You are on page 1of 47

1

BAB I
PENDAHULUAN

Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak akut fokal maupun

global akibat terhambatnya peredaran darah ke otak. WHO mendefinisikan stroke

sebagai suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal

(atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan

dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain

vaskuler.

Prevalensi penderita penyakit stroke di Indonesia tahun 2013 berdasarkan

diagnosis tenaga kesehatan (Nakes) diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang

(7,0%), sedangkan berdasarkan diagnosis Nakes/gejala di-perkirakan sebanyak

2.137.941 orang (12,1%). Berdasarkan diagnosis Nakes maupun diagnosis/gejala,

Provinsi Jawa Barat memiliki estimasi jumlah penderita terbanyak yaitu sebanyak

238.001 orang (7,4%) dan 533.895 orang (16,6%), sedangkan Provinsi Papua

Barat memiliki jumlah penderita paling sedikit yaitu sebanyak 2.007 orang (3,6%)

dan 2.955 orang (5,3%).

Adapun faktor resiko yang memicu tingginya angka kejadian stroke

iskemik adalah faktor yang tidak dapat dimodifikasi (contoh: usia, ras, gender,

genetik, dll) dan faktor yang dapat dimodifikasi (contoh: obesitas, hipertensi,

diabetes, dll). Resiko terkena stroke meningkat sejak usia 45 tahun. Setelah usia

50 tahun, setiap penambahan usia tiga tahun meningkatkan resiko stroke sebesar

11-20%. Orang berusia lebih dari 65 tahun memiliki resiko paling tinggi, tetapi
2

hampir 25% dari semua stroke terjadi sebelum usia tersebut, dan hampir 4%

terjadi pada orang berusia antara 15 dan 40 tahun.

Stroke menduduki urutan ketiga sebagai penyebab utama kematian setelah

penyakit jantung koroner dan kanker di negara-negara berkembang. Jika tidak

ditangani dengan segera maka penderita stroke bisa berakhir dengan kematian

atau kecacatan, yakni lumpuh, demensia (pikun) dan gangguan lain seperti sulit

bicara dan gangguan melakukan kegiatan sehari-hari lainnya. Kurang dari 10%

penderita stroke mengalami komplikasi atau gejala sisa berupa kejang atau

epilepsi. Hal ini paling besar kemungkinannya terjadi pada mereka yang

mengalami perdarahan intraserebral.

Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun

dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh

lepas muatan listrik abnormal neuron kortikal secara berlebihan. Epilepsi dapat

dialami oleh setiap orang. Penyebab dari epilepsi cukup beragam: cedera otak,

keracunan, stroke, infeksi, infestasi parasit, tumor otak. Epilepsi dapat terjadi pada

laki-laki maupun wanita, umur berapa saja, dan ras apa saja. Puncak insidensi

terdapat pada golongan anak dan lanjut usia. Insidensi epilepsi di negara maju

adalah 50/100.000 dan di negara berkembang 100/100.000. Di seluruh dunia

kasus baru setiap tahun diperkirakan sekitar 3,5 juta dengan proporsi sebagai

berikut: 40% golongan anak, 40% golongan dewasa, 20% golongan lanjut usia. Di

negara maju faktor penyebab epilepsi non idiopatik yang paling menonjol adalah

stroke, meliputi 11-14% dari seluruh kasus. Sementara itu 50% dari seluruh kasus

epilepsi di seluruh dunia bersifat idiopatik.


3

BAB II
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. M

Usia : 53 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Nibong, Aceh Utara

Suku : Aceh

No RM : 09.14.XX

TMRS : 2 Juli 2017

1.2 Anamnesis

Keluhan Utama:

Kelemahan anggota gerak sebelah kiri

Keluhan Tambahan :

Pusing yang hebat (+) pitam (+)

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke Rumah Sakit Cut Meutia dengan keluhan kelemahan

pada anggota gerak sebelah kiri. Pasien terjatuh saat ingin berdiri dari kursi dan

tidak sadarkan diri. Sebelum jatuh, pasien mengeluhkan pusing yang hebat,

kemudian pasien menjadi pitam dan terjatuh. Pasien sempat tidak sadarkan diri
4

selama 5 menit. Hal ini baru pertama kali di rasakan pasien. Pasien juga

mengeluhkan mengalami nyeri di seluruh bagian kepala sejak 4 hari yang lalu dan

belum hilang sampai sekarang.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Hipertensi (+)

DM (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat hipertensi( (-)

Riwayat Penggunaan Obat-obatan:

Obat anti hipertensi (+)

Riwayat Kebiasaan Sosial:

Merokok (+)

1.3 Status Internus

Keadaan Umum : lemah

Kesadaran : E4 M6 V5

Tekanan Darah : 150/80 mmHg

Nadi : 108 kali/ menit

Pernafasan : 14 kali/menit
0
Suhu : 36,7 C

1.4 Pemeriksaan Fisik

a. Kulit

Warna : Hitam
5

Sianosis : tidak ada

Ikterus : tidak ada

Oedema : tidak ada

b. Kepala

Bentuk : normocephali

Wajah : edema dan deformitas tidak dijumpai

Mata : konjungtiva pucat (-/-), ikterik (-/-), pupil bulat isokor 3 mm/3

mm, refleks cahaya langsung (+/+), dan reflex cahaya tidak

langsung (+/+)

Telinga : serumen (-/-)

Hidung : sekret (-/-)

Mulut : bibir pucat dan kering tidak dijumpai, sianosis tidak dijumpai,

lidah tremor dan hiperemis tidak dijumpai.

c. Leher

 Kelenjar Getah Bening : Tidak teraba membesar

 Kelenjar Tiroid : Tidak teraba membesar

d. Thoraks

Inspeksi

Statis : simetris, bentuk normochest

Dinamis : simetris, retraksi suprasternal dan retraksi interkostal tidak

dijumpai
6

Paru

Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, tidak ada jejas di dada

Kanan Kiri

Palpasi Simetris, nyeri tekan Simetris, nyeri tekan

tidak ada, tidak ada

Perkusi Redup Redup

Auskultasi Vesikuler Vesikuler

Ronki(-) wheezing (-) Ronki(-) wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : tidak dilakukan

