You are on page 1of 31

LAPORAN KASUS

ILMU KESEHATAN JIWA

Pembimbing:
dr. Hening Madona, SpKJ

Disusun oleh:
Siti Amanda Seanuria
1102012277

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 20 NOVEMBER –23 DESEMBER 2017
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. A.W
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir/umur : 6 April 1969 (48 Tahun)
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMA
Status pernikahan : Menikah
Status pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl.H.Muchtar Raya, Jakarta Selatan
Tanggal masuk perawatan : 4 November 2017

II. Riwayat Psikiatri


Autoanamnesis: Pada tanggal 27 November 2017 di Bangsal Dahlia
Alloanamnesis : Pada tanggal 2 Desember 2017 terhadap Tn. Slamet selaku suami pasien
A. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan sering berbicara sendiri
B. Keluhan Tambahan
Sering marah-marah, dan nafsu makan menurun
C. Riwayat Gangguan Sekarang
Pasien datang ke RS Polri pada tanggal 4 November 2017 diantar oleh suaminya
dengan keluhan sering berbicara sendiri. Selain itu, suami pasien juga mengatakan bahwa
pasien sering marah-marah tanpa sebab yang jelas. Pasien mengatakan bahwa dirinya
adalah seorang ibu rumah tangga, memiliki seorang suami dan tiga orang anak. Suaminya
bernama Slamet, dan anaknya bernama Israil Zakirinl, Isla Fatiah, dan Isma Amelia.
Menurut pasien, pasien sering mendengar suara-suara yang mengganggu pasien.
Pasien mengaku mengetahui bahwa suara yang didengar adalah suara saudara tiri dari
pasien. Suara-suara tersebut sering mengancam pasien. Pasien juga mengaku bahwa
selama ini sering dikurung di dalam rumah oleh seorang lelaki yang bukan merupakan
suaminya. Pasien mengaku lelaki tersebut berniat untuk menikahi pasien namun lelaki
tersebut malah mengunci pasien di dalam rumah. Pasien tidak mengenal lelaki tersebut.
Menurut suami pasien, pasien sudah lama menderita gangguan jiwa dan sudah
sering berobat ke Rs.Cipto Mangunkusumo dan Rs.Grogol. Tetapi belakangan ini keluhan
1
dirasakan semakin memberat dan mengganggu orang-orang disekitar pasien. Suami
pasien mengatakan bahwa ia pernah beberapa kali mengunci istrinya didalam rumah
karena pasien pernah menganggu tetangganya dan suami pasien tidak ingin hal itu terjadi
lagi. Menurut suami pasien, ibu dari pasien juga seringkali marah-marah tanpa alasan
yang jelas.
Suami pasien mengatakan bahwa pasien tidak pernah mengalami kecelakaan,
trauma pada kepala, dan kejang. Pasien juga tidak merokok dan tidak mengonsumsi
alkohol atau zat adiktif lainnya.

D. Riwayat Gangguan Sebelumnya


1. Gangguan Psikiatrik
Menurut suami pasien, pasien menderita sakit jiwa dari sebelum menikah. Tetapi
saat sebelum menikah, gejala yang ditunjukkan oleh pasien tidak berat seperti sekarang.
Pasien menikah dengan suaminya pada tahun 1991 dan dikaruniai anak pertama pada
tahun 1992.
Sekitar 1 tahun kemudian yaitu tahun 1993, pasien dikaruniai anak kedua. Suami
pasien mengatakan gejala kejiwaan kembali muncul setelah melahirkan anak keduanya.
Gejala yang timbul yaitu pasien sering berbicara sendiri dan ketika ditanya oleh
suaminya pasien mengaku sedang berbicara dengan Allah SWT. Saat itu suami pasien
langsung membawa pasien berobat ke bagian kejiwaan di Rs.Cipto Mangunkusumo dan
pasien dibolehkan rawat jalan.
Selang 2 tahun kemudian tepatnya tahun 1995, pasien kembali hamil dan melahirkan
anak ketiganya. Saat setelah melahirkan anak ketiganya, pasien kembali menunjukkan
gejala berbicara sendiri. Suami pasien kembali membawa pasien berobat ke Rs.Cipto
Mangunkusumo dan dirawat selama kurang lebih 2 minggu. Setelah dirawat di Rs.Cipto
Mangunkusumo, pasien diperbolehkan untuk rawat jalan.
Tahun 1997, pasien kembali menunjukkan gejala berbicara sendiri. Keluarga pasien
langsung membawa pasien ke Rs.Cipto Mangunkusumo dan dari pihak rumah sakit
menganjurkan pasien untuk dibawa ke Rs.Grogol. Pasien dirawat di Rs.Grogol kurang
lebih selama 3 minggu.
Setelah pasien dipulangkan dari Rs.Grogol, suami pasien mengaku kalau gejala yang
ditimbulkan pasien muncul kurang lebih setiap 2 tahun dan pasien kurang rajin dalam
mengonsumi obat yang diberikan oleh dokter. Pasien juga mulai sering marah-marah
tanpa alasan yang jelas. Suami pasien pernah beberapa kali mengunci pasien di dalam
2
rumah karena takut pasien mengganggu dan marah-marah kepada tetangganya. Namun
menurut pasien, yang sering mengunci pasien di dalam rumah bukan merupakan
suaminya tetapi lelaki lain yang menculik pasien.
Selama tidak dirawat di rumah sakit, pasien sempat bekerja sebagai asisten rumah
tangga. Pasien mengatakan selalu berpindah tempat kerja dan tidak pernah menetap pada
satu rumah. Pasien mengatakan bahwa pasien pernah sekali dituduh mencuri barang
majikannya. Namun menurut pasien ia tidak mengambil barang tersebut. Pasien
mengaku bahwa yang mengambil barang tersebut adalah sesorang yang sering
mengancam pasien.
Pertengahan tahun 2017, gejala kejiwaan pasien muncul kembali dan keluarga
pasien membawa pasien ke Rs.Polri.

2. Penggunaan Zat Psikoaktif dan Alkohol


Pasien mengatakan bahwa pasien tidak merokok, mengonsumsi alkohol, ataupun zat-zat
adiktif lainnya.

E. Riwayat Kehidupan Pribadi


 Riwayat perkembangan kepribadian
a. Masa prenatal dan perinatal
Pasien tidak mengetahui
b. Riwayat masa kanak awal (0 – 3 tahun)
Pasien diasuh oleh kedua orang tuanya. Selama masa ini, proses perkembangan
dan pertumbuhan sesuai dengan anak sebayanya. Pasien tidak pernah mendapat
sakit berat, demam tinggi, kejang ataupun trauma kepala. Pasien tidak pernah
mengalami kesulitan dalam pemberian makanan. Tidak ada kelainan perilaku
yang menonjol.
c. Riwayat masa kanak pertengahan (0 – 11 tahun)
Masa ini dilalui dengan baik, tumbuh kembang baik dan normal seperti anak
seusianya. Pasien tergolong anak yang baik, dan tidak pernah membuat masalah.

d. Masa kanak akhir dan remaja

3
Pasien tinggal bersama kedua orangtuanya. Pasien tumbuh dan berkembang sehat
seperti anak lain. Pasien merupakan anak yang pandai bergaul dan termasuk anak
yang mudah untuk bersosialisasi.
e. Masa dewasa
Setelah lulus dari SMA, pasien sempat bekerja sebagai operator pada sebuah
perusahaan dan pegawai disuatu apotik.

