia. 


 Gangguan lain : kecelakaan lalu lintas, perkelahian, problem domestik dan tindak
kekerasan.

Terdapat perbedaan antara penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol, diantaranya:

 Pada penyalahgunaan, seseorang akan mengkonsumsi alkohol dengan banyak dan


berlebihan tetapi tidak ada sindrom putus alkohol. 


 Pada ketergantungan, seseorang itu harus minum setiap setiap hari, atau tiap masa
ataupun dia harus minum dalam dosis yang lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang
sama. #apat terjadi sindrom putus alkohol.


2.6 Efek Jangka Pendek Alkohol

Pada dasarnya, alkohol memang mampu menghilangkan rasa sakit dan dalam dosis yang
lebih besar, bersifat sedatif, menyebabkan orang tertidur, bahkan kematian. Alkohol
menghasilkan berbagai efeknya melalui interaksinya dengan beberapa sistem neural di dalam
otak. Alkohol merangsang berbagai reseptor GABA, yang berperan dalam kemampuannya
mengurangi ketegangan. ( GABA adalah neurotransmitter penghambat utama; berbagai obat
benzodiazepin, seperti vallium, memiliki efek pada reseptor GABA sama dengan efek alkohol).
Alkohol juga menaikkan kadar serotonim dan dopamin, dan efek ini mungkin merupakan
sumber dari kemampuannya untuk menciptakan efek yang menyenangkan. Terakhir, alkohol
menghambat berbagai reseptor glutamat yang dapat menimbulkan efek kognitif intoksikasi
alkohol, seperti berbicara dengan tidak jelas dan hilangnya memori ( U.S.Departement of
Health and Human Service, 1994).

Terdapat banyak keyakinan mengenai efek alkohol. Alkohol dianggap mengurangi


kecemasan, meningkatkan sosiabilitas, melenturkan hambatan, dan sebagainya. Namun
ternyata beberapa efek jangka pendek mengonsumsi sedikit alkohol berhubungan erat dengan
ekspektasi si peminum mengenai efek obat tersebut sebagaimana efeknya terhadap aksi
kimiawi pada tubuh.

2.7 Efek Jangka Panjang Penyalahgunaan Alkohol Yang berkepanjangan

Efek jangka panjang mengonsumsi alkohol dalam waktu lama secara gamblang
digambarkan dalam banyak kasus. Kebiasaan minum yang kronis menimbulkan kerusakan
biologis parah selain kemunduran psikologis. Konsumsi alkohol dalam waktu lama
memberikan efek negatif bagi hampir setiap jaringan dan organ tubuh. Malnutrisi parah dapat
terjadi. Karena alkohol mengandung kalori tinggi. Sehingga seringkali mengurangi asupan
makanan mereka.

Namun, kalori yang dipasok alkohol tidak ada; alkohol tidak mengandung berbagai zat gizi
yang penting bagi kesehatan. Bahkan penyalahgunaan untuk waktu yang tidak lamapun dapat
mempengaruhi performa kognitif.

Para mahasiswa yang menyalahgunakan alkohol menunjukkan kelemahan dalam berbagai


test neuropsikologis ( Sher dkk., 1997). Alkohol juga mengurangi efektifitas sistem imun,
mengakibatkan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi dan kanker. Dan bagi wanita hamil,
konsumsi alkohol yang sangat banyak semasa hamil diketahui merupakan penyebab utama
retardasi mental. Pertumbuhan janin melambat dan terjadi kelainan tempurung kepala, Wajah
serta anggota tubuh.