Perkusi : tidak dilakukan

Auskultasi : BJ I BJ II normal, reguler, murmur tidak dijumpai

e. Abdomen

Inspeksi : Bentuk tampak simetris dan tidak tampak pembesaran

Auskultasi : Peristaltik usus normal

Palpasi : Nyeri tekan dan defans muskular tidak dijumpai

 Hepar : Tidak teraba

 Lien : Tidak teraba

 Ginjal : Ballotement tidak di jumpai

Perkusi : tidak dilakukan


7

f. Tulang Belakang : Simetris, nyeri tekan (-)

g. Kelenjar Limfe : Pembesaran KGB tidak dijumpai

h. Ekstremitas : Kelemahan anggota gerak kiri

Superior Inferior

Kanan Kiri Kanan Kiri

Sianosis Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Oedema Tidak ada Tidak ada Tidak Tidak ada

Fraktur Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

1.5 Status Neurologis

A. G C S : E4 M6 V5

Pupil : Isokor (3 mm/3 mm)

Reflek Cahaya Langsung : (+/+)

Reflek Cahaya Tidak Langsung : (+/+)

Tanda Rangsang Meningeal

- Kaku kuduk : (-)

- Laseque : (-)

- Kernig : (-)

- Brudzinski I : (-)

- Brudzinski II : (-)
8

B. Nervus kranial

Nervus III (otonom) :

Kanan Kiri

1. Ukuran pupil 3 mm 3 mm

2. Bentuk pupil bulat bulat

3. Refleks cahaya langsung + +

4. Refleks cahaya tidak langsung + +

5. Nistagmus - -

6. Strabismus - -

7. Eksoftalmus - -

Nervus III, IV, VI (gerakan okuler) Kanan Kiri

Dalam batas normal Dalam batas normal

Kelompok Motorik

Nervus V (fungsi motorik) Dalam batas normal

Nervus VII (fungsi motorik) Kerutan dahi menurun sebelah kiri

Kekuatan otot menutup mata menurun

sebelah kiri

Lipatan nasolabialis dalam batas normal


9

Nervus IX & X (fungsi motorik) Disfonia (+)

Nervus XI (fungsi motorik) Dalam batas normal Dalam batas normal

Nervus XII (fungsi motorik) Dalam batas normal

Kelompok Sensoris

1. Nervus I (fungsi penciuman) Sulit dinilai

2. Nervus V (fungsi sensasi wajah) Sulit dinilai

3. Nervus VII (fungsi pengecapan) Sulit dinilai

4. Nervus VIII (fungsi pendengaran) Sulit dinilai

C. Badan

Sensibilitas

Dalam batas normal

D. Anggota Gerak Atas

Motorik

1. Pergerakan : (+/+)

2. Kekuatan : 5555/4555

3. Tonus : N/N

4. Trofi : N/N

Refleks

1. Biceps : (++/++)
10

2. Triceps : (++/++)

3. Hoffman-Tromner : (-/-)

E. Anggota Gerak Bawah

Motorik

1. Pergerakan : (+/+)

2. Kekuatan : 5555/3333

3. Trofi : N/N

Refleks

1. Patella : (++/++)

2. Achilles : (++/++)

3. Babinski : (-/-)

4. Chaddok : (-/-)

5. Gordon : (-/-)

6. Oppenheim : (-/-)

F. Fungsi Vegetatif

1. Miksi : dalam batas normal

2. Defekasi : dalam batas normal

G. Koordinasi Keseimbangan

1. Cara Berjalan : Sulit dinilai

2. Romberg Test : sulit dinilai


11

Pemeriksaan Penunjang

Lab darah (3 Juli 2017)

TANGGAL
PEMERIKSAAN NILAI NORMAL
03/07/2017

HEMATOLOGI

Hb 12,0-15,0gr/dl 13,8

Ht 37-47% 44,4

Leukosit 4,5-10,5 103/mm3 8,75

Eritrosit 4,2-5,4.106/mm3 4,93

Trombosit 150-450.103/mm3 110

KIMIA KLINIK

Kolesterol <200 mg/dL 251

HDL Kolesterol >45 mg/dL 48

LDL Kolesterol 100-129 mg/dL 185

Ureum 13-43 mg/dl 37

KGDP 70-126 mg/dL 100

KGD2PP 100-140 mg/dL 105

AST <35 U/L 38

ALT <45 U/L 28

Bilirubin total 0,3-1,2 mg/dL 1,03

Alkali phospat 3,5-5,2 g/dL 105


12

RESUME

Seorang laki-laki Tn.M usia 53 tahun datang ke UGD RS Cut Meutia

dengan keluhan kelemahan pada anggota gerak sebelah kiri. Pasien terjatuh saat

ingin berdiri dari kursi dan tidak sadarkan diri. Pasien juga mengeluhkan pusing

yang hebat sebelum terjatuh. Keluhan ini pertama kali di alami pasien. Pasien

mengeluhkan nyeri kepala sejak 4 hari yang lalu. Pasien sempat mengalami

kejang berulang disertai penurunan kesadaran di hari pertama rawatan serta

muntah 2x. Dari pemeriksaan fisik status generalis tidak ditemukan kelainan yang

berarti. Pemeriksaan status neurologis ditemukan disfonia, kerutan dahi menurun,

dan kekuatan otot mata kiri menurun. Hasil pemeriksaan laboratorium darah

didapatkan kesan hiperkolesterolemia dan trombositopenia.

1.6 Diagnosis

a. Diagnosis Klinis : Hemiparese sinistra + kejang berulang

b. Diagnosis Topis : kortikal

c. Diagnosis Etiologi : trombus

d. Diagnosis Patologi : stroke iskemik + status epilepstikus

1.7 Terapi

IVFD NaCl 20 gtt/i

IV Citicolin 500 mg/12 j

IV ondansetron 4 mg/12 j

IV Ranitidin 50 mg/12 jam

Amlodipin 1x10 mg tablet

Aspilet 1x80 mg tablet


13

1.8 Prognosis

Qou ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

1.9 Follow UP

Tanggal S O A P
3/07/2017 - Nyeri kepala KU: Lemah Stroke - IVFD RL 20
sudah Kesadaran: E4 M6 iskemi gtt/i
berkurang V5 k + - IV Citicolin
- Lemah status 500 mg/12 j
anggota gerak TD: 140/90 mmHg epilepti - IV ondansetron
sebelah kiri HR: 75 x/i cus 4 mg/12 j
(+) RR: 14x/i - Clopidogrel
- Sulit T : 36,9oC 1x75 mg tablet
berbicara (-) Pupil isokor, - Amlodipin 1x5
- Suara serak RCL/RCTL (+/+)/ mg tablet
(+) (+/+) -Aspilet 1x80 mg
- Mual (-) N I ( sulit dinilai) tablet
- Muntah (-) NII (N) - Kutoin 1 amp +
- Kejang (+) N III,IV,VI (N) 20 cc NaCl/8 jam
- BAB (+) NV (N) - Diazepam 1
- BAK (+) NVII (fungsi amp/12 jam
menurun)
N VIII (sulit dinilai)
NIX, X (disfonia +)
NXI( bahu kiri sulit
diangkat)
TRM (-)
Refleks
fisiologis
(dbn)
Refleks
patologis (-)
Sensorik
(dbn)
Motorik
Ekstremitas atas:
5555/4555
Ekstremitas bawah :
5555/3333
14