 Riwayat pendidikan
 SD : Pasien menyelesaikan pendidikannya di SDN 05 Pertukangan
 SMP : Pasien menyelesaikan pendidikannya di SMP 66 Kebayoran Lama
 SMA : Pasien menyelesaikan pendidikannya di SMA 63 Pertukangan
 Kuliah : Pasien tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena
masalah ekonomi

 Riwayat pekerjaan
Tahun 1988 : Pasien bekerja sebagai operator di perusahaan pager
Tahun 1989 : Pasien bekerja sebagai karyawati di sebuah apotik
Tahun 1998 - sekarang : Pasien bekerja sebagai asisten rumah tangga

 Kehidupan beragama
Pasien beragama islam. Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien merupakan
seorang yang taat beribadah.

 Kehidupan sosial dan perkawinan


Pasien menikah dengan Tn. Slamet pada tahun 1991 dan dikaruniai tiga orang anak.
Saat ini anak pertama dan anak ketiga pasien tinggal berbeda rumah dengan pasien.
Sedangkan anak kedua pasien sudah tinggal bersama suaminya.

 Riwayat Pelanggaran Hukum


Pasien tidak pernah berurusan dengan aparat penegak hukum, dan tidak pernah
terlibat dalam proses peradilan yang terkait dengan hukum.

F. Riwayat Keluarga

4
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Orangtua pasien sudah meninggal
dunia.

G. Persepsi Pasien Tentang Diri dan Kehidupannya


Pasien merasa dirinya tidak sakit dan ingin bertemu dengan keluarganya.

H. Impian, Fantasi, dan Cita-Cita Pasien


Pasien memiliki cita-cita ingin melanjutkan hidupnya bersama keluarganya.

STATUS MENTAL
A. DESKRIPSI UMUM
1. Penampilan
Pasien perempuan berusia 48 tahun dengan penampilan fisik yang sesuai dengan usianya
serta bentuk badan yang kurus dan tinggi kurang lebih 155 cm, rambut lurus hitam, kulit
sawo matang. Pasien dapat merawat diri dan kebersihan dengan baik.
2. Kesadaran

5
Kesadaran Neurologik : Compos mentis
Kesadaran Psikiatri : Terganggu
3. Perilaku dan aktivitas psikomotor
a. Sebelum wawancara
Pasien sedang duduk di Bangsal Dahlia
b. Selama wawancara
Pasien terlihat tenang dan ramah terhadap pemeriksa. Pasien mengaku masih mendengar
suara-suara. Saat wawancara, pasien terlihat baik.
c. Sesudah wawancara
Pasien masih tampak ramah dan tenang.
4. Sikap terhadap pemeriksa
Selama wawancara pasien menunjukkan sikap kooperatif
5. Pembicaraan
Pasien dapat berbicara dengan lancar, dapat menjawab pertanyaan dengan baik, artikulasi
jelas, ide cukup. Tidak didapatkan gangguan berbicara

B. MOOD, AFEK DAN KESERASIAN


Mood : Eutimia (saat pemeriksaan)
Afek : Luas (saat pemeriksaan)
Empati : Masih dapat diraba rasakan oleh pemeriksa

C. GANGGUAN PERSEPSI
o Halusinasi : Auditorik, mendengar suara mengancam yang tidak bisa
didengar oleh orang lain
o Ilusi : Tidak ada
o Depersonalisasi : Tidak ada
o Derealisasi : Tidak ada

D. SENSORIUM DAN KOGNITIF (FUNGSI INTELEKTUAL)


1. Taraf pendidikan : SMA
2. Pengetahuan umum : Baik
3. Kecerdasan : Baik
4. Konsentrasi : Baik
5. Orientasi :
6
a. Waktu : Baik (pasien dapat menyebutkan pemeriksaan pada pagi hari)
b. Tempat : Baik (pasien tahu sekarang sedang berada di RS Polri)
c. Orang : Baik (pasien dapat membedakan dokter, suster, laki-laki,
perempuan)
6. Daya ingat :
 Jangka panjang : Baik (Pasien dapat mengingat tanggal lahir)
 Jangka pendek : Baik (Pasien ingat menu makan paginya)
 Segera : Baik (Pasien dapat menyebutkan 3 benda yang
disebutkan oleh pemeriksa)
7. Pikiran abstraktif
Baik (Pasien dapat membedakan buah apel dengan jeruk)
8. Visuospasial
Baik (Pasien dapat menggambarkan bentuk yang diminta oleh pemeriksa)
9. Kemampuan menolong diri
Baik (Pasien tidak membutuhkan bantuan orang lain untuk makan atau mandi)

E. PROSES PIKIR
Arus pikir
o Kontinuitas : Asosiasi longgar
o Hendaya bahasa : Tidak ada
Isi pikir
o Preokupasi : Tidak ada
o Waham : Terdapat waham kejar pada pasien. Pasien merasa bahwa
suara-suara yang didengar pasien akan mencelakai pasien.
o Obsesi : Tidak ada
o Kompulsi : Tidak ada
o Fobia : Tidak ada

F. PENGENDALIAN IMPULS
Baik, selama wawancara pasien dapat berlaku dengan tenang dan tidak menunjukkan
gejala yang agresif dan tidak marah.

G. DAYA NILAI
7
1. Daya nilai sosial : Baik (pasien membedakan perbuatan baik dan buruk)
2. Uji daya nilai : Baik (Pasien mengatakan bahwa perkelahian adalah hal yang
tidak baik)
3. RTA : Terganggu

H. TILIKAN
Derajat 4: Pasien menyadari dirinya sakit dan butuh bantuan namun tidak memahami
penyebab sakitnya

I. RELIABILITAS (TARIF DAPAT DIPERCAYA)


Pemeriksa memperoleh kesan bahwa secara keseluruhan jawaban pasien dapat dipercaya.

PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Internus
a) Keadaaan Umum : Baik
b) Kesadaran : Compos Mentis
c) TTV : TD : 120/80 mmHg
RR : 22 x/menit
HR : 80 x/menit
Suhu : 36,5 oC
d) Sistem Kardiovaskular : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
e) Sistem Respiratorius : Vesikuler +/+, Rhonki-/-, Wheezing -/-
f) Sistem Gastrointestinal : Bising usus normal, thympani di semua kuadran
g) Ekstremitas : Edema (-), sianosis (-), akral hangat
h) Sistem Urogenital : Tidak diperiksa
B. Status Neurologik
Tidak dilakukan pemeriksaan

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak dilakukan

IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


8
 Pasien perempuan berusia 43 tahun datang ke IGD RS diantar oleh suaminya dengan
keluhan sering berbicara sendiri
 Pasien mengaku tidak pernah mengalami kecelakaan kepala dan tidak merokok, minum
alhokol serta menggunakan zat berbahaya lainnya.
 Pada tahun 1993-2012 pasien di rawat di RS. Jiwa Grogol dan RS. Cipto
Mangunkusumo dengan gejala sering berbicara sendiri.
 Pada status mental didapatkan, penampilan diri baik sesuai usia, mood eutimia, afek luas,
arus pikir koheren, Reality Testing Ability (RTA) terganggu, reabilitas dapat dipercaya,
dan empati dapat diraba dan dirasakan oleh pemeriksa.
 Pasien mengaku sering mendengar suara yang tidak didengar oleh orang lain. Gangguan
persepsi didapatkan halusinasi auditorik (+)
 Pasien mengatakan bahwa suara yang didengarnya selalu mengancam akan menyakiti
pasien. Gangguan isi pikir didapatkan waham kejar (+)
 Saat pemeriksaan dilakukan, tilikan pasien derajat 4 yaitu pasien menyadari dirinya sakit
dan butuh bantuan namun tidak memahami penyebab sakitnya

