Professional Documents
Culture Documents
1. SSRI ( Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor ) : Obat-obat ini menghambat resorpsi dari
serotonin.
2. NaSA ( Noradrenalin and Serotonin Antidepressants ): Obat-obat ini tidak berkhasiat selektif,
menghambat re-uptake dari serotonin dan noradrenalin. Terdapat beberapa indikasi bahwa obat-
obat ini lebih efektif daripada SSRI.
Kata Kunci : Antidepresan Generasi ke-2, Mekanisme Kerja Antidepresan Generasi ke-2, Efek
Samping Antidepresan Generasi ke-2, Obat-obat yang Termasuk Antidepresan Generasi ke-2
Perhatian
Hipotensi: Amati pada semua penderita adanya gejala hipotensi portural. Efek samping
hipotensif terjadi pada penderita hipertensif, normal maupun hipotensif. Tekanan darah
biasanya segera kembali pada kadar sebelum pengobatan bila obat dihentikan atau dosisnya
dikurangi. Pada dosis lebih besar dari 30 mg/hari, hipotensi postural merupakan efek samping
utama dan dapat mengakibatkan pingsan. Tingkatkan dosis dengan lebih perlahan pada
penderita yang menunjukkan kecenderungan ke arah hipotensi pada permulaan terapi.
Hipotensi postural dapat mereda bila penderita berbaring sampai tekanan darahnya kembali
normal.
Hipomania: Hipomania merupakan efek samping psikiatrik parah yang paling umum
dilaporkan. Hal ini terbatas pada penderita dengan gangguan yang ditandai oleh
gejala hiperkinetik yang terjadi bersamaan dengan efek depresif, tapi dikaburkan oleh efek
depresif tersebut. Hipomania biasanya muncul saat depresi membaik. Bila agitasi terjadi,
gejala ini dapat ditingkatkan oleh MAOI. Hipomania dan agitasi juga terjadi pada
penggunaan obat dalam jumlah yang lebih tinggi daripada dosis yang direkomendasikan atau
setelah terapi jangka panjang. Obat dapat menyebabkan stimulasi berlebihan pada penderita
yang teragitasi atau skizofrenik; pada keadaan mania-depresif, dapat terjadi peralihan dari
fase depresif ke fase mania.
Diabetes: Terdapat bukti yang bertentangan berkenaan dengan apakah MAOI mempengaruhi
metabolisme glukosa atau mempotensiasi senyawa hipoglikemik. Hal ini harus
dipertimbangkan dalam penggunaan MAOI untuk penderita diabetes.
Epilepsi: Efek MAOI pada ambang konvulsi dapat bervariasi. Jangan menggunakan MAOI
bersama metrizamid, hentikan penggunaan MAOI paling tidak 48 jam sebelum myelografi
dan lanjutkan paling tidak 24 jam setelah melakukan prosedur.
Hepatotoksisitas: Terdapat insidensi rendah perubahan fungsi hati atau jaundice pada
penderita yang ditangani dengan isokarboksid. Lakukan uji kimia hati berkala selama terapi.
Hentikan obat pada saat pertama kali adanya tanda disfungsi hati atau jaundice.
Iskemia miokardial: MAOI dapat menekan nyeri angina yang justru dapat menjadi peringatan
iskemia miokardial.
Penderita hipertiroid: Penggunaan tranilsipromin dan isokarboksazid harus dilakukan dengan
hati-hati karena adanya peningkatan sensitivitas terhadap amin penekan.
Mengganti MAOI: Pada beberapa laporan kasus, krisis hipertensif, pendarahan serebral, dan
kematian dapat terjadi karena penggantian MAOI ke obat lain tanpa adanya periode jeda.
Periode jeda selama 10-14 hari dianjurkan jika mengganti suatu MAOI ke yang lainnya atau
dari suatu senyawa dibenzazepin (misalnya amitriptilin, perfenazin).
Penyalahgunaan obat dan ketergantungan: Telah dilaporkan kasus ketergantungan obat pada
penderita yang menggunakan tranilsipromin dan isokarboksazid dalam dosis berlebih dari
rentang terapetik. Beberapa dari penderita tersebut memiliki riwayat penyalahgunaan obat.