06/07/2017 - Lemah KU: baik Stroke - IVFD NaCl 20


anggota gerak Kesadaran: E4 M6V5 iskemi gtt/i
sebelah kiri (- k + - IV Citicolin
) TD: 160/100 mmHg status 500 mg/12 j
- Sulit HR: 78 x/i epilepti - IV ondansetron
berbicara (-) RR: 18x/i cus 4 mg/12 j
- Mual (-) T : 35,6oC - IV Ranitidin 50
- Muntah (-) Pupil isokor, mg/12 jam
- BAB (N) RCL/RCTL (+/+)/ - Clopidogrel
- BAK (N) (+/+) 1x75 mg tablet
N I ( sulit dinilai) - Amlodipin 1x5
NII (N) mg tablet
N III,IV,VI (N) -Aspilet 1x80 mg
NV (N) tablet
NVII (n) - Ketoin 3x1
N VIII (sulit dinilai)
NIX, X (n)
NXI(n)
TRM (-)
Refleks
fisiologis
(dbn)
Refleks
patologis (-)
Sensorik
(dbn)

Motorik
Ekstremitas atas:
5555/5555
Ekstremitas bawah :
5555/5555
15

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Vaskularisasi Saraf Pusat

3.1.1 Anatomi

Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis (arteri

karotis interna kanan dan kiri) dan sistem vertebral. Arteri karotis interna, setelah

memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak

melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosum, mempercabangkan

arteri oftalmika untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: arteri

serebri anterior dan arteri serebri media. Untuk otak, sistem ini memberi darah

bagi lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus temporalis. Sistem

vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di arteri

subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis tranversalis di kolumna

vertebralis servikal, masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu

mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli inferior. Pada batas

medula oblongata dan pons, keduanya bersatu arteri basilaris, dan setelah

mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon, arteri

basilaris berakhir sebagai sepasang cabang: arteri serebri posterior, yang melayani

darah bagi lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis. Ke 3 pasang

arteri serebri ini bercabang-cabang menelusuri permukaan otak, dan

beranastomosis satu bagian lainnya. Cabang- cabang yang lebih kecil menembus

ke dalam jaringan otak dan juga saling berhubungan dengan cabang-cabang arteri

serebri lainya.
16

Untuk menjamin pemberian darah ke otak, ada sekurang-kurangnya 3

sistem kolateral antara sistem karotis dan sitem vertebral, yaitu: Sirkulus Willisi,

yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh arteri serebri media kanan

dan kiri, arteri komunikans anterior (yang menghubungkan kedua arteri serebri

anterior), sepasang arteri serebri media posterior dan arteri komunikans posterior

(yang menghubungkan arteri serebri media dan posterior) kanan dan kiri.

Anyaman arteri ini terletak di dasar otak. Anastomosis antara arteri serebri interna

dan arteri karotis eksterna di daerah orbita, masing-masing melalui arteri

oftalmika dan arteri fasialis ke arteri maksilaris eksterna. Hubungan antara sitem

vertebral dengan arteri karotis ekterna (pembuluh darah ekstrakranial). Selain itu

masih terdapat lagi hubungan antara cabang-cabang arteri tersebut, sehingga

menurut Buskrik tak ada arteri ujung (true end arteries) dalam jaringan otak.

Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem: kelompok vena interna, yang

mengumpulkan darah ke vena Galen dan sinus rektus, dan kelompok vena

eksterna yang terletak dipermukaan hemisfer otak, dan mencurahkan darah ke

sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis laterales, dan seterusnya melalui

vena-vena jugularis dicurahkan menuju ke jantung.


17
18

3.1.2 Fisiologi

Sistem karotis terutama melayani kedua hemisfer otak, dan sistem

vertebrabasilaris terutama memberi darah bagi batang otak, serebelum dan bagian

posterior hemisfer. Aliran darah di otak (ADO) dipengaruhi terutama 3 faktor.

Dua faktor yang paling penting adalah tekanan untuk memompa darah dari sistem

arteri-kapiler ke sistem vena, dan tahanan (perifer) pembuluh darah otak. Faktor

ketiga, adalah faktor darah sendiri yaitu viskositas darah dan koagulobilitasnya

(kemampuan untuk membeku).1 Dari faktor pertama, yang terpenting adalah

tekanan darah sistemik (faktor jantung, darah, pembuluh darah, dll), dan faktor

kemampuan khusus pembuluh darah otak (arteriol) untuk menguncup bila tekanan

darah sistemik naik dan berdilatasi bila tekanan darah sistemik menurun. Daya

akomodasi sistem arteriol otak ini disebut daya otoregulasi pembuluh darah otak

(yang berfungsi normal bila tekanan sistolik antara 50-150 mmHg).

Faktor darah, selain viskositas darah dan daya membekunya, juga di

antaranya seperti kadar/tekanan parsial CO2 dan O2 berpengaruh terhadap

diameter arteriol. Kadar/tekanan parsial CO2 yang naik, PO2 yang turun, serta

suasana jaringan yang asam (pH rendah), menyebabkan vasodilatasi, sebaliknya

bila tekanan darah parsial CO2 turun, PO2 naik, atau suasana pH tinggi, maka

terjadi vasokonstriksi. Viskositas/kekentalan darah yang tinggi mengurangi ADO.

Sedangkan koagulobilitas yang besar juga memudahkan terjadinya trombosis,

aliran darah lambat, akibat ADO menurun.


19

3.2. Stroke

3.2.1 Definisi

Stroke adalah suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara

mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang

berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat langsung menimbulkan kematian, dan

semata-mata disebabkan gangguan peredaran darah otak non traumatik.

Stroke merupakan cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran

darah otak. Stroke dapat terjadi akibat pembentukan thrombus disuatu arteri

serebrum akibat embolus yang mengalir ke otak dan tempat lain ditubuh atau

akibat perdarahan otak.