FORMULA DIAGNOSTIK
Setelah wawancara pasien ditemukan adanya sindroma atau perilaku dan psikologi yang
bermakna secara klinis dan menimbulkan penderitaan (distress) dan ketidakmampuan /
hendaya (disability/impairment) dalam fungsi serta aktivitasnya sehari-hari. Oleh karena itu
dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami gangguan jiwa yang sesuai dengan definisi yang
tercantum dalam PPDGJ III.

o Aksis I : Gangguan Klinis dan Gangguan Lain yang Menjadi Fokus Perhatian Klinis
Berdasarkan riwayat perjalanan penyakit, pasien tidak pernah memiliki riwayat
trauma kepala maupun kejang. Pasien juga tidak pernah menggunakan zat psikoaktif.
Sehingga gangguan mental dan perilaku akibat gangguan mental organik dan penggunaan
zat psikoaktif dapat disingkirkan (F.0)
Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien mengalami halusinasi auditorik dan
waham kejar. Dari hal tersebut, kriteria diagnostik menurut PPDGJ III pada ikhtisar
penemuan bermakna pasien digolongkan dalam F.20.0 Skizofrenia Paranoid
o Aksis II : Gangguan Kepribadian dan Retardasi Mental
Z03.2 Tidak ada diagnosis
o Aksis III : Kondisi Medis Umum
9
Tidak ada
o Aksis IV : Problem Psikososial dan Lingkungan
Masalah keluarga
o Aksis V : Penilaian Fungsi Secara Global
Penilaian kemampuan penyesuaian menggunakan skala Global Assement Of
Functioning (GAF) menurut PPDGJ III didapatkan GAF saat pemeriksaan berada pada
range 60 - 51 : Gejala sedang (moderate), disabilitas sedang.

Evaluasi multiaksial
Aksis I : F.20.0 Skizofrenia Paranoid
Aksis II : Z03.2 Tidak ada diagnosis
Aksis III : Tidak ada
Aksis IV : Masalah keluarga
Aksis V : GAF score 60 - 51

DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : F20.0 Skizofrenia Paranoid
Diagnosis banding : F20.5 Skizofrenia Residual

PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad malam

RENCANA TERAPI
a. Psikofarmaka
Aripiprazole 1 x 10 mg
b. Psikoterapi
Psikoterapi suportif dengan memberikan motivasi kepada pasien agar teratur minum
obat sehingga bisa cepat kembali pulih dan berkumpul lagi bersama keluarganya, dan
bekerja kembali. Berempati dan memberikan perhatian pada pasien, tidak
menghakimi pasien, menghormati pasien sebagai manusia seutuhnya dan peduli pada
aktivitas keseharian pasien.

10
Kepada keluarga pasien diperlukan kerjasamanya dalam penanganan pasien.
Memberikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang penyakit pasien mulai dari
penyebab, gejala-gejala, faktor yang memberatkan dan cara pencegahannya. Serta
memberi tahu tentang kegunaan obat terhadap gejala pasien serta efek samping yang
dapat muncul dan memberi tahu pentingnya untuk pasien minum obat secara teratur.

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “shizein” yang berarti “terpisah” atau
“pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif, dan perilaku. Secara umum, gejala skizofrenia dapat
dibagi menjadi tiga golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gangguan dalam
hubungan interpersonal.
Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan mental
dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai realitas. Abnormalitas
persepsi dapat berupa gangguan komunikasi sosial yang nyata. Sering terjadi pada dewasa
muda, ditegakkan melalui pengalaman pasien dan dilakukan observasi tingkah laku, serta
tidak dibutuhkan adanya pemeriksaan laboratorium.
Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi
penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
“deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan
pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang
fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted), kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan
kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu
dapat berkembang kemudian.
Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda, namun
hilang timbul dengan manifestasi klinis yang amat luas variasinya. Menurut Eugen Bleuler,
skizofrenia adalah suatu gambaran jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau
disharmoni atara proses pikir, perasaan, dan perbuatan.

Etiologi
Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosis yang sering dijumpai sejak dulu.
Meskipun demikian pengetahuan tentang faktor penyebab dan patogenesisnya masih minim
diketahui. Adapun beberapa faktor etiologi yang mendasari terjadinya skizofrenia, antara
lain:

12
Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor genetik yang turut menentukan timbulnya
skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita
skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri
adalah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang
menderita skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%; bagi
kembar dua telur (heterozigot) 2-15%; bagi kembar satu ttelur (monozigot) 61-86%.
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan skizofrenia
(bukan penyakit itu sendiri) melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin
juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi
manifestasi skizofrenia atau tidak.

Endokrin
Dahulu dikira bahwa skizofrenia mungkin disebabkan oleh gangguan endokrin. Teori
ini dikemukakan karena skizofrenia sering timbul pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau
puerperium dan waktu klimakterium. Tetapi hal ini tidak dapat dibuktikan.

Metabolisme
Ada orang yang menyangka bahwa skizofrenia disebabkan oleh gangguan
metabolisme, karena penderita dengan skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat. Ujung
extremitas agak sianotik, nafsu makan berkurang dan berat menurun. Hipotesis ini tidak
dibenarkan oleh banyak sarjana. Belakangan ini teori metabolisme mendapat perhatian lagi
karena penelitian dengan memakai obat halusinogenik, seperti meskalin dan asam lisergik
diethilamide (LSD-25). Obat-obat ini dapat menimbulkan gejala-gejala yang mirip dengan
gejala-gejala skizofrenia, tetapi reversibel. Mungkin skizofrenia disebabkan oleh suatu inborn
error of metabolism, tetapi hubungan terakhir belum ditemukan.
Teori-teori tersebut di atas ini dapat dimasukkan ke dalam kelompok teori
somatogenik, yaitu teori yang mencari penyebab skizofrenia dalam kelainan badaniah.
Kelompok teori lain adalah teori psikogenik, yaitu skizofrenia diaggap sebagai suatu
gangguan fungsional dan penyebab utama adalah konflik, stress psikologis dan hubungan
antarmanusia yang mengecewakan.
Kemudian muncil teori lain yang menganggap skizofrenia sebagai suatu sindrom yang
dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyebab, antara lain keturunan, pendidikan yang

13
salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit badani seperti lues otakm atherosclerosis otak dan
penyakit lain yang belum diketahui.
Akhirnya timbul pendapat bahwa skizofrenia itu suatu gangguan psikosomatis, gejala-
gejala pada badan hanya sekunder karena gangguan dasar yang psikogenik, atau merupakan
manifestasi somatic dari gangguan psikogenik. Tetapi pada skizofrenia justru kesukarannya
adalah untuk menentukan mana yang primer dan mana yang sekunder, mana yang merupakan
penyebab dan mana yang hanya akibat saja.