2.8 PENATALAKSANAAN
2.8.1 Penatalaksanaan intoksikasi alkohol secara umum :

1. Stabilisasi


Penatalaksanaan keracunan pada waktu pertama kali berupa tindakan resusitasi


kardiopulmoner yang dilakukan dengan cepat dan tepat berupa pembebasan jalan
napas, perbaikan fungsi pernapasan, dan perbaikan sistem sirkulasi darah.
2. Dekontaminasi


Dekontaminasi merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk menurunkan


pemaparan terhadap racun, mengurangi absorpsi dan mencegah kerusakan.
3. Dekontaminasi pulmonal


Dekontaminasi pulmonal berupa tindakan menjauhkan korban dari pemaparan inhalasi


zat racun, monitor kemungkinan gawat napas dan berikan oksigen lembab 100% dan
jika perlu beri ventilator.
4. Dekontaminasi mata


Dekontaminasi mata berupa tindakan untuk membersihkan mata dari racun yaitu posisi
kepala pasien ditengadahkan dan miring ke posisi mata yang terburuk kondisinya. Buka
kelopak matanya perlahan dan irigasi larutan aquades atau NaCL perlahan sampai zat
racunnya diperkirakan sudah hilang.
5. Dekontaminasi kulit ( rambut dan kuku)
Tindakan dekontaminasi paling awal adalah melepaskan pakaian, arloji, sepatu dan

aksesorisd lainnnya dan masukkan dalam wadah plastik yang kedap air dan tutup rapat,
cuci bagian kulit yang terkena dengan air mengalir dan disabun minimal 10 menit
selanjutnya keringkan dengan handuk kering dan lembut.
6. Dekontaminasi gastrointestinal


Penelanan merupakan rute pemaparan yang tersering, sehingga tindakan pemberian


bahan pengikat ( karbon aktif), pengenceran atau mengeluarkan isi kambung dengan
cara induksi muntah atau aspirasi dan cuci lambung dapat mengurangi jumlah paparan
bahan toksik.
7. Eliminasi


Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat pengeluaran racun yang


sedang beredar dalam darah, atau dalam saluran gastrointestinal setelah lebih dari 4
jam.
8. Antidotum


Pada kebanyakan kasus keracunan sangat sedikit jenis racun yang ada obat
antidotumnya dan sediaan obat antidot yang tersedia secara komersial sangat sedikit
jumlahnya.

2.8.2 Medikamentosa

1. Detoksifikasi

Benzodiazepin adalah obat pilihan bagi untuk detoksifikasi karena mempunyai efek
samping yang relatif kecil. Benzodiazepin kerja lama seperti chlordiazepoxide dan diazepam
adalah standar untuk detoksifikasi tanpa komplikasi . Bila dosis inisial cukup tinggi ( >60 mg
diazepam dalam 24-36 jam) digunakan, obatan ini akan di tapering sendiri. Benzodiazepin
kerja cepat seperti lorazepam direkomendasikan hanya untuk pasien dengan penyakit hati,
gangguan kognitif, masalah medis yang tidak stabil atau lansia. Obat ini harus di tapered dalam
waktu 4 hingga 8 hari, akan tetapi ia dimetabolisme menjadi bentuk glukoronid dan dengan
cepat diekskresi oleh ginjal, memberikan flexibility dalam mengobati pasien yang tidak stabil.

1. Medikasi jangka panjang

Naltrekson adalah sejenis antagonis opiad yang digunakan untuk menurunkan rasa
keinginan dan relaps diberikan dengan dosis 50 mg per hari,obat ini sangat baik untuk pasien
yang mengaku mempunyai keinginan yang kuat untuk minum alkohol. Obat ini
dikontraindikasikan untuk pasien pecandu opiat atau dengan penyakit hati.

Disulfiram menghambat metabolisme alkohol, dan menyebabkan peningkatan kadar


asetaldehid. Dosis 250 mg per hari secara oral dapat menyebabkan takikardi, dipsnea, mual
dan muntah jika pasien mengkonsumsi alkohol. Obat ini baik buat pasien yang mempunyai
motivasi tinggi. Disulfiram juga menghambat dopamine beta-hydro8xlase dan akan
mengakibatkan gejala psikosis pada pasien skizofrenia.