3.2.2 Klasifikasi

Klasifikasi stroke berdasarkan atas gambaran klinik, patologi anatomi,

sistem pembuluh darah dan stadiumnya. Berdasarkan patologi anatomi dan

penyebabnya:

a. Stroke Infark

1) Stroke akibat trombosis serebri

2). Emboli serebri

3) Hipoperfusi sistemik

b. Stroke Hemoragik

1) Perdarahan intra serebral

2) Perdarahan ekstra serebral

Berdasarkan waktu terjadinya :


20

a. Transient Ischemic Attack (TIA)

b. Reversible Ischemic Neuroolgic Defisit (RIND)

c. Stroke in Evolution (SIE) / Progressing Stroke

d. Completed Stroke

Berdasarkan sistem pembuluh darah :

a. Sistem Karotis

b. Sistem Vertebrobasiler

3.2.3 Faktor Risiko

Stroke adalah penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor atau yang

sering disebut multifaktor. Faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian

stroke dibagi menjadi dua, yaitu faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi (no

modifiable risk factors) dan faktor resiko yang dapat dimodifikasi (modifiable risk

factors). Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti usia, ras, gender,

genetic atau riwayat keluarga yang menderita stroke. Sedangkan faktor resiko

yang dapat dimodifikasi berupa hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes

melitus, obesitas, alkohol, dan dislipidemia.

3.3.3 Diagnosis Stroke

Diagnosis stroke dibuat berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan laboratorium berperan dalam beberapa hal

antara lain untuk menyingkirkan gangguan neurologis lain, mendeteksi penyebab

stroke, dan menemukan keadaan komorbid


21

3.3.4 Pemeriksaan Radiologis pada stroke

a. CT scan

Pada kasus stroke, CT scan dapat membedakan stroke infark dan stroke

hemoragik. Pemeriksaan CT scan kepala merupakan gold standar untuk

menegakan diagnosis stroke.

b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Secara umum pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih

sensitive dibandingkan CT scan. MRI mempunyai kelebihan mampu melihat

adanya iskemik pada jaringan otak dalam waktu 2-3 jam setelah onset stroke non

hemoragik. MRI juga digunakan pada kelainan medula spinalis. Kelemahan alat

ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli paru, udara bebas dalam

peritoneum dan fraktur. Kelemahan lainnya adalah tidak bisa memeriksa pasien

yang menggunakan protese logam dalam tubuhnya, preosedur pemeriksaan

yang lebih rumit dan lebih lama, serta harga pemeriksaan yang lebih mahal.

3.4.5 Pemeriksaan Laboratorium

Pada pasien yang diduga mengalami stroke perlu dilakukan pemeriksaan

laboratorium. Parameter yang diperiksa meliputi kadar glukosa darah, elektrolit,

analisa gas darah, hematologi lengkap, kadar ureum, kreatinin, enzim jantung,

prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT).

Pemeriksaan kadar glukosa darah untuk mendeteksi hipoglikemi maupun

hiperglikemi, karena pada kedua keadaan ini dapat dijumpai gejala neurologis.

Pemeriksaan elektrolit ditujukan untuk mendeteksi adanya gangguan elektrolit

baik untuk natrium, kalium, kalsium, fosfat maupun magnesium. Pemeriksaan


22

analisa gas darah juga perlu dilakukan untuk mendeteksi asidosis metabolik.

Hipoksia dan hiperkapnia juga menyebabkan gangguan neurologis. Prothrombin

time(PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT) digunakan untuk

menilai aktivasi koagulasi serta monitoring terapi. Dari pemeriksaan hematologi

lengkap dapat diperoleh data tentang kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah

eritrosit, leukosit, dan trombosit serta morfologi sel darah. Polisitemia vara,

anemia sel sabit, dan trombositemia esensial adalah kelainan sel darah yang dapat

menyebabkan stroke.

3.1 Stroke Iskemik

3.1.1. Definisi

Stroke iskemik ialah stroke yang disebabkan oleh sumbatan pada

pembuluh darah servikokranial atau hipoperfusi jaringan otak oleh berbagai faktor

seperti aterotrombosis, emboli, atau ketidakstabilan hemodinamik yang

menimbulkan gejala serebral fokal, terjadi mendadak, dan tidak menghilang

dalam waktu 24 jam atau lebih

3.1.2 Etiologi

Pada tingkatan makroskopik, stroke iskemik paling sering disebabkan oleh

emboli ektrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke iskemik juga

dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan seluler, setiap

proses yang mengganggu aliran darah menuju otak menyebabkan timbulnya

kaskade iskemik yang berujung pada terjadinya kematian neuron dan infark

serebri.
23

1. Emboli

Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan

tetapi dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.

a) Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:

 Penyakit jantung dengan “shunt” yang menghubungkan bagian kanan

dengan bagian kiri atrium atau ventrikel;

 Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan

gangguan pada katup mitralis;

 Fibralisi atrium;

 Infark kordis akut;

 Embolus yang berasal dari vena pulmonalis

 Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung

miksomatosus sistemik;

b) Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:

 Embolia septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis.

 Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru.

 Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit “caisson”).

Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-

sided circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik

adalah trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan),

trombi mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung

kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-3% stroke emboli diakibatkan oleh
24

infark miokard dan 85% di antaranya terjadi pada bulan pertama setelah

terjadinya infark miokard.

2. Trombosis

Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar

(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus

Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering

adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri

karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi

aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus aterosklerosis

(ulserasi plak), dan perlengketan platelet. Penyebab lain terjadinya trombosis

adalah polisetemia, anemia sickle sel, displasia fibromuskular dari arteri serebral,

dan vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses

yang menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya

stroke trombotik (contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).

3.1.3 Klasifikasi

Stroke iskemik dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis:

1. Serangan Iskemia Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)

Pada bentuk ini gejalah neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran

darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.

2. Defisit Neurologik Iskemia Sepintas/Reversible Ischemic Neurological

Deficit (RIND).
25

Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24

jam, tapi tidak lebih dari seminggu.

3. Stroke progresif (Progressive Stroke/Stroke in evolution)

Gejala neurologik makin lama makin berat.

4. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)

Gejala klinis sudah menetap. Kasus completed stroke ini ialah hemiplegi

dimana sudah memperlihatkan sesisi yang sudah tidak ada progresi lagi.

Dalam hal ini, kesadaran tidak terganggu.