Gejala pemutusan obat berikut telah dilaporkan: resah, cemas, depresi, bingung, halusinasi,
sakit kepala, lemah, diare.
Overdosis
Gejala: Bergantung pada jumlah overdosis, dapat terjadi gambaran klinik campuran yang
melibatkan gejala SSP, stilmulasi serta depresi kadiovaskular. Tanda dan gejala mungkin
tidak nampak atau minimal selama periode 12 jam pertama setelah makan obat dan
seterusnya berkembang perlahan-lahan, mencapai maksimum dalam 24 sampai 48 jam.
Penderita harus segera dibawa ke rumah sakit, dan selama periode ini harus dimonitor terus-
menerus.
Gejala awal toksisitas MOAI termasuk: iritabilitas; hiperaktivitas; cemas; hipotensi; kolaps
vascular; insomnia; gelisah; pusing; pingsan; trismus (kontraksi terus-menerus otot geraham);
pemerahan kulit; berkeringat; takhipnea; takhikardia; gangguan pergerakan termasuk
perubahan raut wajah, kejang (opistotonus), kaku, gerakan klonik serta fasikulasi (kontraksi
kasar) otot; sakit kepala berat. Pada kasus yang serius dapat terjadi koma, konvulsi, hipertensi
dengan sakit kepala yang parah, nyeri sekitar dada (prekordial), depresi gagal pernapasan,
pireksia (demam), hiperpireksia (demam sangat tinggi), diaforesis (berkeringat), kulit dingin,
berhentinya aktivitas jantung dan pernapasan, bingung (inconsistence), agitasi, bingung
(mental confusion), pusing berat, syok, dan kematian. Pada kasus tertentu telah dilaporkan
terjadinya hipertensi yang disertai dengan kejutan atau fibrilasi mioklonik otot rangka
bersama hiperpireksia, ada kalanya berlanjut menjadi kekakuan menyeluruh serta koma.
Penanganan: Induksi emesis atau bilas lambung dengan memberikan karbon aktif pada awal
keracunan; lindungi jalan udara dari menghirup cairan/benda asing. Pertahankan respirasi
dengan cara yang tepat, termasuk penanganan jalan udara, penggunaan suplemen oksigen,
dan pertolongan ventilasi mekanik sebagaimana diperlukan.
Kardiovaskular – Komplikasi kardiovaskular termasuk hipertensi dan hipotensi; karenanya
harus hati-hati kalau memberikan senyawa aktif kardiovaskular dan harus selalu dilakukan
pemantauan tekanan darah. Hipertensi parah dapat ditangani dengan suatu pemblok alfa-
adrenergik (seperti fentolamin, fenoksibenzamin). Senyawa pemblok beta dapat digunakan
untuk takhikardia, takhipnea, dan hiperpireksia; akan tetapi masih diperlukan lebih banyak
data. Tangani hipotensi dan kolaps vascular dengan cairan i.v. dan, bila perlu, berikan infus
intravena senyawa presor encer. Pemberian amin presor seperti norepinefrin mungkin
memiliki keterbatasan, karena efeknya dapat dipotensiasi. Senyawa adrenergik dapat
meningkatkan respons presor.
SSP – Stimulasi SSP, termasuk konvulsi, dapat ditangani dengan diazepam i.v. yang
diberikan secara perlahan. Hindari turunan fenotiazin dan stimulan SSP. Pantau temperatur
tubuh dengan seksama. Mungkin diperlukan penanganan hiperpireksia. Pemeliharaan
keseimbangan cairan dan elektrolit sangat esensial.
Hemodialisis, dialysis peritoneal, dan hemoperfusi karbon aktif mungkin diperlukan pada
kasus overdosis dalam jumlah banyak (masif), tapi tidak ada data yang cukup untuk
merekomendasi penggunaan rutinnya. Pendinginan eksternal dianjurkan jika terjadi
hiperpireksia. Barbiturat dilaporkan dapat membantu meringankan reaksi mioklonik.
Efek patofisiologik overdosis masif dapat berlangsung selama beberapa hari; perbaikan dari
overdosis sedang diperkirakan terjadi dalam 3 sampai 4 hari. Lanjutkan
penanganan selama beberapa hari sampai dicapai kembali homeostasis. Telaah fungsi hati
dianjurkan selama 4 sampai 6 minggu setelah sembuh. Belum diketahui apakah
tranilsipromin dapat didialisa.
