You are on page 1of 6

BAB 5.

PEMBAHASAN

5.1 Penyangraian
Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan penimbangan berat
kakao setelah penyangraian. Berdasarkan pengamatan diperoleh tiga data yaitu
pada pengulangan pertama berat awal biji kakao yaitu sebesar 100 gram setelah
dilakukan penyangraian beratnya mengalami perubahan yaitu menjadi 94,58 gram.
Pengulangan kedua berat awal biji kakao yaitu sebesar 100 gram setelah dilakukan
penyangraian beratnya mengalami perubahan yaitu menjadi 95,35 gram.
Pengulangan ketiga berat awal biji kakao yaitu sebesar 100 gram setelah dilakukan
penyangraian beratnya mengalami perubahan yaitu menjadi 93,29 gram.
Berdasarkan hasil ketiga pengulangan tersebut berat biji kakao setelah dilakukan
penyangraian mengalami perubahan penurunan berat, hal ini disebabkan karena
kadar air biji kakao telah berkurang akibat penguapan hal ini sesuai dengan literatur
yang menyatakan bahwa selama proses penyangraian, air akan menguap dari biji,
kulit yang menempel di permukaan inti biji terlepas, inti biji menjadi cokelat, dan
beberapa senyawa menguap, antara lain asam, aldehid, furan, pirazin, alkohol, dan
ester. Terjadinya penguapan air pada proses penyangraian disebabkan oleh suhu
dan lama waktu penyangraian sehingga berpengaruh terhadap berat biji kakao yang
dihasilkan (Misnawi, 2005).
Perbedaan yang terjadi setelah dilakukan penyangraian dari segi warna untuk
biji utuh warna kakao sangrai lebih gelap dibandingkan dengan kakao sebelum
disangrai. Perubahan warna pada biji kakao yang disangrai disebabkan oleh suhu
tinggi dari penyangraian. Menurut literatur, suhu penyangraian merupakan faktor
utama penyebab terjadinya pewarnaan cokelat dalam biji kakao yang disangrai.
Pembentukan pigmen warna cokelat yang dinamis pada saat penyangraian
bergantung pada tingkat suhu penyangraian. Penyangraian pada umumnya
dilakukan menggunakan kombinasi waktu panjang dengan suhu rendah dan waktu
pendek dengan suhu tinggi. Konsentrasi pigmen warna cokelat dalam biji kakao
yang disangrai mencapai puncaknya pada suhu 135 °C dan akan menurun secara
penyangraian akan selesai apabila warna bagian dalam keeping biji bertahap bila
suhu proses pemanasan berlanjut mengalami kenaikan/peningkatan (Agus, 2008).
Suhu yang digunakan dalam penyangraian biji kakao sekitar 120 °C sampai 140 °C
selama 15 sampai 120 menit. Proses berubah menjadi coklat tua dan rasa pahitnya
berkurang. Kadar air setelah melakukan penyangraian berkisar 2.5% (Muchtadi dan
Sugiyono, 1992).
Aroma biji kakao setelah dilakukan penyangraian memiliki aroma yang tidak
lagi asam atau sepat. Hal ini sudah sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa
biji kakao sebelum penyangraian, memiliki rasa sepat, pahit, asam dan tanpa ada
citarasa khas cokelat. Namun, biji kakao yang telah disangrai memiliki aroma
cokelat khas yang inten dengan rasa sepat, pahit dan asam yang rendah. Senyawa
pembentuk aroma khas cokelat, seperti pirazin, karbonil, dan ester meningkat
secara nyata selama penyangraian dari 35 menit sampai 65 menit pada suhu 140 °C
(Misnawi, 2005).
Tekstur biji kakao utuh setelah dilakukan penyangraian teksturnya rapuh
sedangkan biji kakao sebelum disangrai memiliki tekstur yang cukup keras. Hal ini
sesuai dengan literatur dari Wahyudi (2008) bahwa penyangraian biji kakao
menyebabkan penguapan kadar air dan senyawa-senyawa volatile (senyawa yang
mudah menguap). Oleh karena itu, dengan menguapnya air akibat panas dapat
menyebabkan tekstur biji menjadi lunak disebabkan adanya pengendoran kulit biji
ada saat penyangraian yang turut membantu pelunakan biji. Dari litelatur diatas
dapat disimpulkan bahwa dengan adanya energi panas yang terserap, maka kadar
air pada bahan berkurang. Dengan berkurangnya kadar air pada bahan, tekstur yang
dihasilkan lebih terbentuk dan berongga, sehingga tekstur kakao sangrai lebih keras
dan rapuh.