Berdasarkan subtipe penyebab :

a. Stroke lakunar

Terjadi karena penyakit pembuluh halus hipersensitif dan menyebabkan

sindrom stroke yang biasanya muncul dalam beberapa jam atau kadang-

kadang lebih lama. Infark lakunar merupakan infark yang terjadi setelah

oklusi aterotrombotik salah satu dari cabang-cabang penetrans sirkulus

Willisi, arteria serebri media, atau arteri vertebralis dan basilaris.

Trombosis yang terjadi di dalam pembuluh-pembuluh ini menyebabkan

daerah-daerah infark yang kecil, lunak, dan disebut lacuna. Gejala-gejala

yang mungkin sangat berat, bergantung pada kedalaman pembuluh yang

terkena menembus jaringan sebelum mengalami trombosis.

b. Stroke trombotik pembuluh besar

Sebagian besar dari stroke ini terjadi saat tidur, saat pasien relative

mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Gejala dan tanda

akibat stroke iskemik ini bergantung pada lokasi sumbatan dan tingkat
26

aliran kolateral di jaringan yang terkena. Stroke ini sering berkaitan

dengan lesi aterosklerotik.

c. Stroke embolik

Asal stroke embolik dapat dari suatu arteri distal atau jantung. Stroke yang

terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit neurologik mendadak

dengan efek maksimum sejak awitan penyakit. Biasanya serangan terjadi

saat pasien beraktivitas. Pasien dengan stroke kardioembolik memiliki

risiko besar menderita stroke hemoragik di kemudian hari.

d. Stroke kriptogenik

Biasanya berupa oklusi mendadak pembuluh intrakranium besar tanpa

penyebab yang jelas walaupun telah dilakukan pemeriksaan diagnostik dan

evaluasi klinis yang ekstensif.

3.1.4 Patofisiologi

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stroke iskemik, salah satunya

adalah aterosklerosis, dengan mekanisme thrombosis yang menyumbat arteri

besar dan arteri kecil, dan juga melalui mekanisme emboli. Pada stroke iskemik,

penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur arteri yang menuju ke otak.

Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan

cara:

1. Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi

aliran darah.
27

2. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau

perdarahan aterom.

3. Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli

Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma

yang kemudian dapat robek.

Suatu penyumbatan total dari aliran darah pada sebagian otak akan

menyebabkan hilangnya fungsi neuron yang bersangkutan pada saat itu juga. Bila

anoksia ini berlanjut sampai 5 menit maka sel tersebut dengan sel penyangganya

yaitu sel glia akan mengalami kerusakan ireversibel sampai nekrosis beberapa jam

kemudian yang diikuti perubahan permeabilitas vaskular disekitarnya dan

masuknya cairan serta sel-sel radang.

Di sekitar daerah iskemi timbul edem glia, akibat berlebihannya H+ dari

asidosis laktat. K+ dari neuron yang rusak diserap oleh sel glia disertai rentensi air

yang timbul dalam empat hari pertama sesudah stroke. Edem ini menyebabkan

daerah sekitar nekrosis mengalami gangguan perfusi dan timbul iskemi ringan

tetapi jaringan otak masih hidup. Daerah ini adalah iskemik penumbra. Bila

terjadi stroke, maka di suatu daerah tertentu dari otak akan terjadi kerusakan (baik

karena infark maupun perdarahan). Neuron-neuron di daerah tersebut tentu akan

mati, dan neuron yang rusak ini akan mengeluarkan glutamat, yang selanjutnya

akan membanjiri sel-sel disekitarnya. Glutamat ini akan menempel pada membran

sel neuron di sekitar daerah primer yang terserang. Glutamat akan merusak

membran sel neuron dan membuka kanal kalsium (calcium channels). Kemudian

terjadilah influks kalsium yang mengakibatkan kematian sel. Sebelumnya, sel


28

yang mati ini akan mengeluarkan glutamat, yang selanjutnya akan membanjiri

lagi neuron-neuron disekitarnya. Terjadilah lingkaran setan. Neuron-neuron yang

rusak juga akan melepaskan radikal bebas, yaitu charged oxygen molecules

(seperti nitric acida atau NO), yang akan merombak molekul lemak didalam

membran sel, sehingga membran sel akan bocor dan terjadilah influks kalsium.

Stroke iskemik menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak yang

menyebabkan kematian sel.


29

Pembuluh darah

Trombus/embolus karena plak ateromatosa,


fragmen, lemak, udara, bekuan darah

Oklusi

Perfusi jaringan cerebral ↓

Iskemia

Hipoksia

Metabolisme Aktivitas elektrolit Nekrotik jaringan otak


anaerob terganggu

Asam laktat ↑ Na & K pump gagal Infark

Na & K influk

Retensi cairan

Oedem serebral

Gg.kesadaran, kejang fokal,


hemiplegia, defek medan
penglihatan, afasia

3.1.5 Diagnosis

1. Gambaran Klinis

a) Anamnesis

Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit

neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran.

Tidak terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik dan
30

non hemoragik meskipun gejala seperti mual muntah, sakit kepala dan perubahan

tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Beberapa gejala

umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese, monoparese, atau

qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia, disartria,

ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-

gejala tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul secara bersamaan.

Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala tersebut juga penting untuk menentukan

perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik. Beberapa faktor dapat mengganggu

dalam mencari gejala atau onset stroke seperti:

 Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak

didapatkan hingga pasien bangun (wake up stroke).

 Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari

pertolongan.

 Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.

 Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti

kejang, infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis,

dan hiponatremia.

b) Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke

ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai

stroke, dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami.

Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk

mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan juga


31

dilakukan untuk mencari faktor resiko stroke seperti obesitas, hipertensi,

kelainan jantung, dan lain-lain.

c) Pemeriksaan Neurologi

Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejala

stroke, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejala

seperti stroke, dan menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui

keberhasilan terapi. Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi

mencakup pemeriksaan status mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan

nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan

refleks tendon profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus

diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus dicari. Adanya

kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bell’s palsy di

mana pada Bell’s palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu

mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.

Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri yang

tersumbat:

Sirkulasi terganggu Sensomotorik Gejala klinis lain

Sindrom Sirkulasi Anterior

A.Serebri media Hemiplegia kontralateral (lengan lebih Afasia global

(total) berat dari tungkai) hemihipestesia (hemisfer dominan),

kontralateral. Hemi-neglect

(hemisfer non-

dominan), agnosia,

defisit visuospasial,
32

apraksia, disfagia

A.Serebri media Hemiplegia kontralateral (lengan lebih Afasia motorik

(bagian atas) berat dari tungkai) hemihipestesia (hemisfer dominan),

kontralateral. Hemi-negelect

(hemisfer non-

dominan),

hemianopsia, disfagia

A.Serebri media Tidak ada gangguan Afasia sensorik

(bagian bawah) (hemisfer dominan),

afasia afektif

(hemisfer non-

dominan),

kontruksional

apraksia

A.Serebri media Hemiparese kontralateral, tidak ada Afasia sensoris

dalam gangguan sensoris atau ringan sekali transkortikal

(hemisfer dominan),

visual dan sensoris

neglect sementara

(hemisfer non-

dominan)

A.Serebri anterior Hemiplegia kontralateral (tungkai lebih Afasia transkortikal

berat dari lengan) hemiestesia (hemisfer dominan),

kontralateral (umumnya ringan) apraksia (hemisfer

non-dominan),

perubahan perilaku

dan personalitas,
33

inkontinensia urin

dan alvi

Sindrom Sirkulasi Posterior

A.Basilaris (total) Kuadriplegia, sensoris umumnya normal Gangguan kesadaran

samapi ke sindrom

lock-in, gangguan

saraf cranial yang

menyebabkan

diplopia, disartria,

disfagia, disfonia,

gangguan emosi

A.Serebri posterior Hemiplegia sementara, berganti dengan Gangguan lapang

pola gerak chorea pada tangan, pandang bagian

hipestesia atau anestesia terutama pada sentral,

tangan prosopagnosia,

aleksia

Pembuluh Darah Kecil

Lacunar infark Gangguan motorik murni, gangguan sensorik

murni, hemiparesis ataksik, sindrom clumsy

hand

2. Gambaran Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan

mungkin pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia, trombositosis,

trombositopenia, dan leukemia. Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan

kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti anemia.


34

Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang

memiliki gejala seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula

menunjukka penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal).

Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada

pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi trombolitik

dan antikoagulan. Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan

antara stroke dengan penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga

mengindikasikan adanya hubungan anatara peningkatan enzim jantung dengan

hasil yang buruk dari stroke.

3. Gambaran Radiologi

a) CT scan kepala non kontras

Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan

stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik

memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini

juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi

kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan stroke

(hematoma, neoplasma, abses).

Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami.

Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang
35

menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah

hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai

waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah

adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan

hilangnya perberdaan gray-white matter.

CT perfusion merupakan modalitas baru yang berguna untuk

mengidentifikasi daerah awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan

pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region otak dapat diukur. Adanya

hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah tersebut.

Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT angiografi

(CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek pengisian arteri serebral

yang menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu,

CTA juga dapat memperkirakan jumlah perfusi karena daerah yang mengalami

hipoperfusi memberikan gambaran hipodense.

b) MR angiografi (MRA)

MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi lebih

awal pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaan MRI

lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit serta waktu pemeriksaan yang agak

panjang. Protokol MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut.
36

c) USG, ECG, EKG, Chest X-Ray

Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai stenosis

atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks karotis. USG

transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih

lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri karotis intrakranial, dan arteri

vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan pada semua

pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai mengalami emboli

kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta

thorasik. Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi

pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi kelainan

jantung adalah EKG dan foto thoraks.

3.1.6 Penatalaksanaan

Terapi pada stroke iskemik dibedakan menjadi fase akut dan pasca fase

akut:

1. Fase Akut (hari ke 0 – 14 sesudah onset penyakit)

Sasaran pengobatan pada fase ini adalah menyelamatkan neuron yang

menderita jangan sampai mati dan agar proses patologik lainnya yang

menyertai tidak mengganggu/mengancam fungsi otak. tindakan dan obat

yang diberikan haruslah menjamin perfusi darah ke otak tetap cukup, tidak

justru berkurang. Karena itu dipelihara fungsi optimal:

 Respirasi : jalan napas harus bersih dan longgar

 Jantung : harus berfungsi baik, bila perlu pantau EKG


37

 Tekanan darah : dipertahankan pada tingkat optimal, dipantau

jangan sampai menurunkan perfusi otak

 Gula darah : kadar gula yang tinggi pada fase akut tidak boleh

diturunkan secara drastis, terutama bila pasien memiliki diabetes mellitus

kronis

 Balans cairan : bila pasien dalam keadaan gawat atau koma balans cairan,

elektrolit, dan asam basa darah harus dipantau

Penggunaan obat untuk memulihkan aliran darah dan metabolisme otak

yang menderita di daerah iskemi (ischemic penumbra) masih

menimbulkan perbedaan pendapat. Obat-obatan yang sering dipakai untuk

mengatasi stroke iskemik akut:

a) Mengembalikan reperfusi otak

1. Terapi Trombolitik

Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara

intravena akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim

proteolitik yang mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein

pembekuan lainnya. Pada penelitian NINDS (National Institute of

Neurological Disorders and Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA diberikan

dalam waktu tida lebih dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9

mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara

bolus IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah

pemberian rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat atau hanya

minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan intraserebral,


38

yang diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah

mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.

2. Antikoagulan

Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang

mengancam. Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak

artinya bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark

lakuner atau infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang memerlukan

penggunaan heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri

karotis dan infark serebral akibat kardioemboli. Pada keadaan yang

terakhir ini perlu diwaspadai terjadinya perdarahan intraserebral karena

pemberian heparin tersebut.

3. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)

 Aspirin

Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan sintesis

atau mengurangi lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti

thromboxane A2. Aspirin merupakan obat pilihan untuk pencegahan

stroke. Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari, 80

mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering dikombinasikan dengan

dipiridamol. Aspirin harus diminum terus, kecuali bila terjadi reaksi yang

merugikan. Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat

diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah. Hidrolise ke asam salisilat terjadi

cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein plasma: 50-80%. Waktu paro (half

time) plasma: 4 jam. Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic


39

acid dan glycine). Ekskresi lewat urine, tergantung pH.Sekitar 85% dari

obat yang diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi yang

merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan

diduga: sindrom Reye.

 Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)

Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin, dapat

menggunakan tiklopidin atau clopidogrel. Obat ini bereaksi dengan

mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan melepaskan granul platelet,

mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan ikatan

fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-

platelet. Berdasarkan sejumlah 7 studi terapi tiklopidin, disimpulkan

bahwa efikasi tiklopidin lebih baik daripada plasebo, aspirin maupun

indofen dalam mencegah serangan ulang stroke iskemik. Efek samping

tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia (2,4 persen). Bila obat

dihentikan akan reversibel. Pantau jumlah sel darah putih tiap 15 hari

selama 3 bulan. Komplikasi yang lebih serius, tetapi jarang, adalah

purpura trombositopenia trombotik dan anemia aplastik.

b) Anti-oedema otak

Untuk anti-oedema otak dapat diberikan gliserol 10% per infuse

1gr/kgBB/hari selama 6 jam atau dapat diganti dengan manitol 10%.

c) Neuroprotektif
40

Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang

iskemik dan sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi

sel yang terganggu akibat oklusi dan reperfusi.

2. Fase Pasca Akut

Setelah fase akut berlalu, sasarn pengobatan dititiberatkan pada tindakan

rehabilitasi penderita, dan pencegahan terulangnya stroke.

 Rehabilitasi

Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45 tahun,

maka yang paing penting pada masa ini adalah upaya membatasi sejauh

mungkin kecacatan penderita, fisik dan mental, dengan fisioterapi, terapi

wicara, dan psikoterapi.

 Terapi preventif

Tujuannya untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan baru

sroke, dengan jalan antara lain mengobati dan menghindari faktor-faktor

resiko stroke seperti:

 Pengobatan hipertensi

 Mengobati diabetes mellitus

 Menghindari rokok, obesitas, stress, dll

 Berolahraga teratur

3.4 Hubungan Stroke dengan Kejadian Epilepsi

Stroke adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu

bagian otak tiba-tiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah
41

menyebabkan serangkaian reaksi biokimia, yang dapat merusakkan atau

mematikan sel-sel otak. Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya

fungsi yang dikendalikan oleh jaringan itu. Andaikata otak kita anggap sebagai

pusat komputer yang secara elektronik mengendalikan seluruh aktivitas badan

kita, serangan kejang pada epilepsi adalah wujud lepasnya muatan listrik

abnormal secara bersamaan dan tidak terprogram dari sekumpulan sel-sel otak

atau dari seluruh otak. Akibat lepasnya muatan listrik secara tidak terkontrol ini

adalah kejang-kejang yang bisa dimulai dari lengan atau tungkai kemudian

menyebar ke seluruh tubuh.

Stroke diketahui merupakan faktor risiko yang umum untuk status

epileptikus (SE) pada orang dewasa dan telah dilaporkan pada 22-32% kasus pada

penelitian yang berbeda. Insiden kejang yang terkait dengan stroke bervariasi dari

4,4 sampai 54% karena perbedaan definisi. Selanjutnya, SE jarang dilaporkan

dalam rangkaian kejang pasca stroke yaitu kurang dari 10% dari semua kasus.

Status epileptikus adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit atau dua

atau lebih bangkitan, dimana diantara dua bangkitan tidak terdapat pemulihan

kesadaran. Penanganan kejang harus dimulai dalam 10 menit setelah awitan suatu

kejang.

Hasil dari penelitian yang di lakukan di RS Universitas Marmara dengan

jumlah pasien 121 orang didapatkan 30 pasien berturut-turut dengan SE pasca

stroke. SE didefinisikan sebagai aktivitas kejang tak henti-hentinya atau

serangkaian kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit. Pasien dievaluasi dengan

protokol standar termasuk EEG, neuroimaging (CT atau MRI), dan tes darah
42

rutin. EEG tersedia secara 24 jam 7 hari seminggu, memungkinkan penilaian

segera terhadap semua pasien yang mengembangkan keadaan kebingungan akut.

Pasien dikelompokkan menjadi onset awal (terjadi dalam waktu 2 minggu setelah

stroke) dan onset akhir (terjadi lebih dari 2 minggu setelah stroke). SE lebih lanjut

dikelompokkan menjadi konvulsif atau tidak konyektif sesuai temuan klinis dan

EEG. Nonconvulsive SE (NCS) didefinisikan sebagai perubahan kesadaran yang

berlangsung minimal 30 menit dengan pelepasan epileptiform terus menerus atau

kontinu dalam EEG, dengan atau tanpa penekanan aktivitas ini melalui diazepam

intravena. NCS dikelompokkan lebih lanjut menurut klasifikasi yang dimodifikasi

dari Brodtkorb et al, sebagai berikut: NCS mengikuti NCS seizure parsial dan

NCS yang tidak yang tidak dapat di klasifikasikan. Stroke terbagi menjadi jenis

iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik diklasifikasikan menurut lokalisasi arteri,

ke arteri serebral media (MCA), arteri serebral posterior (PCA), atau infark

lainnya (multipel atau lokalisasi lainnya). Demikian pula, stroke hemoragik

terbagi menjadi lobar atau lokalisasi yang dalam. Pengobatan SE dilakukan sesuai

dengan protokol standar intravena diazepam dan fenitoin intravena sebagai

langkah pertama, fenitoin intravena berulang sebagai langkah kedua, fenobarbital

intravena (1 atau 2 kali) sebagai langkah ketiga, dan midazolam intravena atau

propofol sebagai langkah keempat. Konvulsif dan NCS dianalisis sesuai dengan

hubungannya dengan jenis stroke yang berbeda. Perbedaan dalam menanggapi

pengobatan dan tingkat mortalitas dianalisis antara berbagai subtipe SE dan stroke

dan untuk variabel demografis.


43

Penelitian ini menekankan bahwa stroke merupakan faktor penting dalam

etiologi SE, seperti yang ditunjukkan oleh kejadian 24,8% pada 121 pasien

dengan SE. Dalam penelitian ini, NCS adalah tipe predominan pada kelompok

onset awal (85%) dan sama seringnya dengan CS (50%) pada kelompok onset

akhir. Tingkat tinggi ini sekali lagi menekankan pentingnya NCS pada pasien

dengan penyakit serebrovaskular dan perlunya kecurigaan tingkat tinggi untuk

memungkinkan diagnosis yang akurat. Meskipun penelitian yang berbeda telah

menegaskan bahwa kejang pasca stroke sebagian besar terkait dengan perdarahan

stroke iskemik. Studi saat ini Tidak dapat menunjukkan hubungan antara tipe

awal SE dan tipe stroke, namun tidak adanya stroke hemoragik pada kelompok SE

yang terlambat diketahui perlu dicatat. Laporan sebelumnya memiliki lesi korteks

terkait. atau lesi daerah karotis. dengan kejang pasca stroke.. Namun, dua studi

baru-baru ini menolak adanya hubungan antara lokalisasi dan kejadian SE dan

satu penelitian hanya dapat menghubungkan SE dengan lesi lobar. Infark PCA

secara signifikan lebih sering terjadi pada kelompok onset akhir.

a. Penanganan status epileptikus

Stadium Penatalaksanaan

Stadium I (0-10 menit) Memperbaiki fungsi kardio-respiratorik

Memperbaiki jalan nafas, pemberian

oksigen, resusitasi

Stadium II (0-60 menit) Memasang infus pada pembuluh darah

besar

Mengambil 50-100 cc darah untuk


44

pemeriksaan lab

Pemberian OAE emergensi : Diazepam


10-20 mg iv (kecepatan
pemberian < 2-5 mg/menit atau rectal
dapat diulang 15 menit
kemudian.