DAFTAR PUSTAKA
1
. Amir Nurmiati. Gangguan depresif Aspek Neurobiologi dan Tatalaksana. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2005. hal1-140
2
. Burnham, T.A.(Eds), 2001.
Drug Fact and Comparison
, 55 th Ed, St Louis: A
Wolters Kluwers Company, pp.902-944
3
. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik - Pedoman Penggolongan Diagnosis
Gangguan Jiwa - Jakarta 1996
4
. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik - Yayasan Gangguan depresif Indonesia :
Anxietas dan Gangguan depresif, Modul Pelatihan Bagi Dokter Umum, Jakarta
2002
5
. Fraser, K., etal., Pharmaceutical Care, Mood Disorders : Drug Treatment of
Depression. The Pharmaceutical Journal Vol 266
6
. Ghazaleh, R.A., Depression Care Plan Guidelines, Peters Institute of
Pharmaceutical Care. 2004
7
. Kando, J.C., Wells, B.G, Hayes, P.E. 2005. Depressive Disorder.
In
: Dipiro, J.T.,
et al. ( Eds ),
Pharmacotherapy a Patophysiological Approach,
6
th
Ed., St
Louis : Mc Graw Hill Companies, Inc, pp. 1235-1255
8
. Kaplan H.I & Sadock BJ : Pocket Handbook of Emergency Psychiatric Medicine,
William Wilkins, 1993
9.
Kaplan H.I. & Sadock B.J : Synopsis Psychiatry, 7 edition, 1994
10
. Kode - Kimble, M. A. and Young, L. Y., 2002.
Applied Therapeutic : The
Clinical
Use Of Drugs
, Vancouver : Applied Therapeutic, Inc, pp.75.1-75.12
11
. Mc Evoy, G. K.,2002.
AHFS Drug Information
, Bethesda : American Society of
Health-System Pharmacist, pp. 2179-2276
12
. Nolan, S, Scoggin, J.A. Serotonin Syndrom: Recognition and Management
13
. Rundell, J.R., Wise, M.G.2000.
Consultation Psychiatry,
3rd Ed., Washington :
American Psychiatric Press, pp. 61-79
14
.
www.counseling-works.org.uk
15
.
www.depressions-guide.com
16
. www.e-psikologi.com
17
.
www.nimh.nih.gov/healthinformation/depression
18.
www. who.int/mental_health/management/depression
Kehadiran antidepresan pertama, tricyclic antidepressants (TCA), pada 1955 menjadi suatu
gebrakan dalam tatalaksana klinis depresi. Seperti penemuan obat lainnya, TCA dijumpai
secara tak sengaja. Saat itu, pakar asal Swiss tengah mengembangkan obat pertama kelompok
ini (imipramine ) untuk pengobatan tuberkulosis. Kebetulan pasien yang diobati juga
menunjukkan gejala gangguan jiwa termasuk depresi. Setelah pemberian imipramine, pasien
menunjukkan perbaikan dalam kehidupan sosial mereka. Inilah cikal berkembangnya terapi
farmakologi depresi.
Masih pada era 1950-an ditemukan kelompok antidepresan kedua, yaitu monoamine oxidase
inhibitor (MAOI). Obat pertama dari kelas ini adalah iproniazid. Selanjutnya satu setengah
dekade silam, ditemukan generasi antidepresan yang lebih baru, selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI). Terakhir dikembangkan golongan terbaru, yakni selective norepinephrine
reuptake inhibitor (SNRI). Kehadiran antidepresan atipikal seperti bupropion, nefazodone,
dan mirtazapine kemudian menambah khazanah terapi farmakologi depresi.
Menurut Dr. Suryo Dharmono, SpKJ, dari Departemen Psikiatri FKUI RSUPNCM, saat ini
yang menjadi pilihan dalam terapi depresi adalah generasi baru seperti SSRI dan SNRI.
Pasalnya, SSRI dan SNRI bersifat lebih selektif terhadap neurotransmitter yang terkait
dengan depresi. Mekanisme selektif ini melahirkan antidepresan dengan profil efikasi yang
sama dengan yang sebelumnya, tapi tolerabilitasnya lebih baik dan lebih aman saat overdosis.