Neurokimia
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh overaktivitas pada
jaras dopamine mesolimbik. Hal ini didukung oleh temuan bahwa amfetamin, yang kerjanya
meningkatkan pelepasan dopamine, dapat menginduksi psikosis yang mirip skizofrenia; dan
obat antipsikotik (terutama antipsikotik generasi pertama atau antipsikotik tipikal/klasik)
bekerja dengan memblok reseptor dopamine, terutama reseptor D2.2,3

Pemeriksaan Fisik
1. Status fisik
Sifat keluhan pasien penting untuk menentukan dibutuhkan atau tidaknya suatu
pemeriksaan fisik lengkap. Gejala fisik seperti nyeri kepala dan palpitasi memerlukan
pemeriksaan medis yang menyeluruh untuk menentukan bagian dari proses somatik. Bila
ada, yang berperan menyebabkan penderitaan tersebut. Hal yang sama dapat digunakan
pada gejala mental misalnya depresi, ansietas, halusinasi, dan waham kejar, yang bisa
jadi merupakan ekspresi dan proses somatik. Terkadang keadaan menyebabkan kita perlu
menunda pemeriksaan medis lengkap. Misalnya, pasien dengan waham atau panik dapat
menunjukkan perlawanan sikap bertahan atau keduanya. Pada keadaan ini, riwayat medis
harus diperoleh dari anggota keluarga bila memungkinkan. Namun, kecauali ada alasan
mendesak untuk melanjutkan pemeriksaan fisik, hal itu sebaiknya ditunda sampai pasien
menurut.

Pemeriksaan Neurologis
Selama proses anamnesis pada kasus tersebut, tingkat kesadaran dan atensi pasien
terhadap detil pemeriksaan, pemahaman, ekspresi wajah, cara bicara, postur, dan cara
berjalan perlu diperhatikan. Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk dua tujuan. Tujuan
pertama dicapai melalui pemeriksaan neurologis rutin, yaitu terutama dirancang untuk
14
mengungkap asimetri fungsi motorik, persepsi, dan refleks pada kedua sisi tubuh yang
disebabkan oleh penyakit hemisferik fokal. Tujuan kedua tercapai dengan mencari untuk
memperoleh tanda yang selama ini dikaitkan dengan disfungsi otak difus atau penyakit
lobus frontal. Tanda ini meliputi refleks mengisap, mencucur, palmomental, dan refleks
genggam serta menetapnya respons terhadap ketukan di dahi. Sayangnya, kecuali refleks
genggam, tanda seperti itu tidak berkaitan erat dengan patologi otak yang mendasari.2

2. Status mental
 Deskripsi umum
o Penampilan
Postur, pembawaan, pakaian, dan kerapihan. Penampilan pasien skizofrenia dapat
berkisar dari orang yang sangat berantakan, menjerit-jerit, dan teragitasihingga
orang yang terobsesi tampil rapi, sangat pendiam, dan imobil.
o Perilaku dan aktivitas psikomotor yang nyata
Kategori ini merujuk pada aspek kuantitatif dan kualitatif dari perilaku motorik
pasien. Termasuk diantaranya adalah manerisme, tik, gerakan tubuh, kedutan,
perilaku streotipik, ekopraksia, hiperaktivitas, agitasi, sikap melawan, fleksibilitas,
rigiditas, gaya berjalan, dan kegesitan.
o Sikap terhadap pemeriksa
Sikap pasien terhadap pemeriksa dapat dideskripsikan sebagai kooperatif,
bersahabat, penuh perhatian, tertarik, balk-blakan, seduktif, defensif, merendahkan,
kebingungan, apatis, bermusuhan, suka melucu, menyenangkan, suka mengelak,
atau berhati-hati.
 Mood dan afek
Mood didefinisikan sebagai emosi menetap dan telah meresap yang mewarnai
persepsi orang tersebut terhadap dunia.
Afek didefinisikan sebagai responsivitas emosi pasien saat ini, yang tersirat dari
ekspresi wajah pasien, termasuk jumlah dan kisaran perilaku ekspresif.
 Kakteristik gaya bicara
Pasien dapat digambarkan sebagai banyak bicara, cerewet, fasihm pendiam, tidak
spontan, atau terespons normal terhadap petunjuk dari pewawancara. Gaya bicara
dapat cepat atau lambat, tertekan, tertahan, emosional, dramatis, monoton, keras,

15
berbisik, cadel, terputus-putus, atau bergumam. Gangguan bicara, contohnya gagap,
dimasukkan dalam bagian ini.
 Persepsi
Gangguan persepsi, seperti halusinasi dan ilusi mengenai dirinya atau lingkungannya,
dapat dialami oleh seseorang. Sistem sensorik yang terlibat (contohnya: auditorik,
visual, olfaktorik, atau taktil) dan isi ilusi atau halusinasi tersebut harus dijelaskan.
 Halusinasi senestik
Halusinasi senestik merupakan sensasi tak berdasar akan adanya keadaan organ tubuh
yang terganggu. Contoh halusinasi senestik mencakup sensasi terbakar pada otak,
sensasi terdorong pada pembuluh darah, serta sensasi tertusuk pada sumsum tulang.
 Ilusi
Sebagaimana dibedakan dari halusinasi, ilusi merupakan distorsi citra yang nyata,
sementara halusinasi tidak didasarkan pada citra atau sensasi yang nyata. Ilusi dapat
terjadi pada pasien skizofrenik selama fase aktif, namun dapat pula terjadi dalam fase
prodromal dan selama periode remisi.
 Isi pikir dan kecenderungan mental
o Proses pikir (bentuk pemikiran)
Pasien dapat memiliki ide yang sangat banyak atau justru miskin ide. Dapat terjadi
proses pikir yang cepat, yang bila berlangsung sangat ekstrim, disebut flight of
ideas. Seorang pasien juga dapat menunjukkan cara berpikir yang lambat atau
tertahan. Gangguan kontinuitas pikir meliputi pernyataan yang bersifat tangensial,
sirkumstansial, meracau, suka mengelak, atau perseveratif.
Bloking adalah suatu interupsi pada jalan pemikiran sebelum suatu ide selesai
diungkapkan. Sirkumstansial mengisyaratkan hilangnya kemampuan berpikir yang
mengarah ke tujuan dalam mengemukakan suatu ide, pasien menyertakan banyak
detail yang tidak relevan dan komentar tambahan namun pada akhirnya mampu ke
ide semula. Tangensialitas merupakan suatu gangguan berupa hilangnya benang
merah pembicaraan pada seorang pasien dan kemudian ia mengikuti pikiran
tangensial yang dirangsang oleh berbagai stimulus eksternal atau internal yang
tidak relevan dan tidak pernah kembali ke ide semula. Gangguan proses pikir dapat
tercermin dari word salad (hubungan antarpemikiran yang tidak dapat dipahami
atau inkoheren), clang association (asosiasi berdasarkan rima), punning (asosiasi