2.8.3 Non Medikamentosa

Antara salah satu pengobatan non medika mentosa adalah dengan memberikan motivasi
dan konseling kepada pasien. Motivasi diberikan sewaktu proses intervensi dan juga
rehabilitasi. Langkah-langkah ini antara lain:
 Memberi edukasi kepada pasien dan juga keluarganya tentang penyalahgunaan
alkohol dan juga masalah yang mungkin dihadapi pada masa depan. Keluarga
memainkan 
 peranan penting dalam memastikan keberhasilan pasien untuk
berobat.

 Menekankan soal tanggung jawab diri, keluarga dan sosial kepada pasien dan
segala perkara yang dilakukan adalah hasil daripada perbuatannya sendiri.
 Memberi motivasi kepada pasien tentang obatan lain yang diberikan : (
Contohnya disulfiram) dapat membuatkan pasien sukar untuk kembali
mengkonsumsi alkohol dan memudahkan proses rehabilitasi.

Tidak cukup sekedar motivasi pasien harus menjalani fase aktif berhenti minum alkohol.
Beberapa cara dapat dilakukan antara lain harus fokus dalam terapi berdasarkan perilaku pasien
itu sendiri. Berikan pasien tersebut obatan yang dapat membuatkannya tenang, dan disamping
itu cobalah untuk berhenti daripada bertemu dengan peminum lainnya. Berikan juga dukungan
dan berfikir positif dalam setiap aspek supaya pasien dapat melalui hari-hari tanpa
mengkonsumsi alkohol.n Pasien juga boleh menggunakan program-program seperti yang
disediakan di Alcoholics Anonymous untuk memantapkan lagi terapi secara psikiatri. 


2.8.4 2018 APA Alcohol Use Disorder Guideline: Summary of Recommendations

American Psychiatric Association (APA) merilis pedoman praktik baru tentang pengobatan
gangguan penggunaan alkohol. Pedoman praktik ini menyediakan pernyataan berbasis bukti
yang dirancang untuk meningkatkan pengetahuan tentang gangguan dan memastikan
penggunaan obat yang tepat.

"Pedoman baru ini merupakan langkah penting dalam membawa perawatan berbasis bukti
yang efektif untuk gangguan penggunaan alkohol bagi lebih banyak orang dan dalam
membantu mengatasi beban kesehatan masyarakat dari penggunaan alkohol," kata Presiden
APA Anita Everett, M.D.

Perkiraan angka prevalensi seumur hidup untuk gangguan penggunaan alkohol di AS adalah
29 persen, dan itu menempatkan ketegangan signifikan pada individu, keluarga mereka dan
pada kesehatan masyarakat. Intervensi berbasis bukti yang efektif tersedia, namun gangguan
penggunaan alkohol tetap dicegah. Kurang dari satu dari 10 orang di AS dengan diagnosis
gangguan penggunaan alkohol selama 12 bulan menerima perawatan apa pun.

Pedoman Praktik untuk Pengobatan Farmakologi Pasien dengan Gangguan Penggunaan


Alkohol berfokus secara khusus pada perawatan farmakologis berbasis bukti untuk gangguan
penggunaan alkohol.

2.8.5 Rekomendasi pedoman

Naltrexone dan acamprosate direkomendasikan untuk mengobati pasien dengan gangguan


penggunaan alkohol sedang sampai berat dalam keadaan tertentu (misalnya, ketika pendekatan
nonfarmakologis tidak menghasilkan efek atau ketika pasien lebih suka menggunakan salah
satu dari obat-obatan ini).

Disulfiram menghasilkan reaksi fisik (misalnya, pembilasan) jika alkohol diambil dalam 12-
24 jam penggunaan obat dan umumnya tidak digunakan sebagai pengobatan lini pertama.

Topiramate dan gabapentin juga disarankan sebagai obat untuk pasien dengan gangguan
penggunaan alkohol sedang sampai berat, tetapi biasanya setelah mencoba naltrexone dan
acamprosate terlebih dahulu.