"Obat pendahulu mulai banyak ditinggalkan karena efek sampingnya yang cukup signifikan.
Misalnya saja, MAOI bisa mengarah pada gangguan vaskular," kata Suryo.
Lebih lanjut Suryo mengatakan, profil tolerabilitas suatu antidepresan adalah hal penting
yang harus jadi pertimbangan dalam memilih terapi. Di samping itu juga perlu ditinjau profil
farmakologi serta kerja sekundernya jika ada. Salah satu hal yang mengkhawatirkan dalam
terapi depresi adalah kemungkinan resistensi terhadap pengobatan. Untuk ini perlu dilakukan
alih strategi seperti dengan augmentasi atau penambahan obat lain (misalnya, lithium atau
triiodothyronine).
FLUOXETINE
Fluoxetine merupakan anggota SSRI pertama yang diakui FDA untuk pengobatan depresi.
Seperti SSRI lain, obat ini bekerja dengan menghambat reuptake serotonin (5-HT1A, 5-
HT2C, dan 5-HT3C) ke dalam prasinap saraf terminal. Alhasil akan terjadi peningkatan
neurotransmisi oleh serotonin sehingga menimbulkan efek antidepresan.
Adapun keistimewaan fluoxetine dibanding antidepresan lainnya adalah obat ini boleh
diberikan pada usia lanjut, di atas 65 tahun. Kemudian, pada Januari 2003, fluoxetine juga
sukses menggondol pengakuan dari FDA untuk pengobatan depresi dan obsessive
compulsive disorder (OCD) pada anak dan remaja (7-17 tahun).
Untuk pemberian awal, biasanya dosis fluoxetine dimulai 20 mg per hari pada pagi hari.
Selanjutnya, dosis lazim untuk mengatasi depresi berkisar 20-40 mg per hari. karena
berpotensi untuk aktivasi SSP awal pada pengobatan. Sementara itu, dosis awal yang bisa
diberikan pada pasien tua adalah 10 mg per hari. Kemudian dititrasi menjadi 20 mg atau lebih
per hari. Karena fluoxetine memiliki waktu paruh 2-4 hari dan zat aktifnya, norfluoxetine,
memiliki waktu paruh 7-9 hari, jadi sangat beralasan menunggu hingga 4 minggu antara
titrasi dosis.
Efek samping yang paling umum dijumpai pada pemakaian fluoxetine adalah agitasi,
insomnia, dan neuromuscular restlessness mirip akathisia. Ini mungkin karena kurang
selektifnya fluoxetine terhadap reseptor norepinefrin dan serotonin-2C (5-HT2C). Tapi
untungnya, efek samping ini biasa berlangsung singkat dan bisa membaik dengan
pengurangan dosis. Pemberian temporer bersama dengan penghambat beta adrenergik atau
benzodiazepine kerja panjang juga bisa mengurangi efek samping yang timbul.
SERTRALINE
Sertraline diindikasikan terutama untuk mengatasi gejala depresi dan kecemasan. Tapi obat
ini juga bisa diresepkan untuk mengatasi OCD, stress pasca trauma, gangguan panik, dan
bipolar. Pemberian dosis sertraline dimulai dengan dosis 50 mg per hari. Selanjutnya
dilakukan titrasi dalam range dosis 100-200 mg per hari sebagai dosis tunggal atau berbagi.
Untuk pasien tua, terapi bisa dimulai dengan dosis 25 mg. Sedangkan dosis awal pada anak
dengan OCD (6-12 tahun) adalah 25 mg per hari.
Seperti anggota SSRI lainnya, sertraline juga menimbulkan berbagai efek yang tak
diinginkan, seperti diare. Kasus diare pada penggunaan sertraline dilaporkan lebih banyak
ketimbang fluoxetine. Tapi untuk kasus ansietas dan insomnia, dilaporkan lebih sedikit.
PAROXETINE
Paroxetine merupakan salah satu anggota SSRI yang poten. Tak ayal, sejak di-release
pertama kali pada 1992, obat ini menjadi salah satu obat yang paling banyak diresepkan
untuk depresi. Hal ini karena efikasinya yang tak hanya ampuh untuk depresi, tapi juga bisa
mengatasi sejumlah gangguan kecemasan, mulai dari serangan panic hingga masalah phobia.