16
berdasarkan makna ganda), dan neologisme (kata-kata baru yang diciptakan oleh
pasien melalui kombinasi atau pemadatan kata-kata lain).
o Isi pikir
Gangguan isi pikir meliputi waham, preokupasi, obsesi, kompulsi, fobia, rencana,
niat, ide berulang mengenai bunuh diri atau pembunuhan, gejala hipokondriakal,
dan kecenderungan antisosial tertentu.
 Sensorium dan kognisi
Pemeriksaan ini berusaha mengkaji fungsi organik otak dan inteligensi pasien,
kemampuan berpikir abstrak, serta derajat tilikan dan daya nilai.
o Kesadaran
Gangguan kesadaran biasanya mengindikasikan adanya kerusakan organik pada
otak.
o Orientasi dan memori
Ganggaun orientasi biasanya dibagi berdasarkan waktu, tempat, dan orang.
o Konsentrasi dan perhatian
Konsentrasi pasien terganggu karena berbagai allasan. Gangguan kognitif, ansietas,
depresi, dan stimulus internal, seperti halusinasi auditorik, semuanya dapat
berperan menyebabkan gangguan konsentrasi.
o Membaca dan menulis
o Kemampuan visuospasial
Pasien diminta untuk menyalin suatu gambar, misalnya bagian depan jam dinding
atau segilima bertumpuk.
o Pikiran abstrak
Kemampuan untuk menangani konsep-konsep. Pasien mungkin memiliki gangguan
dalam membuat konsep atau menangani ide.
o Informasi dan inteligensi
 Impulsivitas, Kekerasan, Bunuh diri, dan Pembunuhan
Pasien mungkin tidak dapat mengendalikan impuls akibat suatu gangguan kognitif
atau psikotik atau merupakan hasil suatu defek karakter yang kronik, seperti yang
dijumpai pada gangguan kepribadian.
Perilaku kekerasan lazim dijumpai di antara pasien skizofrenik yang tidak diobati.
Waham yang bersifat kejar, episode kekerasan sebelumnya, dan defisit neurologis
merupakan faktor resiko perilaku kekerasan atau impulsif.

17
Kurang lebih 50 persen pasien skizofrenik mencoba bunuh diri, dan 10 sampai 15
persen pasien skizofrenia meninggal akibat bunuh diri. Mungkin faktor yang paling
tidak diperhitungkan yang terlibat dalam kasus bunuh diri pasien ini adalah depresi
yang salah diagnosis sebagai afek mendatar atau efek samping obat. Faktor pemicu
lain untuk bunuh diri mencakup perasaan kehampaan absolut, kebutuhan melarikan
diri dari penyiksaan mental, atau halusinasi auditorik yang memerintahkan pasien
mebunuh diri sendiri.
Saat seorang pasien skizofrenik benar-benar melakukan pembunuhan, hal itu mungkin
dilakukan dengan alasan yang aneh atau tak disangka-sangka yang didasarkan pada
halusinasi atau waham.
 Daya nilai dan tilikan
Daya nilai : aspek kemampuan pasien untuk melakukan penilaian sosial. Dapatkah
pasien meramalkan apa yang akan dilakukannya dalam situasi imajiner. Contohnya:
apa yang akan pasien lakukan ketika ia mencium asap dalam suasana gedung bioskop
yang penuh sesak?
Tilikan: tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan penyakitnya. Pasien dapat
menunjukkan penyangkalan total akan penyakitnya atau mungkin menunjukkan
sedikit kesadaran kalau dirinya sakit namun menyalahkan orang lain, faktor eksternal,
atau bahkan faktor organik. Mereka mungking menyadari dirinya sakit, namun
menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang asing atau misterius dalam dirinya.
 Realiabilitas
Kesan psikiater tentang sejauh mana pasien dapat dipercaya dan kemampuan untuk
melaporkan keadaanya secara akurat. Contohnya, bila pasien terbuka mengenai
penyalahgunaan obat tertentu secara aktif mengenai keadaan yang menurut pasien
dapat berpengaruh buruk (mislnya, bermasalah dengan hukum), psikiater dapat
memperkirakan bahwa realiabilitas pasien adalah baik.2,3

Pemeriksaan Penunjang
Meskipun pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan penunjang, tetapi
peranannya penting dalam menjelaskan dan menkuantifikasi disfungsi neurofisiologis,
memilih pengobatan, dan memonitor respon klinis. Hasil pemeriksaan laboratorik harus dapat
diintegrasikan dengan data riwayat penyakit, wawancara dan pemeriksaan psikiatrik untuk

18
memperoleh gambaran komprehensif tentang diagnosis dan pengobatan yang diperlukan oleh
pasien.
Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai tes apa saja yang digunakan sebagai
penyaring, tetapi beberapa tes berikut patut untuk dipertimbangkan:
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Elektrolit serum
3. Glukosa darah
4. Tes fungsi hepar
5. Tes fungsi ginjal
6. Kalsium serum
7. Uji fungsi tiroid
8. Pemeriksaan penyaring untuk sifilis (VDRL dan TPHA)
9. Tes urin untuk obat terlarang.2,3

Gambaran klinis
Skizofrenia merupakan penyakit kronik. Sebagian kecil dari kehidupan mereka berada
dalam kondisi akut dan sebagian besar penderita berada lebih lama (bertahun-tahun) dalam
fase residual yaitu fase yang memperlihatkan gambaran penyakit yang “ringan”. Selama
periode residual, pasien lebih menarik diri atau mengisolasi diri, dan “aneh”. Gejala-gejala
penyakit biasanya terlihat lebih jelas oleh orang lain. Pasien dapat kehilangan pekerjaan dan
teman karena ia tidak berminat dan tidak mampu berbuat sesuatu atau karena sikapnya yang
aneh. Pemikiran dan pembicaraan mereka samar-samar sehingga kadang-kadang tidak dapat
dimengerti. Mereka mungkin mempunyai keyakinan yang salah yang tidak dapat dikoreksi.
Penampilan dan kebiasaan-kebiasaan mereka mengalami kemunduran serta afek mereka
terlihat tumpul. Meskipun mereka dapat mempertahankan inteligensia yang mendekati
normal, sebagian besar performa uji kognitifnya buruk. Pasien dapat menderita anhedonia
yaitu ketidakmampuan merasakan rasa senang. Pasien juga mengalami deteorisasi yaitu
perburukan yang terjadi secara berangsur-angsur.

Gejala Positif dan Negatif


Gejala positif mencakup waham dan halusinasi. Gejala negatif meliputi afek mendatar
atu menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara, bloking, kurang merawat diri, kurang
motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara sosial.

19
Gangguan Pikiran
- Gangguan proses pikir
Pasien biasanya mengalami gangguan proses pikir. Pikiran mereka sering tidak dapat
dimengerti oleh orang lain dann terlihat tidak logis. Tanda-tandanya adalah:
1. Asosiasi longgar: ide pasien sering tidak menyambung. Ide tersebut seolah dapat
melompat dari satu topik ke topik lain yang tak berhubungan sehingga
membingungkan pendengar. Gangguan ini sering terjadi misalnya di pertengahan
kalimat sehingga pembicaraan sering tidak koheren.
2. Pemasukan berlebihan: arus pikiran pasien secara terus-menerus mengalami gangguan
karena pikirannya sering dimasuki informasi yang tidak relevan.
3. Neologisme: pasien menciptakan kata-kata baru (yang bagi mereka meungkin
mengandung arti simbolik)
4. Terhambat: pembicaraan tiba-tiba berhenti (sering pada pertengahan kalimat) dan
disambung kembali beberapa saat kemudian, biasanya dengan topik lain. Ini dapat
menunjukkan bahwa ada interupsi.
5. Klang asosiasi: pasien memilih kata-kata berikut mereka berdasarkan bunyi kata-kata
yang baru saja diucapkan dan bukan isi pikirannya.
6. Ekolalia: pasien mengulang kata-kata atau kalimat-kalimat yang baru saja diucapkan
oleh seseorang.
7. Konkritisasi: pasien dengan IQ rata-rata normal atau lebih tinggi, sangat buruk
kemampuan berpikir abstraknya.
8. Alogia: pasien berbicara sangat sedikit tetapi bukan disengaja (miskin pembicaraan)
atau dapat berbicara dalam jumlah normal tetapi sangat sedikit ide yang disamapaikan
(miskin isi pembicaraan).
- Gangguan isi pikir
1. Waham: suatu kepercayaan palsu yang menetap yang taksesuai dengan fakta dan
kepercayaan tersebut mungkin “aneh” atau bisa pula “tidak aneh” tetapi sangat tidak
mungkin dan tetap dipertahankam meskipun telah diperlihaykan bukti-bukti yang
jelas untuk mengkoreksinya. Waham sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan
beberapa bentuk waham yang spesifik sering ditemukan pada skizofrenia. Semakin
akut skizofrenia semakin sering ditemui waham disorganisasi atau waham tidak
sistematis:
a. Waham kejar
b. Waham kebesaran
20
c. Waham rujukan
d. Waham penyiaran pikiran
e. Waham penyisipan pikiran
2. Tilikan
Kebanyakan pasien skizofrenia mengalami pengurangan tilikan yaitu pasien tidak
menyadari penyakitnya serta kebutuhannya terhaap pengobatan, meskipun gangguan
yang ada pada dirinya dapat dilihat oleh orang lain.