Panduan ini juga mencakup pernyataan yang terkait dengan penilaian dan perencanaan
perawatan. Perawatan psikoterapi berbasis bukti untuk gangguan penggunaan alkohol,
termasuk terapi kognitif-perilaku, fasilitasi 12 langkah, dan terapi peningkatan motivasi, juga
memainkan peran utama dalam pengobatan. Selain itu, kelompok dukungan sebaya berbasis
komunitas seperti Alcoholics Anonymous (AA) dan program lain sangat membantu bagi
banyak pasien. Namun, rekomendasi spesifik yang terkait dengan perawatan ini berada di luar
ruang lingkup pedoman ini.

Pedoman ini disetujui oleh Dewan Pengawas APA pada bulan Juli 2017. Ini dikembangkan
menggunakan proses sistematis yang dimaksudkan untuk konsisten dengan rekomendasi dari
Institute of Medicine dan Dewan Masyarakat Spesial Kedokteran dan untuk memenuhi
persyaratan untuk dimasukkan dalam Pedoman Nasional Clearinghouse. Kelompok Penulis
Pedoman 11 anggota diketuai oleh Victor I. Reus, M.D.,; Laura J. Fochtmann, M.D., menjabat
sebagai wakil ketua.

The American Psychiatric Association, didirikan pada 1844, adalah asosiasi medis tertua di
negara ini. APA juga merupakan asosiasi kejiwaan terbesar di dunia dengan lebih dari 37.000
anggota dokter yang mengkhususkan diri dalam diagnosis, pengobatan, pencegahan dan
penelitian penyakit mental. Visi APA adalah untuk memastikan akses ke diagnosa dan
pengobatan psikiatri yang berkualitas.
The American Psychiatric Association (APA) merilis pedoman praktik baru tentang perawatan

gangguan penggunaan alkohol.

A. Farmakoterapi untuk Gangguan Penggunaan Alkohol


1. Naltrexone atau Acamprosate

APA merekomendasikan (1B) bahwa naltrexone atau acamprosate ditawarkan kepada


pasien dengan sedang hingga gangguan penggunaan alkohol berat yang:

• memiliki tujuan mengurangi konsumsi alkohol atau mencapai pantang,

• lebih memilih farmakoterapi atau tidak menanggapi perawatan nonfarmakologis saja,


dan

• tidak memiliki kontraindikasi terhadap penggunaan obat-obatan ini.

2. Disulfiram

APA menyarankan (2C) bahwa disulfiram ditawarkan kepada pasien dengan


penggunaan alkohol sedang sampai berat

gangguan yang:

• memiliki tujuan mencapai pantang,

• lebih memilih disulfiram atau tidak toleran atau tidak menanggapi naltrexone dan
acamprosate,

• mampu memahami risiko konsumsi alkohol saat mengambil disulfiram, dan

• tidak memiliki kontraindikasi terhadap penggunaan obat ini

3. Topiramate atau Gabapentin

APA menyarankan (2C) bahwa topiramate atau gabapentin ditawarkan kepada pasien
dengan tingkat sedang hingga berat

gangguan penggunaan alkohol yang:

• memiliki tujuan mengurangi konsumsi alkohol atau mencapai pantang,

• lebih suka topiramate atau gabapentin atau tidak toleran atau tidak merespon
naltrexone dan acamprosate, dan

• tidak memiliki kontraindikasi terhadap penggunaan obat-obatan ini.

B. Rekomendasi Terhadap Penggunaan Spesifik Obat-obatan


1. Antidepresan

APA merekomendasikan bahwa obat antidepresan tidak digunakan untuk pengobatan


penggunaan agangguan alkohol kecuali ada bukti dari gangguan yang terjadi
bersamaan yang antidepresan adalah suatu pengobatan yang diindikasikan.