Paroxetine adalah turunan dari fenilpiridin.
Pada pengobatan depresi, pemberian paroxetine diawali dengan dosis 20 mg per hari. Pasien
tua bisa memulai dengan dosis 10 mg per hari. Batas atas dosis adalah 40 -60 mg per hari.
Sementara untuk anak, dosis awal yang direkomendasikan adalah 10 mg per hari.
Efek samping paroxetine secara umum mirip dengan SSRI lainnya. Tapi paroxetine lebih
cenderung menimbulkan sedasi dan konstipasi. Hal ini disinyalir sebagai akibat aktivitas
antikolinergiknya. Potensi untuk kenaikan berat badan, interaksi obat, dan disfungsi seksual
sedikit lebih tinggi pada pasien yang menggunakan paroxetine ketimbang dengan fluoxetine
dan sertraline.
Belakangan ini, sediaan paroxetin controlled release telah dilempar ke pasaran guna
mengurangi efek samping gastrointestinal pada formulasi immediate release. Dosis awal yang
direkomendasikan untuk pengobatan depresi adalah 25 mg per hari, dengan range dosis 25-
62,5 mg per hari. Perubahan dosis harus dilakukan dalam interval tak lebih dari satu minggu.
Pada pasien dengan gangguan panic, suatu dosis awal 12,5 mg per hari direkomendasikan.
Dosis hingga 75 mg masih bisa digunakan untuk pasien ini. Pasien harus diberi tahu bahwa
tabletnya ditelan bukan dikunyah.Serupa dengan semuaSSRI, paroxetine sebaiknya jangan
digunakan bersama dengan MAOI. Untuk penggantian terapi dengan MAOI harus ada
periode jeda sekitar dua minggu.
CITALOPRAM
Citalopram biasanya diindikasikan untuk mengobat depresi dengan gangguan mood.
Terkadang obat ini juga diresepkan untuk pengobatan body dysmorphic disorder dan ansietas.
Menariknya, citalopram terbukti tak mengalami interaksi klinis yang signifikan dengan obat
atau bahan lain. Jadi, obat ini cocok digunakan untuk pasien yang menerima banyak
pengobatan. Range dosis citalopram yang direkomendasikan adalah 20-60 mg per hari.
Selain interaksi yang jarang, citalopram juga tampak memiliki tolerabilitas yang cukup baik.
Adapun efek yang umum dikeluhkan adalah nausea, insomia ringan, dan ansietas. Nausea
merupakan efek samping yang paling awal muncul, tapi hanya bersifat sementara.
Pengurangan dosis hingga 10 mg per hari bisa meredakan efek nausea ini.
Belum lama ini, telah diluncurkan isomer aktif dari rasemik citalopram, yaitu escitalopram.
Obat ini tercatat sebagai anggota SSRI terbaru dan paling selektif yang diakui oleh FDA
untuk pengobatan depresi.
Dalam studi terbukti, escitalopram pada dosis 10 mg per hari secara signifikan lebih efektif
ketimbang plasebo untuk mengobati depresi. Efek ini sama efektifnya dengan citalopram
dosis 40 mg per hari. Pemberian dosis yang lebih tinggi 20 mg per hari, tidak memberikan
manfaat yang lebih baik. Pada pasien dengan gangguan hati atau ginjal ringan dan sedang, tak
perlu dilakukan pengaturan dosis. Seperti halnya citalopram, potensi untuk interaksi
escitalopram juga rendah.
FLUVOXAMINE
Meskipun efeknya mirip dengan SSRI lainnya, tapi fluvoxamine memiliki efek farmakologi
yang berbeda. Oleh karena kerja tersebut, fluvoxamine menunjukkan efek samping yang
lebih sedikit dibanding antidepresan lain. Demikian juga dengan efek kehilangan kemampuan
seksual yang umumnya dijumpai pada golongan SSRI, juga tampak lebih kecil. Efek samping
yang biasa dikeluhkan adalah nausea, muntah, dan sakit kepala. Dosis awal yang diberikan
adalah 50 mg per hari, kemudian dititrasi 150-250 mg per hari dalam dosis terbagi dua. Pada
anak-anak dapat dimulai dengan dosis 25 mg pada saat tidur. Fluvoxamine merupakan SSRI
dengan waktu paruh relatif pendek, yaitu sekitar 15,6 jam.