Memasukan 50 cc glukosa 40% dengan


atau tanpa thiamin 250 mg
Intravena

Menangani asidosis

Stadium III (0-60 - 90 menit) Menentukan etiologi

Bila kejang berlangsung terus 30 menit


setelah pemberian diazepam
pertama, beri phenytoin iv 15-18
mg/kgBB dengan kecepatan 50
mg/menit

Memulai terapi dengan vasopresor bila

diperlukan

Mengoreksi komplikasi

Stadium IV (30-90 menit) Bila kejang tetap tidak teratasi selama


30-60 menit, transfer pasien
ke ICU, beri Propofol (2mg/kgBB
bolus iv, diulang bila perlu) atau
Thiopentone (100-250 mg bolus iv
pemberian dalam 20 menit,
dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap
2-3 menit), dilanjutkan
sampai 12-24 jam setelah bangkitan
klinis atau bangkitan EEG
terakhir, lalu dilakukan tapering off.

Memonitor bangkitan dan EEG,


tekanan intracranial, memulai
pemberian OAE dosis maintenance
45

BAB IV
KESIMPULAN

Stroke adalah penyakit atau gangguan fungsional otak akut fokal maupun

global akibat terhambatnya peredaran darah ke otak. Stroke iskemik didefinisikan

sebagai sekumpulan tanda klinik yang berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini

berlangsung 24 jam atau lebih pada umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran

darah ke otak, yang menyebabkan cacat atau kematian. Stroke iskemik sering

diklasifikasin berdasarkan etiologinya yaitu trombotik dan embolik. Untuk

mendiagnosa suatu stroke iskemik diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik

yang menyeluruh dan teliti. Pemeriksaan yang menjadi gold standar untuk

mendiagnosa stroke iskemik adalah CT-scan. Penting untuk membedakan gejala

klinis stroke hemoragik dan iskemik. Bila tidak dapat dilakukan CT-scan maka

dpaat dilakukan sistem skoring untuk mengerucutkan diagnosa.

Setelah dapat ditegakkan diagnosis, perlu dilakukan terapi segera agar

tidak terjadi iskemik lebih lanjut. Prinsip terapi dari stroke iskemik adalah

perbaikan perfusi ke otak, mengurangi oedem otak, dan pemberian neuroprotektif.

Stroke diketahui merupakan faktor risiko yang umum untuk status epileptikus

(SE) pada orang dewasa. Pengobatan SE dilakukan sesuai dengan protokol

standar intravena diazepam dan fenitoin intravena sebagai langkah pertama,

fenitoin intravena berulang sebagai langkah kedua, fenobarbital intravena (1 atau

2 kali) sebagai langkah ketiga, dan midazolam intravena atau propofol sebagai

langkah keempat.
46

DAFTAR PUSTAKA

1. Aliah A, Kuswara FF, Limoa RA, Wuysang G. Gambaran umum tentang


gangguan peredaran darah otak. Dalam: eds. Harsono. Kapita Selekta
Neurologi. Edisi ke-2. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press; 2005.
h.81-82.

2. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Available from:


http://emedicine.medscape.com/article/793904-overview

3. Feigin, Valery. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan


Pemulihan Stroke. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 2006.

4. Anonim. Mekanisme gangguan vaskular susunan saraf. Dalam: eds.


Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat; 2004. h. 274-8.

5. D. Adams. Victor’s. Cerebrovasculer diseases in Principles of Neurology


8 th Edition. McGraw-Hill Proffesional. 2005. Hal: 660-67

6. Bronstein SC, Popovich JM, Stewart-Amidei C. Promoting Stroke


Recovery. A Research-Based Approach for Nurses. St.Louis, Mosby-Year
Book, Inc., 1991:13-24.

7. Majalah Kedokteran Atma Jaya Vol. 1 No. 2 September 2002. Hal: 158-
67.

8. Wibowo, Samekto. Gofir, Abdul. Farmakoterapi stroke prevensi primer


dan prevensi sekunder dalam Farmakoterapi dalam Neurologi. Penerbit
Salemba Medika. Hal: 53-73.
47

9. Afsar, N., Kaya D., 2003. Stroke and status epilepticus: stroke type, type
of status epilepticus, and prognosis. Volume 12, Issue 1, Pages 23–27

10. Velioğlu, S.K, Özmenoğlu, M, Boz, C, Alioğlu, Z. Status epilepticus after


stroke. Stroke. 2001;32:1169–1172.

11. Claassen, J, Lokin, J.K, Fitzsimmons, B.-F.M, Mendelsohn, B.A, Mayer,


S.A. Predictors of functional disability after status epilepticus. Neurology.
2002;58:139–142.

12. Yastroki. 2007. Stroke Dapat Timbulkan Epilepsi. Diakses 7 Juli 2017:
http://www.yastroki.or.id

13. Hakim, A., Rokhayah, S., 2016, The Influence of Stroke Disease Toward
The Occurent of Epilepsy In Rsud Banyumas. Volume 8:2:41-48

14. PERDOSSI, 2013, Standar Pelayanan Medik. Diakses tanggal 8 juli


2017 :https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web
&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjTwszN5IPVAhUJKY8KHR9L
DLIQFggjMAA&url=http%3A%2F%2Fkniperdossi.org%2Findex.php%2
F2013-10-21-11-57-48%2Fdownload%2Fdoc_download%2F5-spm-
neurologi&usg=AFQjCNFTL2xk45-E0FoGTDkPUxqekNnSdw

15. Drea A, Pacioroni,M . Early seizures in patients with ischemic stroke.


Vascular health and risk management. 2008;4(3):715-20.

You might also like