5.2 Pemisahan Kulit


Pada praktikum pemisahan kulit dilakukan untuk memisahkan kulit biji dan
daging biji (nib). Pemisahan kulit dilakukan dengan menggunakan mesin
winnowing. Pada mesin winnowing ini terdapat empat fraksi, yang setiap fraksinya
menghasilkan jumlah nib dan kulit yang berbeda. Berdasarkan data pengamatan
diperoleh hasil presentasi kulit pada fraksi 1 yaitu 1,44%, pada fraksi 2 diperoleh
prsentase kulit yaitu 7,7%, pada fraksi 3 yaitu 7,07%, dan pada fraksi 4 yaitu
33,49%. Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa
pada mesin winnowing paling atas dapat menghasilkan jumlah presentase nib yang
besar dan presentase kulit yang kecil, sedangkan semakin ke bawah maka jumlah
nib yang dihasilkan semakin sedikit dan jumlah kulit yang dihasilkan semakin
besar. Dari keempat hasil presentase kulit kakao yang dihasilkan, maka yang paling
baik berada pada fraksi 1 yaitu 1,44%. Berdasarkan penyataan Becket (2000),
bahwa pemisahan dikatakan baik bila kulit yang terikut maksimal 1,75%. Dari hal
tersebut maka efisiensi pada praktikum menunjukkan bahwa pemisahan kulit
dengan mesin winnowing telah diproses secara baik.

5.3 Pemastaan
Pada proses pemastaan ini digunakan 100 gr nib kakao dan menghasilkan 81,95
gr pasta coklat. Pengamatan ukuran pasta dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui ukuran partikel ulangan pertama sebesar
0,7 mm, ulangan kedua 1 mm, dan ulangan ketiga 0,9 mm. Untuk dapat digunakan
sebagai bahan baku makanan dan minuman, nib yang semula berbentuk butiran
padat kasar harus dihancurkan sampai ukuran tertentu (<20m µ) dan menjadi
bentuk pasta cair kental. Proses pemastaan atau penghalusan nib kakao umumnya
dilakukan dengan cara penghancuran untuk merubah biji kakao padat menjadi pasta
dengan kehalusan kurang dari 20 mµ dengan menggunakan mesin silinder (Mulato,
2005).
Berdasarkan berat pasta yang dihasilkan maka rendemen yang diperoleh sebesar
81,95% dengan rata rata ukuran partikel sebesar 0,687 mm. Berdasarkan SNI pasta
kakao bahwa untuk memperoleh bubuk kakao yang baik maka harus memiliki
ukuran partikel lolos ayakan 200 mesh atau setara 0,074 mm. Dapat disimpulkan
bahwa pasta yang dihasilkan masih belum lolos persyaratan SNI pasta kakao karena
masih tergolong kasar.