VENLAFAXINE
Secara struktural, venlafaxine merupakan senyawa baru yang diakui oleh FDA untuk
pengobatan depresi mayor pada 1993. Obat yang tergolong dalam SNRI ini adalah
antidepresan bisiklik yang menginhibisi reuptake norepinefrin dan serotonin secara kuat.
Awalnya, venlafaxine beredar dalam formulasi immediate-release (IR) yang digunakan dua
atau tiga kali sehari. Tapi untuk kenyamanan pasien, pada 1997 di-release bentuk extended-
release (XR) yang diberikan sekali sehari.Dosis awal venlafaxine XR yang direkomendasikan
adalah 37.5 mg -75 mg per hari. Dosis bisa dinaikkan dengan penambahan hingga 75 mg per
hari, setiap 4-7 hari, sampai dengan dosis maksimum per hari 225 mg.
Profil keamanan vanlafaxine sebanding dengan SSRI dan lebih rendah dari TCA. Efek
samping yang paling umum dijumpai adalah nausea, pusing, insomnia, mengantuk, dan mulut
kering. Efek antikolinergik secara signifikan lebih ringan dibandingkan dengan antidepresan
lainnya. Sedangkan efek disfungsi seksual sama seperti SSRI lain.
Ada laporan awal suatu studi yang menyatakan, venlafaxine bisa meningkatkan tekanan
darah diastol secara signifikan. Tapi analisa selanjutnya memperlihatkan bahwa efek ini
merupakan fenomena yang terjadi hanya pada dosis di atas 300 mg per hari.
Sindrom discontinue yang mengkhawatirkan bisa terjadi pada penghentian venlafaxine secara
mendadak. Untuk menghindari sindrom ini, venlafaxine XR harus di-tappering off dengan
pengurangan dosis harian 75 mg dalam masa satu minggu.
Mirtazapine
Mirtazapine merupakan antidepresan tetrasiklik yang tak terkait dengan antidepresan trisiklik
dan SSRI. Secara kimiawi, obat ini pun berbeda dengan antidepresan lain. Makanya,
mirtazapine memiliki cara kerja yang unik. Mirtazapine bertindak sebagai antagonis reseptor
alpha2-adrenergic, sekaligus jugasebagai antagonis poten reseptor postsynaptic 5-HT2 dan 5-
HT3. Akibatnya, mirtazapine bisa menstimulasi pelepasan norepinephrine dan serotonin.
Studi memperlihatkan, mirtazapine efektif mengobati depresi dalam setiap tingkat keparahan.
Di samping itu, mirtazapine juga terbukti efektif mengatasi depresi sedang dan berat,
terutama pasien dengan ansietas, gangguan tidur, agitasi, dan pasien dengan keterbelakangan
mental.
Mirtazapine baru memunjukkan efikasi dalam 2-4 minggu setelah pengobatan, meskipun
gangguan tidur dan ansietas bisa diperbaiki pada minggu pertama. Dalam studi review yang
membandingkan mirtazapine dengan SSRI, jumlah responden dengan permulaan efek
perbaikan yang menetap pada minggu pertama, dua kali lebih besar pada mirtazapine (13 %
vs 6% ). Mirtazapine memiliki waktu paruh cukup panjang, yakni perempuan (37 jam) dan
laki-laki (26 jam).
Karena profil farmakologi yang unik, mirtazapine tak memiliki efek samping yang terkait
dengan antikolinergik, adrenergik, dan serotonin. Efek samping yang paling umum dijumpai
adalah fatigue, pusing, sedasi sementara, dan peningkatan bobot badan. Menariknya lagi,
mirtazapine tak menyebabkan disfungsi seksual seperti yang kerap dijumpai pada
antidepresan lainnya. Dosis yang direkomendasikan adalah 15 mg pada saat akan tidur,
kemudian dititrasi hingga 45 mg per hari jika perlu.