Gangguan Persepsi
- Halusinasi
Halusinasi paling sering ditemui, biasanya berbentuk pendengaran tetapi bisa juga
berbentuk penglihatan, penciuman, dan perabaan. Halusinasi pendengaran dapat pula
berupa komentar tentang pasien atau peristiwa-peristiwa sekitar pasien. Komentar-
komentar tersebut dapat berbentuk ancaman atau perintah-perintah langsung ditujukan
kepada pasien (halusinasi komando). Suara-suara sering diterima pasien sebagai sesuatu
yang berasal dari luar kepala pasien dan kadang-kadang pasien dapat mendengar pikiran-
pikiran mereka sendiri berbicara keras. Suara-suara cukup nyata menurut pasien kecuali
pada fase awal skizofrenia.
- Ilusi dan depersonalisasi
Pasien juga dapat mengalami ilusi atau depersonalisasi. Ilusi yaitu adanya misinterpretasi
panca indera terhadap objek. Depersonalisasi yaitu adanya perasaan asing terhadap diri
sendiri. Derealisasi yaitu adanya perasaan asing terhadap lingkungan sekitarnya misalnya
dunia terlihat tidak nyata.

Gangguan Perilaku
Salah satu gangguan aktivitas motorik pada skizofrenia adalah gejala katatonik yang
dapat berupa stupor atauh gaduh gelisah. Paien dengan stupor tidak bergerak, tidak
berbicara, dan tidak berespons, meskipun ia sepenuhnya sadar. Sedangkan pasien dengan
katatonik gaduh gelisah menunjukkan aktivitas motorik yang tidak terkendali. Kedua keadaan
ini kadang-kadang terjadi bergantian. Pada stupor katatonik juga bisa didapati fleksibilitas
serea dan katalepsi. Gejala katalepsi adalah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk
waktu yang lama. Sedangkan fleksibilitas serea adalah bila anggota badan dibengkokkan
terasa suatu tahanan seperti pada lilin atau malam dan posisi itu dipertahankan agak lama.

21
Gangguan perilaku lain adalah stereotipi dan manerisme. Berulang-ulang melakukan
suatu gerakan atau mengambil sikap badan tertentu disebut stereotipi. Misalnya, menarik-
narik rambutnya, atau tiap kali bila mau menyuap nasi mengetuk piring dulu beberapa kali.
Keadaan ini dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa tahun. Stereotipi pembicaraan
dinamakan verbigrasi, kata atau kalimat diulang-ulangi, hal ini sering juga terdapat pada
gangguan otak orgnaik. Manerisme adalah stereotipi tertentu pada skizofrenia, yang dapat
dilihat dalam bentuk grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya berjalan.

Gangguan Afek
Kedangkalan respons emosi, misalnya penderita menjadi acuh tak acuh terhadap
hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri sepertti keadaan keluarganya dan masa depannya.
Perasaan halus sudah hilang. Parathimi, apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan
gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau marah. Paramimi, penderita merasa senang
dan gembira, akan tetapi ia menangis. Parathimi dan paramimi bersama-sama dinamakan
incongruity of affect dalam bahasa inggris dan inadequat dalam bahasa belanda.
Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai kesatuan,
misalnya sesudah membunuh anaknya penderita menangis berhari-hari, tetapi mulutnya
seperti tertawa.semua ini merupakan gangguan afek dan emosi yang khas untuk skizofrenia.
Gangguan afek dan emosi lain adalah:
Emosi berlebihan, sehingga kelihatan seperti dibuat-buat, seperti pada penderita sedang
bersandiwara.
Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan untuk mengadakan
hubungan emosi yang baik (emotional rapport). Karena itu sering kita tidak dapat merasakan
perasaan penderita. Karena terpecah-belahnya kepribadian, maka dual hal yang berlawanan
mungkin timbul bersama-sama, misalnya mencintai dan membenci satu orang yang sama;
menangis dan tertawa tentang satu hal yang sama. Ini dinamakan ambivalensi afektif.1-3

Diagnosis
Adanya halusinasi atau waham tidak mutlak untuk diagnosis skizofrenia; gangguan
pada pasien didiagnosis sebagai skizofrenia apabila pasien menunjukkan dua gejala yang
terdaftar sebagai gejala 3 sampai 5 pada kriteria A (1.waham 2. Halusinasi 3. Bicara kacau 4.
Perilaku yang sangat kacau/katatonik 5. Gejala negatif, yaitu: afek medatar, alogia, atau
anhedonia). Hanya dibutuhkan satu gejala kriteria A bila wahamnya bizare atau halusinasinya
terdiri atas suara yang terus-menerus memberi komentar terhadap perilaku atau pikiran
22
pasien, atau dua atau lebih suara yang saling bercakap-cakap. Kriteria B membutuhkan
adanya hendaya fungsi, meski tidak memburuk, yang tampak selama fase aktif penyakit.
Gejala harus berlangsung selama paling tidak 6 bulan dan diagnosis gangguan skizoafektif
atau gangguan mood harus disingkirkan. Setidaknya salah satu hal ini harus ada:
1. Gema pikiran (thought echo)
2. Waham kendali, pengaruh, atau pasivitas
3. Suara-suara halusinasi yang terus-menerus mengomentari perilaku pasien atau saling
mendiskusikan pasien, atau suara halusinasi lain yang berasal dari bagian tubuh tertentu; dan
4. Waham persisten jenis lain yang secara budaya tidak sesuai dan sangat tidak masuk akal.

Diagnosis juga dapat ditegakkan bila setidaknya dua hal berikut ada:
1. Halusinasi persisten dalam modalitas apapun, bila terjadi setiap hari selama sekurangnya 1
bulan, atau bila disertai waham
2. Neologisme, kata baru yang diciptakan oleh pasien, seringkali dengan menggabungkan
suku kata atau dari kata-kata lain.
3. Perilaku katatonik, seperti eksitasi, postur atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme,
dan stupor
4. Gejala negatif, seperti apatis yang nyata, miskin isi pembicaraan, dan respons emosional
tumpul serta ganjil (harus ditegaskan bahwa hal ini bukan disebabkan depresi atau
pengobatan antipsikotik).