2. Benzodiazepin

APA merekomendasikan bahwa pada individu dengan gangguan penggunaan alkohol,


benzodiazepin tidak digunakan, kecuali mengobati penarikan alkohol akut atau kecuali
gangguan yang terjadi bersamaan yang mana benzodiazepine adalah pengobatan yang
diindikasikan.

3. Farmakoterapi pada Wanita Hamil atau Menyusui

APA merekomendasikan bahwa untuk wanita hamil atau menyusui dengan gangguan
penggunaan alkohol,

perawatan farmakologi tidak digunakan kecuali mengobati penarikan alkohol akut


dengan

benzodiazepin atau kecuali gangguan yang terjadi bersamaan yang menjamin


pengobatan farmakologis.

4. Acamprosate pada Gangguan Ginjal Berat

APA merekomendasikan bahwa acamprosate tidak digunakan oleh pasien yang


memiliki gangguan ginjal berat.

5. Acamprosate pada Kerusakan Ginjal Ringan hingga Sedang

APA merekomendasikanbahwa untuk individu dengan gangguan ginjal ringan hingga


sedang, bukan acamprosate digunakan sebagai pengobatan lini pertama dan, jika
digunakan, dosis acamprosate dikurangi dibandingkan dengan dosis yang
direkomendasikan pada individu dengan fungsi ginjal normal.

6. Naltrexone pada Hepatitis Akut atau Gagal Hepatik

APA merekomendasikan bahwa naltrexone tidak digunakan oleh pasien yang


menderita hepatitis akut atau kegagalan hati.
BAB III
KESIMPULAN

Penyalahgunaan alkohol boleh membawa kepada banyak masalah. Orang-orang yang


menyalahgunakan alkohol sering berkata mereka dapat melupakan masalah yang dihadapi,
tetapi realitasnya alkohol tidak pernah sekalipun menyelesaikan masalah mereka.Adalah
penting untuk membedakan antara penyalahgunaan alkohol dengan gejala putus alkohol dan
ketergantungan alkohol. Sewaktu membuat diagnosis, haruslah menganamnesis dan
menggunakan cara yang betul untuk mengelak daripada tersilap diagnose. Terapi untuk pasien
penyalahgunaan alkohol tidak tergantung hanya pada pengobatan medis, akan tetapi harus juga
di terapi secara psikiatri.
Daftar Pustaka

1. Kaplan HI, Sadock BJ,Grebb JA. Alcohol-Related Disorder. Kaplan & Sadock’s
Synopsis of Psychiatry: Behavioral Siences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New
York; Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
2. Husin BA, Siste K. Gangguan penggunaan zat. Buku ajar Psikiatri. Jakarta; FK UI: ed.
2. 2013.
3. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders: DSM-IV-TR. Washington DC; American Psychiatric Association: 2000.
4. Dep. Kes. RI. Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia III.
F!)-F19 gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif. Jakarta; Dep.
Kes. Indonesia Direktorat Jenderal Pelayanan Medik: 1993. H.84-102.
5. Miller NS, Gold MS. Drugs of Abuse: A Comprehensive Series for Clinicians Volume
2 Alcohol. New York; Springer Science Business Media:1991.
6. Renner JA, Bierer MF. Approach to the alcohol-abusing patient. The MGH Guide to
Psyhiarty in Primary Care. New York; MC Graw Hill: 1999. H. 47-57.
7. Schuckit Ms. Drug and Alcohol Abuse, Aclinical guide to Diagnosis and Threatment,
5th ed. New York; Springer Science Business Media: 2000. H. 311-315.
8. Reus, V. I., Fochtmann, L. J., Bukstein, O., Eyler, A. E., Hilty, D. M., Horvitz-Lennon,
M.,& McIntyre, J. (2018). The American Psychiatric Association Practice Guideline
for the Pharmacological Treatment of Patients With Alcohol Use Disorder. American
Journal of Psychiatry, 175(1), 86-90.

You might also like