b. SSRI:
Fluoxetine: efek merugikan yang paling sering dari fluoxetine melibatkan sistem saraf pusat
dan sistem gastrointestinal. Efek sistem saraf pusta yang paling sering adalah nyeri kepala,
ketegangan, insomnia, mengantuk, dan kecemasan. Keluhan gastrointestinal yang paling
sering adalah mual, diare, anoreksia, dan dispepsia. Data menyatakan bahwa mual adalah
berhubungan dengan dosis dan merupakan suatu efek merugikan di mana pasien tampaknya
mengembangkan toleransi. Efek yang lainnya melibatkan fungsi seksual dan kulit. Fluoxetine
dieksresi dalam air susu; dengan demikian, ibu menyusui tidak boleh menggunakan
fluoxetine. Fluoxetine juga harus digunakan dengan berhati-hati oleh pasien dengan penyakit
hati.
SSRI lain: efek merugikan yang ditemukan pada SSRI lainnya serupa dengan yang
ditemukan pada fluoxetine.
c. MAOI
Efek merugikan yang paling sering dari MAOI adalah hipotensi ortostatik, penambahan berat
badan, edema, disfungsi seksual, dan insomnia. Jika hipotensi ortostatik berhubungan dengan
pemakaian phenelzine atau isocarboxazid adalah parah, keadaan ini mungkin berespon
terhadap terapi dengan fludrocortisone (florinef), suatu mineralokortikosteroid 0,1 sampai 0,2
mg sehari; kaus kaki elastik (support stocking); hidrasi; dan peningkatan asupan garam.
Hipotensi ortostatik yang berhubungan dengan pemakaian tranylcypromine, adalah suatu
krisis hipertensif spontan yang terjadi setelah pemaparan pertama dengan obat dan tidak
berhubungan dengan ingesti tyramine. Penambahan berat badan, edema, dan disfungsi
seksual seringkali tidak responsif terhadap terapi apapun dan mungkin mengharuskan
mengganti dari hydralazine menjadi MAOI nonhydralazine atau sebaliknya. Mioklonus, nyeri
otot, dan parathesia kadang-kadang ditemukan pada pasien yang diobati dengan MAOI.
Parathesia mungkin sekunder karena defisiensi pyrodoxine akibat MAOI, yang berespon
dengan suplementasi pyrodoxine, 50 sampai 150 mg peroral setiap hari. Kadang-kadang,
pasien mengeluh merasa mabuk atau kebingungan, kemungkinan menyatakan bahwa dosis
harus diturunkan dan selanjutnya ditingkatkan perlahan-lahan. Efek hepatotoksik jarang
dilaporkan. MAOI kurang kardiotoksik dan kurang epileptogenik jika dibandingkan obat
trisiklik yang digunakan untuk mengobati depresi. MAOI harus digunakan dengan berhati-
hati oleh pasien dengan penyakit ginjal, gangguan kejang, penyakit kardiovaskular, atau
hipertiroidisme. MAOI dikontraindikasikan selama kehamilan, walaupun data tentang risiko
teratogeniknya adalah minimal. MAOI tidak boleh digunakan oleh wanita menyusui karena
obat dapat keluar melalui air susu.
Krisis Hipertensif akibat Tyramine: jika pasien yang menggunakan MAOI nonselektif
mengingesti makanan yang kaya akan tyramine, mereka kemungkinan mengalami reaksi
hipertensif yang dapat membahayakn (sebagai contohnya, suatu penyakit serebrovaskular).
Pasien juga harus diperingatkan bahwa gigitan lebah dapat menyebabkan krisis hipertensif.
V. Kesimpulan
Sindrom depresi disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau beberapa “aminergik
neurotransmitter” (noreadrenaline, serotonin, dopamine) pada sinaps neuron di susunan saraf
pusat (khususnya pada sistem limbik).
Mekanisme obat antidepresi adalah menghambat re-uptake aminergik neurotransmitter dan
menghambat penghancuran oleh enzim monoamine oxidase sehingga terjadi peningkatan
jumlah aminergic neurotransmitter pada sinaps neuron di susunan saraf pusat.
Efek samping obat antidepresi dapat berupa sedasi, efek kolinergik, efek anti-adrenergik alfa
dan efek neurotoksis.
DAFTAR PUSTAKA