5.4 Pembuatan Cokelat


Tempering merupakan salah satu proses penting dalam pembuatan coklat.
Produk tanpa proses tempering akan menyebabkan cokelat mengalami blooming.
Tempering dapat mempengaruhi warna cokelat yang dihasilkan. Tempering yang
baik akan memberikan warna yang mengkilap, tidak mudah leleh dan tidak
terbentuk blooming pada permukaan cokelat (Makmur, 2012).
Pengujian sensori dilakukan kepada 25 panelis yang diminta untuk mrlakukan
uji sensori pada coklat yang dihasilkan pada beberapa karakteristik. Berdasarkan
data hasil pengujian sensori pada kenampakan cokelat diperoleh hasil rata-rata
penilaian pada sampel cokelat dengan perlakuan tempering pada suhu 28°C dengan
pengadukan, tempering pada suhu 28°C kemudian dinaikkan menjadi 30°C dengan
pengadukan dan tempering pada suhu 28°C tanpa pengadukan berturut-turut ialah
1,08; 1,64 dan 2,32. Nilai kenampakan cokelat yang paling tinggi diperoleh pada
cokelat dengan perlakuan tempering pada suhu 28°C tanpa pengadukan. Menurut
literatur tempering pada suhu 27-29°C, menghasilkan kristal lemak dalam bentuk
β’ dan jika suhu dinaikkan menjadi 33–35°C menghasilkan perubahan kristal lemak
menjadi β (Minifie, 1999 dalam Bajeng, 2012). Kenampakan cokelat dengan
perlakuan tempering pada suhu 28°C dengan pengadukan berbeda cukup signifikan
dari cokelat dengan perlakuan tempering suhu 28°C lalu dinaikkan menjadi 30°C
dengan pengadukan dan tempering suhu 28°C dengan pengadukan. Menurut
Beckett (2008), pengadukan lambat pada proses tempering menimbulkan gaya
geser pada pembentukan inti kristal sehingga mempercepat transformasi kristal dari
α ke β’ ke β. Pada tempering dilakukan pendinginan dengan pengadukan untuk
menghasilkan inti-inti kristal lemak kakao dan menyebarkan ke seluruh cokelat
cair. Kristal β menghasilkan permukaan cokelat batang yang licin, mengkilap dan
mencegah blooming. Sehingga pada perlakuan tanpa pengadukan, kristal lemak
yang terbentuk tidak sesuai yang dikehendaki yaitu lemak kristal bentuk β atau
kristal β yang terbentuk hanya sedikit dan menyebabkan terjadinya blooming dan
kenampakannya tidak mengkilap.
Menurut Faridah et al. (2008), cokelat yang melewati proses tempering akan
mengalami perubahan tekstur, yaitu brittle atau mudah patah. Selain itu, tekstur
mudah patah dari cokelat dapat dikarenakan adanya penggunaan bahan soda kue.
Menurut Hayatinufus (2010), soda kue akan mengeluarkan gelembung udara jika
bertemu dengan cairan dan bahan yang sifatnya asam. Gelembung udara berupa gas
CO2 yang berperan dalam pembentukan tekstur adonan. Soda kue memberikan efek
tekstur kering, garing dan renyah. Pada hasil pengujian sensori pada tekstur cokelat
diperoleh hasil rata-rata penilaian pada sampel cokelat dengan perlakuan tempering
pada suhu 28oC dengan pengadukan, tempering pada suhu 28oC lalu dinaikkan
menjadi suhu 30oC dengan pengadukan dan tempering pada suhu 28oC tanpa
pengadukan berturut-turut yaitu 1,6; 2,4 dan 2,56. Semakin tinggi nilai maka
semakin mudah patah. Nilai tekstur yang paling tinggi adalah pada cokelat dengan
perlakuan tempering pada suhu 28oC tanpa pengadukan dan tempering pada suhu
28oC dan dinaikkan menjadi 33oC dengan pengadukan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Alex (2003) dalam Makmur (2012), yang menyatakan bahwa cokelat
yang ditempering dengan suhu ±34oC memiliki karakteristik padat, renyah dan
mudah patah. Pada hasil pengamatan diperoleh nilai kemudahan patah dari semua
sampel cokelat tidak berbeda jauh. Pada perlakuan tanpa pengadukan seharusnya
memiliki kemampuan mudah patah lebih rendah dibandingkan pada cokelat dengan
perlakuan tempering dengan pengadukan. Karena dengan perlakuan pengadukan
kristal lemak yang diperoleh akan membentuk kristal lemak β yang lebih banyak
dibandingkan perlakuan tanpa pengadukan. Bentuk polimorfis yang menghasilkan
kristal lemak cokelat yang paling stabil adalah bentuk β. Kristal β memiliki struktur
yang kecil sehingga menghasilkan tekstur yang glossy dan mampu membentuk
kelompok kristal yang besar. Ukuran kristal yang terlalu besar akan menghasilkan
produk cokelat yang tidak padat dan mudah hancur saat dipatahkan (Mulato et al.,
2005).
Hasil pengujian sensori pada kecepatan leleh cokelat di mulut diperoleh hasil rata-
rata penilaian pada sampel cokelat dengan perlakuan tempering pada suhu 28oC
dengan pengadukan, tempering pada suhu tempering suhu 28oC lalu dinaikkan
menjadi suhu 30oC dengan pengadukan dan tempering pada suhu 28oC tanpa
pengadukan berturut-turut yaitu 1,56; 2,2 dan 2,76. Semakin tinggi nilai maka
semakin mudah cokelat untuk meleleh. Kecepatan leleh paling tinggi adalah pada
perlakuan tempering pada suhu 28oC tanpa pengadukan. Hal ini tidak sesuai
dengan literatur, karena seharusnya nilai titik leleh cokelat tertinggi diperoleh oleh
cokelat dengan perlakuan tempering suhu 28oC lalu dinaikkan menjadi suhu 30oC
dengan dikarenakan proses tempering dengan cara menurunkan suhu hingga 28oC
dan dinaikkan kembali hingga suhu 33oC akan membentuk lemak coklat dengan
kristal tipe β. Hal ini sesuai dengan Minifie (1999) dalam Bajeng (2012), yang
menyatakan bahwa tempering pada suhu 27–29oC, menghasilkan kristal lemak
dalam bentuk β’ dan jika suhu dinaikkan menjadi 33–35oC menghasilkan
perubahan kristal lemak menjadi β. Lemak pada tipe β ini memiliki karakteristik
titik leleh yang tinggi pada suhu ruang, namun akan cepat meleleh atau lumer ketika
dimulut.
Pada uji sensori yang dilakukan pada praktikum ini dalam penilaiannya
menggunakan panelis, sehingga hasilnya tidak pasti benar karena setiap panelis
memiliki tingkat kepekaan yang berbeda dalam menilai maupun menganalisa
sesuatu. Tingkat kepekaan setiap panelis berbeda- beda tergantung dari segi
kesehatan, jenis kelamin (lelaki atau wanita), usia, merokok atau tidaknya panelis,
erta kondisi kejiwaan yang di alami panelis (Kartika et al., 2010).

You might also like