Jenis – Jenis Skizofrenia


a. Tipe paranoid
Skizofrenia tipe ini ditandai dengan preokupasi terhadap satu atau lebih waham atau
halusinasi auditorik yang sering serta tidak adanya perilaku spesifik yang sugestif untuk
tipe hebrefrenik atau katatonik. Secara klasik, skizofrenia tipe paranoid terutama ditandai
dengan adanya waham kejar atau kebesaran. Pasien skizofrenia paranoid biasanya
mengalami episode pertama penyakit pada usia yang lebih tua dibanding pasien
skizofrenia hebefrenik dan katatonik. Pasien yang skizofrenianya terjadi pada akhir usia
20-an atau 30-an biasanya telah memiliki kehidupan sosial yang mapan yang dapat
membantu mengatasi penyakitnya, dan sumber ego pasien paranoid cenderung lebih
besar dibanding pasien skizofrenia hebefrenik atau katatonik. Pasien skizofrenia paranoid
menunjukkna regresi kemampuan mental, respons emosional, dan perilaku yang lebih
ringan dibandingkan pasien skizofrenia tipe lain. Pasien skizofrenia paranoid biasanya
23
tegang, mudah curiga, berjaga-jaga, berhati-hati, dan terkadang bersikap bermusuhan
atau agresif, namun mereka kadang-kadang dapat mengendalikan diri mereka secara
adekuat pada situasi sosial. Inteligensi mereka dalam area yang tidak dipengaruhi
psikosisnya cenderung tetap utuh.
b. Tipe disorganized
Skizofrenia tipe disorganized (sebelumnya disebut hebefrenik) ditandai dengan regresi
nyata ke perilaku primitif, tak terinhibisi, dan kacau serta dengan tidak adanya gejala
yang memenuhi kriteria tipe katatonik. Onset subtipe ini biasanya dini, sebelum usia 25
tahun. Pasien hebefrenik biasanya aktif namun dalam sikap yang nonkonstruktif dan tak
bertujuan. Gangguan pikir menonjol dan kontal dengan realitas buruk. Penampilan
pribadi dan perilaku sosial berantakan, respons emosional mereka tidak sesuai dan tawa
mereka sering meledak tanpa alasan jelas. Seringai atau meringis yang tak pantas lazim
dijumpai pada pasien inim yang perilakunya paling baik dideskripsikan sebagai konyol
atau tolol.
c. Tipe katatonik
Pasien mempunyai paling sedikit satu dari beberapa bentuk katatonia:
- Stupor katatonik atau mutisme yaitu pasien tidak berespons terhadap lingkungan atau
orang. Pasien menyadari hal-hal yang sedang berlangsung di sekitarnya.
- Negativsme katatonik yaitu pasien melawan semua perintah-perintah atau usaha-
usaha untuk menggerakkan fisiknya.
- Rigiditas katatonik yaitu pasien secara fisik sangat kaku atau rigid.
- Postur katatonik yaitu pasein mempertahankan posisi yang tak biasa atau aneh.
- Kegembiraan katatonik yaitu pasien sangat aktif dan gembira. Mungkin dapat
mengancam jiwanya (misalnya, karena kelelahan).
d. Tipe tak terinci
Pasien mempunyai halusinasi, waham, dan gejala-gejala psikosis aktif yang menonjol
(misalnya: kebingungan, inkoheren) atau memenuhi kriteria skizofrenia tetapi tidak dapat
digolongkan pada tipe paranoid, katatonik, hebefrenik, residual, dan depresi pasca
skizofrenia.
e. Tipe residual
Pasien dalam keadaan remmsi dari keadaan akut tetapi masih memperlihatkan gejala-
gejala residual (penarikan diri secara sosial, afek datar atau tak serasi, perilaku eksentrik,
asosiasi melonggar, atau pikiran tak logis).
f. Skizofrenia simpleks
24
Skizofrenia simpleks adalah sulatu diagnosis yang sulit dibuat secara meyakinka karena
bergantung pada pemastian perkembangan yang berlangsung perlahan, progresif dari
gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa adanya riwayat halusinasi,
waham atau manifestasi lain tentang adanya suatu episode psikotik sebelumnya, dan
disertai degan perubahan-perubahan yang bermakna pada perilaku perorangan, yang
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, kemalasan, dan penarikan diri
secara sosial.1,3

Penatalaksanaan
Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama menimbulkan
kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental.
Farmakoterapi
Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk mengendalikan
gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik mencakup dua kelas utama:
antagonis reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-dopamin.
1. Antagonis Reseptor Dopamin
Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia, terutama terhadap
gejala positif. Obat-obatan ini memiliki dua kekurangan utama. Pertama, hanya presentase
kecil pasien yang cukup terbantu untuk dapat memulihkan fungsi mental normal secara
bermakna. Kedua, antagonis reseptor dopamin dikaitkan dengan efek samping yang
mengganggu dan serius. Efek yang paling sering mengganggu aalah akatisia adan gejala lir-
parkinsonian berupa rigiditas dan tremor. Efek potensial serius mencakup diskinesia tarda
dan sindrom neuroleptik maligna.

2. Antagonis Serotonin-Dopamin
SDA menimbulkan gejala ekstrapiramidal ayng minimal atau tidak ada, berinteraksi
dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda di banding antipsikotik standar, dan
mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun glutamat. Obat ini juga menghasilkan efek
samping neurologis dan endokrinologis yang lebih sedikit serta lebih efektif dalam
menangani gejala negatif skizofrenia. Obat yang juga disebut sebagai obat antipsikotik
atipikal ini tampaknya efektif untuk pasien skizofrenia dalam kisaran yang lebih luas
dibanding agen antipsikotik antagonis reseptor dopamin yang tipikal. Golongan ini
setidaknya sama efektifnya dengan haloperidol untuk gejala positif skizofrenia, secara unik
efektif untuk gejala negatif, dan lebih sedikit, bila ada, menyebabkan gejala ekstrapiramidal.
25
Beberapa SDA yang telah disetujui di antaranya adalah klozapin, risperidon, olanzapin,
sertindol, kuetiapin, dan ziprasidon. Obat-obat ini tampaknya akan menggantikan antagonis
reseptor dopamin, sebagai obat lini pertama untuk penanganan skizofrenia.
Pada kasus sukar disembuhkan, klozapin digunakan sebagai agen antipsikotik, pada
subtipe manik, kombinasi untuk menstabilkan mood ditambah penggunaan antipsikotik. Pada
banyak pengobatan, kombinasi ini digunakan mengobati keadaan skizofrenia.2,3,6
Kategori obat: Antipsikotik – memperbaiki psikosis dan kelakuan agresif.4
Nama Obat
Haloperidol Untuk manajemen psikosis. Juga untuk saraf motor dan suara pada anak
(Haldol) dan orang dewasa. Mekanisme tidak secara jelas ditentukan, tetapi
diseleksi oleh competively blocking postsynaptic dopamine (D2)
reseptor dalam sistem mesolimbic dopaminergic; meningkatnya
dopamine turnover untuk efek tranquilizing. Dengan terapi subkronik,
depolarization dan D2 postsynaptic dapat memblokir aksi antipsikotik.
Risperidone Monoaminergic selective mengikat lawan reseptor D2 dopamine
(Risperdal) selama 20 menit, lebih rendah afinitasnya dibandingkan reseptor 5-
HT2. Juga mengikat reseptor alpha1-adrenergic dengan afinitas lebih
rendah dari H1-histaminergic dan reseptor alpha2-adrenergic.
Memperbaiki gejala negatif pada psikosis dan menurunkan kejadian
pada efek ekstrpiramidal.
Olanzapine Antipsikotik atipikal dengan profil farmakologis yang melintasi sistem
(Zyprexa) reseptor (seperti serotonin, dopamine, kolinergik, muskarinik, alpha
adrenergik, histamine). Efek antipsikotik dari perlawanan dopamine
dan reseptor serotonin tipe-2. Diindikasikan untuk pengobatan psikosis
dan gangguan bipolar.
Clozapine Reseptor D2 dan reseptor D1 memblokir aktifitas, tetapi nonadrenolitik,
(Clozaril) antikolinergik, antihistamin, dan reaksi arousal menghambat efek
signifikan. Tepatnya antiserotonin. Resiko terbatasnya penggunaan
agranulositosis pada pasien nonresponsive atau agen neuroleptik klasik
tidak bertoleransi.
Quetiapine Antipsikotik terbaru untuk penyembuhan jangka panjang. Mampu
(Seroquel) melawan efek dopamine dan serotonin. Perbaikan lebih awal
antipsikotik termasuk efek antikolinergik dan kurangnya distonia,

26
parkinsonism, dan tardive diskinesia.
Aripiprazole Memperbaiki gejala positif dan negatif skizofrenia. Mekanisme
(Abilify) kerjanya belum diketahui, tetapi hipotesisnya berbeda dari antipsikotik
lainnya. Aripiprazole menimbulkan partial dopamine (D2) dan
serotonin (5HT1A) agonis, dan antagonis serotonin (5HT2A).

Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran


Haloperidol (Haldol) Tab. 2 – 5 mg 5 – 15 mg/hari
Risperidone
Tab. 1 – 2 – 3 mg 2 – 6 mg/hari
(Risperdal)
Olanzapine (Zyprexa) Tab. 5 – 10 mg 10 – 20 mg/hari
Clozapine (Clozaril) Tab. 25 – 100 mg 25 – 100 mg/hari
Quetiapine (Seroquel) Tab. 25 – 100 mg
50 – 400 mg/hari
200 mg
Aripiprazole (Abilify) Tab. 10 – 15 mg 10 – 15 mg/hari

Terapi Psikososial
- Pelatihan keterampilan sosial
Peatihan keterampilan sosial kadang-kadang disebut sebagai terapi keterampilan
perilaku. Terapi ini secara langsung dapat mendukung dan berguna untuk pasien bersama
dengan terapi farmakologis. Selain gejala yang biasa tampak pada pasien skizofrenia,
beberapa gejala yang paling jelas terlihat melibatkan hubungan orang tersebut dengan
orang lain, termasuk kontak mata yang buruk, keterlambatan respons yang tidak lazim,
ekspresi wajah yang aneh, kurangnya spontanitas dalam situasi sosial, serta persepsi
yang tidak akurat atau kurangnya persepsi emosi pada orang lain. Pelatihan keterampilan
perilaku diarahkan ke perilaku ini melalui penggunaan video tape berisi orang lain dan si
pasien, bermain drama dalam terapi, dan tugas pekerjaan rumah untuk keterampilan
khusus yang dipraktekkan.
- Terapi kelompok
Terapi kelompok untuk oragn dengan skizofrenia umumnya berfokus pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok dapat berorientasi
perilaku, psikodinamis atau berorientasi tilikan, atau suportif.

27
- Terapi perilaku kognitif
Terapi perilaku kognitif telah digunakan pada pasien skizofrenia untuk
memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi distraktibilitas, serta mengoreksi kesalahan
daya nilai. Terdapat laporan adanya waham dan halusinasi yang membaik pada sejumlah
pasien yang menggunakan metode ini. Pasien yang mungkin memperoleh manfaat dari
terapi ini umumnya aalah yang memiliki tilikan terhadap penyakitnya.
- Psikoterapi individual
Pada psikoterapi pada pasien skizofrenia, amat penting untuk membangun
hubungan terapeutik sehingga pasien merasa aman. Reliabilitas terapis, jarak emosional
antaraterapis dengan pasien, serta ketulusan terapis sebagaimana yang diartikan oleh
pasien, semuanya mempengaruhi pengalaman terapeutik. Psikoterapi untuk pasien
skizofrenia sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan dalamm jangka waktu dekade,
dan bukannya beberapa sesi, bulan, atau bahakan tahun. Beberapa klinisi dan peneliti
menekankan bahwa kemampuan pasien skizofrenia utnuk membentuk aliansi terapeutik
dengan terapis dapat meramalkan hasil akhir. Pasien skizofrenia yang mampu
membentuk aliansi terapeutik yang baik cenderung bertahan dalam psikoterapi, terapi
patuh pada pengobatan, serta memiliki hasil akhir yang baik pada evaluasi tindak lanjut 2
tahun. Tipe psikoterapi fleksibel yang disebut terapi personal merupakan bentuk
penanganan individual untuk pasien skizofrenia yang baru-baru ini terbentuk. Tujuannya
adalah meningkatkan penyesuaian personal dan sosial serta mencegah terjadinya relaps.
Terapi ini merupakan metode pilihan menggunakan keterampilan sosial dan latihan
relaksasi, psikoedukasi, refleksi diri, kesadaran diri, serta eksplorasi kerentanan individu
terhadap stress. 2,3

Prognosis
Sejumlah studi menunjukkan bahwa selama periode 5 sampai 10 tahun setelah rawat
inap psikiatrik yang pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar 10-20% persen yang dapat
dideskripsikan memiliki hasil akhir yang baik. Lebih dari 50% pasien dapat digambarkan
memiliki hasil akhir yang buruk, dengan rawat inap berulang, eksaserbasi gejala, episode
gangguan mood mayor, dan percobaan bunuh diri. Namun, skizofrenia tidak selalu memiliki
perjalanan penyakit yang memburuk dan sejumlah faktor dikaitkan dengan prognosis yang
baik. Angka pemulihan yang dilaporkan berkisar dari 10-60%, dan taksiran yang masuk akal
adalah bahwa 20-30% pasien terus mengalami gejala sedang, dan 40-60% pasien tetap
mengalami hendaya secara signifikan akibat gangguan tersebut selama hidup mereka.3
28
Pencegahan
Mengingat belum bisa diketahui penyebab pastinya, jadi skizofrenia tidak bisa
dicegah. Lantaran pencegahannya sulit, maka deteksi dan pengendalian dini penting,
terutama bila sudah ditemukan adanya gejala. Dengan pengobatan dini, bila telah didiagnosis
dapat membuat penderita normal kembali, serta mencegah terjadinya gejala skizofrenia
berkelanjutan.4

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Amir N. Skizofrenia. Dalam: Elvira SD, Hadisukanto G, penyunting. Buku ajar


psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2010.h.170-94.
2. Amir N. Skizofrenia. Semijurnal farmasi & kedokteran Feb 2006;24:31-40.
3. Muttaqin H, Sihombing RNE, penyunting. Skizofrenia. Dalam: Sadock BJ, Sadock
VA. Kaplan & sadock’s concise textbook of clinical psychiatry. Edisi ke-2. Jakarta:
EGC; 2010.h.147-75.
4. Maramis WF. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Edisi ke-2. Surabaya: Airlangga
University Press; 2009.h.195-277.
5. Sobell JL, Mikesell MJ, Mcmurray CT. Genetics and etiopathophysiology of
schizophrenia. Mayo Clin Proc Oct 2005;77:1068-82.
6. Safitri A, penyunting. Obat antipsikosis. Dalam: Neal MJ. Medical pharmacology at a
glance. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006.h.60-1.

30

You might also like